Ijtihad yang Ada Nash-nya, Di Mana Posisi Muhammadiyah

 

Ijtihad yang Ada Nash-nya, Di Mana Posisi Muhammadiyah

الإجتهاد فيه النص, ما رأي المحمدية؟


 

 Bukhori at-Tunisi 
(Alumni Ponpes YTP Kertosono; penulis buku: Logical Fallacies, Kritik al-Qur’an atas Logika).

 A.      Ijtihad yang ada nashnya.

Kalau ijtihad terhadap sesuatu persoalan yang tidak ada nash-nya, الإجتهاد لا النص فيه , maka tidak ada khilaf antar ulama’, terbuka untuk dilakukan ijtihad. Bagaimana kalau ijtihad tentang suatu masalah yang ada teks sharih-nya (النص الصريح)? Ada 2 (dua) pendapat: 1. Tidak boleh ada ijtihad; 2. Terbuka untuk dilakukan ijtihad.

 1. Tidak boleh ada ijtihad.

Pendapat pertama, Tidak boleh ada ijtihad, misalnya pendapat Prof. Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya, “’Ilm Ushul al-Fiqh” menyatakan: 

فان كانت الواقعة التي يراد معرفة حكمها قد دل على الحكم الشرعي فيها دليل صريح قطعي الورود والدلالة فلا مجال للاجتهاد فيها. والواجب ان ينفذ فيها ما دل عليه النص, لانه ما دام قطعي الورود فليس ثبوته و صدوره عن الله او رسوله موضع بحث و بذل جهد. وما دام قطعي الدلالة فليست دلالته على معناه واستفادة الحكم منه موضع بحث و اجتهاد. وعلى هذا فايات الاحكام المفسرة التي تدل على المراد منها دلالة واضحة, ولا تحتمل تأويلا يجب تطبيقها. ولا مجال للاجتهاد في الوقائق التي تطبق فيها.[1]

 (Jika ada suatu peristiwa terjadi yang sifat hukum syar’i-nya sudah ditunjukkan oleh dalil yang qath’i al-wurud dan artinya juga sharih, maka tidak ada ruang untuk ijtihad. Dan wajib melaksanakan apa yang ditunjukkan oleh nash. Karena selama sudah ada dalil qath’i al-wurud, lalu tidak ada ketetapan dan sumber-sumber yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada rang untuk melakukan kajian dan ijtihad. Dan selama maknanya bersifat qath’i, lalu tidak ada makna yang menunjuk pada arti tersebut dan konklusi hukum yang diambil, maka tidak disediakan tempat untuk dibahas dan diijtihadi. Atas dasar ini, maka ayat-ayat hukum yang ditafsirkan dengan makna yang sesuai dengan makna denotatif, tidak menerima adanya ta’wil, maka wajib diterapkan prinsip tersebut. Karena itu, tidak ruang untuk ijtihad terhadap peristiwa tertentu untuk diterapkan prinsip tersebut).

Prof. Wahab Khalaf termasuk tokoh yang berpendapat, jika ada dalil sharih yang sumbernya sudah mutlak valid (qath’i al-wurud) dan maknanya menunjuk pada makna denotatif teks yang ada (قطعي الدلالة), maka tidak ada ruang untuk dikaji lebih jauh dan tidak menerima ijtihad. Prof. Khalaf mencontohkan ayat:

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

 (Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin.) QS. Al-Nur/24: 2.

Kata “seratus kali dera” (مائة جلدة) adalah lafad yang jelas (sharih), tidak menerima ijtihad, dengan mentakwil atau menafsirkan ke makna yang lainnya. Kata Prof Khalaf,

لا مجال للاجتهاد في عدد الجلدات” (Tidak ada ruang untuk ijtihad tentang jumlah dera hukum zina)[2]. Prof. Khalaf mengkiyaskan dengan Undang-undang yang teksnya disebut dengan kata yang jelas, tegas, denotatif, bukan ambigu, tidak konotatif, maka tidak boleh ditakwil dan dirubah makna teksnya, meskipun ruh Undang-undang tersebut mendukung adanya perubahan tersebut, hingga hakim itu sendiri tahu bahwa teks undang-undang tersebut tidak adil. 

بناء على أن روح القانون تدعو لذلك التغيير,

 حتى لو كان رأى القاضي الشخصي ان النص غير عادل [3]

 Namun jika dalilnya masih zhanni al-wurud (kesahihannya asal-usulnya debatebel), masih menerima ijtihad,“ kata Khalaf. Sanadnya diteliti, derajat perawi: sifat adil, dlabith (kekuatan hafalan), tsiqah (terpercaya), dan shidq (kejujuran). Lalu kalimatnya juga diteliti, perlu ijtihad, apakah lafadnya mubhan (ambigu), musytarak (majemuk, punya banyak arti), amm (umum), muthlaq (tak terbatas), mujmal (konotatif), dan lainnya, sehingga dipastikan batasannya, jumlah pasti yang dimaksud, makna pastinya, sesuai yang dimaksud teks (nash).

Kalau zhanni al-wurud (kesahihannya asal-usulnya debatebel) semua sepakat, bisa dilakukan ijtihad, sehingga bisa dilakukan eksplorasi makna dan pengertian baru yang beragam dan lebih menarik.

Sedang yang zhanni al-dilalah (maknanya debatebel), justru harus dibuka pintu ijtihad, karena tidak ada yang “pasti” (qath’iy). Dan, posisi ijtihad yang dihasilkan ekuivalen, sama, sama-sama ijtihadnya, sama-sama hasil pemikiran akal. Para mujtahid, muttabi’, muqallid, diberi kebebasan untuk memilih pendapat mana yang menurut pilihannya cocok dan dinilai benar menurut penilaiannya, atau bahkan sekarang lebih maju dengan menjadi pemikir atau mujtahid “fardi” (individual) baru.

Dalam hal yang tidak ada nash-nya, masuk dalam kerangka ini adalah bentuk negara dan pemerintahan dalam Islam. Tidak ada nash di dalam al-Qur’an suatu negara harus berbentuk kerajaan, kesultanan, kisra, republik, parlementer, semi parlementer, dan lainnya. Jalaluddin Rakhmat pernah menyatakan, "Apakah Nabi saw. diutus untuk mendirikan negara, ataukah menjalankah misi kenabian (profetik)? kalau itu menjadi tujuan, menjadi "sunnah" nabi, "Wajibkah setiap muslim mendirikan negara Islam?" Konsekwensi dari pertanyaan tersebut, "Bagaimana jika orang tidak meyakini bahwa nabi misinya bukan mendirikan negara namun menjalankan misi kenabian?" Apakah dosa besar, masuk neraka, dan seterusnya? karena menjadi bagian dari "kepercayaan"? Jawaban apologis sederhana tanpa berfikir mendalam adalah, "Jika Nabi misinya mendirikan negara? berarti Nabi punya misi menjadi presiden, raja, malik, atau kisra dalam menyampaikan misi kenabiaannya." nyatanya, Nabi tidak punya misi untuk mendirikan negara lalu menjadi penguasanya.

Al-Qur’an dan Sunnah hanya menyerukan hal-hal yang bersifat normatif, misalnya menjadi pemimpin yang adil, berprinsip syura, mewujudkan kemakmuran dan kemaslahatan, kedamaian, memenuhi hak asasi (dasar) manusia, dan lainnya. Termasuk yang berpendapat tidak ada format negara khusus menurut Islam adalah pendapat Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, pioner kaum pembaharu. Di Indonesia, Prof. Mahfud MD. juga berpendapat seperti ini, “Tidak ada nash al-Qur’an maupun Hadits tentang bentuk negara dan pemerintahan, tentang bentuk negara itu merupakan hasil ijtihad. Di negara-negara Arab pun bentuk pemerintahannya berbeda-beda. Beda antara Saudi Arabia, Turki, Iran, Syria, Mesir, dan lainnya.”[4]

Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, “Bentuk pemerintahan negara yang dipraktikkan Nabi mirip pemerintahan republik, bukan kerajaan.”[5] Namun Nabi sendiri bukan presiden an sich, ia menjadi pemimpin atas kepemimpinan keNabian dan tak pernah mengangkat diri beliau sebagai “presiden” an sich. Sehingga ada yang menyebut pemerintahan Nabi adalah pemerintahan profetik (keNabian). Kepemimpinan sosial politik pemerintahannya jelas ada, namun pengabsahan atas kepemimpinan formal sebagai kepala negara dan pemerintahan secara “leterlek” tidak ada. Adanya pemerintahan keNabian terbentuk atas kesadaran profetik-keNabian sehingga membentuk formula pemerintahan, dan berjalan normal sebagaimana lembaga pemerintahan, dengan Nabi sebagai pemimpin tertingginya, tidak bisa kita tolak. Dan yang membantu Nabi juga tidak pernah secara resmi dengan SK (Surat Keputusan) Nabi untuk menjadi menteri, panglima tentara, gubernur, dan lainnya, sehingga ditugaskannya para sahabat ke daerah tertentu ada yang ditafsirkan sebagai gubernur, misalnya Gubernur Yaman, Gubernur Irak, Syria, dan lainnya.

Abul A’la Al-Maududi pemikir kenamaan dari Pakistan bahkan menyebut pemerintahan Nabi sebagai pemerintahan republik, begitu juga pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Oleh sebab itu, ketika Muawiyah ibn Abi Sufyan merebut kekuasaan dari Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib yang pernah dibaiat sebagai khalifah sekitar 6 atau 7 bulan dengan Perjanjian ‘Amul Jama’ah (Tahun Rekonsiliasi) dengan kompensasi tertentu yang diberikan kepada Hasan Ibn Ali, termasuk di antaranya adalah akan diadakan pemilihan kembali pemimpin pemerintahan pasca Muawiyah berakhir, namun dikhianati dengan Muawiyah dengan pengangkatan Yazid ibn Muawiyah sebagai Putra Mahkota kerajaan Umayyah. Abul A’la al Maududi secara jelas dan terang menyebut peralihan ini, sebagai peralihan dari pemerintahan khalifah menjadi Kerajaan.[6]

Lalu apakah misalnya dari bentuk kekhalifahan ke kerajaan kemudian menjadikan seseorang akibat pemerintahannya berbentuk kerajaan lalu menjadi kafir? Ulama’ Sunni tidak pernah menjadikan urusan “pemerintahan” (imamah dalam perspektif Syiah) bagian dari “aqidah”. Kalau Syiah, imamah adalah bagian dari rukun Iman. Sehingga di kalangan Sunni, tidak ada ulama salaf dan khalaf, gara-gara hidup di negera yang berbentuk kerajaan, republik, parlementer, dan lainnya, menjadi kafir, murtad, atau bahkan muslim itu sendiri. Tidak ada rukun dan syarat menjadi muslim harus berada di negara dan pemerintahan “Islam”. Bahkan dalam sejarahkan politik Islam, proses pengangkatan dari Khulafaur Rasyidin sendiri tidak sama, berbeda-beda. Abu Bakar lewat musyawarah, Umar ibn Khaththab lewat penunjukan, Utsman ibn Affan lewat Team yang dibentuk Umar, Ali ibn Abi Thalib lewat baiat kaum muslimin terutama kelompok kontra Utsman pada waktu itu. Lalu mana yang harus dipilih? Tidak ada nash. Sehingga bentuk apa pun pemerintahan dan negara, sah, yang terpenting adalah isi dan misinya: Keadilan, kesejahteraan, keamanan. Apa pun bentuknya, tidak menyalahi nash, karena nashnya tidak ada. Di al-Qur’an ada tamsil Nabi Dawud sebagai raja, Nabi Sulaiman sebagai raja, berarti masyarakat hidup di wilayah kerajaan. Ada juga Nabi yang justru hidup tidak menjadi raja, namun sebagai rakyat sebuah kerajaan, namun keberagamaannya tetap diterima Allah. Banyak Nabi yang tidak jadi raja, ada yang jadi menteri, ada yang menjadi insan biasa, yang hanya menjadi pemimpin kaumnya. Keberagamaannya pun tidak ditentukan di mana para Nabi hidup di wilayah kekuasaan tertentu. Bahkan tokoh sekaliber Ibn Taimiyah pernah menyatakan, “Agama dapat tegak tanpa negara, namun negara tanpa agama, rusak, meskipun tujuan agama sulit untuk diwujudkan tanpa peran negara.” 

2. Terbuka untuk dilakukan ijtihad.

Pendapat yang kedua, boleh melakukan ijtihad terhadap persoalan yang ada nash-nya. Pendapat ini memang kontroversial, karena jelas-jelas ada teks yang sharih, masih dilakukan ijtihad. Ijtihadnya bertentangan secara diametral dengan makna tekstualnya. Sehingga tidak semua bisa menerima ijtihad yang dicetuskan. Nash tersebut bisa nash al-Qur’an atau nash Hadits. Jadi dalam pendapat yang kedua ini,

Di awal formulasi hukum Islam, yang paling kontroversial adalah kebijakan khalifah Umar ibn Khaththab terhadap beberapa ketentuan yang jelas-jelas ada nashnya, namun diambil tindakan kebalikannya (muqabalah). Kata yang mendukung, “Umar tidak meninggalkan Nas, namun memahami nash melalui pemahaman atas tujuan nash, ruh-nya nash, yang dituju oleh nash.” Inilah cikal bakal madzhab rasional dalam fiqih Islam. Kang Jalal menyebutnya sebagai Madzhab Umari. Madzhab fiqih rasional. Ada beberapa kebijakan Umar ibn Khaththab saat menjadi khalifah “menyalahi” nash sharih, namun bila direnungkan secara mendalam, tenang, bertafakkur secara jernih, akan “ketemu” ruh yang diijtihadi Umar terhadap nash. [Nanti di bawah akan dipaparkan].

Di masa pentasyri’an, tidak ada persoalan serius, karena Nabi punya hak tasyri’ dari Allah. Misalnya adanya kebolehan Mut’ah berdasarkan QS. Al-Nisa’/4: 24, namun dinasakh oleh “kebijakan” Nabi, bukan oleh al-Qur’an, yang secara piramida posisinya ada di puncak, sedang “hadits” atau “Sunnah” ada di bawahnya, sehingga tidak ekual antara nash al-Qur’an dengan nash Hadits. Peristiwa seperti ini, bisa menjadi preseden bagi kebolehan melakukan ijtihad atas nash yang sharih.

Dalam pembagian “Ghanimah”, Bilal ibn Rabah adalah pioner terdepan untuk “melawan” kebijakan Umar tersebut. Bilal bersikeras bahwa tindakan Umar menyalahi nash, sehingga kebijakan tersebut harus dilawan, karena jelas-jelas bertentangan dengan nash yang sharih” Lama negosiasi Umar untuk melunakkan pendapat Bilal dan pendukngnya. Namun banyak sahabat senior yang mendukung pendapat Umar, sehingga kebijakan Umar diterima, untuk tidak membagikan “ghanimah” (Rapasan perang) kepada para prajurit, prajurit tetap digaji antara lain diambil dari ghanimah tersebut, namun tanah rampasan perang tersebut dipekerjakan kepada penduduk setempat, diambil jizyahnya, dengan penguasaan tanah rampasan di tangan negara. Kang Jalal menyebut kelompok Bilal ini dengan Madzhab Bilali. Di antara cikal bakal fiqih tradisional, bahkan zhahiri. Pada akhirnya kata Kang Jalal, fiqih yang menang adalah fiqih penguasa. Dalam masa-masa selanjutnya, fiqih yang didukung kekuasaan juga menjadi fiqih pemenang, fiqih yang dominan. Mesir saat Bani Fathimiyah berkuasa, madzhab fiqih yang dominan adalah fiqih Syiah. Saat digantikan oleh Dinasyi Mamluk dan Ayyubiyah, beralih ke Madzhab Syafii. Di Saudi Arabia pun, Madzhab Syafii pernah menguasai dunia fiqih di sana. Namun saat Dinasti Sa’ud menguasai Arab atau Hijaz, yang beraliran Hanbali atau pun Wahabi, fiqih Syafii tergeser. Jadi, geser-menggeser dalam “perebutan” dominasi madzhab fiqih, banyak tergantung fiqih penguasa. Termasuk juga berlaku di Indonesia.

Berikut contoh dari Umar ibn Khaththab tentang Ijtihad yang ada teks sharihnya dan contoh mutakhir dari ulama’ kontemporer: 

1.       Nikah mut’ah. 

Nikah mut’ah adalah menikahi seorang wanita untuk jangka waktu tertentu, dengan mahar yang telah ditentukan. Jangka waktu pernikahan ini secara jelas disebutkan ketika akad nikah, misalnya satu minggu atau satu bulan. Dan, masa mut’ah berakhir secara otomatis sesuai akad, tanpa proses perceraian.

Nikah mut’ah, secara tekstual (nash) dihalalkan di dalam al-Qur’an, dengan mendasarkan QS. Al-Nisa’/4: 24. Pendapat ini dikemukakan oleh salah seorang tokoh Syiah Indonesia, Kang Jalaluddin Rakhmat. Dalam QS. Al-Nisa’/4: 24, disebutkan:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

Maka jika kamu melakukan “istimta’” dari para perempuan itu, berikanlah kepada mereka maskawinnya sebagai suatu kewajiban. Tidak ada dosa bagi kamu mengenai sesuatu yang saling kamu relakan sesudah menentukan kewajiban. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Kang Jalal mengartikan “istimta’” pada ayat di atas sebagai “nikah mut’ah”. Menurut Kang Jalal, nikah Mu’ah halal secara tekstual dengan rukun dan syarat yang ditentukan sebagaimana yang telah ditentukan oleh syara’.

Tafsir sebagaimana ditafsirkan KH. DR. Jalaluddin Rakhmat, ditafsirkan juga oleh kitab besar tafsir besar Sunni, misalnya Tafsir al-Khazin dan Tafsir Ibn Katsir. Dalam Tafsir al-Khazin yang nama tafsir lengkapnya: Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, yang disusun oleh Ala'uddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi al-Khazin mengatakan:

 “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selesai dengan memastikan kesuciannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya, dan tidak ada hak waris antara keduanya…”[7]

Dalam al-Thabari dijelaskan tentang pendapat Ubn Abbas tentang nikah Mut’ah


روى الطبري في "تفسيره" (8/ 177) والحاكم في "مستدركه" (3192) وابن أبي داود في "المصاحف" (ص204) عن أبي نضْرَةَ، قال: قَرَأْتُ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، (فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ( فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ) .

قَالَ أَبُو نَضْرَةَ: فَقُلْتُ: مَا نَقْرَؤُهَا كَذَلِكَ

فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: " وَاللَّهِ لَأَنْزَلَهَا اللَّهُ كَذَلِكَ [8] ".

 (Dalam Tafsir al-Thabarinya; Imam al-Hakim dalam Mustadraknya; Abu Dawud dalam Mashahif; “Abu Nadlrah berkata, “Saya membacakan ayat “Fa ma istam’tatum bihi …” kepada Ibn Abbas” Ibn Abbas menjawab, “Maka yang istimta’ dengan peremuan hingga masa yang ditentukan [Mut’ah]”

Abu Nadlrah berkata, “Lalu aku bertanya, “Mengapa anda membeca seperti itu?”

Ibn Abbas berkata, “Demi Allah, ayat tersebut turun berkenaan dengan hal itu [Mut’ah] 

Sedang Mufassir kontemporer dari Nahdlatul Ulama’, Gus Baha’ menafsirkan kata “istimta’” tidak dengan arti nikah Mut’ah, namun dimaknakan dengan, “Orang yang menikah di mana maharnya belum dibayarkan, kalau mau mushaharah harus ditunaikan kewajiban (faridlah, mahar) yang belum dilunasi. Tidak boleh “istimta’” dengan istri manakala masih ada “tangungan hutang mahar” kepada istri.

Dari kalangan sahabi, Ibn Abbas adalah sahabat Nabi yang membolehkan nikah Mut’ah.[9]

 Imam Ali menegur Ibnu Abbas dan menyatakan kalau nikah mut’ah telah diharamkan di Khaibar. 

حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ

 (Telah menceritakan kepada kami Malik bin Ismail yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah yang telah mendengar dari Az Zuhriy yang mengatakan telah mengabarkan kepadaku Hasan bin Muhammad bin ‘Aliy dan saudaranya ‘Abdullah bin Muhammad dari ayah keduanya bahwa Ali radiallahu ‘anhu pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah dan makan daging himar jinak di masa Khaibar [Shahih Bukhari 7/12 no 5115])

anehnya setelah peristiwa ini Ibnu Abbas masih saja menghalalkan mut’ah.[10] 

وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس قال ابن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبدالله ابن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم ) فقال له ابن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك

 (Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus yang berkata Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair berdiri [menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya yaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang tersebut memanggilnya dan berkata “sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan batu” [Shahih Muslim 2/1023 no 1406]) 

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا يونس بن محمد حدثنا عبد الواحد بن زياد حدثنا أبو عميس عن إياس بن سلمة عن أبيه قال رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أوطاس في المتعة ثلاثا ثم نهى عنها [11]

 Abu Bakr ibn Abi Syaibah bercerita, dari Yunus ibn Muhammad, dari ‘Abd al-Wahid ibn Ziyad, dari Abu ‘Umais, dari Iyas ibn Salamah, dari ayahnya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk melakukan nikah mut’ah pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Makah) selama tiga hari. Kemudian beliau melarangnya.” (HR. Muslim no. 18, 1405).

sejak kapan nikah Mut’ah dirukhshahkan pada zaman Nabi, ada yang mengatakan pada perang  Khaibar (7 H), ada yang mengatakan pada Fathu Makkah (Penaklukan kota Makkah [9 H]).[12]

كُنَّا فِي جَيْشٍ، فَأَتَانَا رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُوا

Kami berada dalam sebuah pasukan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami dan berkata, “Sesungguhnya kalian telah diperbolehkan untuk melakukan mut’ah, maka lakukanlah.” (HR. Bukhari no. 5117, 5118)

Hadits berikut menggambarkan kronologi nikah Mut’ah.

Kebolehan kawin kontrak adalah riwayat Jabir bin ‘Abdillah dan Salamah al-‘Akwa’: 

      عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَسَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَا كُنَّا فِي جَيْشٍ فَأَتَانَا رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُوا وَقَالَ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنِي إِيَاسُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ تَوَافَقَا فَعِشْرَةُ مَا بَيْنَهُمَا ثَلَاثُ لَيَالٍ فَإِنْ أَحَبَّا أَنْ يَتَزَايَدَا أَوْ يَتَتَارَكَا تَتَارَكَا فَمَا أَدْرِي أَشَيْءٌ كَانَ لَنَا خَاصَّةً أَمْ لِلنَّاسِ عَامَّةً قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَبَيَّنَهُ عَلِيٌّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَنْسُوخٌ  

“Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Al-Akwa’, keduanya berkata: Ketika kami berada dalam suatu pasukan perang, Rasulullah saw mendatangi kami dan bersabda: "Sesungguhnya telah dizinkan bagi kalian untuk melakukan nikah mut'ah, karena itu lakukanlah." Ibnu Abi Dzi`b berkata: "Telah menceritakan kepadaku Iyas bin Salamah bin Al Akwa' dari bapaknya dari Rasulullah saw: "Bilamana seorang laki-laki dan perempuan telah bersepakat, maka batas maksimal antara mereka berdua adalah tiga malam. Jika keduanya suka, maka keduanya boleh menambah, atau pun berpisah." Aku tidak tahu, apakah perkara itu adalah khusus bagi kami, ataukah juga orang lain secara umum. Abu ‘Abdullah berkata, ‘‘Ali menjelaskan dari Nabi saw, bahwa perkara tersebut telah mansukh (dihapus)’.” (HR Al-Bukhari).

Nikah mut’ah, pada asalnya adalah nikah yang dilakukan oleh para prajurit perang yang jauh dari tempat tinggal mereka sebagai “sadd al-dzari’ah” agar tidak terjatuh kepada sesuatu yang madlarat. Dilaksanakan menurut rukun dan syarat yang jelas dan pasti tertentu, namun berbeda dengan nikah biasa yang berlaku pada umumnya, yang tentu dengan rukun dan syarat tertentu juga.

Dalam formasi pembentukan masyarakat muslim awal, tentu pengaruh tradisi Arab dalam hukum perang dan masyarakat poligami, berpengaruh dalam memformulasi hukum Islam, khususnya hukum keluarga.

Mengutip “Wikishia”, “Para fukaha Syiah dengan bersandar kepada riwayat-riwayat tidak hanya memberikan fatwa tenang kebolehan nikah mut’ah bahkan menurut mereka melakukan hal ini merupakan amalan yang mustahab [dianjurkan, disunnahkan, bk].[13] Syi’ah Imamiyah membolehkan nikah Mut’ah. Ibn Hajar al-Asqalani (773-852 H), salah satu ulama Sunni, juga mengatakan bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada masa Nabi saw. Syi’ah mengharamkan Mut’ah, yaitu Zaidiyah, Ismailiyah dan Ibadhiyah hukum kehalalan nikah mut'ah dihapus sejak zaman Nabi saw juga dan pernikahan seperti ini dihukumi haram.[14]

Menurut Kang Jalal, di negeri Syria, Lebanon, Iran, sensitif, bisa dilempari batu, kalau berbicara Mut’ah, karena suatu aib.[15] Ulama’ kontemporer Murtadla Mutahhari mengharamkan Mut’ah di suatu tempat yang ada istrinya.[16]

Pada akhirnya, nikahMut’ah dilarang. 

كُنَّا نَسْتَمْتِعُ بالقَبْضَةِ مِنَ التَّمْرِ وَالدَّقِيقِ، الأيَّامَ علَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، وَأَبِي بَكْرٍ، حتَّى نَهَى عنْه عُمَرُ، في شَأْنِ عَمْرِو بنِ حُرَيْثٍ  

 “Dahulu kita melakukan praktik mut’ah dengan mahar segenggam kurma dan gandum selama beberapa hari di masa Rasulullah saw dan Abu Bakar, sampai kemudian Umar melarangnya dalam permasalahan ‘Amr bin Huraits.” (HR. Muslim).

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang nikah mut’ah pada tahun Khaibar (yaitu, tahun ketujuh Hijriyah, pent.) dan melarang memakan daging keledai jinak.” (HR. Bukhari no. 5115 dan Muslim no. 1407),

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Wahai sekalian manusia, (dulu) aku telah memperbolehkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita, namun (sekarang) Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat …” (HR. Muslim no. 1406)

Larangan dilakukan oleh Khalifah Kedua, Umar bin Khatthab, yaitu, ketika beliau menjabat sebagai khalifah, di mana beliau berpidato di hadapan khalayak,

Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah Saw adalah utusan Allah, dan al-Qur’an adalah al-Qur’an ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah Saw, tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya. Salah satunya adalah nikah Mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. 

Alasan dilarang dan diharamkannya nilah Mut’ah karena:

1.       Sadd al-Dzari’ah, menutup jalan yang dapat mengantarkan kepada keburukan dan akibat negative lainnya.

2.       Dar’u al-mafasid, mencegak kerusakan yang ditimbulkan oleh nikah Mut’ah, misalnya Nasib anak yang dilahirkan, misalnya dalam skala besar dan nasib perempuan pasca nikah Mut’ah.

3.       Jalb al mashalih li al-mar’ah, menarik manfaat dari pelarangan Mut’ah dalam kejelasan masa depan suami, istri, dan juga anaknya secara finansial, ekonomi, Pendidikan, dan jaminan sosial lainnya.

Jika hukum haram Mut’ah dikaitkan dengan metode Nasikh-Mansukh, dalam teori Ushul Fiqih ada yang menolak al-Qur’an dimansukh dengan Hadits, karena tidak selevel. Al-Qur’an bersifat Qath’iy al wurud, hadits bukan qath’iy al-wurud. Karena itu, bagi kelompok ini, Nikah Mut’ah tetap mubah, karena secara tekstual nashnya masih ada.

Bagi kelompok yang mengharamkan dengan pendekatan Nasikh-Mansukh, al-Qur’an boleh dinasakh dengan Hadits, karena sama-sama nash. Meski yang menasakh bukan al-Qur’an namun Hadits, tetap sah dan al-Qur’an boleh dinasakh dengan Hadits, sehingga mubahnya hukum Mut’ah yang berasal dari al-Qur’an, dinasakh oleh Hadits yang melarang Mut’ah.

Jadi, Nikah Mut’ah bukan hanya dibolehkan oleh Syiah Imamiyah saat ini, dari kalangan Shahabi pun, seperti Ibn Abbas, yang tidak pernah dinisbatkan riwayatnya dengan kelompok Syiah, memubahkan Nikah Mut’ah. Justru Shahabi yang diidentikkan dengan Syiah, yaitu Imam Ali Karramallahu wajhahu, mengharamkan Nikah Mut’ah. Dari kalangan Syiah pun, tidak satu kata, Syiah Zaidiyah, Ismailiyah, Ibadiyah, mengharamkan Mut’ah. Kelompok Sunni, Ijma’ mengharamkan Nikah Mut’ah. Beda ulama’ beda ummatnya, beredar info, di Puncak Bogor, banyak Kawin Kontrak dengan dalil Nikah Mut’ah, agar halal. Mustahil yang melakukan Kawin Kontrak semuanya Syiah, karena mayoritas di Indonesia, khususnya Puncak Bogor, Islam Sunni. 

2.       Talak tiga. 

Talak tiga adalah talak yang diucapkan suami kepada istri dalam waktu yang berbeda, setelah talak satu dan talak dua, yang menyebabkan hubungan pernikahan antara suami dan istri putus secara permanen dan tidak dapat dirujuk kembali, kecuali mantan istri menikah lagi dengan pria lain (muhallil), melakukan hubungan suami istri (dukhul), kemudian bercerai dan menjalani masa iddah setelahnya.

Pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu masa Rasulullah dan Abu Bakar, talak tiga yang diucapkan dalam satu waktu dianggap satu talak. ketika seorang suami mengucapkan "Saya talak kamu tiga kali" atau "Kamu kutalak, kamu kutalak, kamu kutalak" dalam satu waktu atau satu majelis, ucapan tersebut hanya dianggap sebagai satu talak.

Pada masa Umar ibn Khaththab jadi khalifah, beliau menetapkan talak tiga dalam sekali talak, bagi kaum laki-laki yang mengucapan talak tiganya kepada sang isteri meski hanya dalam satu waktu, bukan dalam waktu yang berbeda. Khalifah Umar menetapkan talak tiga dalam sekali pengucapan menjadi talak tiga yang hakiki, sehingga terjadi “thalaq ba’in” (talak jauh), yang berakibat tidak bisa rujuk kembali kecuali mantan istrinya menikah dengan lelaki lain dan menggaulinya, karena waktu itu, banyak lelaki yang main-main dengan ucapan talak.

Kebijakan Umar tersebut ingin memberikan pelajaran kepada kaum lelaki agar tidak main-main dalam mengucapkan talak kepada isteri, dan melindungi kaum perempuan dari arogansi kaum laki-laki atas otoritas talak yang mereka miliki, sehingga dapat mempermainkan posisi perempuan yang lemah dan banyak tergantung kepada laki-laki. Kebijakan Umar tersebut untuk menciptakan kemaslahatan keluarga, anak, dan mantan istri agar posisi tawarnya kuat kepada laki-laki, karena harus merelakan “disentuh” lelaki lain jika mau kembali kepada mantan istrinya. Itu pun jika si Istri mau rujuk, jika tidak mau cerai dengan “sang muhallil”, maka tidak ada hak bagi mantan suami untuk memohon diceraikan oleh sang muhallial, karena memang sudah menjadi “orang lain”, bukan istrinya lagi. Ini, pemberian pelajaran bagi kaum laki-laki agar tidak sewenang-wenang kepada isteri.

. Kebijakan Umar tersebut jelas-jelas bertentangan dengan nash al-Qur’an yang mengakui adanya “talak” bersifat “periodik”: Talak satu, talak dua, dan talak tiga. Dan hal tersebut dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda. Bagaiman sikap kita? 

3.       Sumpah Palsu. 

Pada zaman Umar, sumpah seseorang tidak diterima sebagai bukti atas sebuah peristiwa tertentu, karena pada masa itu, banyak orang yang bersumpah, namun sumpahnya sumpah palsu. Sumpahnya terkadang digunakan untuk merugikan atau merusak reputasi dan menjatuhkan nama orang lain, berdasar kesaksian sumpahnya, padahal sumpahnya adalah sumpah palsu. 

4.       Rampasan perang. 

Prof. Fazlur Rahman dalam Islmic Methodology in History menyebutkan, “Umar jelas-jelas ‘meninggalkan’ ketentuan yang jelas-jelas ada nash sharih-nya, adalah dalam kerangka memahami “sunnah yang hidup” sebagaimana yang dipraktikkan

Dengan menjadikan QS. Al-Hasyr/59:10,

وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

)Orang-orang yang datang sesudah mereka (MuHajirin dan Ansar) berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami serta saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.( 

Rahman memberi komentar atas kebijakan Umar  tersebut:

menjadi motivasi Umar adalah pertimbangan keadilan sosial ekonomi dan ia tidak mau membiarkan negeri-negeri yang luas dibagi-bagikan kepada pasukan Arab muslim sehingga penduduk beserta generasi-generasi kemudian hari terbengkelai.” (Rahman: 273). 

Secara historis hal ini merupakan sebuah fakta yang sedemikian jelas dan tegas, sehingga pernyataan atau perbuatan yang tak dapat disalahtafsirkan seperti inilah yang oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari disebut sebagai “muhkam” atau “manshush”. ... jelas sekali pernyataan ini menunjukkan bahwa generasi-generasi muslim di masa lampau tidak terikat oleh apa yang di kemudian hari dinamakan “nash” atau kata-kata yang tertulis di dalam teks.” (Rahman: 273-4)

Yang di lakukan Nabi terbatas kepada melieu suku-suku bangsa, dan oleh sebab itu, kita tidak dapat melakukan praktek yang sama di mana daaerah-daerah yang luas dan keseluruhan ummat manusia terlibat; jika tidak demikian berarti kita melanggar prinsip-prinsip keadilan yang telah diperjuangkan Nabi selama hayatnya.”

“Umar jelas sekali meninggalkan “Sunnah” Nabi di dalam sebuah masalah penting, namun hal itu dilakukannya demi menegakkan esensi dari “Sunnah” Nabi itu sendiri.” (Rahman: 274). 

5.       Budak dianiaya Tuannya. 

Budak pernah digambarkan sebagai “setengah” manusia, sehingga boleh diapa-apakan oleh pemikiknya, tuannya, hingga digauli pun boleh. Budak disetarakan dengan “sil’ah” (komoditi dagang) sehingga boleh diperjual-belikan. Karena itu, pada kekuasaan sistem monarchi, banyak kaum lelaki dan perempuan jadi budak untuk diperdagangkan, lalu dipekerjakan sesuai keinginan tuannya, dan harus nurut, tunduk, dan patuh. Sehingga dalam satu Hadist digambarkan, “Budak yang lari dari tuannya, akan masuk neraka.”

Pada masa awal Islam, bagaimana nasib Sumayyah, Bilal ibn Rabah, dan lainnya, disiksa oleh tuannya, karena masuk Islam. Itu salah satu gambaran nasib budak pada zaman keNabian. Dan bangsa-bangsa di Timur-Tengah, kawasan Eropa yang melakukan sistem perbudakan yang sama pada masa itu.

Pada zaman Umar, budak dianiaya oleh tuannya, oleh Umar dimerdekakan (Rahman: 279). Kebijakan Umar ini sangat manusiawi dan melindungi harkat dan martabat manusia yang diperbudak kaum kaya, kaum borjuis. Tindakan Umar adalah mengembalikan martabat manusia menjadi manusia yang sesungguhnya: manusia merdeka, merdeka dari segala bentuk perbudakan, penindasan, diskriminasi, dan pelecehan lainnya. Umar pernah berkata, “Apakah kamu akan memperbudak manusia yang dilahirkan oleh Allah dalam keadaan merdeka?”

Bagaiman sikap anda? Karena kebijakan Umar berseberangan dengan teks sharih. 

6.       Muallaf 

Pada zaman Nabi, para muallaf diberi bagian zakat untuk me-lunak-kan hati mereka kepada Islam. Pembagian tersebut berdasarkan firman Allah QS. Al-Taubah/9: 60:

۞ اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

 Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Pada zaman Umar jadi khalifah, Muallaf tidak dikasih bagian zakat, karena menurut pertimbangan Umar, Islam sekarang sudah kuat, tidak perlu “belas kasihan” para Muallaf untuk memperkuat posisi Islam secara politik.

Prof. Fazlur Rahman memberi komentar atas peristiwa kebijakan Umar atas nash yang jelas-jelas ada nash tekstualnya tersebut, “Tanpa dapat diragukan lagi membuktikan bahwa generasi-generasi muslim yang paling awal, tidak memandang ajaran-ajaran al-Qur’an dan “Sunnah” Nabi Muhammad sebagi ajaran-ajaran yang bersifat statis, tetapi pada dasarnya sebagai ajaran-ajaran yang bergerak secara kreatif sesuai dengan bentuk-bentuk sosial yang beraneka ragam.” (Rahman: 285). 

B.      Tokoh lain yang berijtihad atas nash yang sharih. 

1.       Ali ibn Abi Thalib: Potong tangan: Potong jari

Seseorang pecinta Amirul Mukminin Ali telah melakukan kesalahan dan harus menerima hukuman. Imam Ali as menjalankan hukuman dengan memotong jari-jari tangan kanannya. Setelah menerima hukuman itu, lelaki itu pun segera pergi sambil membawa jari-jarinya yang telah terputus di tangan kirinya sementara darah terus menetes ke tanah.

Di tengah jalan, dia bertemu dengan Ibnul Kawwa, seseorang dari Khawarij dan pembenci Imam Ali as. Dia ingin memanfaatkan situasi itu agar lelaki tersebut membenci Ali. Dengan wajah penuh kasih sayang dan berpura-pura simpati ia bertanya, “Siapa yang telah memotong jarimu?” Laki-laki itu dengan besar hati menjawab, “Jari-jariku telah dipotong oleh penghulu penerima wasiat para nabi, pemimpin kafilah dengan wajah bercahaya di Hari Kiamat, sosok yang paling berhak terhadap Mukminin; Ali bin Abi Thalib, sang pemandu jalan hidayah… Orang pertama (setelah Rasul saw) yang memasuki surga, pejuang gagah berani, penuntut balas orang-orang yang ingkar… penunjuk jalan kebenaran dan kesempurnaan. Apapun yang diucapkannya adalah kebenaran. Pemberani Makkah dan sosok mulia nan setia kepada Rasul saw.”

Ibnul Kawwa berkata, “Celaka kamu! Dia sudah memotong-motong jarimu tapi engkau masih memujinya?!” Lelaki itu menjawab, “Bagaimana aku tidak memujinya sementara kecintaan terhadapnya telah menyatu, meresap ke dalam darah dan dagingku. Demi Allah, dia tidak memotong jariku kecuali semata-mata untuk menjalankan perintah Allah swt atas kesalahan yang aku perbuat.”

Seorang pencuri telah dibawa ke hadapan khalifah. Pencuri itu mengakui perbuat­annya dan meminta kepada khalifah agar menjalankan hukuman terhadapnya. Khalifah mengundang para fukaha (ahli fikih), termasuk Abu Ja’far as. Khalifah bertanya mengenai “batas manakah tangan pencuri harus dipotong.”

Aku menjawab, “Dari pergelangan tangan.” Khalifah bertanya, “Apa dalilnya?” Aku jawab, ““Yang disebut tangan adalah dari jari hingga perge­langan tangan, karena Tuhan telah berfirman di dalam ayat (tayyamum): Setelah itu, usaplah tanah ke mukamu dan tanganmu (QS Al-Maidah : 6). Maksud dari tangan di dalam ayat ini adalah jari-jari hingga pergelangan tangan. Sejumlah ahli fikih sepakat denganku bahwa tangan pencuri harus dipotong dari pergelangan tangan. Namun beberapa ahli fikih berpendapat bahwa tangan pencuri harus dipotong dari siku, karena Tuhan berfirman dalam ayat wudhu: Basuhlah tangan kalian hingga ke siku, dan ayat ini menunjukkan bahwa batas tangan adalah siku.”

Kemudian Mu’tashim memandang Abu Ja’far as dan bertanya, “Bagaimanakah pendapatmu?” Abu Ja’far as berkata, “Hadirin dan ulama sudah memberikan jawaban, maka tidak diperlukan lagi pendapatku.” Mu’tashim sekali lagi mendesak Abu Ja’far as untuk menyampaikan pendapatnya. Abu Ja’far as kali ini pun minta maaf.

Akhirnya Khalifah Mu’tahsim berkata, “Demi Tuhan! Sampaikanlah apa yang engkau ketahui tentang masalah ini.” Abu Ja’far as berkata, “Kini, karena engkau menyumpahku atas nama Tuhan, maka aku akan menyampaikan pendapatku. Sebenarnya hanya jari-jari pencuri saja yang harus dipotong, dan telapak tangan harus dibiarkan.”

Khalifah Muktashim bertanya, “Apakah dalil dari pendapatmu ini?”

Abu Ja’far as berkata, “Rasul saw telah bersabda: ‘Sujud dilakukan dengan tujuh anggota badan; wajah (kening), dua telapak tangan, dua lutut, dua kaki (dua jari (jempol) besar kaki).’ Oleh karena demikian, jika tangan pencuri diputus dari pergelangan tangan sampai siku atau sampai pergelangan tangan, maka tidak ada tangan yang tersisa untuk memenuhi syarat sujud.”

Allah Swt telah berfirman, Dan sesungguhnya tempat-tempat sujud kepunyaaan Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping menyembah Allah. Maksud dari tempat sujud adalah tujuh anggota badan yang digunakan sujud, dan apa yang untuk Allah tidak boleh diputus.”

Khalifah Mu’tashim setuju dengan fatwa Imam dan memerintahkan agar jari-jari pencuri itu saja yang dipotong. Ibnu Abi Du’ad berkata, “Saat itu, aku merasa sudah kiamat dan aku merasa lebih baik mati dan tidak menyaksikan kejadian yang sangat merendahkanku itu.”[17]

Jadi, dalam masalah potong tangan pun, sahabat, dan saat kekhalifahan Abbasiyah, berbeda pendapat. Ada alternatif hukum yang ditawarkan oleh mereka, tergantung kita untuk mencernanya. Koruptor pada zaman klasik tidak ada contohnya, bagaimana kalua koruptor dihukum mati, adakah nash sharihnya? 

2.       Prof. Amien Rais: Zakat Profesi. 

Zakat Profesi pernah menjadi perbincangan hangat di tahun 80-90-an, karena dianggap “menyalahi” fiqih umum yang diketahui masyarakat, sesuai yang diajarkan di sekolah, madrasah, pesantren, kajian-kajian yang selama ini diajarkan di surau, mushalla, dan masjid-masjid. Adalah DR. Amien Rais, seorang intelektual muslim muda yang progresif, yang menggagas ide adanya Zakat Profesi. Ulama’, cendekiawan, para khatib, guru ngaji, jurnalis, dan beragam profesi lainnya, memperbincangkan isu Zakat Profesi tersebut. Cendekianwan sekelas Kang Jalal, Cak Nun, Prof. Masfuk Zuhdi, dan lainnya, juga membehas tentang Zakat Profesi tersebut. Ide brilian yang sangat monumental, menggoncang sendi-sendi fiqih tradisional, seolah tak terjamah oleh fikih lama, karena zaman itu, mungkin belum ada profesi yang digaji melebihi gaji seorang petani, kekayaan seorang pedagang, sehingga luput dari pengamatan fiqih. Adalah “terawangan” mendalam dan pandangan yang tajam dari kejeniusan seorang scholar sospol berbicara tentang fiqih kontemporer yang seolah-olah luput dari Bahsul Masail kaum Nahdliyin atau kajian Tarjih Muhammadiyah, sehingga tidak terangkat ke permukaan untuk dibahas dan dikaji di majelis masing-masing.

Zakat Profesi dibahas panjang lebar oleh DR. Amien Rais dalam buku kumpulan makalahnya, “Cakrawala Islam” yang diterbitkan oleh Mizan. Zakat Profesi adalah zakat atas penghasilan yang dihasilkan dari profesi, keahlian, atau pekerjaan seseorang. Zakat Profesi secara nash tidak disebutkan secara leterlek dalam nash sharih tentang zakat, di luar yang disebutkan oleh nash seperti zakat perdagangan, pertanian, emas, tambang, dan lainnya. Karena tidak disebutkan secara sharih oleh nash, misalnya dari kalangan Salafi Indonesia, misalnya Ust. Khalid Basalamah, Ust. Syafiq Riza Basalamah berpendapat bahwa “penghasilan yang berasal dari profesi tidak ada zakatnya” karena “tidak ada dalilnya.” Kata Ust. Syafiq, “Pada zaman Nabi ada profesi, jadi penulis, ..., tetapi tidak pernah disebut oleh Nabi saw. untuk dizakati, karena itu, zakat profesi tidak ada.” [18] Namun Ust. Dzulqarnain dari Makkasar menerima adanya zakat profesi, nishabnya diqiyaskan dengan zakat Mal.[19] Sedang DR. Erwandi Tarmizi, juga menerima adanya zakat profesi, nishabnya diqiyaskan dengan zakat uang, yang ada Nishab dan haul-nya.[20]

Ulama’ muda Muhammadiyah, Ust. Adi Hidayat menyatakan, Zakat Profesi ada dalilnya, diambil dari dalil umum tentang “infaq” dan “amwal”. Tidak semua yang tidak disebut, lalu tidak ada di dalam al-Qur’an. Sesuatu itu  bisa diambil dalilnya dari dalil umum, muthlaq, khash, muqayyad, mubayan dan lainnya. Kata Ust. Adi Hidayat, “Tentang zakat Profesi misalnya, dapat diambil dari dalil umum QS. Al-Baqarah/2: 267:”

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Hai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. 

Tidak ada yang mengatakan bahwa gaji, pendapatan, salary dari hasil profesi bukan “hasil usaha” (ma kasabtum), karena itu, profesi wajib dikenai zakat. Hasil pertanian dengan jumlah akumulasi kekayaan yang tidak seberapa dikenai zakat, sedang gaji dari profesi tertentu hingga menghasilkan uang ratusan juta hingga milyaran tidak dikenai zakat profesi karena tidak ada dalil yang sharih, sangat naif.

Sedang nishab zakatnya, menurut Ust. Adi, diqiyaskan dengan zaat pertanian, sehingga cara mengeluarkan zakatnya tidak menunggu sampai satu tahun (haul), namun langsung saat menerima gajian, seperti hasil pertanian yang dikeluarkan saat panen selesai. [21]

وأتوا حقه يوم حصاده

(Dan hendaklah kalian mengeluarkan hak-nya saat selesai memanen) 

Ulama’ muda NU, Gus Baha’ mengatakan tentang Zakat Profesi ini, “Petani gabah, jagung, gandum, dikenai zakat, karena disebut sebagai bagian dari zira’ah, padahal sekarang, petani kakau, cengkeh, merica, tembakau, dan lainnya, dengan hasil milyaran, gak wajib zakat karena tidak masuk bab “zuru’”, itu namanya fiqih tanpa nurani.” “Petani yang “kere” (miskin) dikenai zakat?, yang menghasikan ratusan juta bahkan milyaran, tidak dikenai zakat, karena tidak disebutkan secara leterlek, di mana nuraninya?” Hukum itu tetap pada prinsip umumnya yaitu:

الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما

al-Hukmu yaduru ma al-‘illat wujudan wa ‘adaman

(hukum ada karena ada atau tidak adanya ilat)

Pada zaman Nabi, pernah ada sahabat Nabi yang bertanya tentang zakat sayur-mayur, Nabi menjawab, “Hadhrawat laisa fiha syai’u.” (sayuran tidak ada zakatnya). Karena yang ditanam hadlrawat pada zaman itu di Galengan, di pematang sawah, dalam jumlah terbatas. Sekarang petani sayuran dalam jumlah hektaran dengan omset ratusan juta hingga milyaran rupiah.

“Begitu juga, Dirut Pertamina, tambang, dirut BUMN lainnya, per bulan dapat milyaran rupiah, terus gak dikenai zakat karena tidak ada dalil sharih yang menyebutkannya, di mana nuraninya?. Untung para pemikir Muhammadiyah, NU, mau berfikir keras dan maju.” Kata Gus Baha’. Mengutip cerita Muhammad Assegaf, pengacara mantan Peresiden Soeharto, kata Gus Baha’: “Tarif kepengacaraannya 1 milyar, kalah atau menang.”

Dulu orang gak kebayang bahwa tenaga profesional mampu menghasilkan “salary” yang tinggi. Yang terlihat dan terpantau hanya pertanian, dagang, emas, perak, dan tambang, sehingga zakat tak terfikirkan. Sekarang zaman berbeda, perkembangan keahlian sehingga mencetak banyak tenaga profesional, ternyata menjadi sumber kekayaan yang tak terbayangkan. Untung, jika mau disebutkan seperti itu, Allah Maha Tahu dan Bijaksana, dengan menyebutkan kalimat umum, “... Ma kasabtum” sehingga semua jenis pekerjaan yang menghasilkan kekayaan, dikenai zakat.

Dalil selanjutnya adalah “Hudz min amwalihim, bukan min zuru’ihim. [22]  Jadi, jenis harta apa saja, bila masuk dalam kategori “amwal”, wajib dikenai zakat. 

3.       Munawir Sadzali: Waris 1:1 

Pembagian waris dalam QS. Al-Nisa’/4: 11,laki-laki dapat 2 bagian, sedang perempuan dapat 1 bagian.

يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين

(Allah mewasiatkan kepada kamu tentang bagian waris anak-anak kamu, seorang laki-laki mendapat warisan sepadan dengan dua bagian perempuan)

Pembagian waris antara laki-laki dengan perempuan 2 : 1 (dua banding satu) pada zaman itu adalah keadilan, karena perempuan banyak bekerja di ranah domestik (rumah tangga), sehingga yang banyak bekerja adalah laki-laki. Sedangkan sekarang, pekerjaan laki-laki dengan perempuan hampir sama. Ada di pertanian, perkantoran, pendidikan, tambang, dan lainnya, sehingga pembagian 1 : 1 (satu banding satu) adalah pembagian yang paling rasional, dan mencerminkan keadilan yang sama-sama bekerja. Di antara argumen yang diajukan Prof. Munawir Sjadzali adalah sebagai berikut:

Pertama, bagian warisan antara laki-laki yang dua kali lipat dari bagian wanita, tidak mencerminkan semangat keadilan bagi masyarakat Indonesia sekarang ini. Hal ini terbukti dengan banyaknya penyimpangan dari ketentuan waris tersebut baik dilakukan oleh orang awam maupun ulama, dengan cara melakukan hailah, yakni dengan cara menghibahkan harta bendanya kepada putera-puterinya ketika orang tua tersebut hidup. Ini merupakan suatu indikasi atas ketidakpercayaan masyarakat muslim terhadap hukum waris dalam Al-Qur’an.

Kedua, faktor gradualitas. Menurut Munawir, wanita pada masa jahiliyah tidak mendapatkan warisan, maka ketika Islam datang, wanita diangkat derajatnya dan diberi warisan walaupun hanya separo dari bagian laki laki. Pengangkatan derajat wanita dengan diberinya warisan ini tidak secara langsung disamakan dengan laki-laki, tetapi dilakukan secara bertahap. Hal ini sesuai dengan sifat gradual ajaran Islam sebagaimana kasus pengharaman khamer. Kemudian oleh karena pada masa modern ini wanita memberikan peran yang sama dengan laki-laki di masyarakat, maka merupakan suatu yang logis bila warisannya ditingkatkan agar sama dengan laki-laki.

Ketiga, bahwa bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan dikaitkan dengan suatu persyaratan bahwa laki-laki mempunyai kewajiban memberi nafkah terhadap anak isteri, bahkan orang tua maupun adik.[23]

1:1 (satu banding satu) adalah model pembagian yang diusulkan oleh mantan Menteri Agama RI, Prof. Munawir Sjadzali. Ide yang dibungkus dengan ide “Reaktualisasi Ajaran Islam” mendapat berbagai respon, mulai dari yang lembut, setuju, setuju dengan catatan, menolak, dan bahkan menghardik. Orang biasa, ulama, bereaksi atas ide reaktualisasi Prof. Munawir karena “melawatan” teks yang jelas-jelas ada. Tapi dalam realitas, benar apa yang dikatakan Prof. Munawir, masyarakat kita “ambigu”, tidak menyelesaikan pembagian waris menurut ilmu Faraid, tapi banyak lari ke hukum adat, pengadilan umum bikan pengadilan agama, pembagian dibagi rata antara waris laki-laki dengan waris perempuan, terjadi hibah dan sejenisnya, untuk menambahi pembagian yang dianggap “kurang”, san seterusnya. 

4.       Masdar Faried Mas’udi: Pajak sebagai Zakat. 

Gagasan K.H. Masdar Mas’udi, mantan pengurus PBNU, tentang pajak disamakan dengan zakat, dituangkan dalam bukunya, Agama keadilan: risalah zakat (pajak) dalam Islam.[24] Melalui pendekatan Sejarah “pungutan” terhadap rakyat kecil yang dilakukan oleh penguasa, Adalah cikal-bakal formalisasi pajak dalam Sejarah politik modern. “pungutan liar” yang dilakukan oleh kelompok kuat kuat kepada kelompok lemah, disamping untuk “melindungi” jiwa mereka dari ancaman fisik bila menolak, “pungli” juga sebagai “ladang kehidupan” bagi kelompok kuat sebagai sumber kehidupan mereka. Pungli yang dipungut juga sebagai jaminan, bahwa hak-hak kelompok yang dipungut “dilindungi” oleh para pemungut. Tentu hasil pungutan tersebut dibagi dan dipergunakan untuk survival organisasi pemungut “iuran” biar lebih tertata dan tidak kacau pendistribusiaannya dan jaminan keberlangsungan organisani liar tersebut. Inilah nanti yang menjadi cikal-bakal “pajak” yang diambil alih oleh negara, yang notabenenya juga, “negara” pada asalnya juga berawal dari “kekuasaan liar” yang terorganisir yang diformalkan.

Sedang pajak, asal muasalnya adalah “jizyah” (arti asalnya: “balasan”, kompensasi) yang diterapkan kepada non muslim yang ditaklukkan oleh kekuasaan Islam sebagai jaminan atas perlindungan hak-hak mereka sebagai warga negara. Berikut antara lain kutipan yang menjelaskan:

“Jizyah yang pada mulanya hanya diberlakukan kepada kalangan non muslim atas jaminan yang mereka terima dari  negara. Kemudian  seiring  perkembangan wilayah Islam diberlakukan  system pajak yang disebut dengan jizyah yang pada mulanya hanya diberlakukan  kepada kalangan non muslim atas jaminan yang mereka terima dari negara. Begitu pula tanah-tanah hasil penaklukkan dengan perjanjian damai yang tetap dianggap milik penduduk  setempat namun konsekuensinya mereka diwajibkan membayar pajak (kharaj), bahkan sekalipun pemiliknya telah memeluk ajaran Islam. Inilah kiranya yang menjadi awal berlakunya pajak bagi kaum muslimin di luar zakat.”[25]

Zakat dan pajak, sebenarnya mempunyai hubungan dalam  konsep  keagamaan  (keruhanian) dan konsep keduniawian (kelembagaan). Zakat dan pajak bukanlah hubungan dualisme yang dikotomis, melainkan hubungan keesaan wujud dialektis. Menurutnya, zakat merasuk ke dalam pajak sebagai ruh dan jiwanya, sedangkan pajak memberi bentuk pada zakat sebagai badan atau raga.

Hakikat membayar pajak pada saat ini sama saja dengan membayar zakat, hanya saja tidak disadari. Oleh karena itu, setiap orang yang membayar pajak harus disertai dengan nilai membayar zakat 

Keduanya berbeda, tetapi tidak untuk dipisahkan. Oleh karena itu, sebagaimana tercermin dalam konsep zakat, harta diserahkan kepada Negara sebagai kelembagaan kepentingan manusia dalam mengatur kehidupannya. Sedangkan untuk Tuhan, cukup niat yang menjiwai dan melatar-belakangi penyerahan pajak itu saja.

Pada awal formasi Islam, bagi kaum muslim diwajibkan membayar zakat yang diserahkan kepada Amil Zakat, yang kemudian pada zaman Umar ibn Khaththab dilembagakan menjadi Baitul Mal –sekarang mirip dengan lembaga kementerian keuangan—dan bagi non uslim membayar jizyah atau “kharaj” (pajak). Keduanya sama-sama diserahkan kepada lembaga Amil Zakat, tetapi jangan dimaknakan dengan Amil Zakat swasta sperti di Indonesia. Namun harus dimaknai dengan “Lembaga Pendapatan Negara” yang mirip dengan kementerian keuangan.

Dengan ide Kyai Masdar ini, menghincari penduduk khususnya yang muslim untuk “double accounting(membayar dua kali): 1. Zakat kepada Amil Zakat; 2. Pajak kepada negara. Padahal penghasilannya satu. 

C.      Di mana Posisi Muhammadiyah? 

Muhammadiyah membatasi diri jika ijtihad terhadap masalah yang ada nash sharihnya. Jika berkenan dengan masalah ibadah mahdlah, maka Muhammadiyah bersikap tawaquf (berhenti, menerima apa adanya sebagaimana yang ada di dalam nash sharih). Misalnya jumlah shalat zhurhur 4 rakaat, Muhammadiyah menerima “apa adanya” seperti yang ada di dalam teks (nash). Haji di bulan Dzul Hijjah, Muhammadiyah tidak pernah mengusulkan untuk merubah pelaksanaan Haji di bulan Rajab misalnya, karena Haji masuk kategori ibadah mahdlah; namun berkenan dengan perangkat Haji misalnya zaman Nabi naik kendaraan Onta, sekarang boleh menggunakan “badal” kendaraan lainnya, seperti Pesawat, Bus, atau Kereta Api, karena itu berkaitan dengan ibadah ghairu mahdlah atau bersifat mu’amalah dunyawiyah, meski di dalam nash Hadits dikisahkan bahwa Nabi naik Haji mengendarai Unta.

Muhammadiyah menyikapi ijtihad terhadap perkara yang ada nash sharihnya, misalnya dalam penentuan “Hilal” untuk tanggal 1 (satu) bulan Qamariah, Muhammadiyah mengambil sikap “memilih” di antara 2 (dua) pilihan: 1. Metode Ru’yah (melihat secara “langsung” bulan); 2. Metode Hisab (menggunakan pendekatan matematik dalam menentukan Hilal). Muhammadiyah memilih Metode Hisab.[26]

Jika dalam masalah ibadah ghairu mahdlah atau bersifat mu’amalah dunyawiyah, Muhammadiyah membuka diri untuk melakukan ijtihad. Misalnya sabda Nabi tentang penentuan bulan baru Qamariah dalam kalender Hijriyah, Muhammadiyah memilih pilihan Metode Hisab dibandingkan dengan menggunakan Metode Ru’yah.

Praktik Nabi dan Shahabi jelas-jelas menggunakan rukyah mata telanjang, kecuali jika gelap, mendung, atau apa pun yang menghalangi untuk melakukan ru’yah, maka pakai “hisab”, dengan menggenapkan “hitungan” bulan. Meskipun aslinya, hadits-hadits yang berkenaan dengan penentuan bulan baru Qamariah bersifat “pilihan” (khiyariyah), Muhammadiyah menentapkan dirinya untuk menggunakan Metode Hisab. Banyak sudah argumen yang dikemukakan oleh  Muhammadiyah atau pun yang bukan Muhammadiyah tapi mendudukung gagasan Muhammadiyah, untuk dibaca di sana! Di sini hanya menyinggung prinsipnya saja.

Atas pilihan Muhammadiyah tersebut, ada yang menuduh Muhammadiyah “Meninggalkan nash, karena nash-nya jelas-jelas ada.”[27] Ada juga yang menuduh Muhammadiyah melakukan “bid’ah”.[28] Atas tuduhan tersebut, Muhammadiyah tidak bergeming atas pilihan ijtihadnya dengan berbagai pertimbangan:

1.       Secara naqli, Muhammadiyah tidak meninggalkan dalil sharih yang ada, cuma memilih di antara alternatif perintah yang ada di dalam dalil.

2.       Muhammadiyah memandang bahwa perintah tersebut bukan bagian dari ibadah mahdlah, namun ghairu mahdlah, yang bersifat keduniawian, namun dikaitkan dengan amaliah ubudiyah, sehingga masih bisa dibedakah mana yang ibadah mahdlahnya dengan ibadah yang ghairu mahdlahnya, antara yang ibadah murni dengan yang muamalah duniawiyah.

3.       Muhammadiyah memahami teks tidak berhenti pada teks (nash) itu sendiri, namun difahami dari sisi semangat teks yang ada (asbab al-wurud) dan perkembangan niali-nilai baru yang berkembang, sesuai dengan semangat zaman (al-hikmah), sehingga dapat dimanfaatkan mashlahahnya untuk sains (ilmu pengetahuan) itu sendiri dan kemanusiaan.

4.       Muhammadiyah tidak pernah menafikan hasil ijtihad lainnya (al-ijtihadu la yunqadl bi al-ijtihad), sehingga tidak mensahkan amaliah yang lain karena berbeda metode yang dipakai.

5.       Dalam realitas perkembangan sains dan sosial, sudah tidak memadai pendekatan ru’yah dalam menghadapi perkembangan sains dan sosial. Bagaimana besuk atau lusa ditentukan hari raya, belum ada kepastian, karena tergantung pada visibelitas hilal. 

Muhammadiyah pernah “setengah menantang” secara tidak langsung metode Hisab yang digunakannya kepada yang menentang dan yang mengkritik metodenya, saat terjadi Gerhana Matahari Total pada tahun 1980-an, “Apakah Metode Hisab Muhammadiyah akurat ataukah “meleset”?” ternyata tepat secara tanggal, jam, menit, berapa derajat, dan seterusnya.

Sekarang, sebutlah firman Allah QS. Al-Baqarah/2: 187: dalam penggunaan penentuan sahur saat mau Puasa, jelas-jelas disebutkan menggunakan “benang” (al-al-khaith). Yang belum banyak disinggung oleh para pengkaji masalah Ru’yah dan Hisab.

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ

(Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.)

Jelas, praktik Nabi dan Shahabi saat ayat al-Qur’an di turunkan untuk mendapatkan informasi batas waktu sahur, menggunakan “benang” (al-khaith) sebagai alatnya. Lalu jika saat sekarang tidak menggunakan benang untuk mengetahui “fajar”, misalnya pakai jam digital, jam dinding, jam tangan, dan lainnya, yang jelas-jelas meninggalkan nash yang sharih, tidak boleh, karena “bertentangan” (tanaqudl) dengan nash? Muhammadiyah menerima adanya perubahan penggunaan alat untuk mengetahui “fajar” yang sesuai dengan perkembangan zaman melalui “ijtihad ‘ilmi”. Mengapa? Karena penentuan “mengetahui waktu” berkaitan dengan urusan ibadah ghairu mahdlah atau bersifat mu’amalah dunyawiyah, sehingga terbuka pintu ijtihad. Penggunaan alat bukan ibadah, an sich, itu sendiri. Sehingga penggunaan alat digital atau pun non digital yang bisa sampai pada akurasi penentuan waktu, bisa dipergunakan, tanpa harus menggunakan “benang”, meski di teks al-Qur’an jelas-jelas menggunakan kata “al-al-khaith” (benang). Apakah kemudian dituduh tidak taat Ulil Amri dan melakukan “bid’ah” karena tidak menggunakan “benang” (al-al-khaith) dalam penentuan waktu?

Dalam masa pandemi Covid-19, Muhammadiyah mengambil sikap dalam masalah shaf shalat berjamaah, dengan mamatok jarak tertentu (shaff distance) sebagai upaya menghindari terjadinya penularan Covid-19. Ada dua pendekatan yang digunakan Muhammadiyah: 1. Pendekatan sadd al-dzari’ah; 2. Pendekatan dlarurat.

Sadd al-dzari’ah sebagai upaya membendung agar meminimalisir penularan dengan menjauhi kontak langsung dengan orang lain. Sedang pendekatan dlarurat, segala sesuatu manakala menghadapi kondisi genting dan membahayakan, memboleh sesuatu yang diarang, memubahkan sesuatu yang asalnya keharusan. Dengan dua dalil istibathi tersebut, Muhammadiyah hendak merealisasikan hak-hak dasar kemanusiaan dengan menyelamatkan nyawa (hifzh al-nafs), menghindari diri dari terpapar penyakit ganas (hifzh al-jism) agar agama terselamatkan, duniwiyah dapat diraih.

 



[1] Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Mesir Dar al-Qalam li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1978), h. 216.

[2] Ibid.

[3] Ibid., h. 217.

[4] https://www.youtube.com/watch?v=1gv98bYtLdE&t=21s diakses tanggal 21 Agustus 2025.

[5] https://www.youtube.com/watch?v=TzyL5Ic5M0E diakses tanggal 21 Agustus 2025.

[6] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung, Mizan, 1990)

[7] Ala'uddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi al-Khazin, Tafsîr Al-Khâzin, cet. 1,(Lebanon, Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, 2004 M (1425 H). Juz 1, h. 361-2,

[23] Apik Anitasari I S, Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali, KHULUQIYYA, VOL 3 NO 1 JANUARI 2021

[24] Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1991).

[27] Mantan Katib Amm PBNU, A. Malik Madani, MA., pernah menyatakan di sebuat televisi swasta dalam acara “hearing” yang diadakan Depag RI, menyatakan secara implisit yang ditujukan ke Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah meninggalkan perintah yang jelas-jelas ada nashnya.         

KH. Dr. Kholil Nafis dari MUI pun menyindir Muhammadiyah yang tidak mau ikut Keputusan Pemerintah RI lewat Depag RI tentang I Ramadlan dianggap tidak taat “Ulil Amri” (pemerintah, penguasa). Padahal keputusan Ulil Amri katanya, “Raf’u al-khilaf” (menghilangkan perselisihan).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Obituari Kanda Kaeladzi

الحاكم (الصادر الحكم بين أهل الرأي و أهل التقليدي

K.H. Ja'far Yasa': Kyai yang Bersahaja