Perilaku Ateis yang Tak Konsisten

Perilaku Ateis yang Tak Konsisten

Dr. Slamet Muliono Redjosari
(Pengurus DDII Jatim bidang Pemikiran Islam)

Ateis adalah orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Tapi, benarkah mereka sepenuhnya tak percaya akan kehadiran Tuhan? Benarkah mereka tak butuh pertolongan Tuhan? Tentang ini, Al-Qur’an punya jawaban yang tepat sekaligus menarik.  

***

Tidak sedikit manusia yang menolak keberadaan Allah sebagai pencipta alam semesta ini. Allah sebagai Tuhan dipandang sebagai ilusi atau bayangan manusia yang tertindas di tengah kehidupan ini. Mereka merasa dirinya muncul di dunia ini secara alamiah. Artinya mereka hidup di dunia muncul dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan Tuhan. 

Pemahaman tersebut membuat mereka merefleksikan diri untuk tidak membutuhkan siapa pun, termasuk butuh bantuan atau campur tangan Tuhan. Namun Allah menunjukkan bahwa tidak ada satu pun manusia yang menolak kehadiran Tuhan. Allah memberi bukti bahwa ketika situasi darurat atau terdesak, manusia memanggil-manggil Tuhan yang selama ini mereka ingkari. Ketakutan akan kematian membuat mereka mengakui keberadaan Tuhan. 

***   

Manusia yang seringkali menggunakan nalarnya justru terjerembab dalam kekerdilan. Mereka terkadang menentang keberadaan Tuhan untuk menunjukkan eksistensi dirinya sebagai manusia merdeka. Kemerdekaan dirinya akan semakin kokoh bila menghilangkan eksistensi Tuhan. Menolak keberadaan Tuhan dipandang sebagai jalan untuk menunjukkan dirinya kuat. Sementara terhadap manusia yang selalu mengagungkan Tuhan, bukan hanya dipandang sebagai manusia lemah tetapi juga menunjukkan sebagai manusia kerdil yang tidak memiliki nalar sehat. 

Akal yang mereka miliki bukan untuk jalan mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi justru menjauhkannya dari eksistensi ketuhanan. Alih-alih mengakui kebesaran dan keagungan Tuhan, mereka justru mengkerdilkan dan menghilangkan eksistensi Tuhan di tengah kehidupan. Cara berpikir kaum ateis (menolak keberadaan Tuhan) bukan hanya menginginkan kebebasan dari syariat tetapi juga ingin membebaskan dirinya dari campur tangan Tuhan. 

Namun Allah justru menunjukkan cara yang bisa dinalar oleh siapapun ketika menampilkan realitas yang sering dihadapi manusia. Allah menampilkan sebuah narasi tentang kebutuhan manusia terhadap campur tangan Tuhan. Dalam situasi terdesak dan takut, manusia menghadirkan dan memanggil-manggil Tuhan. 

Allah mengilustrasikan betapa kecil diri manusia di saat menghadapi goncangan dahsyat, ketika berada di tengah laut misalnya. Pada saat itu, manusia merasa dirinya terancam dan akan hilang nyawanya karena ombak yang begitu besar. Pada saat itu, nalar yang selama ini dipandang sebagai kompas dalam memandu kehidupan, tidak lagi mampu dan tenggelam di hadapan ombak besar. Allah mengilustrasikan situasi mencekam itu, yang telah menghilangkan fungsi nalar itu, dan memunculkan jiwa ketuhanan. Berikut firman Allah menggambarkan situasi tersebut: 

_“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): ‘Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur’."_ (QS Yunus [10]: 22). 
                                                                                                                                                                                                ***
                                                                                                                                                                                              Di saat situasi aman dan menikmati kenyamanan dalam kapal, manusia tidak pernah merasakan campur tangan Tuhan. Saat itu, manusia tidak sadar akan peran Allah dalam mengendalikan angin dan ombak di tengah laut. Manusia baru menyadari bahwa dirinya lemah dan butuh ketenangan ketika datang gelombang ombak yang tidak mampu dikendalikannya. Pada saat terkepung bahaya besar itulah manusia memanggil-manggil sang Penguasa (Allah) yang selama ini diingkarinya. 

Nyawa yang sudah di ambang lenyap, secara spontan harus diselamatkan. Nalarnya sudah tidak mampu untuk menyelamatkan diri dari kepungan gelombang ombak. Pada saat itulah manusia berdoa. Bukan hanya berdoa, dalam situasi terjepit ini manusia juga mengobral janji. Mereka mengobral janji akan mengakui eksistensi Tuhan dan akan menjadi hamba yang tunduk dan patuh terhadap  hukum Tuhan. 

Allah lalu menunjukkan watak keras kepala dan hilangnya nalar balas budi manusia terhadap Dzat yang telah menyelamatkan jiwa mereka. Alih-alih mematuhi hukum Tuhan, mereka justru melakukan pengingkaran terhadap Dzat yang baru saja  mereka “panggil-panggil” untuk meminta tolong. Mereka menciptakan kemaksiatan baru. 

Allah menggambarkan hal di atas, sebagaimana firman-Nya: _“Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”_ (QS Yunus [10]: 23).

Begitu diselamatkan dari bahaya, manusia ateis bukan hanya melupakan peran Tuhan, tetapi justru melakukan kedzaliman baru. Begitu sampai di daratan, mereka berpesta merayakan terbebasnya mereka dari bahaya amukan ombak. Misalnya, mereka berpesta minum minuman keras sebagai ungkapan rasa suka atas kemampuan nalarnya sehingga bisa terbebas dari kematian. Tuhan yang tadinya “dipanggil-panggil”, bukan hanya dilupakan tetapi dihilangkan dari dirinya. 

Bahkan mereka sudah melupakan janjinya untuk bersyukur dan janjinya akan berbuat baik. Mereka lupa, bahwa ketika kapal hampir tergulung ombak besar mereka begitu dekat dengan Tuhan. Saat itu, mereka sangat bersungguh-sungguh meminta pertolongan-Nya. 

Sebagai kesimpulan, tidak ada manusia yang benar-benar ateis. Manusia, di dalam hati kecilnya, pasti punya naluri terhadap adanya Tuhan. Hanya saja, pada sebagian orang naluri itu tertutupi oleh sifat sombong dan kecenderungan untuk lupa diri. 

Ed: Sudono Syueb

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi