Di Tepian Cakrawala
Di Tepian Cakrawala
Kayla Untara
(Kolumnis Budaya dan Sosial)
Kabar duka hadir bertubi-tubi di semester pertama tahun ini. Di pembuka tahun baru, kepergian seorang Didi begitu memukul, tak hanya sebagai sejawat dalam Persyarikatan Muhammadiyah, namun lebih ada hal yang lebih personal dari itu. Setelahnya satu persatu kabar duka itu merebak di group-group WA dan medsos. Dari orang yang kita kenal baik, akrab, atau sekadar mengenal saja.
Ucapan belasungkawa bersilewer hampir tiap hari. Sedihnya, sebagiannya adalah orang yang pernah kita kenal, bernaung di satu organisasi, dan mereka yang selama ini memiliki dedikasi bagi Persyarikatan.
Ulun seringkali berusaha mengingatkan diri sendiri bahwa pada tiap kematian selalu mengajarkan akan ketidakberdayaan. Bahwa dalam lipatan waktu, terselip belati maut yang terhunus menunggu. Sebab kematian adalah keniscayaan. Pasti datangnya, yang entah bila.
Bukankah hidup laksana perjalanan sebuah perahu yang mengapung di atas air dengan berbatas sekeping papan, tipis sekali. Berlayar dari dermaga menuju dermaga. Seringkali kita bertanya, apakah sudah cukup bekal pengayuh untuk kita mampu berlabuh. Sedang matahari pagi akan terus berlari. Menuju tepian garis cakrawala. Mengabarkan bahwa senja akan tiba.
Dan kita semua akan ada di sana.
(HST, 30/07/21)
Komentar
Posting Komentar