Ijtihad, Pintunya Terbuka, Mau Masuk?
Ijtihad, Pintunya Terbuka, Mau Masuk?
Bukhori at-Tunisi (Alumni Ponpes YTP Kertosono; penulis buku: Logical Fallacies, Kritik al-Qur’an atas Logika).
Saat di khalayak muttabi’ dan muqallid viral “pintu ijtihad terutup”, ada kelakar, “Siapa yang menutupnya?” pintu ijtihad tidak pernah ada yang menutup. [1] Jika pun ada yang mengatakannya, “Itu dihembuskan oleh para fanatikus madzhab.”[2] Sehingga, pintu ijtihad tidak pernah tertutup, Cuma katanya, “Pintunya tidak dibuka lebar, juga tidak terkunci rapat.”[3] Sehingga orang enggan “memasuki”-nya karena tak mudah, bahkan ada yang berseloroh, “Siapa yang mau masuk?”[4] silahkan! Bebas saja. Karena sulitnya berijtihad, dan mudahnya bertaqlid.
Isu tersebut memang bukan isapan jempol belaka, Kyai Imam Nakhai misalnya menyebutkan: “Konon setelah abad ke IV hijriah, pintu ijtihad telah ditutup. Akibatnya gerakan pemikiran fiqih yang telah menghasilkan kekayaan fiqih yang tidak ternilai, menjadi terhenti. Tugas umat selanjutnya, tinggal menjelaskan (Syarah), meringkas (mukhtashar), dan kemudian menghafalkan.”[5]
Mengapa ditutup? Karena ijtihad tentang Islam telah dianggap “selesai” berkat pemikiran ulama abad pertengahan. Ulama pun ketakutan membuka kemungkinan ijtihad bagi siapapun. Segudang persyaratan yang hampir mustahil dilakuakan, jelas sangat bermasalah.[6] “Bukankah metode-metode yang diciptakan para imam terdahulu juga hasil ijtihad.” Kata Kyai Imam Nakhai.[7]
Akibat pintu ijtihad tertutup, taqlid semarak, produktifitas pemikiran fiqih akhirnya berhenti. Kyai Nakhai mengutip perkataan Syaikh Wahbah Al-Zuhaili sebagai berikut:
ركود الحركة الفقهية وجمود العلماء وإضعاف روح الاستقلال الفكري وطغيان فكرة التقليد
“Terhentinya gerakan fiqih, kebekuan ulama, melemahnya ruh kemerdekaan berfikir dan menguasainya pemikiran taqlid”
Di Indonesia, di kalangan awam, popular sikap beragama model taqlid (mengikuti suatu pendapat, tanpa mengetahui dalilnya), sedang di kalangan modernis, popular sikap beragama ittiba’ (mengikuti suatu pendapat dengan mengetahui dalilnya), sedang di kalangan alim, terpelajar, kyai, ulama’, popular sikap beragama yang aqliyah, rasional, sangat erat dengan ijtihad, meski dalam ukuran ijtihad fi al-madzhab dan ijtihad dalam takaran fatwa.
Bahkan di kalangan ulama’ Nahdliyin, seperti Gus Baha’ dan aktivis kelompok JIL (Jaringan Islam Liberal) dari Nahdliyin, getol menyuarakan ijtihad. Teringat omongan Kang Jalaluddin Rakhmat, “Bagi Muhammadiyah, ijtihad terbatas dalam bidang mu’amalah, bukan dalam bidang ubudiyah; sedang di kalangan NU, ijtihad bukan hanya di wilayah mu’amalah, masalah ubudiyah pun ijtihad diperbolehkan.” Dalam cakupan wilayah ijtihad, NU lebih “liberal” daripada Muhammadiyah. NU dalam dua bidang sekaligus, MD hanya satu bidang saja. Karena itu, kyai NU yang aktif di JIL, sangat “liberal” dan “progresif” dalam melakukan ijtihad, melampaui faham mu’tabar di kalangan ulama’ NU, seperti isu tentang keragaman agama,[8] hasil kerja PSK halal,[9] karena diqiyaskan dengan hasil kerja anggota tubuh yang lain, yang hasilnya juga halal, Haji boleh di luar bulan Dzul Hijhah, dan lainnya.
Gus Baha’ salah seorang ulama’ NU yang lagi masyhur ini, pernah bercerita, “Ada kyai yang tidak mau ngajar perempuan, karena takut timbul fitnah, karena imannya lemah. Sekarang dibalik, kalau yang ngajar para perempuan orang fasiq, bagaimana akibatnya? Tentu lebih banyak menimbulkan madlarat dibandingkan dengan bila perempuan diajar seorang kyai.” Ternyata kyai NU berijtihad.
Gus Baha’ pernah bercerita, “Ulama’ ada yang senang shalat di dekat ka’bah, karena Ka’bah adalah tempat yang mustajabah dan dihormati Allah. Namun ada ulama’ yang tidak mau shalat dekat Ka’bah, shalatnya justru di belakang: katanya, “Malu sama Allah, banyak dosa kok shalat dekat ka’bah yang suci itu, gak pantas.” Ini namanya juga ijtihad.
Gus Baha’ juga bercerita, “Ada ulama’ yang tidak mau menshalati jenazah orang fasiq, biasanya menyuruh yang lain untuk menshalatinya, khawatir jenazahnya dianggap orang baik-baik saja. Namun ada juga yang mau mensholati orang fasiq: katanya, “Malu kepada Allah, karena menyangka Allah tidak mampu mengampuni dosa orang fasiq.”
Gus Baha’ juga bercerita, “Ali dalam memahami ayat hukuman “potong tangan” bagi pencuri, berbeda dengan kebanyakan sahabat. Imam Ali berpendapat bahwa yang dimaksud memaotong dua “tangan” adalah “sebagian jari”. “Dzikr al-kull wa iradah al-ba’dl.” (menyebut keseluruhan, namun yang dkehendaki adalah sebagian). Jari adalah bagian dari tangan. Imam Ali berkata, “Saya malu kalau ada hamba Allah yang tidak bisa istinja’ gara-gara dipotong 2 (dua) telapak tangannya.” Kata “tangan” diartikan “telapak tangan” adalah ijtihad, diartika “jari” juga ijtihad.
Gus Baha juga berijtihad dalam menafsirkan ayat “fa la rafatsa, wa la fusuqa, wa la jidala fi al-hajj.”
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
“Haji, dilaksanakan pada bulan-bulan yang telah diketahui. barangsiapa mengerjakan haji, maka jangan berbuat rafats, berbuat maksiat, dan juga tidak “adu mulut” saat melaksanakan haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan, pasti Allah mengetahuinya. Berbekallah! Karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai berakal.” (QS. Al-Baqarah/2: 197)
Gus Baha’ berpendapat, Suami dan istri, jangan haji bersamaan, karena menjadi sumber konflik. Ada cerita bahwa seorang suwami saat Thawaf nangis sesenggukan, saat ditanya sang istri, “Kenapa kamu nangis?” suami jawab, “Saya nangis karena melihat wanita Arab, Turki, Afghanistan, Pakistan, cantik-cantik, jauh sekali dengan kecantikanmu.” Karena dikatain suami jelek. Si Istri gak terima, “Di sini, laki-laki ganteng semua, gak ada yang jelek kecuali kamu.” Akhirnya jadilah pertengkaran saat haji.
Ada lagi cerita, seorang suami memuji istri orang lain, katanya, “Istri orang itu baik sekali ya, pagi-pagi sudah buatkan suaminya teh manis.” Istri membalas, “Gimana, mau tukeran?” jadi, hal-hal sepele saat haji, bisa menjadi masalah besar. Karena itu bagi Gus Baha’ lebih baik kalau haji jangan bersamaan dengan suami atau istri, untuk menghindari larangan Allah.
Di Muhammadiyah, berbicara tentang ijtihad bukan sesuatu yang tabu, karena memang sudah menjadi slogan organisasi ini, bahwa pintu ijtihad masih terbuka. Walau belakangan agak ada resistensi terhadap pemikiran baru, relatif bisa diatasi, karena watak dasar Muhammadiyah “tidak mau menerima apa adanya”, namun harus disikapi dengan kritis, terbuka dan akuntabel. Karena itu gerakan pembaharuan di Muhammadiyah tetap berjalan, meskipun ada kerikil sana-sini untuk mengujinya. Bahkan, terkadang berhadapan dengan penguasa.
Doeloe, sekolah memakai kursi dan bangku, menyelisihi tradisi halaqah (lesehan) dalam sistem pelajaran madrasah dan pesantren. Bahkan sempat dikatakan kafir karena sama dengan sekolah Belanda, yang disebut oleh orang Aceh sebagai “kape[r]”.
Di kalangan tradisionalis pakai musik terbang, hadlrah, dan lainnya, Muhammadiyah tampil pakai Marching Band, Drumb Band, untuk menyebarkan dakwah Islam. Muhammadiyah tidak mengharamkan musik sebagaima NU juga tidak mengharamkan. Musik bisa digunakan sebagai sarana dakwah.
Muhammadiyah saat terjadi Covid 19, berfatwa bahwa saat shalat berjamah, jarak antar makmum, harus sesuai standar yang ditetapkan negara. MD berseberangan dengan pendapat bahwa shalat tak perlu berjarak, karena tidak ada nash-nya, juga tidak percaya kepada Qadla’ dan Qadar. Muhammadiyah tetap tidak bergeming untuk shalat dalam distance tertentu, yang kebetulan sama dengan yang ditetapkan pemerintah yang sah.
Muhammadiyah berijtihad, bahwa Negara Indonesia yang diproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1946 adalah negeri “Dar al-‘Ahdi wa al-Syahadah” (Negara perjanjian dan persaksian [keislaman dan keimanan]). Negara yang berdiri atas kesepakatan bersama, negara yang dihasilkan dari kontrak sosial, kesepakatan sosial, antar anak bangsa di kepulauan Nusantara. Dar al-syahadah, Indonesia sebagai negara tempat “pembuktian” (syahadah) cita-cita dan amaliah sebagai muslim di bumi Allah Nusantara ini. Dan, tokoh-tokoh Muhammadiyah, sejak awal, banyak yang menjadi tokoh pendiri bangsa yang menyusun Pembukaan UUD ’45, Pembukaan UUD ’45, UUD 1945, mulai dari Soekarno, Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakkir, Kyai Haji Agus Salim, Oto Iskandar Dinata, K.H. Mas Mansur, AR. Baswedan, dan beberapa lainnya.
Dalam menentukan bulan baru hijriyah, MD tidak menggunakan Metode Ru’yah hakiki (memakai mata telanjang) dan beralih menggunakan hisab. Ada yang mengatakan, “MD menyelisihi “nash sharih” dari al-Qur’an dan al-Hadits. Katanya, "Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, Mengapa MD tidak menggunakan kedua sumber pokok tersebut?"
Penggunaan Hisab untuk menentukan awal bulan adalah ijtihad ilmiyah Muhammadiyah untuk lebih mendekati keakurasian waktu melaksanakan perintah Allah. Pakai dalil naqliyah dan dalil aqliyah, tidak sebagaimana yang dituduhkan kepada MD. Meski ada yang menuduh muhammadiyah meninggalkan firman Allah, hadits Nabi, dan praktik kenabian. Ada juga yang menuduh Muhammadiyah telah melakukan perbuatan “bid’ah”, karena tidak pernah dilaksanakan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Muhammadiyah tetap berkukuh pada hasil ijtihadnya, bahwa penggunaan hisab lebih akurat dibandingkan dengan penggunaan metode ru’yah. Muhammadiyah berijtihad bahwa penggunaan hisab, bukan ibadah, an sich, itu sendiri, namun sebagai alat, sarana untuk ibadah, yang masih masuk dalam ranah mu’amalah. Ibarat penentuan awal masuk waktu shalat menggunakan jam digital, jam dinding, atau jam lainnya, sah, sebagaimana sahnya pakai bayangan matahari, karena itu sebagai sarana mu’amalah untuk mengetahui waktu masuknya shalat. Masalah hisab, jam tangan, jam digital, sarung untu shalat, unta diganti pesawat untuk haji, dan lainnya yang sejenis, adalah bagian dari mu’amalah, bukan ibadah an sich.
Ijtihad Muhammadiyah dalam masalah perempuan, tertera dalam “Al Mar’ah fi al-Islam”. Dalam segi historiografi pergumulan feminisme dan keagamaan, teringat perdebatan ayah Hamka, Haji Rasul, saat berdebat dengan para delegasi Muhammadiyah ketika mu’tamar diadakan di Sumatera Barat, “Perempuan tidak boleh berceramah di depan umum, Haram.” kata Haji Rasul. Muhammadiyah membolehkan. Sederhana pertanyaan yang diajukan oleh MD kepada Haji Rasul. “Adakah dalil qath’i yang menyatakan perempuan tidak boleh khithabah di depan umum?” Haji Rasul tidak dapat menjawab dengan dalil yang dimaksud MD, hanya mendasarkan pada ijtihad ulama’.” Hamka dalam bukunya, “Ayahku” bercerita, “Ayahku dikalahkan Muhammadiyah”. Meskipun ayahku dikalahkan, namun perempuan yang ditugaskan untuk khithabah tidak jadi ceramah, demi menghormati marwah ulama’ yang dihormati di Sumatera Barat.” Begitu indah sikap MD dan Haji Rasul. Beda sikap antara saat berbicara secara “ilmiah”, dengan etika duniawiyah untuk menjaga kemuliaan, marwah seorang ulama’. Ilmu indah pada tempatnya, dan etika indah pada maqam yang tepat. Perbedaan dalam hasil ijtihad, sesuatu yang lumrah saja, walaupun satu organisasi.
Di NU, meskipun pada kenyataannya tidak “sebebas” yang digambarkan Kang Jalal dan aktivis JIL dari NU. K.H. Sahal Mahfud pernah menyatakan, “Kajian masalah hukum (bahtsul masa'il) di NU menurut hemat saya masih belum memuaskan, untuk keperluan ilmiah maupun sebagai upaya praktis menghadapi tantangan-tantangan zaman. Salah satu sebabnya yang pokok adalah keterikatan hanya terhadap satu mazhab (Syafi'i). Padahal AD/ART NU sendiri menegaskan, bahwa NU menaruh penghargaan yang sama terhadap empat mazhab yang ada. Ketidakpuasan juga muncul akibat cara berpikir tekstual, yaitu dengan menolak realitas yang tidak sesuai dengan rumusan kitab kuning, tanpa memberikan jalan keluar yang sesuai dengan tuntutan kitab itu sendiri. Dengan demikian kegiatan yang dilakukan oleh komisi bahtsul masa'il NU masih memerlukan upaya peningkatan yang serius. Paling tidak supaya apa yang dilakukannya dapat mencapai tingkat ijtihad, meskipun hanya muqayyad sifatnya, tapi tidak sekedar men-tathbiq (mencocokkan) kasus yang terjadi dengan referensi (maraji') tertentu saja.”[10]
Satu sisi, tidak mau keluar dari “pagar” yang telah ditetapkan jam’iyahnya, di satu sisi, bebas untuk bernalar (ijtihad) secara liberal, karena bagi NU, ijtihad tidak hanya di bidang mu’amalah, di bidang ubudiah pun, diberi ruang untuk berijtihad.
Dalam hal rokok, tidak ada nash sharih yang menyatakan rokok haram. Mayoritas ulama’ NU menghukumi boleh (mubah), karena itu ulama’ NU banyak yang merokok. Ada seloroh kyai NU, mengapa NU tidak mengharamkan rokok? Karena NU itu “NO Smoking” (Nahdlatul Oelama’ itu merokok), kalua tidak merokok, bukan NU, gurauannya. Sedang Muhammadiyah menghukumi haram atas dasar “mashlahah”. Karena “ilat hukum”-nya “mashlahah”, boleh jadi saat indikator mashlahahnya ditemukan yang baru, hukum rokok pun bisa berubah. Meski di MD hukum rokok tidak satu suara, ada yang mengikuti fatwa resmi Muhammadiyah, ada juga yang ikut madzhab “Maliki” (Prof. Malik Fadjar), pengurus PP Muhammadiyah yang merokok. Candaan khas perihal rokok di MD. Di atas, adalah contoh ijtihad yang menghasilkan produk hukum berbeda, dengan perspektif yang berbeda.
Itulah kenyataannya, satu perkara yang sama, terdapat dua hukum yang berbeda dari hasil ijtihad. Itu bukan hanya terjadi zaman sekarang, namun sejak zaman awal Islam. Dan perbedaan tersebut bukan suatu yang tabu dan haram.
Ijtihad sejak dini, sudah dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Nabi, adakalanya menjawab suatu pertanyaan, tidak menunggu wahyu. Begitu juga sahabat, adakalanya menanggapi suatu persoalan, atau mengerjakan sesuatu, tidak menunggu wahyu, ada yang disetujui (taqrir), didiamkan (sukut), diberi pilihan (khiyar), atau disuruh untuk ditinggalkan (tark) oleh Nabi berdasarkan petunjuk dari Allah SwT. Di sini, ijtihad adalah penggunaan nalar dalam melaksanakan perintah Tuhan agar terealisasi secara sempurna.
Peristiwa besar dalam menghadapi serbuan koalisi kelompok suku-suku Arab Musyrik dan Yahudi yang akan menggempur kekuatan Islam di Madinah, yang dikenal sebagai Perang Khandaq atau Perang Ahzab, Nabi memutuskan untuk menghadapinya di luar kota. Namun sahabat Salman al-Farisi, yang berasal dari Persia dan berpengalaman dalam takpik perang kota, bertanya kepada nabi, “Apakah keputusan Nabi untuk bertahan di luar kota merupakan keputusan wahyu ataukah keputusan nabi [ijtihad] sendiri? Nabi menjawab, “Keputusan pribadi.” Salman lalu mengusulkan untuk bertahan di dalam kota Madinah dengan cara menggali parit (khandaq) yang dalam dan lebar, sekira panah tidak dapat menjangkau, dan kuda terbaik tidak dapat melewatinya. Ide Salman diterima Nabi. Akhirnya Nabi dan para sahabat menggali parit sesuai yang diusulkan salman al-Farisi. Betul, dengan ide dari salman tersebut, bi nashr Allah, perang Khandaq dapat dimenangkan ooeh ummat Islam.
Dalam menangani tahanan perang Badar, Rasulullah SAW. meminta pendapat para sahabatnya tentang penyelesaian masalah ini. Umar ibn al-Khaththab berpendapat agar para tawanan dihabisi (dibunuh). Sedang mayoritas sahabat mengusulkan agar tidak dibunuh dan mengambil tebusan dari mereka. Dari dua usul tersebut, Rasulullah SAW. Memilih pendapat kedua. Namun Allah berkehandak lain, menyetujui pendapat Umar, dengan menurunan ayat:
مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Tidak pantas bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(QS. al-Anfal/8: 67)
Peristiwa lainnya adalah perintah Nabi agar para sahabat shalat Ashar di Bani Quraizhah, difahami oleh sebagian shabat agar cepat sampai di Bani Quraizhah sehingga shalat Ashar di sana. Ada yang memahami bahwa kapan pun sampainya di Bani Quraizhah baru mengerjakan shalat Ashar. Para sahabat di sini menggunakan penalaran (ijtihad) untuk memahami perintah (wahyu) untuk merealisasikan syariah shalat, meski ada perbedaan.
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
“Janganlah (ada) satu pun dari kamu yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR. al-Bukhari)
Begitu juga Asbabun Nuzul (latar belakang) ayat “tayammum” adalah karena perbedaan ijtihad sahabat untuk melaksanakan perintah Allah karena ketidak ketersediaan air untuk bersuci dalam melaksanakan perintah shalat. Ada yang berguling-guling di pasir, ada yang cuma mengusap-usapkan pasir di anggota wudlu. Lalu turunlah ayat tayammum untuk memberi ketetapan aturan syariah bila tidak menemukan air dan caranya, juga dijelaskan dan dipraktikkan batasannya oleh Nabi saw.
عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – بَعَثَنِي اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – فِي حَاجَةٍ, فَأَجْنَبْتُ, فَلَمْ أَجِدِ اَلْمَاءَ, فَتَمَرَّغْتُ فِي اَلصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ اَلدَّابَّةُ, ثُمَّ أَتَيْتُ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ, فَقَالَ: “إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَقُولَ بِيَدَيْكَ هَكَذَا” ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ اَلْأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً, ثُمَّ مَسَحَ اَلشِّمَالَ عَلَى اَلْيَمِينِ, وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: وَضَرَبَ بِكَفَّيْهِ اَلْأَرْضَ, وَنَفَخَ فِيهِمَا, ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْه ِ
Dari ‘Ammar ibn Yasir ra. Dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku dalam suatu hajat, lantas aku berada dalam keadaan junub dan tidak mendapati air. Aku menggulung-gulung di tanah sebagaimana hewan berbolak-balik. Kemudian aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku menceritakan hal tadi pada beliau. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukup bagimu melakukan dengan kedua telapak tanganmu seperti ini.” Kemudian beliau menepukkan kedua telapak tangannya di tanah sekali, kemudian beliau mengusap tangan kirinya pada tangan kanannya, beliau mengusap punggung tangannya dan mengusap wajahnya.” (Muttafaqun ‘alaih. Hadits ini adalah lafaz Muslim) [HR. Bukhari, no. 347 dan Muslim, no. 368].
Peristiwa monumental setelah wafatnya Nabi yang otomatis wahyu kenabian putus, adalah pembukuan al-Qur’an dalam satu Mushhaf pada zaman Khalifah Abu Bakar dan ditulis ulang dalam kerangka penyatuan bacaan oleh Khalifah Utsman Ibn Affan. Ini namanya ijtihad: Menyelamatkan al-Qur’an dari tahrif (perubahan dan penyelewengan). Apakah penulisan al-Qur’an berhenti setelah itu? Tidak. Ternyata masih ada musykilat (kesulitan) dalam membaca al-Qur’an karena yang membaca al-Qur’an bukan lagi khusus orang Arab dan sekitarnya, namun sudah berkembang jauh ke arah Timur, Barat, Utara, dan Selatan, sehingga perlu “penandaan” atas tulisan rasm al-Qur’an. Tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad al-Du’ali; tanda fathah, kasrah, dlammah, tasydid, sukun, oleh Imam Khalil ibn Ahmad al-farahidi; hingga bentuknya seperti sekarang. Mudahlah orang membaca al-Qur’an. Kodifikasi al-Quran dalam satu mushhaf, pemberian tanda titik, harakat, tanda tajwid lainnya, zaman Nabi belum ada, lalu diadakan. Itu semuanya adalah hasil ijtihad.
Zaman Umar, khalifah ke dua ini membuat keputusan kontroversial, demi menjaga integritas dan pelecehan perempuan: Talak tiga yang tujannya main-main, dijatuhi hukuman thalaq tiga sungguhan, sehingga harus “dinikahi” lelaki lain jika ingin ruju’.
Muallaf, tidak lagi dimasukkan ke dalam 8 (delapan) ashnaf penerima zakat. Alasan Umar sederhana, “Dulu kita membutuhkan mereka, sekarang Islam sudah kuat, tak perlu kasihan kepada para muallaf.” Artinya, jika orang mau masuk Islam, masukkah Islam dengan sebenarnya, sepenuh hati, tidak separuh-paruh.
Harta rampasan perang, oleh Umar tidak dibagi kepada para prajurit yang ikut perang, namun disewakan kepada penduduk asli daerah tersebut dengan memungut “jizyah” (“tebusan”, pajak). Tanah tetap dikuasai negara sebagai hak milik dan pengelola. Prajurit digaji antara lain dari jizyah tersebut.
Tentang Hadits, saat Imam al-Zuhri membuat terobosan dengan menulis dan mentadwin hadits, banyak yang menentang, karena pernah dilarang oleh Nabi sendiri. Alasan lainnya adalah takut dianggap sebagai kitab suci selain al-Qur’an, sebagaimana terjadi pada kaum Nashrani, tulisan murid-murid nabi Isa dianggap kitab suci, padahal bukan kitab suci, sebagaimana kitab suci yang diwahyukan kepada nabi Isa. Imam al-Zuhri tak bergeming untuk menuliskan hadits Nabi yang tersebar di negeri-negeri muslim, baik melalui tulisan yang dicatat oleh sebagian sahabat dan Tabiin, juga melalui jalur sanad bi al-riwayah. Puncak kodifikasinya adalah kitab kumpulan hadits shahih (al-jami’ al-shahih) yang dikompilasi oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, yang diikuti oleh murid-murid beliau: al-Imam al-Tirmidzi, al-Imam Abu Dawud. Dan kodifikasi yang dilakukan oleh al-Imam Ibn Majah, al-Imam al-Nasai, dan kitab sunan atau al-mustadrak, dan lainnya. Pasca itu adalah tradisi ikhtishar (ringkasan), syarah (penafsiran), dan mukhtar al-ahadits (memilih hadis-hadis pilihan). Lalu berhenti, yang dilanjutkan dengan penghafalan hadits-hadits berdasarkan sanad bi al-riwayah (riwayat hadits berdasarkan sanad dari guru tertentu yang memegang sanad dari guru sebelumnya). Kajian tentang hadits pun tidak pernah berhenti hingga sekarang, baik aspek riwayat dan dirayahnya.
Secara nash (tekstual) pun, ijtihad absah secara istidlali, karena ditemukan kata ijtihad dalam peristiwa pengutusan Nabi kepada sahabat Mu’adz ibn Jabal ke Yaman sebagai gubernur dan qadli sekaligus. Ketika dihadapkan masalah kepada Muadz, apa yang mau dilakukannya. Nabi menanyakan:
عن الحارث بن عمرو ابن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال: كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضى بكتاب الله، قال فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله؟ قال أجتهد رأيي ولا آلو؟ فضرب رسول الله صلّى الله عليه وسلّم صدره وقال: الحمد لله الذي وفّق رسول رسول الله لما يُرضي رسول الله.
Ketika Nabi Muhammad SAW mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, beliau bertanya, "Bagaimana kamu akan memutuskan suatu perkara jika dihadapkan pada suatu masalah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutuskan dengan Kitabullah (Al-Quran)." Nabi bertanya lagi, "Jika kamu tidak menemukan jawabannya dalam Kitabullah?" Mu'adz menjawab, "Maka saya akan memutuskan dengan Sunnah Rasulullah SAW." Nabi bertanya lagi, "Jika tidak kamu temukan dalam Sunnah Rasulullah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak akan menyia-nyiakannya." Kemudian, Nabi menepuk dada Mu'adz dan berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasul-Nya sesuai dengan apa yang diridhai Rasulullah.”
Juga peristiwa yang diceritakan dalam al-Qur’an, Nabi “berijtihad”, bahwa wahyu turun tepat pada saat dibutuhkan, ternyata tidak.
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali: "Insyaallah". Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". (QS. Al-Kahfi: 23-24)
Sebab turun ayat ini karena Rasulullah SAW menjajikan untuk menjawab pertanyaan orang-orang yahudi besok hari. Namun jawaban wahyu yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Entah kemana Jibril yang biasanya rajin datang membawa wahyu.
Bagi yang menolak istilah ijtihad –bukan konsepnya-- seperti al-Imam Ibn Hazm, karena wahyu sudah diturunkan secara lengkap (QS. Al-Amaidah/5: 3). Ibn Hazm hanya mengganti istilah “ijtihad” dengan “istidlal”. Di mana istidlal diberi makna aktifitas nalar terhadap teks-teks wahyu (al-Qur’an dan al-Sunnah) yang sudah ada untuk menemukan konsep hukumnya, baik sifatnya baru atau tidak baru, baik tersurat (manthuq) maupun tersirat (mafhum). Oleh sebab itu, antara ijtihad dan istidlal adalah dua nama yang berbeda, namun subtansinya sama, yaitu penggunaan nalar terhadap wahyu untuk menemukan hukum syariah.
Bagi yang menggunakan istilah ijtihad dan bukan istidlal, tetap pada keyakinan bahwa syariah Islam lengkap, namun ada dalil yang bersifat sharih (dalilnya jelas secara tekstual tanpa perlu penalaran mendalam) dan ada yang mutasyabih (dalil tekstualnya tidak disebutkan secara apa adanya, denotatif, namun perlu penalaran lagi yang lebih mendalam, sehingga perlu adanya ijtihad.
Ijtihad zaman nabi dilakukan oleh para Sahabat saat menemukan hal baru yang belum ada petunjuk praksisnya dari Nabi, dan itu dilakukan oleh sahabat mana pun. Orang Sunni meyakini para sahabat adalah para sosok yang adil (jamaknya: ‘udul, bersih dari cacat moral), tapi tingkat kefaqihannya berbeda. Tidak semua sahabat derajat kefaqihannya sama dengan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibn Abbas, Anas ibn Malik, Ibn Mas’ud, Ibn Umar, Mu’adz ibn Jabal, Zaid, Ubay ibn Ka’ab, Shahabiyah Aisyah, Hafshah, Maimunah, Asma’, Juwairiyah, Shafiyah, dan lainnya, karena itu, tidak semua sahabat Nabi yang jumlahnya ribuan tersebut dikenal sebagai faqih dalam urusan syariah, sehingga tercatat namanya sebagai faqih atau pun sebagai rawi atas al-Qur’an ataupun hadits nabi, baik dalam kitab hadits maupun kitab fiqih.
Ijtihad zaman nabi masih sangat sederhana, tidak sejelimet, dan seberat persyaratannya seperti sekarang, karena memang persoalannya sederhana. Belum tentu peristiwa syariahnya sudah dimasyru’kan, sehingga semuanya sudah diketahui “dalil”-nya, baik dari wahyu al-Qur’an maupun petunjuk qauliyah, fi’liyah, taqrir, dan himmah nabi saw. sehingga dimungkinkan untuk berijtihad secara sederhana dan bersifat individual atas peristiwa tertentu, lalu minta pengabsahan dari nabi, sehingga menjadi syraiah yang berlaku secara umum.
Berbeda dengan periode berikutnya hingga sekarang, hampir semua persoalan ada petunjuk dalilnya, ada referensinya, ada rujukan, ada contohnya, ada presedennya, ada jurisprudensinya, baik dari sumber utama al-Qur’an dan al-Sunnah, maupun kitab-kitab fiqih, tarikh, tafsir, syarah kutub ahadits, dan lainnya, sehingga mensyaratkan “seorang” yang mau berijtihad harus memenuhi kualifikasi keilmuan, dan mengetahui seluk beluknya, karena hampir semua ada jawabannya, tinggal melakukan melakukan “qiyas” (menalar) dan mampu menelurkan “natijah” (kesimpulan hukum). Sehingga seolah ijtihad nampak begitu menyeramkan dan susah dilakukan? Memang ya. Tidak mungkin ijtihad dilakukan oleh orang jahil, miskin pengetahuan, buta informasi, dan minim rujukan untuk melakukan penalaran rasional atas suatu persoalan berdasarkan pengetahuan yang telah ada dan telah termodifikasi untuk memproduksi suatu hukum berdasarkan ijtihadnya. Tentu hanya orang yang alim, faqih, banyak ilmu, dan mendalam pengetahuannya, yang mampu untuk menghasilkan ijtihad dengan benar berdasarkan saintifik keagamaan, bukan berdasarkan nafsu, buta ilmu, dan kengawuran. Kacau nanti.
Memang Ijtihad (اجتهاد) secara etimologi, berasal dari kata “ijtahada-yajtahidu-ijtihadan” yang artinya: “Bersungguh-sungguh, Kata ijtihad berasal dari kata dasar “j-h-d” (جهد), seakar kata dengan kata jihad (جهاد). Dua-duanya ada kesamaan dalam hal “kesungguhan” secara penuh dalam melaksanakan aktivitas yang dikerjakan. Tidak main-main, dan tidak asal-asalan. Ia serius (juhd). Ia tak mudah namun harus dilakukan. Firman Allah pun menitahkan seperti itu, “Fa i‘tabiru ya uli al-albab” (berijtihadlah wahai para cendekiawan!).
“Wa la takhafu wa la la tahzanu”, para imam mujtahid pun, baik mujtahid mustaqil dan mujtahid muntasib, tidak semua yang dihasilkan dalam pendapat, fatwa, atau pemikiran yang dituliskan dalam kitab-kitab mereka, tidak semuanya baru dan tidak semua pendapat, fatwa, atau pemikiran, sama dengan hasil ijtihad para imam mujtahid lainnya, karena perbedaan tempat, tingkat pemahaman, dan maraji’ (rujukan, referensi) untuk melakukan ijtihad. Karena itu, tradisi riwayah, sanad, bentuk riwayat mu’an-‘an (cerita, atau riwayat yang mengggunakan model “an [dari] si fulan), muttashil, munqathi’, shihhah, kidzib, dan lainnya, adalah petunjuk bahwa para sahabat, tabiin, para imam madzhab, ahli hadits, dan lainnya, tidak hampa pengetahuan dan nir rujukan, semuanya ada rujukan, referensi, dan jurisprudensi sebelumnya.
Kalau melakukan ijtihad terasa berat karena persaratannya banyak, ya memang seperti itu. Gak mungkin orang jahil, yang tidak punya ilmu pengetahuan melakukan ijtihad, penalaran rasional, pendalaman pengetahuan berdasarkan referensi yang banyak dan cakrawala pengetahuan yang luas, bisa memproduksi (intaj) ijtihad yang shahih, sedang di dalam dirinya tidak ada kapasitas keilmuan dan pengetahuan yang memadahi. Ijtihad hanya bisa dilakukan oleh para alim, orang yang berilmu. Tak mungkin ijtihad dilakukan oleh orang jahil (tak memiliki ilmu pengetahuan).
Memang seperti itulah, seseorang yang mau melakukan ijtihad, harus faqih dalam ilmu lughah (nahwu, sharaf, balaghah, adab [sastra], naqdul lughah, dll.), al-Qur’an, ulumul Qur’an, hadits, ilmu mushthalah hadits, ilmu dirayah hadits, fiqih, ilmu fiqih, sejarah fiqih, hasil ijtihad fardi, ijtihad jam’iy, tarikh, sosiologi (ijtima’iy), manthiq, kalam, dan lainnya. Biar tidak tahawwur, ta’ashub, partisan, memihak, tidak obyektif, emosional (nafsu), tidak rasional (la ‘aqliyah, ghair ma’qulah).
Dalam istilah jahil (tidak memiliki pengetahuan) itu sendiri, sudah ada “contradiktio interminus” (tanaqudl, ada kontradiksi dalam istilah itu sendiri), karena gak mungkin orang yang tidak punya pengetahuan (jahil) melakukan penalaran mendalam (ijtihad). Yang bisa melakukan penalaran mendalam hanyalah “mujtahid” --bentuk isim fail dari kata ijtahada--, orang yang mampu melakukan penalaran mendalam. Namun orang yang melakukan penalaran mendalam, tidak musti disebut sebagai “mujtahid” sebagai istilah “mujtahid mustaqil” an sich,. Ini seperti “orang yang memiliki pengetahuan” dalam bahasa Arab disebut: “alim” (عالم), tapi secara istilah, tidak semua orang yang punya pengetahuan dimaqamkan sebagai “orang alim”. Orang boleh menyampaikan pendapat (arab: fatwa), tapi tidak semua orang yang menyampaikan pendapatnya disebut “mufti” (مفتي). Banyak orang berfatwa, tapi tidak semua orang yang berfatwa pasti menjabat “mufti” negara.
Bila ada yang berprinsip bahwa pintu ijtihad masih terbuka dengan mengusung konsep “al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” dituduh tak memiliki pengetahuan keislaman yang memadai, itu sama saja dengan menuduh kelompok yang menganggap pintu ijtihad tertutup, dan cukup taqlid saja, sebagai jahil, karena tidak tahu dalil. Kedua tuduhan tersebut sama-sama “la ‘ilma lahu”, dan “la hujjata fihi”, karena kenyataannya, para tokoh dari pengusung kedua prinsip tersebut alim-alim, yang mengatakan pintu ijtihad terbuka, tentu bersemangat untuk berijtihad, dan yang berprinsip pintu ijtihad tertutup, meski tidak rapat, ternyata juga produktif berijtihad. Jadi dua-duanya, hanya berkelakar di depan panggung mereka masing-masing, di muhibbin mereka masing-masing, biar panggungnya hidup. Saya yakin, kedua pengusung slogan masing-masing, adalah tokoh-tokoh yang alim. Dan realitasnya memang seperti itu.
Pasca mapannya 4 (empat) madzhab besar: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali (sesuai urutan wafatnya para imam madzhab) dan madzhab zhahiri (Abu Dawud al-Zhahiri; ada yang memasukkan Imam Ibn Hazm). Imam-imam besar itu, dikategorikan sebagai mujtahid muthlaq, karena kemampuan mereka dalam melakukan jtihad mandiri (mustaqil) sehingga memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid muthlaq. Setelahnya adalah imam-imam fi al-madzhab, karena kemampuan mereka dalam berijtihad, tidak mencapai syarat-syarat untuk menjadi mujtahid mutlak. Para imam madzhab fi al-madzhab ini, dimasukkan dalam kategori mujtahid muntasib (mujtahid yang dinisbatkan dengan imam madzhab tertentu).
Sebenarnya, selain 4 madzhab dan madzhab zhahiri yang terkenal, masih banyak madzhab yang pernah ada. Misanya Madzhab Ibn ‘Uyainah, Madzhab Auza’i, Madzhab Sufyan al-Tsauri, Madzhab al-Laits, Madzhab al-Thabari, dan bahkan madzhab al-Bukhari.
Madzhab-madzhab tersebut hilang, karena beberapa hal, antara lain: 1. Murid-muridnya tidak memelihara dan tidak menulis pendapat imam madzhabnya baik dalam bentuk risalah maupun buku; 2. Tidak didukung penguasa. Madzhab-madzhab yang bertahan, karena dipakai atau mendapat dukungan dari penguasa. Para khalifah Islam, menjadikan para Qadli dari madzhab tertentu, sehingga madzhab tersebut yang berkembang dan madzhab yang tidak didukung penguasa, hilang. madzhab al-Syafii, Hanbali berkembang, bahkan faham (bukan madzhab) Wahabi yang sekarang menguasai Saudi Arabia, dulunya Saudi Arabia (Hijaz) bermadzhab Syafii, bahkan ulama’ Indonesia ada beberapa yang menjadi imam besar masjid al-Haram, Makkah, juga bermadzhab Syafii, karena dukungan penguasa. 3. Dominasi madzhab yang lain; 4. Pindah madzhab.
Itulah ijtihad, disuruh oleh agama, namun sulit dilakukan, “Pintunya gak pernah dibuka lebar, juga tak pernah dikunci rapat”, kata salah seorang penulis. Siapa pun bisa masuk. Ia terbuka tidak tertutup; namun tak semudah yang dibayangkan kaum awam, ada kualifikasinya, harus alim, tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad, apalagi orang jahil, itu mustahil. Ijtihad perlu dilakukan karena Islam perlu direalisasikan bukan hanya diyakini saja dan diangan-angan saja, meminjam istilah Ibn Taimiyah. Islam turun dari langit, harus dibuktikan di bumi bahwa wahyu Tuhan itu rahmatan li al-‘alamin.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
[1] https://nu.or.id/opini/kekhawatiran-al-ghazali-dan-fenomena-tertutupnya-pintu-ijtihad-rrxic
https://alif.id/read/safa/ketika-pintu-ijtihad-sudah-terkunci-b245701p/ diakses tanggal 28 Juli 2025.
[2] https://alif.id/read/safa/ketika-pintu-ijtihad-sudah-terkunci-b245701p/ diakses tanggal 28 Juli 2025.
[3] https://pwmu.co/144456/04/27/ijtihad-tak-terbuka-lebar-tak-terkunci-rapat/ diakses tanggal 28 Juli 2025.
[4] https://mubadalah.id/pintu-ijtihad-masih-terbuka-siapa-yang-mau-masuk/
https://nu.or.id/opini/kekhawatiran-al-ghazali-dan-fenomena-tertutupnya-pintu-ijtihad-rrxic diakses tanggal 28 Juli 2025.
[5] https://mubadalah.id/pintu-ijtihad-masih-terbuka-siapa-yang-mau-masuk/ diakses tanggal 28 Juli 2025.
[6] https://ahmad.web.id/sites/islamlib/menyegarkan-kembali-pintu-ijtihad.htm diakses tanggal 28 Juli 2025.
[7] https://mubadalah.id/pintu-ijtihad-masih-terbuka-siapa-yang-mau-masuk/ diakses tanggal 28 Juli 2025.
[8] https://id.scribd.com/doc/113318562/Kontroversi-Pemikiran-Islam-Liberal-Di-Indonesia
https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1962/ dikases tanggal 28 Juli 2025.
[9] Baca buku, Bukhori at-Tunisi, Sayap Liberat, Moderat, dan Literar Pondok Pesantren, (Jogjakarta, Deepublish, 2018).
[10] https://www.nu.or.id/taushiyah/ijtihad-sebagai-kebutuhan-g3Doy dikases tanggal 28 Juli 2025.
alhamdulillah yai, responnya mantab sekali. pada kenyataannya, yang bilang ijtihad tertutup juga melakukan ijtihad. misalnya ada guyonan, "Ada anak kyai menshalati abahnya yang ninggal dunia, dengan pakai ruku' dan sujud" saat selesai shalat jenazah ditanya, "Gus, shalat jenazah kok ada ruku' dan sujudnya?" gus jawab, "Khusus orang alim dan sholeh, pakai ruku dan sujud." padahal Gus tadi lupa bahwa dia shalat jenazah. pada kesempatan yang lain, si Gus, shalat jenazahnya sudah seperti biasanya, normal. para muhibbonnya tanya, "kenapa sekarang gak pakai ruku' dan sujud?" Gus jawab, "Dia tak selevel ayah saya yang alim dan shalih, makanya shalat jenazahnya gak pakai ruku' dan sujud." pada peritiwa yang lain, ada kyai yang mengusulkan Haji dilaksanakan di luar bulan Dzul hijjah, ilatnya, "Demi mashlahah 'ammah, waktu haji digeser, gak pp." memang di kelompok ini, ijtihad bukan hanya soal duniawi. soal ubudiyah pun bisa dimasuki ijtihad. jadi yang ngomong gak mungkin ijtihad karena sudah tertutup, ijtihad juga. yang modernis, walaupun berkoar-koar pintu ijtihad dibuka, hasil ijtihadnya juga tidak banyak dan dominan, jadi tergantung pada person dan kekuatan keilmuan secara jam'iyyah. sehingga Gus Mus pernah nyindir, "Ijtihad kok suwe teman, onok seng nganti tahunan. nang bahsul Masail, cukup 1, 2, 3 hari cukup, kitab lan dalilile sak gunung. gak perlu suwe-suwe." memang semua cari panggung, dalam artian positif. yang tradisional kalau tidak bersikap seperti itu, habis ummatnya. yang modernis kalau tidak kampanye keterbukaan, gak dapat ummat.lah liyane memanfaatkan "kelengahan internal kalangan trsdional dan modernis, NYUSUP ke dalam SAMBIL DAPAT BANTUAN donatur besar dari LUAR. tapi alhamdulillah, daripada dapat bantuan dari VATIKAN, dapat memurtadkan orang Islam. sementara bantuan dari TIMTENG, banyak bangun PESANTREN HINGGA PERGURUAN TINGGI. tapi perlu juga belajar ETIKA. ojok kroso bener dewe, IBLIS dikeluarkan dari SURGA karena kroso PALING BENER. WKWKWKKW
BalasHapusIzin respon seh: Kalau sy yg faqir ilmu ini ga berani buka. Karena ada yg bilang pintunya sdh tertutup. Meskipun ada jg yg bilang msh terbuka.
BalasHapusDalam hal ini ada 2 pendapat tentang apakah pintu ijtihad masih terbuka atau tidak. Beberapa ulama berpendapat bahwa pintu ijtihad masih terbuka, tetapi harus dilakukan oleh ulama yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai, serta harus berdasarkan pada Al-Quran dan Hadis.
Namun, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup karena telah ada konsensus ulama (ijma') tentang berbagai aspek hukum Islam. Namun, pendapat ini tidak sepenuhnya diterima oleh semua ulama.
Dalam prakteknya, ijtihad masih dilakukan oleh ulama dan cendekiawan Muslim untuk menjawab pertanyaan dan masalah baru yang muncul dalam masyarakat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka, tetapi dengan batasan dan ketentuan yang ketat.
Izin respon seh: Kalau sy yg faqir ilmu ini ga berani buka. Karena ada yg bilang pintunya sdh tertutup. Meskipun ada jg yg bilang msh terbuka.
BalasHapusDalam hal ini ada 2 pendapat tentang apakah pintu ijtihad masih terbuka atau tidak. Beberapa ulama berpendapat bahwa pintu ijtihad masih terbuka, tetapi harus dilakukan oleh ulama yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai, serta harus berdasarkan pada Al-Quran dan Hadis.
Namun, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup karena telah ada konsensus ulama (ijma') tentang berbagai aspek hukum Islam. Namun, pendapat ini tidak sepenuhnya diterima oleh semua ulama.
Dalam prakteknya, ijtihad masih dilakukan oleh ulama dan cendekiawan Muslim untuk menjawab pertanyaan dan masalah baru yang muncul dalam masyarakat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka, tetapi dengan batasan dan ketentuan yang ketat.
Syarahnya bagus sekali Yai.
BalasHapusDi dalam tulisan saya sebutkan, di tengah2.
Mana mungkin orang gak punya ilmu (jahil) ijtihad, di dalamnya sudah ada contradictio interminus, dalam bahasa pesantren, khususnya mantiq, ada 'tanaqudl', wong gak duwe ilmu kok ijtihad, ya gak mungkin, muhal.
Yang ijtihad ya orang yang berilmu, itu yang yg 'mutalazim', konsisten, konsekwensial.
Tak mungkin sesuatu persoalan baru dijawab oleh imam Mujtahid mutlak, karena dah ninggal semua, pasti yg bisa jawab dan berijtihad ya ulama' sekarang.
Yang baca sejarah pemikiran islam, fiqih juga d dalamnya, sebutlah Imam Syafii, tidak semua ijtihad imam Syafi'i baru, pasti ada yg mengutip atau melanjutkan pemikiran imam sebelumnya.
Ijtihad tertutup hanya bahasa panggung para fanatikus madzhab, dan pintu ijtihad tetbuka lebar, juga slogan yang berat dilakukan. Nyatanya, yg lulusan perguruan tinggi pun, belum tentu berani berijtihad.
Biarlah para ustadz n ustadzah Ponpes YTP yg buka seh, merekalah para 'alamah dibidang hukum agama, sy norok botek wae 🤣
BalasHapusMasih soat pintu IJTIHAD Seh.
BalasHapusTernyata memang pendapat ulama terbelah jd 2.
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup dan tetap terbuka bagi mereka yang memenuhi syarat,
2. sementara sebagian lain berpendapat bahwa ijtihad mutlak telah terhenti karena sulitnya memenuhi syarat menjadi seorang mujtahid.
Pandangan yang Menyatakan Pintu Ijtihad Terbuka karena:
1. Kebutuhan Ijtihad:
Sebagian ulama berpendapat bahwa ijtihad tetap dibutuhkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan baru yang muncul dalam kehidupan masyarakat.
2. Perkembangan Syariat:
Menutup pintu ijtihad akan membuat syariat Islam menjadi kaku dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman, serta tidak dapat memberikan solusi bagi permasalahan baru.
3. Keterbatasan Ulama Terdahulu:
Ulama terdahulu tidak mungkin membahas semua permasalahan yang mungkin timbul di masa depan, sehingga ijtihad tetap diperlukan.
4. Fardu Kifayah:
Ijtihad merupakan fardu kifayah, yang berarti kewajiban kolektif yang jika telah dilakukan oleh sebagian orang, gugurlah kewajiban tersebut bagi yang lain.
Pandangan yang Menyatakan Pintu Ijtihad Tertutup (atau Terbatas):
1. Kesulitan Memenuhi Syarat:
Sebagian ulama berpendapat bahwa sulit memenuhi syarat-syarat menjadi seorang mujtahid, sehingga ijtihad mutlak telah terhenti.
2. Kemampuan Mujtahid Mutlak:
Mereka berpendapat bahwa tidak ada lagi ulama yang mampu mencapai derajat mujtahid mutlak seperti para imam mazhab terdahulu.
3. Cukup Mengikuti Mazhab:
Pendapat mereka adalah bahwa umat Islam sebaiknya mengikuti salah satu dari empat mazhab yang ada, dan tidak perlu melakukan ijtihad baru.
Kesimpulan:
Perbedaan pendapat ini menunjukkan bahwa masalah pintu ijtihad adalah masalah yang kompleks dan masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Meskipun ada yang berpendapat pintu ijtihad tertutup, sebagian besar ulama menekankan pentingnya ijtihad yang dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat, sebagai upaya untuk menjaga relevansi syariat Islam dalam menghadapi tantangan zaman.
Di sampung 2 pendapat itu, ada pendapat moderasi/wasatiah yaitu bahwa pintu ijtihad yg terbuka itu hanya berkaita masalah furuiyah/fiqhiyah bukan ushuliyah. Sedang yg tertutup itu berkaitan dg Ushuliyah.
Istilahnya tidak terlalu terbuka lebar dan jg tdk terlalu tertutup rapat
Umpama tersenyum ya seperti MESEM gitu seh 🤣
Wallahu a'lam...
catatan yang sangat konklusif yai. karena itu ada yang menulis, "Ijtihad dibuka tidak terlalu lebar, ditutup tapi tak terkunci. mudah2 MESEMNYA manis menyegarkan, kalau MESEMnya KECUT, menyesakkan. kita beragama kadang lebih banyak menyesakkan daripada MELEGAKAN, lah bedo titik, PENGAJIAN DITUTUP, yang satu, BEDO TITIK DIBID'AHkan, REPOT, kalau beragama tanpa TASAMUH, orang BADUI saja dibiarkan kencing di MAASJID karena tidak tahyannya. ini sudah ngaji dilarang, meleset sedikit didolalahkan, KAPAN AKURE? wkwkwkk
BalasHapus