Agamaku Bukan Candu

Agamaku Bukan Candu 
Dr. Amam fakhrur

(Alumni Pondok Pesantren YTP, Kertosono)

“Puasa Ramadlan yang kita lakukan sesungguhnya adalah mendidik kita agar menjadi orang yang tidak hanya saleh secara individual, tetapi juga saleh secara sosial”. Demikian salah tsalah satu bagian ceramah agama pada acara  halal bi halal   di tempat saya bekerja beberapa waktu lalu.Ceramah itu disampaikan langsung oleh orang nomor wahid , yang memang ia adalah juga seorang ustadz.

Ia juga menjelaskan, bahwa seseorang termasuk kita yang bekerja di tempat ini,   usai berpuasa,  seharusnya tidak hanya saleh secara individual, yang hanya rajin beribadah ritual secara langsung kepada Allah SWT, semisal sholat dan semacamnya, akan tetapi juga seharusnya saleh secara sosial, yaitu bagaimana berinteraksi dengan baik antar sesama karyawan dan bagaimana setiap karyawan mempunyai etos kerja tinggi.

Ajakan pada ceramah pada acara halal bi halal tersebut di atas,  setidaknya telah mengingatkan kepada saya  bahwa memahami  Islam, haruslah juga menjelaskan kepada kenyataan kehidupan sosial. Menjelaskan Islam tanpa menjelaskan kepada kenyataan kehidupan sosial, adalah menjauhkan Islam dari kehakekat Islam itu sendiri yaitu  sebagai rahmat untuk semua (rahmatan lil alamin)
 
Di panggung-panggung mimbar, isi  ceramah  mengenai ibadah  yang berupa ritual dengan Tuhan,dan terkotakkan  dikotomi pahala dan dosa, juga soal dikotomi surga dan neraka, mendapatkan porsi lebih besar. Sering juga kita  mendengar  dari panggung mimbar bagaimana orang yang beriman akan mendapatkan kenikmatan surga, diantaranya didampingi bidari-bidari cantik.

 Bukan berarti saya tidak sependapat dengan materi ceramah seputar pahala,dosa, surga dan neraka.  Haqqul yaqin saya percaya surga,neraka ada dan disediakan Tuhan.Jelas itu bagian dari rukun iman.

 Kehidupan sesudah mati itu akan terjadi. Nantianya manusia yang sudah meninggal akan dibangkitkan.Jadi kehidupan sesudah mati adalah lembaga pertanggungjawaban seluruh yang diperankan manusia di muka bumi. Adanya kebangkitan manusia sesudah meninggal tidak dapat dianalogkan dengan komputer yang komponen utamanya telah rusak,sehingga tidak dapat hidup lagi.Itu semua berdasar dalil yang otentik yang harus dipercayai adanya. Akan tetapi  menjelaskan Islam dalam praktek kehidupan di bumi adalah tidak kalah pentingnya,karena juga mengenai hal itulah yang  akan dipertanggungjawabkan manusia di hadapan Tuhan.

Memahami Islam dengan menjelaskan kepada kenyatan sosial, adalah semakin relevan dengan kenyataan bahwa pada diri bangsa Indonesia yang masih terjadi kesenjangan antara cita-cita  dengan kenyataan sosial. Soal ekonomi, tak sedikit masyarakat yang hidup dalam garis kemiskinan dan belum sepenuhnya mendapatkan keadilan ekonomi, entah kemisikinan yang ada apakah disebabkan kemalasan atau memang karena  minimnya kesempatan kerja. Soal penegakan hukum, tak sedikit diberitakan kasus-kasus korupsi. Soal pemberian khabar yang benar, di media sosial sliweran berita hoax. Soal kebersihan, menjaganya belum menjadi kebudayaan,padahal kalau kita mengaji kitab kuning, bab pertama selalu bab thoharoh (bab kebersihan).  Karena mayoritas bangsa Indonesia adalah muslim, maka umat Islam sangat menentukan dalam mewujudkan cita-cita sosial yang ideal.

Sering diurai dalam berbagai artikel,  Filosof Jerman, Karl Marx (1818-1883), pernah melakukan kritik tentang sikap beragama dengan menyatakan bahwa  agama adalah candu masyarakat. Pernyataan yang memicu kontroversial itu aslinya dalam bahasa Jerman bertulis " Die…Religion…ist das opium des Volkes" (Agama adalah … opium bagi masyarakat). Dalam sejarahnya  pernyataan agama adalah candu  adalah dilatarbelakangi di mana pada awal abad 19 agama sering dijadikan kendaraan politik, agama tampak membunuh kesadaran manusia dan menghalangi untuk maju. Agama telah digandrungi tanpa alasan, sehingga efek sosialnya sangat buruk. 

Konon ratusan tahun sebelumnya, Raja di Jawa Joyo Boyo,juga mengatakan hal yang senada, bahwa kelak akan  ”akeh wong mendem dongo," (banyak orang mabuk agama). Artinya nantinya akan banyak orang yang berdoa (ibadah) tapi tak mengerrti apa arti doanya. Banyak orang yang sholat tapi tak mengerti makna sholatnya. Oleh Joyo Boyo diungkapkan sebagai “Mendem Dungo” (mabuk do’a) dan itu senada dengan mabuk agama, kecanduan agama, sama seperti yang diucapkan Karl Marx.

Dalam sejarahnya fenomena yang ketidaksadaran itu disebut sebagai “candu” (sesuatu yang membuat mabuk dan kecanduan), meski tidak terkait  secara langsung dengan agama Islam, akan tetapi pernyataan Karl Marx tersebut dapat dijadikan otokritik terhadap kita sebagai muslim. Pertanyaan  yang perlu diajukan adalah apakah dalam beragama , kita tengah terlanda "ketidaksadaran" dan lebih memprioritaskan kenikmatan beritual dan berceangkerama dengan Tuhan (teosentris) dan minimalis serta menjauhkan diri dari problem-problem sosial,seolah ajaran Islam tidak ada kaitannya dengan kehidupan manusia di bumi (antrophosentris) ?

Memang kita patut berbangga, bersyukur kegiatan ibadan ritual semakin intensif. Kegiatan haji, umrah semakin diminati, kegiatan ritual termasuk di bulan selama Ramadlan semakin meningkat. Namun kita menyaksikan problem-probkem sosial, termasuk kemiskinan  belum terpecahkan dan terdapatnya ironi antara teks ajaran agama dengan praktek nyata.

 Bila didorong dan digerakkan jiwa gotong royong dan kebersamaan yang dimiliki bangsa Indonesia dalam menolong sesama  akan  turut membantu pemecahan problem sosial ekonomi yang terjadi. Lihat saja di tengah cobaan Covid-19,  masih nampak geliat warga untuk turut meringankan beban sesama. Di kampung saya, di  Sidoarjo yang warganya berkelas biasa, ibu-ibu PKK RT, juga Aisyiyah ranting  mengambil inisiatif mengumpulkan dana dan kemudian menyalurkan kepada mereka yang sangat membutuhkan. Geliat itu juga nampak  di tempat-tempat lain.

Tak perlu diungkapkan di sini  mengenai ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi  tentang seruan bagi orang-orang yang beriman untuk melakukan aksi nyata.Banyak Hadits yang  menceriterakan praktek nyata Nabi dalam aksi kemanusiaan.

 Saya kira sudah saatnya merubah pandangan yang semula berkutat dan memberi porsi lebih terhadap  soal-soal hukum dan ibadah yang terkesan “transaksional”, dan mengutamakan ibadah ritual yang formalistis, menuju pandangan yang lebih bersifat reflektif dalam kehidupan sosial. 
Sehingga  pandangan bahwa ibadah puasa yang kita lakukan semula masih untuk  menggugurkan kewajiban, sekedar menahan makan dan minum sejak fajar hingga maghrib,seharusnya dimaknai sebagai media pelatihan untuk menumbuhkan rasa simpati dan empati, sehingga puasa melahirkan manusia yang mempunyai kepekaan sosial. Haji dan umrah yang sering dilakukan berulang-ulang oleh sebagian umat Islam, mungkin merasa ada kepuasaan spiritual individu, seharusnya sudah mempertimbangan hikmah menciptakan kemaslahatan secara umum.

Zakat yang masih  dimaknai sekedar menggugurkan kewajiban,seharusnya dimaknai  menunaikan  kepedulian kepada sesama manusia yang membutuhkan. Ibadah sholat yang kita lakukan yang semula hanya dimaknai rutinitas ibadan, seharusnya sekaligus dengan  melihat fungsinya untuk  mencitakan tatanan sosial yang jauh dari prilaku keji dan mungkar. Seharusnya seluruh ibadah melahirkan kesalehan individu dan sosial.

Mungkin selama ini kita terjebak kepada pemahaman bahwa kesalehan itu hanya bersifat vertikal antara manusia dan Tuhan, padahal Islam juga mengajarkan berkegiatan sosial.

 Islam agamaku  bukan candu, ia agama yang sangat memanusiakan, mencerahkan dan memajukan. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi