LAILATUL QADAR (Menemukan "Sejatining" Kebenaran, Merevolusi Jiwa)


LAILATUL QADAR:
Menemukan "Sejatining" Kebenaran, Merevolusi Jiwa

oleh: Bukhori at Tunisi

 (Alumni Ponpes YTP, Kertosono. Menulis buku, "Konsep Teologi Ibn Taimiyah," (Yogyakarta, Deepublish, 2017)

Lailatul Qadar merupakan peristiwa ruhaniah yang sangat monumental. Ia seolah menjadi puncak dari “discovery” spiritualitas  atas “lelampahan” (suluk) yang dilakukan manusia, saat ber-“tahannuts” dalam kesunyian, kesepian dan keheningan. Lepas dan menjauh dari hiruk-pikuk duniawi, hanya untuk munajat dengan Tuhannya, agar diberi anugerah kebenaran. “Khalwat”-nya di tempat yang sunyi, di ketinggian bukit yang sulit dijangkau orang yang tidak punya tujuan (ghayah), tempat yang hanya bisa digapai oleh hamba yang punya cita-cita. Simbol kesungguhan (mujahadah) dalam menghadap Tuhan. Dia munajat di ketinggian, agar terasa dekat dengan Sang Pencipta. “Riyadlah”-nya, bukan hanya berlepas dari hal-hal yang terlarang, namun juga melepas diri dari yang halal. Dia menjauhkan dari nafsu yang memperbudak, meskipun halal, agar bisa “taqarrub” dengan Sang Ilahi. Pencarian itu terus menerus dilakukan, “istimrar” (continuous) dalam waktu yang lama, tidak cukup dilakukan hanya sekali. Dia bermunajat kepada Ilahi untuk mendapat hidayah-Nya.

Lailatul Qadar sebagai peristiwa historis (historical moment) sudah berhenti sejak turunnya wahyu al-Qur’an di Gua Hira’ (QS. QS. 2:185; 44:3; 97:1). Namun sebagai peristiwa spiritual, ia tetap “abadi” (berabad-abad), berlangsung terus-menerus tiada henti, tiada titik kulminasi hingga bertemu Sang Ilahi untuk mendapatkan hidayah sebagai ilham untuk memperoleh kebenaran hakiki, bukan kebenaran palsu.

Lailatul Qadar merupakan malam "penentuan" (qadar) historisitas kekhalifahan manusia dalam menentukan pilihan (khiyar) arah hidup beradab dengan sinaran (al-nur) petunjuk al-Qur’an ataukah hidup dalam keadaban yang gelap (al-zhulumat) yang berbasis pada pandangan hedonis-materialistik.

Pada bulan Ramadlan, al-Qur’an turun (nuzul al-Qur’an). Malam yang disebut malam Lailatul Qadar. Ia adalah momen pemisah (al-fashl) antara ke-“jahiliyah”-an dan keadaban (madaniyah). Al-Qur’an yang diturunkan adalah petunjuk jalan yang lurus, jalan Tuhan, bukan jalan syetan, jalan yang menyesatkan. Sifat petunjuk, harus jelas dan terang. Tidak boleh ambigu dan tidak multi tafsir. Arah tujuannya jelas, tidak membingungkan, sehingga orang mampu memilah dan memilih dan menentukan tujuan yang diinginkan. Sebaliknya, jalan syaitan adalah jalan gelap (al-zhulumat), remang-remang, tidak jelas (al-syubhat). Karena itu, ia menyesatkan (al-dlalal). Tuhan, Allah SwT, dengan al-Qur’an, mengeluarkan dari jalan gelap ke jalan terang, jalan Allah (QS. 14: 1).

Lailatul Qadar sebagai proses ruhaniah, berproses terus menerus (on going process), tidak sekali jadi. Karena itu perlu “riyadlah” ubudiyah, antara lain: ibadah puasa, bersedekah, shalat tarawih, i’tikaf dan lainnya untuk mencapai derajat takwa. Derajat tertinggi yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya (QS. 49: 13). Dalam QS. 2: 185, Allah menggunakan kata: (1). “La’alla” (لعل).  Kata “la’alla”, dalam Ilmu Balaghah, mengandung makna “taraji” (التراجي), “harapan”. Sebuah kata yang merujuk pada makna proses terus-menerus ke masa depan sebagai “harapan” untuk menjadi lebih baik secara continu untuk mencapai titik kulminasi yaitu bertemu dengan Tuhannya (liqaa rabihi).

(2). Penggunaan Fi’l Mudlari’ تتقون. Dalam ilmu Nahwu, fiil mudlari’ mengandung tiga fungsi makna waktu: (1). Sekarang (للحال).  
(2). Akan datang (للاستقبال)
(3)Terus-menerus (للاستمرار). 

Dengan demikian, proses menjadi takwa adalah: dikerjakan sekarang dengan istiqmah, continu, terus menerus untuk masa yang akan datang, masa depan. Ia on going proces, tidak sekali jadi. Dengan adanya “riyadlah” dan “mujahadah” ruhaniyah, Tuhan akan menunjukkan jalan kebenaran. Sebagaimana firman-Nya: “Dan orang-orang yang mujahadah di jalan Kami, maka sungguh akan Kami tunjukkan jalan Kami" (QS. Al-'Ankabut [29]: 69).

Maka orang yang menemukan Lailatul Qadar secara ruhani adalah orang yang telah menemukan kebenaran. Orang yang telah menemukan kebenaran, dialah yang memperoleh kebaikan yang bobotnya melebihi 1000 (seribu) bulan. Sebuah simbol angka untuk menyebutkan nilai yang tak terbatas. Dalam bahasa lain, orang yang memperoleh “limpahan” (فيض) cahaya (nur) Allah, yaitu hikmah, adalah orang yang mencari (yaltamisu) Cahaya-Nya. Jika dia memperoleh limpahan hikmah Ilahiyah, maka dia telah mendapatkan kebajikan yang tak terbatas jumlahnya (ومن يؤتى الحكمة فقد اوتي خيرا كثيرا).

Orang yang mendapatkan limpahan (فيض) berkah Lailatul Qadar adalah yang mengetahui kebenaran naqli (wahyu) dan aqli (ratio), meyakini kebenaran dan dipegang erat-erat (istamsaka) untuk melakukan perubahan visi hidup dan perubahan perilaku sosial (‘amal shalih) yang berlandasan kebenaran tersebut. Itulah yang disebut dengan “hijrah”, yaitu pindah dari jalan yang tidak benar ke pada jalan kebenaran hasil dari riyadlah dan mujahadah yaumiyah (harian) dan syahriyah (bulanan) yang berpuncak pada bulan Ramadlan dengan momen Lailatul Qadar-nya.

Namun orang yang tidak menemukan kebenaran dan belum mampu “move on” (Hijrah)
 dari kelamnya masa lalu dengan riyadlah dan mujahadah di bulan Ramadlan, dan hanya berharap limpahan pahala dalam anka-angka di malam Lailatul Qadar, maka hanya akan mendapatkan “pahala” (ujrah) ritual belaka. Di mana ibadahnya tidak memiliki dampak psikologis dan sosiologis, yang merubah perilaku personalitas dan perilaku sosial (social behavior). yang disebut oleh al-Qur’an sebagai sikap keberagamaan yang hipokrit, keberagamaan orang munafik, keberagaaman para pendusta agama (QS. al-Ma'un [107]: 1-7). Ini mirip dengan makna Hadits, bahwa puasa yang tidak “ngefek” pada perilaku amoral (akhlaq madzmumah), sikap hipokrit (‘amal zur), menebar kebohongan (qaul zur) dan kebencian (hasud), permusuhan (qatl), maka puasanya tidak ada gunanya. Orang yang berpuasa tetapi belum “hijrah”, hanya akan memperoleh lapar dan dahaga belaka.

Akibatnya ialah, bahwa ibadah yang seharusnya mendatangkan ketenangan (muthmainnah), kebahagiaan (falah), kedamaian (salam) dan ketakwaan, hanya berujung kepada kesia-sian dan kebingungan (hairan) yang memusingkan fikiran dan menyesakkan dada (dlayyiqa al-qalb).

Itulah makna filosofis Lailatul Qadar, malam penuh makna kebaikan dan kebajikan yang tak terhingga. Kebaikannya mampu merubah pola hidup jahiliyah menjadi pola hidup yang Qur’aniyah. Orang yang berubah pola hidupnya, dialah yang mendapatkan Lailatul Qadar, sedang yang pola hidupnya tetap, tidak “move on”, belum “hijrah”, dia tidak memperoleh Lailatul Qadar dalam makna yang sebenarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi