PESAN NATAL 2020, TOLERANSI DAN PERDAMAIAN
PESAN NATAL 2020, TOLERANSI DAN PERDAMAIAN
Oleh: Dr. Adian Husaini ( Ketum DDII Pusat)
Ed: Sudono Syueb
Menjelang Perayaan Hari Natal 25 Desember 2020, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), menyampaikan pesan-pesan Natal bersama. Dalam pesan, PGI dan KWI antara lain menyampaikan:
“Natal adalah berita yang menyenangkan dan perwartaan cinta karena Juruselamat, Sang Raja Damai, Allah beserta kita, lahir di dunia… .. Pertanyaan yang mesti kita renungkan untuk Anugerah Natal aktual pada masa sekarang ini adalah: bagaimana Gereja menjalankan perutusannya dalam masyarakat, bangsa dan negara kita yang sedang menghadapi berbagai macam tantangan itu? Tentu dengan mengikuti Yesus Kristus, Sang Imanuel, “yang berjalan berkeliling sambil berjalan baik-baik….” (Kis. 10:38). Yesus yang sama milik "telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat-Nya sendiri yang meringankan beban umat-Nya" (Tit. 2:14). Dengan berbagai perbuatan baik yang sesuai dengan keputusan dan pelayanan serta situasi dan kondisi kita masing-masing, kita mengalami Sang Imanuel sekaligus menghadirkan pengalaman akan Allah yang beserta kita. Pengalaman akan kehadiran Allah menggerakan kita untuk mengikis habis ujaran kebencian, berita bohong, intoleransi, dan tindakan kekerasan apapun dengan tetap baik. ” (Lebih lengkap, lihat:https://www.dokpenkwi.org/2020/11/25/pesan-natal-bersama-pgi-kwi-tahun-2020/ ).
*****
Menyimak Pesan Natal Bersama PGI dan KWI tersebut, jelaslah bahwa Peringatan Natal adalah peringatan peringatan bagi kaum Kristen. Natal bukan sekedar penghargaan dan budaya. Perayaan Natal adalah peneguhan kepercayaan Kaum Kristen yang meyakini Yesus Kristus sebagai Tuhan: “Natal adalah berita bahagia dan perwartaan cinta karena Juruselamat, Sang Raja Damai, Allah beserta, lahir di dunia.”
Dalam dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja ( Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, di dalam Konsili Vatikan II, di Roma, yuk: ”Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam Tubuhnya yaitu Gereja ... Oleh yang tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya. ” (Terjemah oleh Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
Menyimak pesan Natal tersebut, tentu kaum muslimin sudah sangat memahami dan menghomati kepercayaan kaum Kristen terhadap Yesus. Sejak awal, Kitab Suci umat Islam, yaitu al-Quran al-Karim, sudah mengabarkan dan mengkritisi kepercayaan kaum Kristen tersebut (Lihat: QS 5: 72-73, 157; 19: 88-91, dsb).
B
Al-Quran menjelaskan bahwa Isa sebagai adalah Nabi, Utusan Allah, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Dalam al-Quran surat Maryam alur: “Hampir-hampir-hampir-hampir-hampir-hampir-langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak. ” (QS 19: 90-91).
Nabi Isa as menyatakan bahwa beliau adalah Utusan Allah SWT yang diutus untuk kaum Bani Israil. Beliau tidak membawa syariat baru, tetapi melanjutkan syariat Taurat yang dibawa oleh Nabi Musa as Dan juga, Nabi Isa memberi kabar akan datangnya seorang Nabi bernama Ahmad. (QS 61: 6). Al-Quran Surat an-Nisa (4) ayat 157 juga menjelaskan, bahwa Nabi Isa as tidak mati di tiang salib. Tetapi, yang disalib itu adalah seorang yang diserupakan dengan Nabi Isa as
Jadi, al-Quran al-Karim adalah satu-satunya Kitab Suci yang memberikan penjelasan tentang hakikat Nabi Isa sebagai yang berbeda dengan kepercayaan kaum Kristen. Itulah keyakinan kaum Muslimin berdasarkan penjelasan Kitab al-Quran. Karena itu, Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah untuk menjelaskan hal ini dan ajakan kaum Yahudi dan Nasrani (Ahlul Kitab) untuk bersepakat hanya menyembah Allah sendiri, dan tidak menyekutukan Allah dengan apa pun juga. (QS 3:64).
Kaum Muslimin sejak awal sudah dibiasakan hidup dalam perbedaan dan menghormati perbedaan. Bahkan, seorang anak yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan orang tuanya, tetap wajib menghormati orang tuanya dan tidak boleh kasar terhadap mereka. Begitu juga, Rasulullah mengajarkan agar kaum Muslimin inspeksi baik kepada saudara atau tetangganya yang berbeda agama.
Jadi, bagi kaum Muslimin, toleransi beragama adalah perintah Allah dan Rasul-Nya berdasarkan wahyu. Ajaran ini bersifat abadi, tidak tergantung kondisi dan budaya tertentu. Dimana saja dan kapan saja, kaum Muslimin harus baik kepada sesama manusia bahkan kepada makhluk Allah lainnya.
Tetapi, harus diingat, Islam juga memerintahkan umatnya agar menjaga keimanan dengan sungguh-sungguh. Saat terjadi benturan dengan pemerintah dalam soal fatwa “ Haram mengikuti Perayaan Natal Bersama ”, Buya Hamka menulis kolom berjudul ” Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?” di rubrik “ Dari Hati ke Hati ” Majalah Panji Masyarakat No 324 tahun 1981.
Dalam kolomnya tersebut, Buya Hamka antara lain ditulis: ” Sejak Juli 1975 MUI berdiri lebih menyukai kerukunan hidup beragama. Pihak Islam menerima anjuran itu dengan baik. Tetapi terus terang kita katakan bahwa bagaimana batas-batas kerukunan itu, belum lagi kita perkatakan secara konkrit!
Maka terjadilah di Jawa Timur, adanya larangan dari Kanwil P dan K menyiarkan satu karangan yang menerangkan 'aqidah orang Islam, bahwa Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan. Arti ayat Lam yalid walam yuulad ini dihukum, dengan alasan bahwa karangan berisi satu ayat yang bertentangan dengan kerukunan hidup beragama.
Sekarang keluar FATWA dari ulama-ulama, bukan dari Majelis Ulama saja, melainkan disetujui juga oleh wakil-wakil dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya, bahkan juga dari Majelis Da'wah Islam (yang berafiliasi dengan Golkar) dalam pertemuan itu timbul kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut dalam Anugerah Natal itu adalah mencampuradukkan ibadat, yang menyatakan bahwa Isa Almasih 'alaihissalam sebagai Tuhan.
Dan di dalam logika tentunya sudah dapat diimplementasikan, bahwa hadir di sana menyatakan persetujuan pada 'amalan iu, apatah lagi jika turut pula dalam lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti yang menurut `aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah Yesus! Maka orang Islam yang menghadirinya oleh ayat: (Barangsiapa persetujuan dengan mereka, termasuklah dia dalam golongan mereka) (Al-Maidah: 51). Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram?
Maka bertindak ”Komisi fatwa, dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H. Syukri Gazali menyatakan pendapat itu dan dapatlah menunjukkan bahwa turut serta Hari Hatal adalah Haram!”
Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir. Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, masalah ini didiamkan. Tanggung jawab sebagai ulama menyebabkan para ulama merasa berdosa kalau hal ini didiamkan saja. ”
*****
Demikianlah, keyakinan keyakinan antara Kristen dan kaum Muslimin telah berlangsung selama ratusan tahun. Kita tentu saling menghormati keyakinan masing-masing dan bersepakat membangun negeri kita, menjadi negeri yang damai, adil, makmur, hebat dan bermartabat. Wallaahu A'lam bish-shawab . (Depok, 22 Desember 2020).
Komentar
Posting Komentar