Turki, Islam, dan Psikosomatik Barat

Turki, Islam, dan Psikosomatik Barat 

Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
(Anggota Bidang Pemikiran lslam DDII, Jatim)

Erdogan dan Turki akan muncul menjadi salah satu  negara adikuasa di kalangan umat Islam. Bila ini terjadi akan ada sebuah negara muslim yang menjadi penyeimbang kekuatan negara adikuasa lain selama ini seperti Amerika. Dalam konteks persaingan ekonomi dan politik, keberadaan negara muslim tersebut boleh jadi akan mengganggu kenyamanan negara tertentu yang selama ini menghegemoni dunia. Karena itu wajar  bila sebagian memandang bahwa di dalam negara  ini (Turki) perlu diciptakan kerusuhan (proxy war) agar tidak muncul rival yang membahayakan hegemoni mereka (Hasbi Amiruddin, Erdogan, Tokoh pemimpin Islam di negara sekuler, 2021, hal 127-128)

Turki dan Sejarah Gemilang

Kutipan di atas pentingntuk dijadikan bahan renungan sebagai landasan berpikir bagi para intelektual muslim dalam memahami cara berpikir Barat yang tidak menginginkan dirinya tersaingi. Seolah menjadi tabiat bahwa Barat merasa yakin bahwa dirinya tertinggi dan pihak lain rendah atau hina. Oleh karena merasa tinggi hati, maka keinginan untuk menghegemoni pihak lain, tak terelakkan. Terlebih lagi yang menjadi pesaingnya adalah negeri-negeri kaum muslimin. 

Turki selama ini, sebelum kepemimpinan Erdogan, menjadi mitra dan bahkan sebagai kepanjangan tangan dari peradaban Barat untuk menghadang perkembangan Islam. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum Erdogan berkuasa, Turki dikendalikan oleh penguasa berideologi sekuler sementara peradaban Turki selama 700 tahun mendasarkan ideologi bernegaranya pada Islam. Dengan Islam, Turki pernah memiliki sejarah sebagai negara besar. Nilai-nilai Islam menjadi akar keagungan bangsa 
Turki hingga muncul rezim sekuler Mustafa Kemal Attaturk. Sebagai pemimpin militer memerintah dengan tangan besi dengan mengganti semua simbol Islam dalam kehidupan bernegara. 

Terjadi beberapa kali kudeta militer ketika pemimpin Turki menampakkan simbol keislaman dan ingin menyuarakan terimplementasinya nilai-nilai Islam. Implikasinya, masyarakat Turki harus menahan diri dalam tekanan karena harus mengikuti tradisi yang memisahkan dengan Islam. Sekularisme telah menjadi ideologi yang mengancam warga negara Turki yang ingin menghidupkan tradisi Islam. Tidak sedikit dari aktivis muslim yang mendekam di dalam penjara karena memperjuangkan nilai-nilai Islam. Larangan mengenakan jilbab bagi muslimah di kantor-kantor pemerintahan atau layanan publik merupakan hal yang ironis. Hal ini tentu kontras dengan mayoritas warganya yang menganggap mengenakan jilbab sebagai salah satu ajaran agama. 

Sebagai negara yang pernah memiliki sejarah gemilang, Turki dipandang sebagai bahaya laten bagi masyarakat Barat. Tujuh ratus tahun dengan nilai-nilai Islam menjadikannya sebagai negara besar. Namun karena adanya sekularisasi membuat Turki berubah haluan menjadi negara yang berkiblat pada Barat. Sat ini, diakui atau tidak, Turki dengan kepemimpinan Erdogan dipandang sebagai ancaman bagi negara-negara Barat. Erdogan telah memimpin Turki dan menjadikan negaranya mandiri dan maju serta berani berdiri tegak dalam melawan kedzaliman yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Turki banyak memberikan kontribusi terhadap negara-negara Islam yang mengalami kesulitan ekonomi dan politik. 

Kalau selama ini negara mayoritas muslim selalu menjadi budak Barat. Maka kahadiran Erdogan seakan membalik tangan dunia. Dengan prestasi yang demikian besar, apa yang diraih Erdogan justru mengalami pengerdilan, dan Barat selalu menjadi sponsor. Salah satunya kasus terbaru adalah adanya upaya kudeta terhadap Erdogan pada tahun 2016, namun gagal. Erdogan mencurigai Barat sebagai pihak yang berperan besar dalam peristiwa kudeta pada pemerintahannya. Barat tidak mungkin terlibat langsung dalam melakukan kudeta, tetapi mereka menggunakan tangan-tangan yang sejalan dengan pemikiran mereka. 

Indikator yang kuat, Barat menggunakan tangan-tangan kelompok militer-sekuler yang selama ini merasa terusik dengan langkah politik Erdogan.

Sebagaimana peristiwa sebelumnya, militer merupakan ancaman laten yang sewaktu-waktu bisa menjatuhkan kekuasaan seorang pemimpin yang menyuarakan nilai-nilai Islam dan ingin mengimplementasikannya.

Turki yang selama ini dipimpin oleh militer-sekuler, dan tersingkir oleh Erdogan tentu saja mudah untuk dijadikan alat politik Barat untuk come back mengambilalih Turki. Namun rakyat Turki yang demikian cinta pada Erdogan. Kecintaan pada Erdogan karena prestasi yang membanggakan, dan menopang kembalinya spirit Islam yang selama ini tenggelam oleh ideologi sekuler yang berkiblat pada Attaturk. Pembelaan terhadap Erdogan tidak bisa dipungkiri karena Erdogan memegang prinsip Islam dan hal itu selaras dengan aspirasi rakyatnya. 
 
Barat dan Psikosomatik 

Ancaman Barat terhadap kepemimpinan di negara Turki tidak lepas dari sindrom psikosomatik. Kalau dalam dunia media, psikosomatik merupakan gangguan jiwa karena adanya kecemasan, sehingga menyebabkan sakit pada fisik. Demikian pula yang terjadi pada Barat, mereka mengalami psikosomatik begitu melihat pemimpin dunia Islam mengalami kemajuan dan perkembangan peradaban yang progresif. Dirinya merasa terancam dan ingin menunjukkan supremasinya dengan cara ingin melenyapkan pihak-pihak yang memiliki prestasi gemilang. Mereka resah dan panikan serta berupaya untuk menghancurkannya.

Salah satu di antara penyebab timbulnya psikosomatik di kalangan Barat ini karena adanya pikiran negatif ketika melihat kemajuan Turki yang demkian pesat. Upaya-upaya provokatif untuk membentuk opini negatif terhadap pemerintahan Turki saat ini serta terus  mendiskreditkan pemerintah Erdogan merupakan fenomena psikosomastik Barat. 

Mereka menggunakan tangan-tangan kaum militer-sekuler Turki yang pernah berkuasa untuk menjatuhkan Erdogan, hingga muncul peristiwa kudeta pada 15 Juli 2016. Salah satu di antara faktor kegagalan kudeta itu karena dukungan rakyat Turki dan kecintaannya pada Erdogan dan muaknya terhadap militer yang sekularistik. Rezim militer-sekuler inilah sebagai biang tenggelamnya nilai-nilai Islam di Turki. Rakyat Turki berani mati untuk menggagalkan upaya kudeta dan berupaya mati-matian mempertanahkan presidennya. 

Apa yang terjadi pada Turki merupakan cermin untuk memotret wajah Barat  dalam memandang perkembangan dan upayanya untuk membonsainya. Barat tidak menginginkan peradaban Islam berkembang. Mereka ingin memperbudak negara-negara Islam dengan mengambil sumber daya alamnya untk mereka manfaatkan sesuai dengan kepentingannya. Barat senantiasa menggunakan kelompok-kelompok sekuler yang berorientasi duniawi sehingga mudah diperalat oleh Barat. Kelompok sekuler ini merasa melakukan yang terbaik bagi Islam, padahal mereka menghancurkan dari dalam. Hal ini merupakan fenomena global bahwa kelompok sekuler merupakan pintu masuk yang paling efektif untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Surabaya, 22 Juni 2021

Editor: Sudono Syueb

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi