Menakar Kemuhammadiyahan Kader dalam Pusaran Mulyonoisme

 

Menakar Kemuhammadiyahan Kader dalam Pusaran Mulyonoisme


Bukhori At-Tunisi

(Penulis buku: Logical Fallacies, Kritik al-Qur'an atas Logika)

Tulisan ini dita’lif di awal-awal pasca pengumuman Kabinet Merah Putih. Boleh jadi sudah out of date, namun subtansi tak lekang dimakan waktu, relevan saja untuk dinalar, karena tokoh yang “mewakili” persyarikatan—menurut versi ‘muhibbin’ WA—masih aktif di dalam kabinet sehingga bisa dibaca kiprahnya: Ber-amar ma’ruf dan nahyu ‘an munkar ataukah sebaliknya: Ber-amar munkar dan nahyu ‘an maruf?

Tanggal 20 Oktober 2024, merupakan hari bersejarah bagi presiden terpilih, saat mengumumkan kabinet Merah Putih. Di WA, Facebook, IG, dan seterusnya, berseliweran gambar para tokoh yang diangkat menjadi menteri atau wakil menteri. Yang berasal dari keluarga Muhammadiyah, memposting tokokh-tokoh MD yang jadi menteri atau wamen. Yang dari Nahdlatul Ulama’ memposting tokoh NU yang jadi menteri atau wamen. Yang dari HMI, PMII, mantan wartawan, atau alumni kelompok tertentu, juga seperti itu, sama-sama merayakan, minimal "share" gambar di WA. “Ada rasa bangga,” ketika kelompok mereka “terwakili”. Di Indonesia, apa yang tidak dibanggakan, jangankan jadi menteri, apalagi presiden, semuanya dibanggakan dan jadi cerita bersambung yang tidak ada habisnya. Jadi ketua RT saja, ceritanya viral se-Indonesia. Namun jangan sampai “hadiah” tersebut seperti hadiah “balon udara” untuk “anak-anak”, yang hanya sekedar untuk menyenang-nyenangkan hati anak, habis itu kempes bahkan boleh jadi meledak, habis lah cerita. Yang ada, tinggal cerita hadiah pemanis, biar tidak nangis.

Lalu apa setelah bangga-banggaan, pesta-pesta, atau “syukuran”? bisakah membawa gerbong yang berderet dari realisasi janji yang dikumandangkan? Bisakah akuntabilitasnya dipercaya? Misinya membela rakyat, lalu realnya ternyata membela kepentingkan oligarkhi? Mewakili organisasi ataukah mewakili kepentingan kelompok tertentu, atau menjadi menteri karena disodorkan tokoh atau kelompok tertentu untuk mewakilkan kepentingan mereka?

Wajar, mereka merayakan euphoria kemenangan, sebagai “pesta” keberhasilan mengalahkan lawan, karena, “ghanimah” (rampasan perang) pun, yang asalnya milik musuh, now dihalalkan. Ghanimah bisa dikelola menjadi sangat humanis dan mensejahterakan, manakala pengelolanya penguasa yang adil. Tanah rampasan di Siria, Irak, dan Persia, di tangan Khalifah Umar ibn Khattab, mampu mensejahterakan masyarakat setempat dan para ‘askar, pegawai, dan pejabat kekhalifahan Madinah, tanpa membagi-bagikan “an sich” kepada para ‘askar’ (tentara) yang terjun langsung dalam misi pembebasan daerah-daerah tersebut, bukan euphoria apalagi foya-foya dengan rampasan perang yang diperoleh [?]

Penguasa sekarang dan Kabinet Merah Putih-nya boleh merayakan kemenangan mereka dan mengatur kekuasaan yang sekarang mereka pegang. Namun ingat! Negara ini negara republik, bukan negara kerajaan, bukan pula negara milik keluarga. Kekuasaannya harus dibatasi, kekuasaannya tidak mutlak, tanpa batas dan tanpa aturan, lalu dikelola semaunya sendiri. Negara ini juga bukan pula warisan keluarga (dinasti) yang turun kepada anak atau keluarga tertentu saja, karena negara ini dimerdekakan dan didirikan oleh banyak pihak dan bukan hanya pihak tertentu; oleh banyak orang dan bukan oleh orang atau keluarga tertentu saja.

Negara ini juga bukan seperti negerinya Ken Arok, negeri yang dipimpin mantan berandal, yang sukses menjadi penguasa, setelah membunuh Raja Tunggul Ametung, sehingga mengelola kekuasaannya menurut seleranya sendiri, karena kekuasaan yang digenggam diperoleh atas kehebatannya sendiri. Namun, jangan membusungkan dada dulu, bila nanti dapat "karma" atas perbuatan jahatnya sendiri: Ken Arok mati dibunuh Anak Tunggul Ametung, untuk membalas kematian ayah kandungnya sendiri. “Karma” (Jw: balasan, jaza' [Ar]): Pembunuh mati terbunuh (darah dibalas darah), dalam adat Jawa disebut "Karma". 

Kekuasaan memang manis, sehingga banyak semut yang mengerubutinya. Kata pepatah, “Ada gula ada semut.”  Setiap ada penguasa pasti ada pendukung dan penjilatnya yang cari "gula" (makanan). Padahal kekuasaan kata Lord Acton, “Power tend to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak, pasti korup). Pemegang kekuasaan pasti cenderung korups? Tentu “ya”, sebagaimana yang dikemukakan Lord Acton. Karena itu, kata Mahfud MD, “Kekuasaan harus dicurigai, siapa pun itu yang berkuasa, karena kekuasaan sangat bertendensi untuk korup.” Karena bertendensi korup, maka kekuasaan harus diawasi dan dikritisi, jangan dipercaya 100 % akan amanah, dapat dipercaya, akuntabel, dst., kata Prof. Mahfud MD. Di sinilah pentingnya ada oposan, kekuatan pengimbang (balancing), dapat dengan kritik, koreksi, dan alternatif pemikiran yang berbeda dengan kekuasaan. Eksistensinya ada bukan karena dendam, oposan diperlukan untuk mengontrol agar tidak korup, mencegah merajalelanya perbuatan melawan hukum, dan melawan kesewenang-wenangan, karena negara ini milik semua anak bangsa ini, bukan milik orang per-orang, keluarga, atau kelompok tertentu, sehingga kekuasaan tidak diperuntukkan untuk dan hanya orang atau keluarga tertentu saja, namun untuk semua.

Dalam sejarah kenabian, para nabi adalah oposan kekuasan despotik, an sich, melawan kekejaman para penguasa yang zhalim. Para nabi adalah tokoh yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan otoriter, tidak mau disogok kemewahan duniawi dan jabatan. Misi profetik kenabian adalah menegakkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan Masyarakat. Dalam pendekatan struktural, oposan menjadi bagian dari “determinisme historis” –minjam istilah Marx__ untuk menjaga ekuelibrium kekuasaan; termasuk oposan yang dikomandani para nabi, meskipun secara kuantitatif, minoritas.

Apakah ada kekuasaan yang tidak korup, tentu ada. Sejarah kekuasaan juga sama dengan sejarah ilmu pengetahuan, falsafah, sastra, dan lainnya. Ada sejarah kelam juga ada sejarah cemerlangnya; ada masa buruk dan ada masa bagusnya. Kekuasaan kenabian adalah contoh kekuasaan yang berkeadilan dan tidak korup. Al-Farabi mentashawwurkan negara ideal dengan istilah “al-Madinah al-Fadlilah” (Negara Utama), negara penuh keutamaan, keberkahan, kesejakteraan, dan keadilan. Ia bukan utopia, bukan angan-angan, atau impian belaka. Ia nyata, ia benar-benar ada. Itulah negara yang dipimpin oleh para Nabi, negeri yang pernah dipimpin oleh Nabi Dawud (David), Nabi Sulaiman (Solomon) di Palestina, Nabi Muhammad di Madinah al-Munawwarah.

Oleh sebab itu, Plato mengusulkan bahwa kekuasaan harus dipimpin oleh para filosof (hukama, para ahli hikmah), karena pemimpin harus intelek, pintar, tidak plonga-plongo. Para filosof adalah orang yang memiliki moral, tidak mudah tergoda, dan konsep pemikirannya jelas, terang, dan mencerahkan. Yang difikirkan  bukan ego kekuasaanya, namun pendidikan, kesejahteran, dan kemashlahatan rakyat banyak. Dalam Sejarah Islam, Khulaur Rasyidin, adalah bukti riel pengejawantahan ide yang pernah digagas Plato tersebut. Mereka adalah para hukama yang mempuni secara spiritual dan kecerdasan intelektual yang luar biasa. Mereka hafal al-Qur’an dan faham kemajuan zaman. Capaian mereka seolah-olah menciptakan Negeri Impian, yang hampir mustahil diwujudkan, sekarang jadi kenyataan. Pemimpinnya adil, rakyatnya sejahtera. Pemimpinnya cinta rakyat, rakyat juga mencintai pemimpinnya. Rakyat tidak takut kepada pemimpin, karena pemimpinnya mengayomi rakyat; rakyat tidak melawan pemimpin, pemimpin pun tidak semena-mena kepada rakyatnya. Para pejabat, tidak rakus dan tidak korup pula.

Dalam sejarah kerajaan Nusantara, pernah juga ada kerajaan penuh dihiasi keadilan, Kerajaan Kalingga, saat dipimpin Ratu Shima. Ratu keadilan, Sang Ratu yang menghukum potong tangan anaknya karena melakukan tindak pidana. Di Atjeh, di Kesultanan Samudera Pasai, kekuasaan adil pernah dirasakan rakyat, saat dipimpin Sultan Iskandar Muda, Sang Raja berani menegakkan hukum yang adil, berani menghukum putra mahkota, anaknya sendiri, karena berbuat asusila. Bukan seperti Indonesia now, hukum pilih-kasih, memihak, menginjak oposan dan mengankat tinggi kawan. politiknya, politik Belah Bambu, --minjam kata yang sering ditulis Buya Syafii Ma’arif--, melindungi pejabat korup yang penting mendukung kepentingannya, dan membabat pejabat korup yang tidak mendukungnya. Lembaga hukum diperalat untuk mendukung kelanggengan kekuasaannya. Di saat rakyat susah mencari pekerjaan untuk mengisi perutnya yang keroncongan, malah mempersiapkan pekerjaan anaknya menduduki jabatan yang akan ditinggalkan.

Hari ini, banyak grup WA, Facebook, IG, Tik-Tok, dan lainnya, menshare gambar dan nama-nama tokoh Muhammadiyah yang menjadi Menteri pada Kabinet Merah Putih. Mungkin ada bagian dari warga Muhammadiyah yang merasa bangga, karena tokoh yang didukung menang Pilpres, ketika presiden terpilih dilantik dan mereka merayakan kegembiraan tersebut. Walau banyak juga warga Muhammadiyah yang biasa saja atas pelantikan presiden karena mereka tidak memilih pasangan presiden yang sekarang dilantik.

Kader Muhammadiyah masuk lingkaran kekuasaan, mau mengambil posisi apa? Mencontoh kekuasaa profetik para nabi? Ataukah mencontoh kekuasaan despotic Namrud, Fir’aun, Pol Pot, Hitler, Mushollini, dan lainnya? Menjadi pejabat yang berkeadilan atau menjadi bagian dari kekuasaan yang korup? Menjadi Masithah, pejabat internal istana namun punya idealisme membela kebenaran? ataukah menjadi Haman, ilmuwan penyokong kekuasaan lalim Fir’aun? Semua kembali kepada pribadi masing-masing pejabat yang diangkat, dan endingnya terbaca saat menjalankan jabatannya.

Kader yang diangkat, bisa kader biologis, bisa juga ideologis. Disebut kader biologis, karena genetiknya berasal dari dzurriyat bapak, ibu, atau kakek nenek buyutnya sebagai aktivis Muhammadiyah. Kader ideologis, karena aktif di Muhammadiyah atas kesamaan visi dengan ideologi Muhammadiyah. Kemuhammadiyahan kader, adalah karena idelogi Muhammadiyahnya. Walaupun secara geneologis berdarah Muhammadiyah, namun ideologinya bukan Muhammadiyah, ya bukan Muhammadiyah. Apalagi yang tidak ada darah biologis juga tidak secara ideologis, maka lebih bukan kader Muhammadiyah.

Di antara ciri Muhammadiyah adalah sikap kritis, tidak menerima begitu saja (taqlid) postulat, pernyataan, ide, gagasan, sikap, person, tokoh, yang semuanya dianggap kebenaran. semua harus disikapi secara rasional (ta’aqquli) dan kritis (naqdiyah). Kritisisme sudah menjadi makanan pokok warga Muhammadiyah, termasuk kepada keputusan, ide, atau otoritas tokoh Muhammadiyah itu sendiri. Implikasi dari prinsip ini, tentu juga berlaku untuk yang disebut sebagai “kader” Muhammadiyah yang saat ini menjabat Menteri Kabinet Merah Putih! Mendasarkan pada doktrin Muhammadiyah: sebagai Gerakan pembaharuan (kreatif, inovatif, tidak menipulatif) dan “Amar ma’ruf, nahi munkar,” sikap kritis sudah menjadi tradisi (‘adat [muhakkamah]) Muhammadiyah. Gagal menjadi warga Muhammadiyah bila tidak berfikir kritis, tidak berfikir logis, dan membebek, ngembek, dan jadi corong “mulut” kekuasaan, hanya untuk cari makan dan jabatan. Warga Muhammadiyah, termasuk yang jabat menteri untuk tetap kritis dan tidak anti kritik, tidak berubah saat menjabat, lalu menjadi anti kritik dan otoritarian. meski misalnya tanpa harus berkeor-koar di luar, karena now berada "di dalam", justru otoritasnya sekarang lagi ada di dalam, ide-ide berkemajuan, rasional, dan inovatif, harus ditampakkan dan diejawahtankan dalam kenyataan, meski tanpa harus kehilangan sikap sebagai seorang "vokalis", namun nampak dalam realitas kiprah kesejarahannya saat berkuasa.

Mengaca kepada track record “masa lalu” yang sekarang menjabat Menteri. Ada optimis dan sekaligus pesimis. Kita ambil contoh dulu yang pernah menjabat, sehingga menjadi teladan dan pijakan, bahwa menjadi kader Muhammadiyah haram untuk larut ke dalam arus kekuasaan otoritarian dan despotik, lalu lupa pada DNA geneologis kemuhammadiyahannya.

Alhamdulillah, saat menjabat menjadi menteri atau badan tertentu, tokoh yang menduduki jabatan tersebut [mengaku] Muhammadiyah, walaupun ada yang tidak dikenal aktif di kegiatan kemuhammadiyahan, di samping yang dikenal karena memang aktif dan pernah menjabat di puncak jabatan di Muhammadiyah, baik di ortom (organisasi otonom) maupun bukan ortom.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Amien Rais, adalah kader biologis dan ideologis Muhammadiyah. Walaupun statusnya PNS dosen dan jabatan lainnya, juga pernah menjabat sebagai salah satu ketua di jajaran ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pusat—waktu itu sangat prestisius. Pak Amien tidak larut ke dalam arus kekuasan Orde Baru, tidak memuja-muja, dan membela kekuasaan Soeharto, bahkan kritiknya sangat tajam kepada penguasa. Zaman menjadi ketua MPR, sikap kritisnya kepada kekuasaaan Gus Dur terjaga, kritis kepada Megawati, SBY, hingga Jokowi. Sikap kritisnya tetap tajam dan konsisten hingga sekarang.

DR. Busyro Muqoddas, saat menjadi salah satu pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) RI, bisa menunjukkan tajinya untuk mengganyang koruptor, tidak tebang pilih, dan konsiten untuk memberantas korupsi. Track record dalam melakukakan pembelaan hak asasi manusia juga sangat bagus, concern membela kaum tertindas dan terzhalimi oleh kekuasaan. Di samping juga ada nama beken lain seperti DR. Bambang Wijoyanto yang banyak bergelut di bidang pembelaaan orang miskin dan terpinggirkan saat di YLBHI bentukan DR. Adnan Buyung Nasution.

Itulah di antara pendekar pejuang hak asasi manusia dan kebebasan politik kader Muhammadiyah untuk diberi apresiasi di saat mereka ada di dalam kekuasaan. Karena Muhammadiyah juga memiliki catatan kurang sedap[1] saat ada kader yang diposting di grup-grup WA, yang diangkat menjadi salah satu dari 109 pembantu presiden, merubah haluan dari penyambung lidah rakyat tertindas dan termarjinalkan, suaranya menjadi sunyi senyap untuk konsisten dalam membela kaum lemah dan termarjinalkan, lalu menjadi pembela murni “tuan” baru yang menjadi junjungan karier politiknya. Sebelum menjadi jubir capres-wapres 2019 dan terutama tahun 2024, bahasanya sangat santun, berkelas, dan tertata rapi, bahkan berani berhadapan dengan Densus 88 saat membela dengan keras kematian Siyono (yang bukan kader Muhammadiyah) dari Klaten di tangan Densus 88.[2] Namun berubah drastis, belakangan saat pilpres 2024, termakan oleh hiruk-pikuk joget gemoy oligarkhi dan gaya retorika pemimpinnya yang suka merendahkan yang lain, kesantunannya hilang dan mengatakan Anies Baswedan sebagai lawan politik mantan ketua PP Pemuda Muhammadiyah ini, sebagai: “Orang bengis”.[3] Yang langsung dibalas oleh Tegus Juwarno saat Talk Show di TV swasta, yang sama-sama aktivis Muhammadiyah, sebagai “Tokoh yang sudah berubah”. Padahal yang dikata-katai adalah kader Muhammadiyah yang memiliki reputasi politik yang cemerlang, bahasanya santun, tertata rapi, berkelas, dan intelek, pembela rakyat, serta berani dengan kekuasaan pusat, walaupun “sendirian”. Pembatalan proyek Reklamasi Teluk Jakarta yang syarat dengan kepentingan aseng contoh nyatanya.[4]

Penggantinya lebih parah, menjadi jubir (juru bicara) dan operator kekuasaan Mulyono di kalangan Pemuda Muhammadiyah. Sehingga yang awalnya PP Pemuda Muhammadiyah memiliki reputasi tinggi di kalangan pejuang anti kekuasaan korup dan nepotik, turun ke derajat yang paling rendah. Gerakan kepemudaan yang seharusnya penuh gairah untuk belajar menempa diri untuk beramar ma’ruf nahi munkar, perannya berubah menjadi boyguard kekuasaan dan juru penerangan penguasa. Tidak ada kritik sama sekali terhadap kekuasaan korup dan nepotis dan oligarkhinya.

Begitu juga ada mantan ketua Ortom Muhammadiyah yang masuk partai yang anti agama [tentu yang dituju: Islam], partai pejuang sekularisme, bahkan menyatakan diri sebagai penganut “Mulyonoisme”. Bagaimana seorang kader, di depan matanya ada yang kampanye dengan mulut berbusa-busa saat pidato menyasar “Islam Politik” dan anti agama, nepotis, serta pejuang Mulyonoisme yang jelas-jelas kontradiktif dengan sikap Muhammadiyah yang anti kemunkaran, bersikap kritis, anti taqlid, anti kultus, dan lainnya, terutama menghalalkan segala cara untuk berkuasa, lalu begitu nyaman duduk di dalam partai tersebut. Di mana nilai identitas kader Muhammadiyahnya? Jika tujuannya hanya posisi, kekdudukan, jabatan, dan menghalalkan jalan apa saja. Begitu juga saat pilpres, bagaimana mendukung pasangan yang dinyatakan melanggar etika, menggunakan kekuasaan untuk menekan pemilih agar memilih pasangan yang didukung kekuasan melalui “cawe-cawe” presiden berkuasa, dan itu jelas-jelas “abuse of power”, juga melawan cita-cita reformasi yang ingin memberantas KKN (Korupsi, kolusi, dan Nepotisme) yang diformalkan dalam Tap MPR RI. Bagaimana pasangan capres dan cawapres hasil nepotis ini didukung, yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat egalitarianisme Muhammadiyah dan semangat amar ma’ruf dan nahi munar?

Yang lain, di struktural Muhammadiyah dan aktifitasnya, kurang dikenal. Ada yang dikenal, namun lebih dikenal sebagai aktifis politik “haraki” daripada politisi Muhammadiyah, sehingga lebih mewakili gerakan mereka daripada gerakan Muhammadiyah, plus omongannya di pilpres kemarin pun, mencerminlan “perubahan” yang signifikan dari garis perubahan terjebak ke barisan “nepo”.

Ada yang baru dan betul-betul baru jabat, tahu-tahu ada di barisan Kabinet Merah Putih. Apakah mendudukinya karena “terimakasih” ataukah karena kemauan “merangkul” pemuda modernis? Atau kelanjutan dari ketua sebelumnya yang sangat Mulyonoisme.

Bandingkan dengan tokoh reformasi Prof. Amien Rais. Hanya untuk mendidik bangsa taat pada aturan hukum dan memberi contoh etika politik, tidak kemaruk kekuasaan, ditawari posisi presiden, ditolak. Bukan menggunakan instrumen apa saja untuk menjadi penguasa, misalnya melanggar konstitusi, etika, dan aturan lainnya. Bahkan partai yang didirikan pasca reformasi, padahal dikelilingi tokoh-tokoh “sekular”, anti Islam politik, nuansa religiusnya masih kentara, karena itu disematkan kata “amanat” yang bernuansa Arab dan Islam. Tidak serta merta membuat partai sekular karena dikelilingi dan disokong kelompok anti Islam politik, walaupun sama-sama aktivis reformasi. Lebih-lebih sikap kritisnya kepada kekuasaan tetap menyala, tidak bersikap buta, tuli, dan bisu kepada kekuasaan yang korup dan melenceng. Seorang tokoh pernah bilang untuk Pak Amien, “Sekolah di Chicago, hati tetap di Madinah.”

Untuk sementara, Prof. Abdul Mu’ti yang masih “fifty-fifty”, suaranya tidak keras mengkritik kekuasaan, karena beliau pandai melucu, sehingga kritikannya tidak kelihatan keras, padahal kritis kepada kekuasaan Mulyono. Termasuk kalimat yang pernah disampaikan kepada partai yang mengemban amanat reformasi, “Kok sekarang hilang sikap kritis dan ideologi reformasinya”. Jadi, terpilihnya beliau karena keterwakilan kapasitas intelektual, yang didukung oleh basis massa besar Muhammadiyah yang memang diperlukan oleh pemerintah sekarang supaya kekuasaannya kuat, juga karena pandai membuat artikulasi politik santun sebagai basic politik “tasammuh” (toleran, tidak ingin menang sendiri) dan “tawassuth” (moderasi) Muhammadiyah, sehingga bisa diterima oleh penguasa dan oposan, karena daya tolaknya rendah, karena kritiknya tidak frontal dan radikal-provokatif.

Mengapa Madzhab Mulyono? Karena ada partai yang mendeklarasikan dirinya penganut Madzhab Mulyonoisme. Begitu hebatkah Mulyono, sehingga dijadikan madzhab, lalu dijadikan rujukan dan panutan madzhab politiknya? Madzhab biasanya epistemology (ushul fiqih)-nya jelas, ontologis ([hasil] fiqih)-nya jelas, aksiologisnya jelas. Sampai saat ini, tidak pernah terdengar ide genuine, orisinal, yang dilontarkan Mulyono, kecuali yang sudah diframe oleh team. Bandingkan dengan Madzhab Syafi'i misalnya, Imam Syafi'i punya karya epistemologis "al_Risalah" sebagai "pengantar" untuk menghasilkan "fiqih" Syafi'iyyah. Imam Malik dengan karya "Muwatha'"-nya. Imam Hanbali dengan "Musnad"-nya. Mulyono, bicaranya ya gitu-gitu saja, pendek-pendek, datar-datar saja, tidak filosofis, akademis, apalagi teori-teori agamis. Belum pernah terdengar, kecuali “Kerja kerja kerja!” Lah madzhab ini, yang ngarang dan yang mengkonsep bukan “muassis” madzhab, namun “oligar”, ya, mana bisa? Kata DR. Bahauddin dari UI, “Dia hanya operator, mana bisa mengkonsep?”

Kata para jurnalis, prinsip-prinsip Madzhab Mulyono? Antara lain:

1.     Pencitraan.

Mulyono tampil di dunia politik bukan genuine sebagai aktifis politik. Dia terjun ke dunia politik karena disuruh orang-orang partai untuk mencalonkan diri sebagai calon walikota karena punya duit, hasil dari pekerjaan tukang kayu, pedagang kursi mebel. Dalam Sejarah UGM, Mulyono tidak ditemukan dia sebagai aktifis kampus, baik organisasi intra kampus atau pun ekstra kampus, katanya sih pernah ikut Mapala. Itu pun, jika benar Mulyono lulusan UGM.

Di antara team suksesnya pernah bercerita di salah satu TV swasta yang memang mencari tokoh untuk diframming menjadi penguasa pasca SBY yang kontra dengan persepsi Masyarakat kepada SBY yang stylis, elitis, ganteng, cari “aman”, dst. Akhirnya ketemulah tokoh Mulyono yang wajahnya ndeso, kurus, merakyat, mau terjun langsung ke “bawah”, dst. Hampir semua media memblow-up Mulyono, mulai dari walkot, gubernur, hingga pencalonannya sebagai calon presiden.

Menampilkan wajah wong ndeso. Di antara jualan yang diframming oleh media adalah Mulyono yang berwajah ndeso. Media menangkap Sebagian kelas menengah di Republik ini, banyak yang gerah dengan kepemimpinan SBY yang jago bermain kata-kata, pinter ngomong, dan kurang “greng” dalam memajukan ekonomi rakyat. Rakyat Indonesia sudah gerah dengan kehidupan glamor, boys, kekota-kotaan, hura-hura, anti ndeso, dan lainnya. Masyarakat menginginkan pemimpin yang bersahaja, lugu, kalem,

Soal demokrasi, kebebasan berpendapat, berserikat, mengkritik pemmerintah, dst., zaman SBY memang diakui sangat bagus, sangat terbuka, dan tidak otoritarian. Sayang, korupsi yang menerpa kader-kader Partai Demokrat,  menjadi celah kaum oposan dan tidak penyuka SBY untuk memukul kebebasan yang diberikan SBY. Dan SBY tidak pernah menggunakan instrument hukum untuk memukul lawan balik para pengkritik dan oposannya. Bahkan kekuasaanya tidak digunakan untuk mengacak-acak hukum demi membela besannya sendiri. Besannya diadili dan dipenjara. Oleh pers dijadikan komoditas untuk dikapitalisasi keuntungan dunia pers. Berbeda dengan kekuasaan Mulyono, yang menjadikan hukum sebagai alat pukul para oposan biar tunduk dan menyerah, bahkan menjadi kartu mainan untuk mendukung kekuasaannya, dan membungkam para oposan, serta kritikus kekuasaan masuk ke dalam penjara. Ambil contoh facebooker Jonru Ginting, Roy Suryo, Bambang Tri Mulyono, Gus Nur, Ruslan Buton, Syahganda Nainggolan dkk., 

2.     Seolah-olah membela rakyat kecil.

Dalam kampanye dan kata-kata yang sering diucapkan, sering bersuara tentang pembelaan terhadap rakyat kecil. Termasuk membela petani keci, nelayan, pedagang kaki lima, dan seterusnya. Ae ae ae, ternyata fals semua. Membela kelompok yang jumlahnya kecil namun menguasai ekonomi Indonesia, hobi impor, dan menaikkan BBM, serta pajak. Masuk gorong-gorong dan persawahan, hanya pencitraan, untuk kepentingan pribadi dan kelangsungan kekuasaan. Ujung-ujungnya, rakyat hanya gigit jari, kenyang makan pencitraan, dan jadi sapi perahan.

3.     Hobi berbohong.

Orang Jawa bilang, “Sesuk Dele, sore Tempe.” (pagi kedelai, sore jadi Tempe), orang mudah berubah, lain di kata dengan kenyataan, beda antara janji dengan realisasi. Segudang kata dan janji yang dilontarkan Mulyono, kata pengawat, “Harus difahami kebalikan dari omongannya.” Jika berjanji mau memproduksi mobil Esemka, hingga akhir hayat kekuasaannya, tak satu pun produksi Esemka yang keluar. Jika sudah ada pemesan 6000 unit Esemka, maka 0000 besar kenyataannya; jika bicara tidak impor: berari mau impor; bila para pengkritik mau diajak dialog sama ngopi-ngopi, maka tidak pernah ada dialog dan ngopi-ngopi, malah sebagian dimasukkan penjara. Bila berkata anakkku masih kecil dan tidak ambisi kekuasaan, maka anak, menantu, didudukkan di kekuasaan. Begitu seterusnya

4.     Haus kekuasaan.

Tampangnya memang ndeso. Tidak ada orang Indonesia yang ngomong, “Mulyono seperti orang kota: ganteng, gagah, perut buncit, dll., tidak ada. Orang pasti berkata, bahwa "Mulyono ndeso kesa-keso, kurus, kerempeng," jar Ngabalin sebelum menjadi "Jubir" Istana. Namun jangan salah menilai penampilan. Di balik tampang yang “sederhana”, kata Kang Shobari, “Haus kekuasaan, tamak, dan serakah.” Mau minta perpanjangan masa jabatan, minta  3 kali jabatan presiden, Anaknya dimintakan kepada Bu Mega untuk jadi Walkot, menantunya jadi Walkot, anaknya diplotkan jadi wapres, dst., baru 2 hari menjadi anggota partai, langsung jadi ketum. Penampilan tidak selalu mencerminkan isi kalbu dan praksis kenyataan.

5.     Menggunakan hukum untuk memukul lawan

Agus Rahajo, mantan ketua KPK, pernah dipanggil dan dimarahi Mulyono untuk menghentikan kasus E-KTP Setyo Novanto; KPK ditekan-tekan hingga 24 kali expos kasus untuk mentersangkakan Anies Baswedan; Menteri Kominfo Jhoni G. Plate dari kader Nasdem ditersangkakan; begitu juga Menteri Pertanian, M. Yasin Limpo; Gus Nur, Jhonru Ginting, Bambang Tri, Syahganda Nainggolan, dst., kena tajamnya hukum Mulyono. Teman pun harus dipaksa turun, demi kroninya naik jabatan ketum partai, dengan menggunakan instrumen hukum. Namun hukum tumpul untuk handai tolan yang bermasalah secara hukum, namun mendukung kekuasaan.

Cara-cara Madzhab Mulyono, berhimpitan erat dengan cara-cara Macheavialis. Hasto Kristianto menyebut ciri-ciri Machialisme yang dicontoh Mulyono, antara lain:

1.     Jadilah pembohong yang hebat. Dalam teori Post-truth, kebohongan yang dikemas dengan baik, menjadi sebuah kebenaran. Kebenaran bukan yang benar-benar, namun kebohongan yang dianggap sebagai kebenaran, terutama oleh kelompok kepentingan dan underbow-nya. Berita hoax dan pernyataan yang bohong, asal keluar dari pimpina kelompok atau pendukung, dan buzzer yang mendukungnya, semua dianggap kebenaran. Jika pimpinan mereka berpidato, “Tidak akan impor.” Dan realnya hamir semua sektor import dari luar negeri, bagi para buzzer, pendukung, dan kaki-tangannya, tetap disebut sebagai kebenaran: betul-betul anti impor.

2.     Memperoleh hal-hal besar dengan cara menipu. Bila di negeri Konoha ada pemimpin mereka yang ngomong, “Anak saya tidak akan mencalonkan diri sebagai …”, atau “Saya tidak akan cawe-cawe.” Omongan tersebut adalah cara untuk mengelabuhi rakyat dan lawan politiknya, karena yang dimaksud adalah “contradiction”-nya, atau dalam Bahasa Ushul Fiqihnya, “mafhum mukhalafah”-nya merupakan makna yang dimaksud. Jadi, jika nanti dibilang sebagai “Malim Kundang” oleh kader partai pengusungnya, anak yang sudah dibesarkan durhaka kepada ibu kandungnya, karena “Air susu dibalas dengan air Tuba,” maka hal tersebut adalah bagian dari usaha untuk memperoleh kekuasaan dengan cara menipu.

3.     Tidak pernah kekurangan alasan untuk mengingkari janjinya.

Selalu ada kalimat pembenar untuk menutupi janji dan ucapan yang diingkari. Dan, para penjilat, buzzer, pendukung, dan konconya, siap memback-up dan membombardir media untuk membela ucapan yang diomongkan pimpinannya.

Apakah kader Muhammadiyah akan masuk dalam kubangan Mulyonoisme dan meninggalkan prinsip Shiddiq (benar, jujur), Amanah (akuntabel, dapat dipercaya), fathanah (intelek, cerdas, kritis), dan tabligh (transparan, menginformasikan apa adanya)? Sejarah yang akan berbicara. Bila bisa menggarami perpolitikan Indonesia dengan rasa Muhammadiyah, tanpa harus bermain “gincu” politik, apalagi just lips service, maka pengkaderan yang pernah dijalani bertahun-tahun di Persyarikatan Muhammadiyah betul-betul berhasil, riel, bukan “omon-omon”, apalagi bohong. Namun jika hanya jadi “rumah singgah”, “kos-kosan”, “penginapan”, lalu masuk kubangan lumpur Mulyonoisme, taklid, jadi muqallid, dan musyajji’ buta, wassalam, sayonara.

Mencoup partai dengan “saweran” agar terpilih kembali sebagai ketua umum. Dan arah politiknya terbaca menjadi pengembek kekuasaan, bukan kritikus kekuasaan, agar penguasa berada pada jalur yang benar berdasarkan konstitusi. Kenapa ngembek kekuasaan? Karena terlindungi permasalahan pribadinya asal mendukung kekuasaan, sedang penguasa butuh dukungan suara untuk menguatkan kuku kekuasaannya. Saling sandera dan saling mencari keuntungan masing-masing.

Bagaiman partai reformis bertransformasi menjadi partai pengemis (kekuasaan)? Ajaib. Dan para kader yang asalnya nyaring berbicara tentang “reformasi” lalu menjadi barang asing yang tidak pernah lagi terdengar dari para pengurus dan kader partai tersebut. Sunyi senyap seperti berada di kegelapan dan keheningan malam. Suara kritis bagaikan suara hantu yang menakutkan, takut didengar dan menjadi barang yang harus dijauhi dan dienyahkan. Kacang lupa pada kulitnya. Partai mendapat dukungan rakyat karena bernafaskan perubahan, bernyawakan gelora reformasi, berubah menjadi berlepot royokan nasi.

Meminjam almarhum Prof. J.E. Sahetapi, bahwa di Indonesia politisi jarang, langka, tetapi kalau politikus banyak.

Kalua politisi hanya cari posisi dan politikus hanya cari status terhormat di mata masyarakat awam, apalagi hanya di hadapan Buzzer dan Influencer, tidak membawa nilai dan identitas kader Muhammadiyah, untuk apa? Karena saat mereka ada di rumah baru mereka, nilai-nilai utama itu banyak berubah dan mengalami pergeseran.

Jokowisme (https://nasional.tempo.co/read/1925500/mengenai-jokowisme-ideologi-relawan-alap-alap-jokowi-yang-pasang-baliho-jokowi-guru-bangsa ).



[1] Pada zaman pra-kemerdekaan, ada kyai Muhammadiyah yang sangat terkenal berafiliasi dengan dengan komunis, yang dikenal sebagai haji merah, belia berasal dari Solo lalu dibuang ke Manokwari. Beliau adalah Kyai Misbah. Hebatnya, walau dibuang karena sikap politiknya, ideologi Muhammadiyahnya tidak luntur. Beliau menyebarkan Muhammadiyah khususnya di Manokwari dan secara umum di daerah Maluku dan Papua. Bahkan saat di pembuangan, beliau masih berlangganan Soeara Moehammadijah (SM) melalui Muhammad Abu Kasim dari Ambon yang memiliki perusahaan jasa ekspedisi. Dialog intens antara Haji Misbah dengan Muhammad Abu Kasim inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Muhammadiyah Ambon. (https://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Misbach

https://web.suaramuhammadiyah.id/2022/08/10/haji-misbah-dan-muhammadiyah/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Obituari Kanda Kaeladzi

الحاكم (الصادر الحكم بين أهل الرأي و أهل التقليدي