Corona dan Shaf Distance, Perspektif Sadd al Dzari'ah
Corona dan Shaf Distance, Perspektif Sadd al-Dzari’ah
Bukhori at Tunisi
(penulis buku “Sayap Liberal, Moderat, dan Literar Pondok Pesantren")
Viral di Whatshap, FB, televisi maupun media lainnya, gambar-gambar pelaksanaan shalat dengan Imam dan makmum menggunakan masker. Dan yang paling mencolok adalah gambar shaf makmum yang berjarak antara ± 0,5 meter atau1 meter, yang berbeda dengan shaf yang biasa dikerjakan pada saat shalat berjamaah secara normal.
Karena pelaksanaan yang berbeda tersebut, ada yang mempersoalkan keabsahan “shaf berjarak” (shaf distance), karena “menyalahi” dalil yang biasa digunakan untuk argumen “keharusan” shaf yang lurus dan “rapat”. Mempersoalkan keabsahan “shaf distance” bagi yang terpelajar, sama posisinya dengan memperoalkan “himbauan” untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at dan shalat jama’ah 5 waktu di Masjid? Mempersoalkan “keabsahan” suatu hukum menurut perspektif fiqih adalah sesuatu yang wajar dan ilmiyah. Justru bagi seorang ahli Fiqih atau ahli Ushul Fiqih, tidak wajar manakala menerima begitu saja (taqlid) suatu keputusan fiqih yang notabene-nya merupakan hasil ijtihad berdasarkan dalil-dalil syar’i (istidlal). Mempersoalkan tersebut, karena adanya kesadaran bahwa semua persoalan, ada konsekwensi hukum yang harus dipertanggung-jawabkan di dunia dan akhirat (QS. 17: 36).
A. Shaf
“Shaf”, ([shaff] الصف), secara etimologi bermakna, “berbaris [lurus]”, “barisan [panjang]”. Berbaris lurus, artinya, barisannya tidak melingkar, dan tidak bengkok, atau tidak serong.
Dalam al-Qur’an, kata “Shaf”, ([shaff] الصف) dan derivasinya disebutkan 14 kali. Misalnya firman Allah dalam QS. Al Fajr [89]: 22:
وَجَآءَ رَبُّكَ وَٱلۡمَلَكُ صَفّٗا صَفّٗا ٢٢
“Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris”
Yang paling sering disebut adalah kata “Shaf”, ([shaff], dalam QS. Al-Shaff [61]: 4. Di mana Allah mendorong orang-orang yang berjuang menegakkan kebenaran, berjuang fi Sabilillah, dikerjakan secara bersama dalam suatu susunan yang terorganisir dan tertata rapi. Allah berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِهِۦ صَفّٗا كَأَنَّهُم بُنۡيَٰنٞ مَّرۡصُوصٞ ٤
(Sungguh Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh).
Jadi, keterorganisiran suatu gerakan, menjadi syarat keberhasilan suatu perjuangan, pergerakan, usaha, korporasi atau pekerjaan. Firman Allah tersebut menjadi garansi kesuksesesan suatu mujahadah, bila dikerjakan secara benar dan terorganisir. Pujian Allah merupakan “tanda” bahwa perilaku perjuangan yang tersusun rapi dan tertata dengan baik, merupakan kebenaran mutlak yang tidak bisa ditawar keberadaannya. Ia menjadi “Sunnah” bagi kesuksesan suatu perjuangan.
Ali ibn Abi Thalib menyatakan, “Kebenaran yang tidak terorganisir, dapat dikalahkan kebatilan yang terorganisir.” (الحق بلا نظام غلبه الباطل بنظام). Banyak peristiwa sejarah yang membuktikan kebenaran ucapan Imam Ali tersebut. Penjajahan Barat atas negara-negara muslim pada abad ke-17-19; bukti riel bahwa kebatilan dapat menundukkan kebenaran. Apakah penduduk di negara-negara muslim tidak bertuhan dan tidak beriman kepada al-Qur’an yang mengandung nilai kebenaran tersebut? Jawabannya: Pasti percaya. Namun kepercayaan (beliefed) yang dilakukan secara acak-acakan, semrawut, parsial dan tidak profesional, hanya jadi santapan kelompok zhalim, kaum penjajah, kolonialis, yang jelas-jelas bukan muslim. Israel mampu menundukkan dunia Arab hanya dalam tempo “Enam Hari” --walau dibackup Barat— “Keislaman” negara-negara Arab tidak menjamin kemenangan atas Israel yang beragama Yahudi. Sekali lagi, ini menunjukkan bukti bahwa kebenaran yang lemah, akan dapat ditaklukkan oleh kebatilan yang kuat. Oleh sebab itu, Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 249:
كم من فئة قليلة غلبت فئة كثيرة باذن الله
(Berapa banyak kelompok kecil mampu mengalahkan kelompok yang lebih besar dengan izin Allah)
Disersi saat perang, adalah kejahatan besar. Karena itu hukumannya adalah mati, seperti yang dilakukan Cut Nyak Dien kepada salah satu ulubalangnya. Allah mengecam tindakan “disersi”, yaitu tindakan “keluar” dari kesatuan pasukan. Peristiwa kekalahan Perang Uhud, disebutkan secara langsung oleh Allah dalam al-Qur’an. Disersi terjadi, karena sebagian pasukan terpedaya duniawi, hingga melupakan perintah “komandan tertinggi”, Panglima Perang, Rasulullah Muhammad saw., untuk tetap bertahan di kesatuannya, dalam kondisi apa pun. Allah berfirman dalam QS. Ali Imran [3]: 152:
“Dan sungguh Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah melimpahkan kemuliaan atas orang-orang beriman.”
Mundur dalam perang diperbolehkan, dengan syarat: a). Untuk bergabung dengan kesatuan lain; b). Menyusun strategi. Seperti firman Allah dalam QS. Al Anfal [8]: 15-16:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ زَحۡفٗا فَلَا تُوَلُّوهُمُ ٱلۡأَدۡبَارَ ١٥ وَمَن يُوَلِّهِمۡ يَوۡمَئِذٖ دُبُرَهُۥٓ إِلَّا مُتَحَرِّفٗا لِّقِتَالٍ أَوۡ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٖ فَقَدۡ بَآءَ بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأۡوَىٰهُ جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ ١٦
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu jangan mundur ke belakang! Barangsiapa mundur ke belakang saat menghadapi mereka, kecuali berbelok untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya adalah Neraka Jahannam. Dan ia seburuk-buruk tempat kembali.”
Perang secara bershaf, tidak sama dengan shaf shalat, atau juga berorganisasi, atau lainnya. Shaf dalam perang berarti satu komando dengan taktik dan strategi yang harus disepakati bersama. Shaf dalam perang, tidak harus serapat dalam shalat, bahkan boleh jadi sangat jauh, namun dalam satu komando dan satu strategi
Shaf dalam Baris Berbaris pun berbeda dengan saat perang. Baik jumlah maupun formasinya. Boleh jadi, saat PBB (Praktik Baris Berbaris) formsi 3 x 10 orang dan seterusnya dalam jarak kerapatan yang telah ditentukan. Sedang saat perang, ternyata berjauhan.
Shalat adalah pranata untuk membentuk “ummat” yang baik, diinisiasi pada pengaturan barisan shaff yang lurus dan “rapat” sebagaimana yang diatur oleh Nabi Muhammad sendiri, yang digambarkan dalam Hadits-hadits yang tersebar dalam kitab-kitab hadits yang mu’tabar.
B. Shaf shalat
Dalam shalat, shaf harus ditata dengan rapi dan benar. Shaf tidak boleh dilakukan secara serampangan dan semaunya sendiri, sehingga tidak lurus dan rapi. Shaf dalam shalat, menduduki posisi penting, karena menjadi penentu “tegak”-nya nilai-nilai shalat dan “kesempurnaan” shalat berjamaah. Oleh sebab itu, Nabi mengecam orang yang shalat sendirian di belakang, tidak mau bergabung dengan shaf yang ada di depannya yang sudah tersusun lurus dan rapi. Nabi saw. bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالاَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ: سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ)).
(Muhammad ibn al-Mutsanna bercerita, dari Ibn Basyar,...dari Anas ibn Malik. Anas berkata, Rasulullah saw., bersabda, “Luruskan shaf kalian! karena lurusnya shaf bagian dari kesempurnaan shalat).
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ فَقَالَ: ((أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ- ثَلاَثًا- وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ)). قَالَ: فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ.
(Utsman ibn Abi Syaibah bercerita, ...dari Abu Qasim al Jadali, dia berkata, “Saya mendengar Nu’man ibn Basyir berkata,” Rasulullah menghadapkan wajahnya kepada orang-orang [yang shalat], lalu berkata, “Tegakkan shaf! 3 x; demi Allah, Tegakkan shaf kalian, atau Allah akan membuat hati kalian semua besrselisih!”[Nu’man berkata] berkata, “Saya melihat seseorang menempelkan pundaknya dengan pundak teman lainnya, betisnya dengan betis lainnya, kakinya ditempelkan dengan kaki teman lainnya)
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ: أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ قَالَ: سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ أَبِي الْجَعْدِ قَالَ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ)).
(Dari Abu al Walid, ...Nu’man ibn Basyir berkata, Nabi saw., “Kalian harus benar-benar meluruskan shaf kalian! Atau Allah akan membuat kalian benar-benar berselisih)
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنِّي أَرَاكُمْ خَلْفَ ظَهْرِي)).
(Abu Ma’mar bercerita, ...dari Anas berkata,Nabi bersabda, “Tegakkan shaf! Sungguh aku bisa melihat dari balik punggungku”)
عن وابصة بن معبد, ان رسول الله صلعم راى رجلا يصلي خلف الصف وحده, فامره ان يعيد الصلاة (رواه احمد و ابو داود و الترمذي)
(Dari Wabishah ibn Ma’bad, bahwa Rasulullah saw. melihat seseorang shalat sendirian di belakang shaf, maka Rasulullah menyruhnya mengulangi shalatnya lagi)
C. Shaf yang benar
Dalam Hadits, Nabi memerintahkan untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Saya kutipkan beberapa Hadits berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالاَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ: سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ)).
(Muhammad ibn al-Mutsanna bercerita, dari Ibn Basyar,...dari Anas ibn Malik. Anas berkata, Rasulullah saw., bersabda, “Luruskan shaf kalian! karena lurusnya shaf bagian dari kesempurnaan shalat).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ: ((أَقِيمُوا الصَّفَّ فِي الصَّلاَةِ فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلاَةِ)).
(Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Tegakkan shaf! Karena menegakkan shaf bagian dari bagusnya shalat).
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ فَقَالَ: ((أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ- ثَلاَثًا- وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ)). قَالَ: فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ.
(Utsman ibn Abi Syaibah bercerita, ...dari Abu Qasim al Jadali, dia berkata, “Saya mendengar Nu’man ibn Basyir berkata,” Rasulullah menghadapkan wajahnya kepada orang-orang [yang shalat], lalu berkata, “Tegakkan shaf! 3 x; demi Allah, Tegakkan shaf kalian, atau Allah akan membuat hati kalian semua besrselisih!”[Nu’man berkata] berkata, “ Saya melihat seseorang menempelkan pundaknya dengan pundak teman lainnya, betisnya dengan betis lainnya, kakinya ditempelkan dengan kaki teman lainnya)
حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْغَافِقِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ (ح) وَحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ- وَحَدِيثُ ابْنِ وَهْبٍ أَتَمُّ- عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ عَنْ أَبِي الزَّاهِرِيَّةِ عَنْ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ- قَالَ قُتَيْبَةُ عَنْ أَبِي الزَّاهِرِيَّةِ عَنْ أَبِي شَجَرَةَ لَمْ يَذْكُرِ ابْنَ عُمَرَ- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ)). لَمْ يَقُلْ عِيسَى: ((بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ)). ((وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ)).
(Dari Ibn Umar, Nabi saw., berkata, “Tegakkan shaf, dan ratakan antara pundak kalian. Tutup celah-celahnya; dan bersikap lunak dengan teman kalian!... Dan jangan tinggalkan lobang-lobang untuk syetan. Barangsiapa menyambung shaf, maka Akan menyambungkan. Dan barangsiapa memutus shaf, maka Allah akan memutusnya.”
D. Hukum meluruskan dan merapatkan shaf
1. Wajib.
Ibn Hazm berpendapat, meluruskan dan merapatkan Shaf hukumnya wajib. Teks hadits berbentuk perintah (amr: امر). Dalam Ilmu Ushul Fiqh ada kaidah: “Bahwa prinsip dasar dalam setiap “perintah”, menunjuk pada arti “wajib” (الاصل في الامر للوجوب). Sebagaimana dikutip al-Syaukani dalam Nailu Authar.
2. Sunnah.
Ada yang berpendapat bahwa meluruskan dan merapatkan shaf, hukumnya sunnah. Kelompok ini berargumen, bahwa hadits-hadits yang menyatakan perintah meluruskan dan merapakatkan shaf, tidak menunjuk pada makna wajib (الوجوب), karena ada “qarinah” dalam hadits tersebut, yaitu “klausa” bahwa shaf menjadi penanda “tegak” (اقامة) dan “bagus” (حسن) “kesempurnaan” (تمام) shalat.
Jadi, “sunnah” Nabi dalam praktik shalat adalah lurus dan rapat. Yang bukan sunnah adalah shaf yang tidak lurus dan tidak rapat. Yang menjadi khilafiyah (perbedaan pendapat) adalah ukuran kerapatan (مسافة الرص): “Berapa jarak kerapatan shaf yang dipraktikkan zaman Nabi?
E. Ukuran rapat shaf
Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan, “Bahwa para Sahabat Nabi merapatkan dan meluruskan shaf saat shalat. Dan salah seorang di antara para Sahabat Nabi ada yang menempelkan pundaknya dengan pundak sahabat lainnya; begitu juga, kaki [tumit]-nya dirapatkan dengan kaki lainnya.
Tidak terjadi ikhtilaf di antara ulama fardi (individual) dan ulama’ jam’iy (yang bernaung dalam satu institusi atau organisasi), bahwa shaf shalat harus lurus dan rapat. Namun ikhtilaf dalam menentukan “jarak kerapatan” shaf. Di Indonesia, NU (Nahdlatul Ulama’), Muhammadiyah, NW (Nahdlatul Wathan), tidak mengharuskan untuk merapatkan pundak dan kaki dengan pundak dan kaki orang yang ada di sebelahnya.
Namun di sebagian kalangan Muhammadiyah, ada yang mempraktikkan shaf rapat dengan merapatkan pundak dan kaki dengan pundak dan kaki orang sebelahnya. Karena itu Muhammadiyah membebaskan untuk memilih antara merapatkan shaf dengan ukuran yang “nyaman” menurun kenyamanan masing-masing person tanpa merapatkan pundak dan kaki; atau merapatkan kaki dan pundak dengan pundak kaki lainnya, tanpa memaksa yang lain untuk merapatkan seperti yang diyakini dirinya sendiri, dengan “mengejar-ngejar” kaki yang lain untuk menempel di kakinya. Argumennya (dalil), karena secara tekstual (nash), hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Abu Dawud tersebut, ada lafazh “Salah seorang di antara kita ... (وكان من احدنا يلزق ....) dan bukan “keseluhan kita ...” (جميعنا ...), sehingga secara tekstual, tidak ada lafazh yang menunjukkan bahwa menempelkan pundak dan kaki, dilakukan oleh seluruh sahabat Nabi yang saat itu menjadi makmum. Karena hanya di lakukan oleh perorangan dan tidak dilakukan oleh seluruh sahabat Nabi, dan Nabi diam saja, berarti itu persetujuan Nabi. Karena “taqrir” Nabi seperti itu, maka dalam hal “merapatkan” shaf, hukumnya adalah “boleh” memilih antara “menempel” atau “tidak menempel”. Sehingga “khiyarah” di antara dua “kaifiyat” shaf tersebut, sama-sama sah, dan tidak membatalkan shalat.
F. Sadd al-Dzari’ah
“Sadd al dzari’ah” (السد الذريعة) terdiri dari dua kata, yaitu “sadd” (سد) dan “dzari’ah” (ذريعة). “Sadd” (سد) secara etimologi (لغة) artinya: اغلق الخلل (menutup celah) , ردم الثلج (menutup lobang), حجز (manahan), منع (menolah, mencegah).
Sedang “dzari’ah” (ذريعة) artinya: سبيل (jalan), وسيلة (perantara), طريق (jalan). Ibn Taimiyah mengartika “dzari’ah” (ذريعة) adalah ما كان وسيلة و طريقا الى الشيئ (sesuatu yang menjadi perantara atau jalan untuk sampai kepada sesuatu yang dituju). Sehingga bila digabung menjadi satu (مجموع) menjadi “Sadd al-Dzari’ah” (السد الذريعة), yang memiliki arti “menutup jalan” atau “menutup perantara untuk sampai kepada sesuatu yang dituju”.
Sedang secara terminologi (اصطلاحا), “Sadd al-Dzari’ah” (السد الذريعة) menurut al-Baji adalah:
المسألة التي ظاهرها الاباحة ويتوصل بها الى فعل المحظور
(Masalah yang secara lahiriyah hukumnya mubah, namun dapat mengantarkan kepada perbuatan terlarang)
Ibn al-‘Arabi al Maliki:
كل عمل ظاهر الجواز يتوسل به الى محظور
(setiap perbuatan yang secara lahiriyah boleh dilakukan, namun dapat enjadi perantara kepada perbuatan yang diharamkan)
Sedang al-Qurthubi
عبارة عن امر غير ممنوع لنفسه يخاف من ارتكابه الوقوع في ممنوع
(Suatu perbuatan yang tidak dilarang untuk dikerjakan, namun jika dikerjan dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan yang diharamkan)
menurut Ibn Taimiyah adalah:
الفعل الذي ظاهره انه مباح وهو وسيلة الى فعل المحرم
(Segala perbuatan yang secara zhahiriyah boleh untuk dierjakan, namun menjadi wasilah bagi terjadinya perbuatan yang diharamkan).
Ibn Taimiyah memberikan contoh masalah pernikahan. Dalam Islam ada aturan bahwa orang muslim harus menikah dengan muslimah, dan dilarang orang yang beragama Islam menikah dengan non-Islam. Seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 221:
وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ وَلَأَمَةٞ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكَةٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤۡمِنُواْۚ وَلَعَبۡدٞ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ أُوْلَٰٓئِكَ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ وَٱلۡمَغۡفِرَةِ بِإِذۡنِهِۦۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٢١
(Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sehingga mereka beriman. Sungguh wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, sekalipun kamu terkagum-kagum. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sehingga mereka beriman. Sungguh budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menakjubkan kamu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran).
Namun kata Ibn Taimiyah, di dalam al-Qur’an ada syarat lain yang harus dipenuhi, sebagai “maqashid al-syariah” (مقاصد الشريعة) institusi pernikahan, yaitu terciptanya kebaikan (طيب). Bila “kebaikan” yang ingin dicapai melalui pernikahan tidak tercipta, namun justru mendatangkan keburukan (مفسدة), maka pernikahan bisa “dibatalkan”. Meskipun pernikahan itu sama-sama muslimnya, yaitu antara laki-laki muslim dan perempuan muslimah. Mengapa? Kata Ibn Taimiyah, karena pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kebaikan (طيب), bukan keburukan (خبيث). Jadi keburukan bukan hanya timbul karena perbedaan keyakinan, satu keyakinan pun jika potensial untuk mendatangkan keburukan, maka harus dicegah (درء). Itulah makna dari firman Allah QS. Al-Nur [24]: 26:
ٱلۡخَبِيثَٰتُ لِلۡخَبِيثِينَ وَٱلۡخَبِيثُونَ لِلۡخَبِيثَٰتِۖ وَٱلطَّيِّبَٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِۚ ٢٦
(Wanita-wanita yang buruk, untuk laki-laki yang buruk; dan laki-laki yang buruk, buat wanita-wanita yang buruk (pula). Sedang wanita yang baik-baik, untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik-baik, untuk wanita yang baik-baik (pula)).
Dalam sejarah Islam, Umar menebang “Pohon Baiatur Ridwan” sebagai upaya pencegahan “Sadd al dzari’ah” (السد الذريعة) terjadinya kemusyrikan (الشرك). Umar khawatir, orang senang beribadah di bawah Pohon Baiatur Ridwan, namun tidak punya pemikiran jauh ke depan bila terjadi kesyirikan karena tidak tahu apakah mengandung kesyirikan ataukah tidak? Padahal pohon tersebut sangat historis. Namun bagi Umar, tauhid paling utama dibandingkan dengan nilai sejarah namun penuh muatan syirik.
G. Shaff Perspektif Sadd al-Dzari’ah
Dalam posisi normal, maka shaf yang benar dalam shalat berjamaah adalah lurus dan rapat (dalam pengertian rapat tidak menempel atau dalam pengertian menempel). Namun jika “kerapatan” ber-shaf menjadi “wasilah” (perantara) penularan Covid 19 (Corona), maka shalat boleh dikerjakan dengan shaf yang tetap lurus, namun jaraknya direnggangkan berdasarkan jarak aman menurut ahli kesehatan, bukan aman menurut yang bukan ahli (awam).
Argumennya, dalam ajaran Islam, sesuatu yang potensial menjadi “perantara” terjadinya “mafsadah” (kerusakan), “kemadlaratan” (bahaya), atau haram (al-mahrumat), harus dicegah. Dalam bahasa Ushul Fiqh disebut dengan “Sadd al dzari’ah” (السد الذريعة). Mengapa pencegahan perlu dilakukan? Karena “tindakan preventif lebih baik daripada tindakan kuratif”, “Mencegah lebih baik mengobati”, kaidah Ushul Fiqhnya adalah: الدفع اولى من الرفع. Padahal bahaya harus ditanggulangi agar lenyap (الضرر يزال) agar mashlahah dapat dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut, mengesampingkan kebaikan terlebih dahulu harus dilakukan, jika kerusakan timbul akibat perbuatan “baik” tersebut (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح).
Nikah beda agama mengapa dilarang? Karena akan merusak agama (حفظ الدين). Pintu “kebolehan” ditutup (sadd, سد), karena menjadi “perantara” (dzari’ah, ذريعة) terjadinya “murtad” ( مرتد,keluar dari Islam). Nikah yang hukum asalnya boleh, menjadi “haram” karena menjadi “perantara” rusaknya kepercayaan Agama.
Hal yang sama juga terjadi pada “Shaf” (الصف). Jika shaf rapat menjadi “perantara” (ذريعة) penyebaran virus Corona, maka “shaf rapat” ditutup pelaksanaannya (sadd), diganti dengan “merenggangkan” dalam jarak aman (safe distance), agar tidak terjadi “mafsadah”.
Komentar
Posting Komentar