Corona dan Masjid: antara Pendekatan Mashlahah dan Mafsadah


Corona dan Masjid: antara Pendekatan Mashlahah dan Mafsadah
Ada pertanyaan dari peserta Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah Daerah Tanah Bumbu Kalsel. pertanyaannya sebagai berikut,
Assalamu’alaikum Pak Bukhori dan Pak Ridho Bustomi, “Bagaimana kita memahami dan mengamalkan ayat 18 di surah at-Taubah dalam keadaan dan kondisi sekarang ini pak. Maaf saya orang awam pak sehingga harus bertanya?
Saya kutipkan dahulu firman Allah, dalam QS. 9: 18:
اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَ قَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَ فَعَسٰٓى اُولٰۤئِكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ
“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 18)
Menurut saya pribadi (tidak mengatas namakan organisasi dst), ayat tersebut berlaku umum bagi siapa saja yang beriman kepada Allah dan RasulNya, dan seterusnya. Itu dalam kondisi normal, tidak ada aral, udzur, sebab, ilat, atau sesuatu yang menyebabkan hukumnya berubah. Maka ketentuan memakmurkan masjid berlaku sebagaimana hukum normal.
Bagaimana kalau tidak normal seperti sekarang: Wabah Corona? Dalam kasus hujan atau sebab tertentu?
Dalam sejarah dan dalam kitab-kitab Hadits Mu’tabar, Nabi pernah menyuruh untuk shalat di rumah atau di kendaraan masing-masing jika naik kendaraan yang tak memungkinkan untuk turun dalam rangka melaksanakan shalat. Kata Nabi, صلوا على رحالكم
Berarti, hukum tempat pelaksanaan shalat bisa berubah sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi.
Dalam kondisi panas (حار: sangat panas) Nabi menunda barang sejenak untuk melaksanakan jama’ah shalat Zhuhur.
Karena itu, ahli Fiqh dan Ushul Fiqh sepakat membuat kaidah fiqhiyyah:
الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما (Hukum itu berlaku karena ada atau tidak adanya sebab).
Bila ada sebab tertentu, maka hukum A, atau B yang berlaku. Bila tidak ada sebab, maka hukum A atau B tidak berlaku.
Contoh, QS. 4: 101 :Allah SWT berfirman:
وَاِذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ۗ اِنَّ الْـكٰفِرِيْنَ كَانُوْا لَـكُمْ عَدُوًّا مُّبِيْنًا
“Dan apabila kamu bepergian di Bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar sholat jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 101)

Shalat Qashar hukumnya “boleh”. Bagi siapa? Bagi musafir. Adanya hukum boleh men-qashar, karena “sebab” adanya “musafir”, “safarah”, atau “bepergian”. Sehingga, jika seseorang tidak musafir, maka tidak boleh meng-qashar shalat.
Bagaimana jika dalam keadaan dlarurat (الضرورة) atau bahaya? Atau menimbulkan “kerusakan” (المفسدة). Maka para ahli fiqih mengatakan, الضرر يزال  (segala yang bersifat berbahaya, harus dihilangkan), baik yang membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain (لا ضرر ولا ضرر). Kenapa? karena Islam ingin melindungi pemeluknya dalam aspek:
  1. Agama (حفظ الدين)
  2. Jiwa (حفظ النفس)
  3. Akal (حفظ العقل)
  4. Kelangsungan hidup manusia (حفظ النسل)
  5. Ekonomi/properti (حفظ المال)
    Dalam konsep modern, lima hal di atas dikenal dengan istilah HAM (Hak Asasi Manusia. Hak-hak dasar itu yang ingin dicapai oleh Islam.
Dalam kasus tidak aman atau kondisi tertentu pun shalat dapat dilaksanakan dengan cara berbeda. Contoh firman Allah:
فَاِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا اَوْ رُكْبَانًا ۚ فَاِذَآ اَمِنْتُمْ فَاذْکُرُوا اللّٰهَ کَمَا عَلَّمَکُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ
“Jika kamu takut (ada bahaya), sholatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan. Kemudian apabila telah aman, maka ingatlah Allah (sholatlah), sebagaimana Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui.”
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 239)
Dalam hadits, orang boleh shalat sambil duduk, ataupun berbaring, karena suatu sebab.
Dalam keadaan bahaya, atau keadaan yang membuat kerusakan, para Juris muslim, hakim atau qadli merumuskan kaidah: 
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما

(Jika ada 2 mafsadah yang saling berhadapan, maka jaga yang paling besar bahaya kerusakannya dan lakukan yang paling ringan resiko bahayanya)
Dalam istilah orang Melayu, kita dihadapkan dua pilihan yang sama-sama mematikan: Makan buah si malakama, dimakan bapak mati, tak dimakan ibu mati.
Mana yang dipilih, yang paling sedikit resikonya.
Memang beragama harus mendatangkan kebaikan, keuntungan, kemaslahatan, ridla Allah dan seterusnya, yang dikenal dengan istilah: مصلحة مرسلة atau مصلحة عامة
Bagaimana jika antara مصلحة dan مفسدة saling berhadapan? ahli fiqih berkata,
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
(Menolak bahaya yang membuat kerusakan, harus didahulukan, daripada memperoleh keuntungan).
Kaidah ini diambil dari QS. 2: 219: Allah SWT berfirman:
يَسْــئَلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ کَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِ ۖ وَاِثْمُهُمَآ اَکْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْــئَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ۗ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَـكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّکُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, Kelebihan (dari apa yang diperlukan). Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan,” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 219)
Orang minum khamer, boleh jadi hangat badannya, tetapi kerusakan yang ditimbulkan karena minum khamer, lebih banyak dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh, Kan tekor bin rugi, maka khamer diharamkan.
Berjamaah fadlilahnya 27 derajat. Tidak berjamaah hanya dapat 1 derajat. Lalu dihadapkan pada himbauan untuk tidak berjamaah di masjid” karena Corona yang otomatis menghilangkan “keuntungan”, “fadlilah” 27 derajat.
Kata ahli kesehatan, dokter, Corona sangat berbaya yang dapat menimbulkan kematian, plus menular. Artinya, akibat tertular penyakit yang sama, orang lain boleh menjadi mati. Dan itu, boleh jadi tidak cukup satu atau dua orang, bahkan bisa menjadi ratusan orang bahkan ribuan. Faktanya seperti itu.
Shalat jamaah afdlal, namun kematian banyak orang karena sebab 1 orang yang sakit ttt, maka kerugian pasti jauh lebih banyak, hanya sekedar Fadlilah tertentu.
Kejadian sejarah:
Muhammad al-Fatih oleh gurunya dilarang untuk hidup SUFI daripada jadi SULTAN. Kata gurunya, “Menjadi Sultan yang adil dan shalih, jauh lebih banyak manfaatnya daripada jadi SUFI yang hanya untuk kebaikan pribadi (ego, nafsi)
Umar berkata setelah beliau ditusuk Abu Lulu’ yang mengakibatkan Umar meninggal, “Andai Abu Ubaidah masih hidup, aku tidak susah untuk mencari pengganti setelah aku, karena aku akan menujuk Abu Ubaidah”
Syahidnya para penghafal Al-Qur’an, menjadi “penyesalan” Umar hingga muncul ide brilian dan historis, “Penulisan Al-Qur’an dalam satu mushaf”
Kematian ahli ibadah, orang alim, berilmu, tentu tidak sama jika dibandingkan dengan kematian orang biasa. Ini dilihat dari kacamata manfaat dan mafsadah
Karena itu, himbaun ahli kedokteran (ulama’ kesehatan), harus dijadikan referensi, rujukan, marja’ dalam masalah yang memang ahli di bidangnya
Jika misalnya terjadi yang “ditaqdirkan” Allah, sehingga wabah mengenai sebuah “negeri”, padahal sudah diingatkan oleh para “nabi”, “rasul”, “alim”, “ulama'”, ahli dan seterusnya, siapakah yang akan rugi?
Dalam QS. 8: 25: Allah SWT berfirman:
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَآصَّةً ۚ وَاعْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.”
(QS. Al-Anfal 8: Ayat 25)
Jadi, musibah, penyakit, kerusakan, kerugian, yang timbul akibat suatu kesalahan, tidak hanya ditanggung oleh si pelaku, namun yang bukan pelaku pun kena imbasnya.
Kata orang Melayu, “Orang lain yang makan Cempedak, yang lain kena getahnya…”
Meninggalnya seorang ayah, akan jadi beban 5 hak dasar di atas bagi istri, anak, dan keluarga yang lain. Hidupnya sang ayah akan mendatangkan 5 prinsip dasar agama di atas.
Meninggalnya seorang kyai, alim, ulama’, akan merugikan ribuan jamaah. Begitu seterusnya. Karena itu Tindakan preventif lebih diutamakan daripada tindakan kuratif, (pencegahan lebih mulia dibandingkan dengan pengobatan)
Orang sehat lebih baik daripada orang sakit. orang sehat yang terkena penyakit akan menghabiskan biaya jutaan rupiah, tentu andai sehat, dan uang jutaan, milyaran, dan triliunan rupiah dijariyahkan fi Sabilillah, tentu lebih banyak maslahatnya.
Kaidah Ushul fiqh berkata,
الدفع اولى من الرفع
(pencegahan lebih utama dibandingkan dengan mengangkat [mis: penyakit])
Rumusan itu sudah berumur 1000 tahun lebih, tapi masih sangat relevan dan tidak “out of date”
Untuk apa? Meminimalisir resiko (رعي اخفهما), karena jika terjadi penularan, akibat yang ditimbulkan, akan lebih banyak madlaratnya.
Guru bisa melahirkan murid-murid yang berilmu, kyai dapat melahirkan santri-santri yang shalih dan berilmu, dokter, bisa mengobati yang sakit, dst.
Jika sesuatu hal yang ditinggalkan karena suatu sebab, maka Pahalanya akan tetap dicatat sebagaimana kebiasaan saat sehat, tidak bepergian, atau dalam keadaan normal.
Jika pun jama’ah dilaksanakan di masjid, ikuti saran para ahli, buat “JARAK AMAN’ (safe distance). Kata perusahaan besar, “Safety first” (Keselamatan yang paling utama). Jangan sampai, karena prinsip yang kurang bijak, hanya derai air mata yang mengalir dari banyak mata.
Inilah prinsip سد الذريعة (menutup jalan yang dapat menyebabkan terjadinya mafsadah atau bahaya) mengapa sangat ditekankan dalam Islam? karena “wasilah” (jalan, perantara) itulah yang mengantarkan pada tercapainya tujuan.
ما لا يتم به الواجب فهو واجب
(Suatu kewajiban tidak bisa sempurna karena sesuatu itu, maka ia menjadi wajib).
Jika “social distance” menjadi “wasilah” tercapainya “kemaslahatan umum” (مصلحة مرسلة), maka ia menjadi hukum wajib, yang harus dijalankan.
Banyak syariat islam “diundangkan”, ternyata banyak mengandung prinsip “سد الذريعة” contoh:
  1. Ghaddul bashar, untuk mencegah perzinahan
  2. Jilbab, untuk menghindari “gangguan” dan kejahatan.
  3. Shalat jama’ah, untuk mencegah “tafarruq”
  4. Himbauan shalat di rumah, social distance, untuk mencegah penularan penyakit.
  5. Dan seterusnya.
social distance” adalah bagian dari “sadd al dzari’ah“, sehingga alternatifnya ada dua: 1, shalat berjamaah di masjid dengan jarak aman; 2, shalat berjamaah di rumah dengan keluarga.
Karena, الامر اذا ضاق اتسع
(Suatu perkara, jika mengalami kesempitan, maka menjadi luas)
Suatu perintah Agama, jika ada kesulitan dalam pelaksanaannya, maka akan menjadi mudah dilaksanakan, baik melalui jalan mengurangi jumlah (nuqshan), seperti shalat qashar; menunda waktu, seperti shalat jama’ taqdim atau jama’ ta’khir, membayar ganti (fidyah), bagi yang tak mampu puasa, membayar “dam” (denda) dalam Haji., dan seterusnya.
Allah menandaskan dengan firman-Nya:
يريد الله بكم يسرى ولا يريد بكم العسر
(Allah menghendaki kemudahan buat kamu, bukan kesulitan)
Nabi bersabda,
الدين يسر، فلا تعسروا
(Agama itu mudah, maka jangan dibuat sulit).
Prinsip “taisir“, “yusr“, ini membuat agama fleksibel dalam mengaplikasikannya tanpa meninggalkan pokok, prinsip, atau dasar perintahnya.
Naql al makan“, “hijr al makan“, bagian dari “sadd al dzari’ah untuk mencapai “mashlahah ‘ammah”Why not?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi