Logika Diferensi, al-Fashl al-Manthiqi, dan Patologi Sosial Keagamaan
Logika Diferensi, al-Fashl
al-Manthiqi, dan Patologi Sosial Keagamaan
الفصل المنطقي
وباتولوجي الإجتماعي الديني
Sangat esensial untuk ditelisik dari sisi falsafi dan manthiqi untuk
mengurai (tahlili) keruwetan benang penghubung sebuah struktur agar
ditemukan “akar”, “pokok” (ashl, asas, essence, foundation) yang
sebenarnya, bukan ranting “penghias”-nya. Dalam ilmu Manthiq, suatu “konsep” (tashawwur)
dianggap jelas batasannya, definisinya (hadd), manakala “Jami’” (inklusi,
yang bisa masuk di dalamnya) dan “mani’” (ekslusi, yang “dilarang”,
yang “tertolak” masuk di dalam) jelas (al-fashl). Jika diferensi (al-fashl)
tidak dipakai dan hanya memakai aksiden, sifat, atau atribut (‘aradl), maka
hanya disebut deskripsi (rasm), bukan definisi, bukan batasan (hadd).
Dalam Ilmu Manthiq, al-fashl adalah suatu sifat
atau sekumpulan sifat yang membedakan suatu hakikat (esensi) dari
hakikat-hakikat lain yang berada dalam satu jenis (jins) yang sama,
sehingga membentuk bagian dari definisi utuh suatu konsep. Laki-laki dan
perempuan berbeda, karena beda al-fashl-nya; mu’min dan kafir jelas
perbedaannya, manakala al-fashl-nya jelas; Indonesia dan Malaysia
wilayahnya jelas, manakala fashl (pembeda, pembatas)-nya jelas. Seorang
dikatakan sebagai “penduduk” Indonesia, manakala “jelas” KTP-nya. Seorang
dikatakan lulus sekolah atau universitas, manakala “fashl”-nya jelas,
jelas lulusnya, jelas ijazah-nya (ijazah sebagai fashl, difensi);
kalau tidak punya ijazah, maka tidak lulus sekolah atau universitas.
Doeloe, ada adagium tentang korupsi, “Kalau tidak ketangkap KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) bukan koruptor. Koruptor ialah manakala melakukan korupsi
ketangkap KPK. Jikalau korupsi, lalu tidak ketahuan dan tidak ditangkap KPK,
tidak disebut –oleh masyarakat, pendukung, penikmat— koruptor.” Jadi,
formalitas tangkap tangan KPK, menjadi “definisi” (hadd) sebagai
koruptor. Walau korup, namun tidak ditangkap KPK, belum di-define koruptor.
Helah itu sebagai candaan, guyonan, omongan orang gardu, bincang para sopir
tentang korupsi dan definisinya. Tetapi, semua tahu, bahwa yang namanya korupsi
adalah memperoleh, mengambil, mendapat manfaat, atau memberi
manfaat kepada yang lain dari kekayaan yang bukan haknya. Ibarat maling,
tidak disebut maling kalau tidak ketangkap sebagai maling. Padahal masyarakat
tahu bahwa orang dan perbuatannya maling. Seolah-olah, “Ketangkap
tangan” menjadi fashl korupsi ataupun maling, padahal bukan.
Atribut, sifat, aksiden, ‘aradl, adalah suatu sifat yang dengannya
tidak bisa menghilangkan esensi (haqiqah, mahiyah, huwiyah) sesuatu. ‘Aradl,
atribut, sifat, adalah suatu "sifat" atau "kondisi” yang
melekat pada unsur dasar (essence, Jauhar, mahiyah, huwiyah),
seperti warna atau bentuk pada suatu benda, tetapi bukan esensi dari benda itu
sendiri. “Putih” adalah “’aradl” pada “kapas”. Kapas tetap disebut kapas
meski tidak berwarna putih, misalnya kapas yang diberi warna hijau, merah,
kuning, atau watna lainnya. Esensi, hakikat, Jauhar Kapas tetap sebagai
kapas meski tidak putih, karena putih hanya sifat, kondisi, atau ‘aradl saja,
bukan hakikatnya. Manusia misalnya, diberi “sifat”, atribut, ‘aradl,
bisa “bersuara” (shaut, voice, sound). Bila “aradl”
tersebut dilekatkan kepada manusia, lalu hilang sifat bersuaranya, tidak
meniadakan esensi manusia yang tidak bersuara, ia tetap disebut manusia meski
tidak bersuara. Karena “suara” bukan esensi, hakikat, jauhar, mahiyah,
huwiyah, manusia. Ia hanya “sifat” atau “kondisi” manusia saja. Contoh lain
tentang definisi yang tidak memakai fashl, “Siapakah manusia?” Manusia
adalah hewan bersuara, definisi tersebut hanya disebut “rasm” (gambaran)
saja, karena suara bukan al-fashl. Inilah yang disebut dengan
“deskripsi” (rasm) namun bukan “definisi” (hadd), karena “’aradl”
tidak bisa “menjadi batas” yang membedakan antara manusia dengan yang bukan
manusia, karena bianatang pun bisa bersuara. Berbeda dengan “fashl”,
maka jika fashl tidak ada, maka jauhar, mahiyah, huwiyah-nya
tidak ada. Contoh yang sering dikemukakan adalah “nathiq”. Manusia
dibedakan dengan yang bukan manusia karena kemampuan “nathiq”-nya.
Manakala “nathiq’-nya hilang, maka tidak disebut manusia lagi. Jika
dengan “fashl” tersebut manusia yang hilang “nathiq”-nya tetap
disebut manusia, maka “nathiq” bukan “fashl” lagi, harus dicari
yang benar-benar fashl sebagai pembeda manusia. Jika fashl nathiq
ada yang membantah, maka fashl tersebut belum mencapai “ijma’”, maka
harus dicarikan “fashl” yang lain yang tidak ada lagi fashl
setelahnya.
Misalnya, ada yang memberi tambahan
definisi manusia nathiq, dengan nathiq abstraktif seperti
kemampuan berfikir matematik. Hewan tidak bisa berfikir abstraktif dengan
menambahkan satu tambah satu sama dengan dua, dst. Ada juga yang menambahkan,
manusia adalah makhluk berbudaya, atau berperadaban. Manusia mampu menciptakan
sistem berfikir, epistemologi, membikin rumus dan seterusnya, hewan tidak bisa,
ia statis. Manusia mampu membangun rumah yang beragam, berbeda, megah, asri dan
seterusnya. Manusia mampu membangun istana, bangunan pencakar langit, dst.,
hewan tidak mampu. Rayap misalnya, rumahnya dari doloe seperti itu itu saja,
tidak berubah.
Fashl yang paling jelas dan tidak bisa dibantah adanya adalah beda antara
laki-laki dengan perempuan, yaitu Mr. P dengan Mrs. V. Setiap yang punya P
pasti laki-laki dan yang setiap punya V pasti perempuan. Seorang transgender
pun jika ingin merubah status jenis kelaminnya, maka “alat vital”-nya harus
dirubah, sehingga status kelaki-laki-annya atau keperempuaannya berganti.
Itulah yang disebut “pembeda”, diferensi, al-fashl.
Untuk memudahkan pemahaman “atribut”, “’aradl” dengan esensi,
hakikat, mahiyah, adalah cerita yang pernah disampaikan K.H. Zainuddin
MZ, “Syaikh al-Azhar diundang untuk hadir ke istana raja Mesir. Datanglah
Syaikh al-Azhar dengan pakaian yang biasa dia pakai. Sang raja tidak berkenan
dengan pakaian sang syaikh. Akhirnya dikirimlah baju yang setandar Istana.
Akhirnya datanglah sang syaikh ke Istana kerajaan, dengan membawa baju yang
setandar istana tersebut. Saat sampai, sang syaikh masuk menghadap raja, namun
tidak ngobrol sama sekali. Sang syaikh mengatakan, “Yang dibutuhkan raja adalah
pakaiannya, bukan saya, karena itu saya bawakan baju ini dan ku kembalikan.
Lalu dia pulang meninggalkan istana, tanpa dialog antar keduanya.” Baju adalah
atribut, bagi Syakh al-Azhar, esensi adalah keilmuan, bukan baju.
Membuat definisi biar deferensif memang sulit, karena itu perlu megumpulkan
sifat, ‘aradl, indikator, yang bisa menjadi “fashl”, distingsi,
pembeda, sehingga tidak ada lagi sifat yang lebih kecil, atau paling bawah.
Proses inilah yang disebut dengan “jami’” (جامع),
mengumpulkan, mengakumulasi, mengidentifikasi semua sifat-sifat. Lalu
sifat-sifat yang “tidak bisa masuk”, tertolak,
dibuang, inilah yang disebut dengan “mani’” (مانع).
Dalam Ilmu Ushul al-Fiqh ada istilah “sabr wa taqsim” (السبر و التقسيم).
“Al-Sabr” artinya membatasi sifat-sifat yang ada setelah “dikumpulkan”
semua yang layak untuk dimasukkan sebagai ilat atau sifat sesuatu, menguji satu
persatu, membuang yang tidak layak sebagai sifat atau ilat dan “menetapkan”
satu yang layak sebagai satu-satunya sifat atau ilat. Sedang “al-Taqsim”
adalah membagi-bagi, mengidentifikasi sesuatu yang menjadi sebab atau sifta
sesuatu. Gus Baha’ sering mencontohkan dalam ceramahnya tetang Allah dan
ciptaan-Nya dengan mengutip QS. Al-Thur/52: 35-36.
اَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ اَمْ هُمُ
الْخٰلِقُوْنَۗ اَمْ خَلَقُوا السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ بَلْ لَّا يُوْقِنُوْنَۗ
“Apakah mereka diciptakan bukan dari tiada ataukah mereka
menciptakan (diri mereka sendiri)?
Ataukah mereka menciptakan langit dan bumi? Bahkan
mereka sendiri tidak meyakini (apa yang mereka katakan.”
Kata Gus Baha’, “Layakkah manusia, atau lainnya dijadikan tuhan atau
mengaku sebagai tuhan, sedangkan mereka sendiri diciptakan dari yang Ada. Gak
mungkin sesuatu yang diciptakan diciptakan dari ketiadaan. Maujud ini ada
karena adanya Sabab al-Wujud yang Wajib Ada sebelum adanya sesuatu, Yang
Wujudnya tidak didahului sesuatu yang lain (Qidam), Dia Yang Awal yang tidak
ada mendahuluinya. Dia ada dengan sendirinya (Qiyamuhu bi nafsiHi)
yang tidak membutuhkan yang lain, baik diciptakan, diperanakkan, atau memerlukan
penebusan yang lain. Jadi, gak pantas, sesuatu yang diciptakan mengaku sebagai
Pencipta. Tidak pantas sesuatu yang masih butuh, masih tergantung kepada yang
lain dijadikan tuhan.”
Atau yang mengaku sebagai tuhan, mampukah menciptakan langit dan bumi serta
isinya yang tanpa tiang dan penyangga? Semuanya serba tidak meyakinkan logika,
ilmu pengetahuan, dan fithrah kemanusiaan itu sendiri.
Jadi, sifat-sifat yang dikumpulkan, diidentifikasi, lalu diseleksi, yang
layak masuk dimasukkan dan yang tidak layak, dikeluarkan, terkhir: Ditetapkan
satu pilihan. Inilah yang disebut “al-Sabr wa al-Taqsim”. Ada juga yang
membalik: “Al-Taqsim wa al-Sabr” (dipilah-pilah dahulu, baru ditetapkan
satu yang pasti).
Dalam istilah yang lain juga digunakan istilah “Tanqih al manath”
yaitu “membersihkan sifat-sifat yang dijadikan sandaran atas sebuah masalah
sebagai ilatnya, dan menetapkan satu sebagai ilat atau sebab yang paling pokok
(tahqiq al-manath: ilat yang sudah ditahqiq, sudah diseleksi), Tahqiq
al-manath. Inilah yang disebut sebagai al-Shifah al-tsabitah
al-fariqah al-fashilah, sifat permanen sebagai pembeda yang jelas.
Syahadat(ain)—selanjutnya disebut Syyahadat saja-- adalah penyebab
seseorang menjadi muslim. Syahadat juga menjadi pembeda (al-fashl)
seorang muslim dan non muslim. Orang disebut muslim manakala telah bersyahadat,
dan tidak disebut muslim manakala tidak pernah menyatakan Syahadat. Orang yang
mengakui Ada-nya tuhan belum tentu disebut muslim manakala tidak meng-Esa-kan
Allah, misalnya penganut politeisme, penyembah banyak tuhan, paganisme,
penyembah patung. Yang mengEsa-kan Allah pun tidak disebut muslim manakala
tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Dua-duanya menjadi kesatuan
yang tidak boleh dipisah, karena mengingkari satu dari keduanya, masuk kategori
non muslim. Sebagaimana QS. Al-Nisa’/4: 150-151:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖ
وَيُرِيْدُوْنَ اَنْ يُّفَرِّقُوْا بَيْنَ اللّٰهِ وَرُسُلِهٖ وَيَقُوْلُوْنَ
نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَّنَكْفُرُ بِبَعْضٍۙ وَّيُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَّخِذُوْا
بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيْلًاۙ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ حَقًّا ۚوَاَعْتَدْنَا
لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًا
“Sesungguhnya orang-orang yang kufur kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya dan bermaksud membeda-bedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya
dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian
(yang lain),” serta bermaksud mengambil jalan tengah antara itu (keimanan atau
kekufuran),
merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan.”
Saat menafsirkan QS. Al-Baqarah/2: 62,
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا
وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ
وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja
yang beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan kebajikan (pasti)
mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan
mereka pun tidak bersedih hati.”
Prof. Hamka menyatakan, “Tanda betul tidaknya seseorang beragama adalah
pasrah yang sebenarnya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan apa yang datang
dari Allah, baik perintah maupun larangan-Nya. Suatu keniscayaan (mulazimah)
bagi yang mengaku parsrah kepada Allah untuk menerima kenabian Nabi Muhammad.
Bila mengaku berislam kepada Allah, namun mengingkari adanya utusan yang
dikirim Allah, berarti tidak pasrah sepenuhnya (khalishan li Allah)
kepada Allah. Karena sikap “ingkar” tersebut, maka disebut “tidak pasrah” (non
muslim), namun “inkar” (kufr) kepada Allah.
Prof. Hamka pun menambahkan, “Yang mengaku muslim pun, manakala masih
dicampur dengan kesyirikan, berarti tidak parsah sepenuhnya kepada Allah. Syirik
khafi seperti riya’, sifat ingin diperhatikan, dipuji, dan
dihargai orang, masuk dalam kategori tidak pasrah. Yang muslim pun kalau tidak
ikhlas juga tidak dapat apa-apa.
Beragama yang benar adalah beragama yang benar-benar tunduk, patuh, dan
pasrah hanya kepada Allah. Konsekwensi dari sikap tersebut adalah menolak
segala sesuatu yang menyebabkan ingkar, kufur, tidak tunduk, tidak patuh kepada
Allah dan segala yang datang dari Allah, termasuk dalam beragama, bernabi,
berkitab, berhari Akhir, dan seterusnya.
Imam Ahmad pernah berpendapat bahwa orang yang menanggalkan shalat dihukumi
kafir, keluar dari Islam. Saat Imam Syafii datang ke Irak, sempat menanyakan
pendapat tersebut kepada muridnya, “Kalau tarikus shalat kafir murtad, lalu
taubatnya bagaimana?” Imam Ahmad Ahmad menjawab, “Shalat”. Imam Syafii balik
bertanya, “Mengapa tidak syahadat, kalau keluar dari Islam, untuk taubat ialah
mengucapkan syhahadat bukan shalat?” Imam Ahmad lalu sadar, bahwa “murtakib
al-kabir” tidak keluar Islam, hanya “maksiat” yang termasuk dosa besar yang
tidak menyebabkan pelakuanya kafir keluar Islam.
Imam al-Syafii, “Taubatnya orang yang tidak shalat adalah mengerjakan
shalat, bukan syahadat. Kalau kafir keluar dari Agama, taubatnya harus
syahadat.” Karena itu “tarikus shalat bukan kafir yang menyebabkan murtad,
keluar dari agama Islam, ia hanya melakukan pelanggaran berat (murtakib
al-kabirah) yang berkonsekwensi pada dosa besar.”
Kaum Khawarijlah yang berpendapat bahwa pendosa besar hukumnya kafir
kharijul millah, sehingga wajib diperangi. Pelaksana dan penerima “Tahkim
Daumatul Jandal” dihukumi kafir karena tidak mengikuti al-Qur’an, menerima
tahkim atas kesepakatan perdamaian antara Aly dan Muawiyah. Padahal di dalam
al-Qur’an, kaum pemeberontak (bugaht) wajib diperangi hingga kembali kepada
kebenaran. Muawiyah sebagai pemberontak tidak boleh diterima tawaran
perundingan damainya. Khawarij menolak perundingan damainya, sehingga hasilnya
pun ditolak. Karena itu, tokoh teras Khawarij menetapkan para pemimpin kelompok
politik kekhalifahan dinilai melakukan dosa besar yang harus dibunuh karena
tidak berhukum dengan hukum Allah. Khalifah Ali terbunuh oleh Ibn Muljam,
sementara Mu’awiyah dan Amr ibn Ash selamat dari pembunuhan.
Kyai Dahlan
pernah dikafirkan pengkritiknya, karena mendirikan sekolah mirip format
Pendidikan Belanda yang notabe sebagai penjajah kape, alasannya
sederhana: Menyerupai Pendidikan Belanda. Jawaban kyai Dahlan simple, tidak
mbulet, tidak putar-putar, “Pak Kyai datang ke Jogja naik apa?” Si pengkritik
menjawab, “Naik Kereta Api.” Kata Kyai Dahlan, “Lah, Kereta itu yang membuat
Belanda, berarti kafir juga yang menggunakan buatan orang kafir.” Orang
tersebut terdiam.
Cerita Kyai
Dahlan, kritikus, dan tasyabbuh, adalah bagian dari kerancuan epistemik
karena lemahnya analisa falsafi terhadap persoalan keagamaan dan lainnya,
seolah yang Nampak di mata, secara lahiriah Adalah hakikat yang ada, esensi
sesuatu itu sendiri. Form tidak menunjukkan hakikat itu sendiri. Ia hanya
bagian dari keseluruhan gambar dari sebuah bentuk (Juz’u min kull),
bukan hakikat dari sesuatu.
Hamka juga
bercerita dalam bukunya “Ayahku” tentang sikap ayahnya, DR. Karim Amrullah
terhadap perintah “Seikerei” Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia tahun
40-an, yaitu membungkukkan badan pada pagi hari ke arah Matahari terbit
(Jepang) untuk menghormati Kaisar Tenno Heika. Bagi Haji Rasul, Seikerei mirip
dengan “ruku’” dalam ajaran Islam, karena itu beliau menolaknya. Peristiwa
tersebut terjadi saat rapat dengan pemerintah pendudukan Jepang di Jakarta.
Atas kejadian tersebut Haji Rasul dimintai “tulisan” untuk disampaikan ke
pemerinah Jepang sebagai bahan untuk menetapkan sebuah kebijakan ke penduduk
Indonesia.
Antara
Ruku’ dan Seikerei sulit ditemukan celah toleransinya, karena itu, Seikerei
ditolak oleh DR. Karim Amrullah, karena ada unsur Sintoismenya. Ini benar-benar
tasyabbuh yang tidak bisa ditolak definisinya, yang berbeda dengan sikap
“sedikit menundukkan kepala” kepada orang lain, yang memang benar-benar ingin
menghormati orang lain sebagai rasa penghormatan kepada sesama manusia.
Ini berbeda
dengan tafsir salah seorang ulama’ Indonesia yang mengharamkan sedikit
“menundukkan” kepala kepada orang lain, karena ditasyabbuhkan dengan “ruku’”,
padahal orang Jawa atau lainnya, menundukkan kepala kepada orang lain
jelas-jelas untuk “ta’zhim” (hormat), bukan tujuan untuk “ibadah”. Kalau
tujuannya untuk ubudiyah, pasti salah, namun kalau hanya untuk ta’zhim, maka
hukumnya Mubah (boleh) saja.
Ini sama
dengan konsep “sujud” pada peristiwa kosmik antara Adam, Malaikat, dan Jin. Sujud
pada ayat al-Baqarah dan lainnya, diberi makna penghormatan, bukan peribadatan.
Jika makna sujud diartikan dengan sujud hakiki, maka benar Syaithan yang membangkan
perintah Allah untuk sujud kepada Adam yang sama-sama ciptaan Allah. Yang
berhak untuk disujudi Adalah Allah SwT., bukan Adam. Karena itu ada seorang
cendekiawan muslim berkelakar, “Iblis benar tidak mau sujud kepada Adama,
karena yang berhak disujudi hanya Allah. Tauhidnya Iblis Adalah tauhid yang
murni.” Namun ingat, itu hanya kelakar untuk mengkritik kaum literaris.
Berdasarkan Hadits berikut,
وَعَنْ
بُرَيْدَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ ،
فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ )) رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيْحٌ )) .
“Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian yang mengikat antara kita
dan mereka adalah shalat, maka siapa saja yang meninggalkan shalat,” (HR.
Tirmidzi; derajatnya: Hasan Shahih).
“Tarik al-Shalat”
disebut “kafir”. Namun kafir yang menyebabkan “keluar” dari Islam (murtad)
ataukah sebagi “murtakib al-kabirah” (pelaku dosa besar)? Di Indonesia,
misalnya Ust. Sukino MTA, berpendapat bahwa “tarik al-Shalat” hukumnya
kafir yang berkonsekwensi tidak saling menerima waris satu dengan yang
lainnya.” Sedang Gus Baha’ berpendapat bahwa “tarik al-Shalat”
tetap muslim, namun melakukan dosa besar “murtakib al-kabirah” yang
tidak menyebabkan keluar dari Islam (murtad), sehingga dalam hal mawarits tetap
berlaku hukum waris Islam.
Gus Baha’ melanjutkan, seperti dalam al-Qur’an pada ayat “kufur ni’mah”,
juga disebut “kafartum”, namun orangnya tetap disebut muslim yang tidak
keluar Islam. Jadi, “tarik al-Shalat”, “kufur ni’mah”, yang
tidak mau zakat, tetap muslim, cuma masuk dalam kelompok “murtakib
al-kabirah” (pelaku dosa besar). Bagi Gus Baha’, beda antara muslim dengan
non muslim adalah Syahadat. Karena itu, dalam peristiwa “tarik al-Shalat”
Imam Ahmad yang asalnya berpendapat sebagai kafir “kharij an al-millah”
(keluar Agama), lalu berpendapat sebagai “murtakib al-kabirah” (pendosa
besar) saja. Karena taubatnya orang yang meninggalkan shalat bukan syahadat
kembali, namun cukup shalat lagi.
Yang pokok dalam hal Iman adalah
Rukun Iman yang 6 (enam); sedang yang pokok dalam Islam adalah Rukun Islam yang
5 (lima). Semuanya sepakat, tidak ada yang ikhtilaf. lihyah panjang, qasyr
al-syarib dibabat habis, tak berlihyah, syarib lebat, baju koko, baju jean,
adalah “atribut” (‘aradl), bukan esensi, bukan mahiyah, bukan huwiyah.
Orang masih mempertanyakan kaitannya dengan keislaman dan keimanan seseorang.
Karena tidak ada jaminan bahwa lihyah panjang pasti Islamnya benar, dan yang
tidak berlihyah Islamnya tidak benar. Tidak ada jaminan. Banyak pemain bola,
seniman, penyanyi, dan profesi lainnya yang memelihara lihyah hingga
panjang, dan syarib-nya dipangkas, tidak ada orang yang menyebutnya
sebagai orang shalih, islamis, pengikut Sunnah. Bahkan ada seniman yang lihyah-nya
panjang malah dituduh Yahudi.
Pengaku pengikut Sunnah pun, kadang pilih-pilih yang mau ditampilkan. Nabi
itu berambut panjang, tetapi yang mengaku pengikut Sunnah, rambutnya malah
dicukur pendek. Padahal para “pengikut” Sunnah mendefinisikan apa saja yang
dilakukan Nabi, masuk kategori Sunnah dalam pengertian “nadb” (الندب),
konsekwensinya, para seniman, rocker, dan anjal yang rambutnya panjang-panjang,
juga pengikut Sunnah, karena memanjangkan rambut seperti nabi memanjangkan
rambut?
Ramah (ada rasa kasih sayang kepada sesama) kepada orang lain, bermuka
ceria, tidak muka masam, menebar salam (rasa aman kepada yang lain), berkata
baik, mengajak kebaikan, meminimalisir keburukan, berkata benar kepada
penguasa, adalah banyak diperintahkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah, mengapa
tidak menjadi topik pokok dalam kajian kelompok tertentu, justru ribut dalam
masalah yang bersifat formalitas, bukan esensi.
Kepada yang lain yang bersifat furu’iyyah dan bukan bersifat ushuliyyah,
disuarakan kencang-kencang dan lantang, namun demo mengkritik penguasa zhalim,
yang jelas-jelas munkar, tidak pernah disuarakan, malah disuruh bersikap lemah
lembut, dan “mendoakan” mereka. Sementara kepada yang lain, yang beda furu’iyyah
bersuara lantang karena bisa menyesatkan (dlalalah) menurut mereka.
Bukankah “asyidda’” itu kepada yang “kuffar”, penguasa zhalim pun
“kafir” kepada prinsip keadilan, kan mungkar juga.
Orang Palestina yang jelas-jelas melakukan perlawanan (intifadlah)
malah disuruh keluar dari tanah mereka dengan alasan “hijrah” karena perjuangan
sudah tidak memungkinkan? Ijtihad yang khatha’ ini.
Kalau orang shaleh, pasti banyak mengerjakan sholat sunnah dan 5 yang wajib,
pasti dikerjakan. Tak menjamin lihyah panjang dan cukur kumis selalu taat
beragama.
Tak ada jaminan yang mengaku pengikut Sunnah pasti hafal al-Qur’an, namun
yang hafal Qur’an, pasti dapat pahala Sunnah atas hafalan al-Qur’an dan bacaan
yang dibacanya.
Tak ada jaminan bahwa yang tidak isbal itu pasti taat bergama, hafal
Qur’an, khatam al-Qur’an tiap hari, tiga hari, satu pekan, dan seterusnya. Tak
menjamin yang isbal pasti maksiat terus, tidak pernah baca al-Qur’an, tidak
hafal al-Qur’an, tidak pernah shalat Sunnah Rawatib, tidak shalat Tahajjud,
tidak puasa Senin-Kamis, dan lainnya.
Logika seperti di atas mirip dengan pernyataan, “Tidak ada jaminan bahwa
santri pasti pandai baca Kitab Kuning, tetapi pasti orang yang pandai baca
Kitab Gundul “alim” terhadap kitab-kitab Turats.”
Tidak ada jaminan bahwa orang yang pakai sarung adalah santri, namun kaum
santri pasti berpakaian syar’iy.
Orang Jawa, Sumatera, Sulawesi, dll., yang pakai kopyah sebagai tanda
muslim, tetapi tidak menjamin pasti shaleh, karena bandar judi pun ada yang pakai
kopyah.
Tak ada jaminan bahwa yang berpakaian syar’iy berhati baik, berperilaku
baik, dan kebaikan lainnya. Dan yang tidak berpakaian syar’iy pasti berperilaku
penuh maksiat, penuh kemungkaran, tidak ada baiknya sama sekali. Nyatanya kata
Hadits, “Ada pelacur masuk Surga karena memberi minum anjing yang haus. Dan ada
yang masuk neraka karena mengurung kucing tanpa diberi makan dan minum.”
Banyak yang sibuk men-dlalalah-kan yang lain, mem-bid’ah-kan
yang lain, lupa perasaan “ukhuwah islamiyyah” dan kemajemukan, namun lupa atau
tidak berani mengkritik penguasa. Berani kepada tetangga, tidakberani kepada
penguasa.
Ada juga yang sibuk wahaba-wahabi, radikal-radikul, keArab-Arab-an,
jenggat-jenggot, lupa yang ushuli, aqidah ummat, sehingga banyak yang
keluar Agama. Sibuk berteman dengan yang lain, lupa menyapa yang mengkritik
keberagamaannya. “peka” terhadap kritik praktik keagamaan, tidak peka kalau ada
pemurtadan.
Ada yang sibuk membuat Amal Usaha, lupa cara mendidik pengikut untuk mahir
baca kitab turats, dan lupa membentengi AUM dan Muqarrarat
Majelis Tarjihnya, yang penting Amal Usaha, hingga lupa mana yang anggota dan
siapa yang mengisinya. Identitas banyak yang tinggal Tulisannya, penduduknya
ternyata imigran gelap, baik baca Manaqib maupun yang sering baca
“hafizhahullah”. Untung untuk urusan menjaga pemurtadadan, masih tetap kencang.
Rumah tangga boleh bermasalah, tetapi menjaga aqidah saudara tetap jalan.
Rocky Gerung pernah menyatakan, “Ijazah adalah di antara tanda anda pernah
bersekolah, tapi tidak menjadi tanda bahwa anda berfikir.” Berfikir tidak harus
masuk ke gedung sekolah atau apapun termasuk tempat ritual. Nyatanya banyak
yang menggunakan ijazah, agama, dan form lainnya, tidak pernah berfikir.
Atribut sering digunakan untuk pembodohan, kamulflase, foya-foya, penyesatan, mendapatkan
keuntungan finansial, jabatan, kenikmatan, dan insentif lainnya.
Berfikir adalah proses reasoning, bukan ngeblat, jiplak, copy, taqlid, dan
sejenisnya. Anda copy, jiplak, taqlid, berarti anda sedang mencuri sesuatu milik
yang lain. Ada desertasi yang dikerjakan orang lain, orang lain yang berfikir,
bukan anda. Boleh jadi anda yang dapat ijazah, tetapi anda tidak melakukan
resoning.” Jadi ijazah itu atribut, namun yang punya atribut belum tentu
berfikir, apalagi yang atributnya palsu.
Al-Qur’an menjelaskan, Ada orang membawa permasalahan ke pengadilan, bukan
untuk mencari keadilan, tetapi untuk mencaplok milik orang lain, kata Qur’an, “Wa
tudlu biha ulal hukkam li ta’kulu amawal al-nas bi al-itsm” membawa ke
pengadilan dalih untuk cari “makan”.
Banyak orang berkhutbah tentang kebenaran kata Qur’an, ada yang “Yasytaru
bi ayat Allah tsamanan qalila” (jual ayat cari makan, kedudukan, pengaruh,
dst) apalagi yang berkhutbah untuk mencari makan, tambah bobrok. Karena itu, jangan
dikaitkan sesuatu yang sifatnya sebagai “’aradl” sebagai “jauhar”,
“mahiyah”, “haqiqah” ataupun sebaliknya. Aksesoris dengan jism,
Formalitas dengan esensi, jangan dicampur adukkan! Ada bedanya, ada
diferensinya, ada fashl-nya.
Komentar
Posting Komentar