DARURAT, SOCIAL CHANGE DAN ORANG BESAR
DARURAT, SOCIAL CHANGE DAN ORANG BESAR
Bukhori at Tunisi
(Alumni Ponpes YTP, Kertosono. Penulis buku: “Sayap Liberal, Moderat, dan Literar Pondok Pesantren, Deepublish, 2020)
Muqaddimah
Yang terkurung masa lalu, tidak akan pernah merdeka. Kehidupannya selalu terpenjara. Terkungkung dalam ruang yang sama, walau dalam waktu yang berbeda. Meski roda kehidupan selalu bergerak, namun tetap stagnan dalam spasial yang sama. Tentu memuakkan dan menyesakkan, karena setiap detik, jam, hari, bulan, tahun, dan waktu yang tak terhingga hidup dalam rutinitas kehidupan yang sama, membosankan, dan memuakkan.
Hanya orang besar yang mampu keluar dari penjara kehidupan. Dia tidak pernah larut dalam arus kehidupan yang membelenggu. Kehidupan adalah bagian dari gerak sejarahnya yang diciptakan untuk “history”-nya, bukan sekedar “story”.
Orang besar selalu bergerak menciptakan sejarahnya. Dia mencipta, bukan larut dalam gelombang sejarah yang lain. Dia hidup abadi, walau sudah berkalang tanah. Namanya selalu hidup, walau ajal sudah menjemputnya. Ukiran sejarah yang tertulis dalam prasasti sejarah, tak lekang oleh panas dan lapuk karena hujan. Warisan abadi itu bernama ilmu pengetahuan.
Sementara yang lain, hanya pelengkap sejarah. Ia hidup tetapi habis itu mati. Hidupnya hanya sementara (dania: dunya: dekat) saat singgah saja, habis itu terkuber bersama kematiannya.
Darurat
Ada pertanyaan “fiktif” nan menggelitik, karena menggunakan “sentimen”
Agama untuk melegalilasi kekalahan atas tindakan ketakbenaran dan turunannya,
yang dilakukan karena keterdesakan (حاجية),
keterpaksaan (ضرورية), atau ancaman
yang mematikan (هلكية), padahal
pelanggaran kebenaran.
Pertanyaannya sebagai berikut: “Ada seorang muallaf, baru tiga bulan
masuk Islam, namun hidup di lingkungan non muslim, sedang kampung muslim jauh
dari tempat dia tinggal. Sementara, kebiasaan masyarakat kampungnya: mengkonsumsi
daging babi. Karena sudah menjadi muslim, maka haram hukumnya memakan daging
babi. Namun, karena hidup di lingkungannya yang lama, dia belum bisa melepaskan
kebiasaan makan daging babi, walaupun dia tahu babi itu haram menurut Islam.
Sekarang dia belum bisa keluar dari kampungnya. Sedang dia belum siap pindah ke
tempat baru?”
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya berikan tamsil yang mirip
dengan peristiwa di atas, namun beda peristiwa, intinya sama, meski dengan frasa
berbeda.
Pada zaman Nabi saw., ada pemuda yang memiliki kebiasaan buruk, namun minta dispensasi untuk terus melakukan keburukan tersebut walau sudah menjadi seorang muslim. Kebiasaan buruk tersebut adalah melakukan zina. Dia minta izin untuk dapat berzina dengan wanita mana pun, karena berat untuk meninggalkan perbuatan buruk tersebut, namun Nabi tidak mengizinkannya, dengan memberikan “pencerahan” dengan “tamsil” jika perbuatan tersebut menimpa keluarganya sendiri, ibu, adik, dan atau keluarga lainnya. Dengan logika “muqabalah” (مقابلة), “dikembalikan” kepada dirinya sendiri, muncul kesadaran, bahwa perbuatannya salah. Dalam Hadits diceritakan sebagai berikut:
إِنَّ
فَتًى شَابًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي بِالزِّنَا فَأَقْبَلَ الْقَوْمُ عَلَيْهِ
فَزَجَرُوهُ قَالُوا مَهْ مَهْ فَقَالَ ادْنُهْ فَدَنَا مِنْهُ قَرِيبًا قَالَ
فَجَلَسَ قَالَ أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ قَالَ لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ
فِدَاءَكَ قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأُمَّهَاتِهِمْ قَالَ
أَفَتُحِبُّهُ لِابْنَتِكَ قَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ جَعَلَنِي
اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِبَنَاتِهِمْ قَالَ
أَفَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ قَالَ لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ
وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأَخَوَاتِهِمْ قَالَ أَفَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ
قَالَ لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ وَلَا النَّاسُ
يُحِبُّونَهُ لِعَمَّاتِهِمْ قَالَ أَفَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ قَالَ لَا وَاللَّهِ
جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِخَالَاتِهِمْ
قَالَ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ
وَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ وَحَصِّنْ فَرْجَهُ
فَلَمْ يَكُنْ بَعْدُ ذَلِكَ الْفَتَى يَلْتَفِتُ إِلَى شَيْءٍ
Dari Abu Umamah: Sesungguhnya seorang pemuda mendatangi Nabi Saw lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkan aku berzina?” Orang-orang mendatanginya lalu memarahinya, mereka berkata, “Diam kamu!” Rasulullah Saw berkata “Mendekatlah!” lalu dia mendekat, duduk [di dekat Rasulullah]. Lalu Rasulullah Saw bertanya, “Apakah kamu suka, jika orang lain menzinai ibu kamu?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Utusan Allah, semoga Allah menjadikanku sebagai penebusnya.” Nabi saw bersabda; “Orang lain juga tidak suka, jika ada orang yang menzinai ibu-ibu mereka.” Rasulullah Saw bersabda; “Apa kau suka jika orang lain menzinai putrimu? “Tidak, demi Allah wahai Utusan Allah, semoga Allah menjadikanku sebagai penebusnya.” Nabi saw bersabda; “Orang-orang juga tidak suka, jika ada orang lain menzinai puteri mereka.”. Nabi saw bersabda, “Orang-orang juga tidak menyukai orang menzinai putri-putri mereka.” … Kemudian Rasulullah Saw meletakkan tangan beliau pada pemuda itu dan berdoa, اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ وَحَصِّنْ فَرْجَهُ [Ya Allah! Ampunilah dosanya, bersihkan hatinya, jagalah kemaluannya] Setelah itu pemuda tersebut tidak pernah melirik apa pun yang berbau zina. [HR. Ahmad, No. 21185].
Ada dua pendekatan yang dilakukan Nabi kepada orang yang belum “memahami” adab,
hukum, dan nilai kemanusiaan Islam: 1). Disentuh nilai kemanusiaannya; 2).
Disentuh rasionalitasnya.
Hukum tidak sekedar hukum. Hukum tumbuh, berkembang, dan hidup atas etika
masyarakat untuk membangun keadaban, bukan membangun kebiadaban. Hukum hanya untuk
mencari korban dan meng-“hukum” yang lain karena berbeda. Hukum dibangun untuk
keluhuran dan harkat kemanusiaan. Hukum yang tercerabut dari nilai, etika, dan
moral, agama, akan mengalami degradasi ke titik nadir terendah. Ia akan menjadi
budak nafsu, kekuasaan, kesenangan, ekonomi dan penindas.
Nabi mengajarkan bahwa hukum harus menyentuh sisi terdalam diri manusia.
Kasus perzinahan adalah kasus kemanusiaan. Ia berkelindan dengan person sebagai
individu dan masyarakat. Nabi megingatkan nilai kemanusiaan tersebut dengan
mengatakan, “Andai itu terjadi pada Ibu, anak, bibi, ponakan, dan turunannya?
Di mana posisi mereka sebagai turunan darah dagingnya sendiri. Apakah merima
perlakuan biadab tersebut?” Sang pemuda tersentuh, dia menjawab, “Tidak”.
Mengapa tidak? Karena “aib”, “malu”, “direndahkan”, dikomersilkan”,
“dihinakan”, mengena pada orang yang memiliki hubungan darah dan kekerabatan
dengan dirinya sendiri. Jika sesama kerabat tidak mau “disentuh”, maka kata
Nabi, “Yang lain”-pun juga memiliki perasaan yang sama, nilai yang sama,
derajat yang sama, akibat yang sama.
Jika keburukan menimpa dirinya tidak mau diterima, maka yang lain pun tidak
mau menerima perlakuan buruk yang sama. Maka, nilai kemanusiaan itu universal,
berlaku untuk semua, tidak ada perbedaan antara satu individu dengan individu
lainnya, tidak ada perbedaan antara kelompok, suku, bangsa, dan negara mana
pun, dalam hal-hal yang sama.
Kedua, sentuhan rasionalitas. Tidak mungkin, akal yang sehat, fikiran yang jernih,
rasio yang waras, menerima keburukan sebagai sesuatu kewajaran. Tidak mungkin
sebuah kemunkaran diterima oleh akal yang sehat sebagai suatu kebaikan. Tidak
mungkin, suatu kesalahan diterima sebagai keshalihan. Oleh sebab itu,
akibat buruk, pasti akan dihindari oleh orang yang mengetahui bahwa keburukan
akan mencelakakan, bahwa kejahatan akan membawa kepada kehancuran.
Zina, pencurian, penipuan, makanan yang haram, perbuatan keji, semuanya
akan membawa akibat buruk dan kehancuran. Akal yang sehat mampu menerawang
akibat buruk dari kejadian pendahuluan yang dilakukan. Peristiwa kehancuran, musibah
yang melanda suatu negeri, kelompok, suku, atau bangsa, tidak mungkin terjadi,
bila tidak terjadi pelanggaran kepada norma, hukum, adat yang baik, akhlak dan agama.
Oleh sebab itu, para hukama’, orang bijak, dan para nabi, selalu
memesankan bahwa, “Kebaikan akan membawa kepada kemaslahatan, sedang
keburukan akan membawa kepada kehancuran”. “Kebaikan akan membawa
manfaat, sedang keburukan akan membawa kepada kerusakan.”
Sebuah hukum (سبب) pasti ada suatu
peristiwa sebagai pendulum. Karena hukum tidak lahir dari dalam ruang hampa, ruang
kosong, “ujug-ujug” ada. Adanya “musabbab”, pasti ada peristiwa sebagai “sebab”
yang mendahuluinya. Dalam Ushul Fiqh “peristiwa” yang menjadi “sebab”, dinamakan
“illat” (علة) atau “sebab” (سبب)
yang meng-“akibat”-kan (مسبب) timbulnya
suatu “hukum”. Dalam hukum taklifi, “Sebab” adalah “Sesuatu
yang bila "wujud",
maka akan timbul “hukum”; bila “sesuatu”-nya tidak wujud, maka hukumnya pun
tidak ada.” (السبب هو من وجوده وجود الحكم, ومن عدمه عدم الحكم). Karena itu, para Juris muslim
membuat kaidah: الحكم يدور مع العة وجودا و عدما (hukum
itu berlaku, karena ada atau tidak adanya sebab). Jadi, bila tidak ada
sebab, maka hukum tidak akan ada. Adanya hukum potong tangan, misalnya, karena adanya sebab pencurian.
Dalam urusan duniawi, prinsipnya semua boleh, kecuali ada dalil kebalikannya (الاصل في الاشياء الاباحة الا ما دل الدليل على خلافه). Jadi, apa pun di dunia ini,
semuanya boleh kecuali ada larangan. Dan “larangan” tersebut harus dengan
“dalil”, tidak boleh semaunya sendiri menurut nafsu, kepentingan, politik, atau
prevalage tertentu. Di dalam Hadits misalnya tidak disebutkan buah
“Salak”, apakah “boleh” (مباح) ataukah
“haram” (حرام). Maka memakan buah Salak
hukumnya boleh, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Bagaimana dengan Babi? Babi adalah “syai’” (شيء),
karena termasuk “syai’”, maka hukum “asal”-nya “boleh”. Namun karena ada dalil
di dalam al-Qur’an yang menyatakan bahwa Babi haram, maka memakan daging bagi
hukumya haram. Berubahnya hukum dari “boleh” menjadi “haram”, karena ada dalil
kebalikan (الدليل على
خلافه)) dari hukum
asalnya, “Segala sesuatu itu boleh” menjadi: “haram”. dalilnya firman Allah
dalam QS. Al-Maidah [5]: 3:
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ
بِهِۦ وَٱلۡمُنۡخَنِقَةُ وَٱلۡمَوۡقُوذَةُ وَٱلۡمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ
وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيۡتُمۡ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ
(Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,
dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala...)
Bagaimana jika dalam keadaan “darurat” (ضرورة)?
Bila dalam keadaan darurat, yang bisa menyebabkan kematian (موت),
maka boleh memakan atau melakukan sesuatu yang diharamkan (الضرورة تبيح المحظورات [dalam keadaan darurat, dibolehkan
melakukan hal-hal yang diharamkan]). Misalnya [walaupun fiksi], pengembara
atau pendaki gunung tersesat di hutan, makanan sudah habis, bahan makanan tidak
ada, dan tanaman hutan yang dimakan pun tidak ada, adanya hanya babi [padahal
kehabisan bekal badan akan lemah sehingga gak mungkin dapat menangkap Babi,
kecuali pakai senjata], maka memakan babi dibolehkan, karena mengancam nyawa.
Syarat-syarat yang dirumuskan para ahli fiqih dan Ushul
Fiqh, diperbolehkan melakukan hal-hal yang diharamkan saat darurat adalah sebagai berikut:
1.
Dipastikan
bahwa dengan melakukan yang haram, “dlarar” (bahaya)-nya hilang. Jika tidak bisa dipastikan demikian,
maka tidak boleh seenaknya menerjang yang haram.
2. Tidak ada
jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya dlarar. Contoh:
Jika di hutan masih ada tanaman yang bisa dimakan, atau ada biji-bijian yang
bisa dimakan, maka haram makan babi.
3. Haram
yang diterjang lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.
4. Yakin
akan memperoleh dlarar (bahaya), bukan hanya sangkaan (zhann) atau yang
nantinya akan terjadi (prediksi).
Berapa kadarnya? Kadar ukurannya adalah “sekedar” menyelamatkan nyawa,
bukan sebanyak-banyaknya, dan bukan untuk selamanya. Dalam kaidah Ushul Fiqih
disebutkan:
ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها
(Sesuatu yang dibolehkan
karena darurat, kadar kebolehannya menurut kadar daruratnya )
Kebolehan seseorang memakan sesuatu yang semula haram, adalah karena kondisi yang memaksa. Manakala keadaannya
sudah normal, maka hukum kembali menurut hukum normal, hukum asalnya. Syara’ memeberi batas di dalam mempergunakan
kemudahan karena darurat, menurut ukuran daruratnya semata-mata untuk
melepaskan diri dari bahaya. Contoh: Boleh makan Babi hanya sekedar pelepas kelaparan saja; tidak boleh berlebihan apalagi terus menerus. Bila
sudah kenyang dan kondisi fisik telah pulih kembali, batas kehalalan habis
sampai di situ. Ini sesuai dengan
firman Allah: QS. Al-Baqarah[2]: 173:
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ
بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ
عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٧٣
(Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi, barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)
Jadi, jika darurat sudah
hilang, maka kembali kepada hukum asal. Para ulama’ Ushl Fiqh membuat Kaidah
seperti di bawah ini:
ما ابيح للضرورة زال بزوالها
(Sesuatu yang dibolehkan karena darurat,
hilang kebolehannya dengan hilangnya darurat )
Ada kaidah lain yang serupa dengan yang di atas:
مَا جَازَ لِعُـــذْرٍ بَــطَلَ
بِزَوَالِهِ
(Apa yang dibolehkan karena
udzur, hilang sebab hilangnya udzur)
Jadi, kebolehannya saat masih ada kondisi darurat. Jika kondisi darurat sudah hilang, maka kehalalannya hilang.
Mesikapi darurat
Berat untuk merubah adat istiadat,
kebiasan yang hidup ratusan tahun bahkan ribuan tahun, apalagi dirubah secara
drastis (revolusi), tidak pelan-pelan (evolusi). Sejarah Walisongo dalam
Islamisasi Pulau Jawa [dan kepulauan Nusantara], sungguh luar biasa dan sangat
mengagumkan. Menghadapi masyarakat yang memiliki adat istiadat dan budaya yang
diwarnai oleh Hindu dan Budha, dapat dirubah dengan “nafas” Islam, tanpa meninggalkan
“luka” pada budaya Jawa. Proses Islamisasi yang begitu hebat, bukan dilakukan
dengan main-main, serampangan dan tanpa ilmu pengetahuan. Semuanya dilakukan
berdasarkan kepada ilmu pengetahuan, budaya, falsafah, sosial keagamaan.
Dilakukan dengan penuh kesadaran dan sabar, terarah. Last, but not lies, kekuasaan.
Kolaborasi antara umara’ (para raja) dan ulama’ (para wali, alim), menghasilkan
proses Islamisasi yang sempurna menurut ukuran waktu dan tempat saat itu. Dan
keberhasilan tersebut tidak mudah ditiru oleh generasi berikutnya.
Kebalikannya (muqabalah), Apa jadinya jika para wali, para ulama’ dan dai waktu itu berfikiran sama dengan (pertanyaan di atas) muallaf yang tidak bisa keluar dari kondisi sosial religius di daerahnya? Tentu tidak akan terjadi islamisasi Nusantara yang begitu mencengangkan. Pasti masyarakat Nusantara akan tetap hidup dalam kepercayaan Animisme dan Dinamisme, plus Agama Hindu-Budha. Hidup dalam “kejahiliyahan” lama, dan tidak ada reformasi falsafah hidup, agama, dan kepercayaan.
Islam: Merevolusi diri
Dalam Islam, saat manusia mengucapkan Syahadatain, syahadat pertamanya
adalah “Syahadat Tauhid” yang mengandung kalam “mutsbat” dan “manfi” sekaligus.
“Mutsbat” (menetapkan) hanya Allah sebagai “Ilah”-nya, dan “manfi” (meniadakan)
selain Allah sebagai “ilah”. Konsekwensinya: sesama manusia kedudukannya sama.
Sama-sama mulia (QS. 17: 70) sebagai ciptaan Allah yang paling sempurna (QS.
95: 4), dan menempatkan ciptaan Allah yang lain, “tunduk” di bawah “kekuasaan”
manusia (QS. 14: 33; 16: 12-14). Namun dengan kekuasaan yang dimilikiya (QS. 2:
30), manusia tidak boleh membuat kerusakan ciptaan Allah (QS. 7: 56), dan
diamanahkan untuk memakmurkananya demi kemashlahatan manusia (QS. 2: 29).
Bila orang Islam belum mampu merovolusi diri, maka ke-“islam”-annya masih
bermasalah (QS. 49: 14), karena belum terpatri nilai-nilai kebebasan di dalam
dirinya. keislamannya belum mampu membebaskan dirinya dari berbagai macam
belenggu duniawi, budaya, adat istiadat dan kepercayaan yang berbau syirik,
baik yang politeistik dan paganistik.
Islam itu sendiri adalah “pembebasan” dari yang lama ke yang baru. Yang
lama adalah kejahiliyahan, pengetahuan yang tidak didasarkan kepada Tuhan Yang
Esa. Ia adalah kegelapan, karena tidak ada kepastian kebenaran yang dijadikan
ukuran. Yang baru adalah yang ilmiah, pengetahuan yang didasarkan kepada
monoteistik, Tuhan Yang Maha Esa. Ia mencerahkan, karena adanya kepastian
ukuran kebenaran berdasarkan pengetahuan Ilahi, wahyu dari Allah. Ia berasal
dari Yang Esa, dan kembali kepada Yang Esa. Semua berasal dan kepunyaan Allah,
dan semuanya akan kembali kepada Allah.
Islam adalah pembebasan, karena dalam Islam, ada proses pembebasan manusia
dari penghambaan (QS. 3: 79), ketergantungan (QS. 112: 2) kepada sesama manusia
dan makhluk ciptaan Allah yang lain. Dan
hanya menghamba dan menggantungkan diri kepada Allah (‘abdullah)
(QS. 3: 64; 6: 162). Adanya sikap “pasrah” hanya kepada Allah dan menolak untuk
“tunduk” kepada selain Allah, membuat manusia bebas, tidak terkekang, merdeka.
Kebebasan dan kemerdekaan itu diperoleh, karena manusia tidak punya rasa takut,
khawatir, dan gelisah di dalam jiwanya (QS. 2: 112; 10: 62).
Dalam sejarah Islam awal, ada orang yang menyembunyikan keislaman mereka di
tengah masyarakat yang kufur kepada Allah. Ada yang terang-terangan
mendakwahkan Islam, di tengah masyarakat yang memerangi Allah dan Rasul-Nya;
dan ada yang berani mengajak kaumnya utuk memeluk Islam dan seluruhnya masuk
Islam.
Abu Bakar, mengajak keluarga dan kerabatnya. Ada yang mengajak seluruh
kaumnya masuk Islam seperti Abu Dzar al-Ghiffari. Umar berani terang-terangan
dan menentang pembesar Quraisy, termasuk Abu Jahal, bahkan melukainya. Ada yang
menyembunyikan keislamannya seperti Abbas ibn Abdul Muthallib. Perbedaan sikap
tersebut, disebabkan kuat dan lemahnya iman yang ada di dalam diri para Sahabat
Nabi.
Di kalangan penguasa pun ada berbagai sikap dalam menanggapi ajakan Nabi untuk masuk Islam. Ada yang menerima Islam seperti Raja Najasi, Ethiopia. Ada Kasiar Heraklius, mula-mula tertarik, karena rakyatnya menolak, urung masuk Islam. Ada Guberbur Mekaukis dari Mesir, tidak menentang Islam, namun tidak juga mau masuk Islam, malah mengajak bersahabat dengan Nabi. Sebagai tanda persahabatan, dibawakan upeti dan budak perempuan yang diserahkan kepada Nabi. Ada Qisra Persia, menentang ajakan Nabi dan menyobek-nyobek surat ajakan Nabi untuk memeluk Islam.
Salaf al Shalih: Tidak Larut Budaya
Para Sahabat Nabi paling awal (السابقون الاولون), adalah orang-orang yang tidak mau seperti orang kebanyakan. Mereka mau merubah dirinya untuk memperbaharui keyakinan dasar hidupnya (worldview) yang salah kepada pandangan hidup yang benar: Islam (QS. 2: 257). Mereka sadar atas pilihanya: penuh resiko, tantangan, ancaman, bahkan kematian (QS. 2: 154). Jalannya penuh duri, terjal dan mendaki (QS. 90: 11-16). Namun pilihan yang benar akan mendatangkan kemashlahatan (QS. 10: 57; 21: 107). Itulah keyakinan terbesar mereka. Apa pun dikorbankan: fikiran, tenaga, harta, hingga nyawa. Dan mereka tidak mengharapkan balasan apa pun, bahkan sekedar ucapan “terimakasih” pun, tidak (QS. 76: 9).
Allah berfirman dalam QS. Al-Taubah [9]: 100:
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ
مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ
ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ
خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ ١٠٠
(Orang-orang yang terdahulu lagi yang mula-mula [masuk Islam] dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sikap “ihsan”. Allah ridla kepada mereka dan mereka pun ridla kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka selama-lamanya di dalam Surga. Itulah kemenangan yang besar)
Para al-Sabiqun al-Awwalun (السابقون الاولون) adalah tokoh-tokoh top on the top pada masanya. Bayangkan! Di tengah masyarakat musyrik, paganis, mereka mengajak hanya bertauhid kepada Allah, menegakkan kebenaran, menentang segala kebatilan, mengajak kepada kebaikan, mencegah kemunkaran, menentang penindasan, menyeru keadilan, membela kaum lemah (mustadl’afin), menentang kelompok penghisap rakyat lemah (akabir). Mereka bertahan hidup dalam kesusahan karena diembargo ekonomi, dimusuhi, diperangi. Kerena itu, mereka bukan orang biasa. Mereka adalah kelompok istimewa karena keberanian mereka dalam mengambil sikap dan menentukan pilihan: Islam. Mengapa? Karena mereka berani mengambil resiko. Apa pun resiko itu, mereka siap menghadapi.
Betapa berat Nabi Muhammad saw., dan para Sahabat yang masuk sebagai “al Sabiqun al Awwalun (السابقون الاولون) Tidak larut dalam pusaran budaya jahiliyah masyarakat Arab. Jiwa mereka kuat, tegar, dan tahan banting; karena sudah digembleng dengan berbagai cobaan dan penyiksaan. Dan mereka lulus dari cobaan, ujian, dan mara bahaya. Oleh sebab itu, Allah pun ridla dengan mereka, sebagaimana mereka ridla atas apa pun yang diamanahkan, dibebankan, dipikulkan kepada mereka, mereka akan menerima dengan lapang dada.
Lakum Dinukum wa Liya Din(i)
Ada ajakan untuk “berdamai” dalam segala urusan: duniawi dan ukhrawi,
urusan mu’amalah dan ‘aqidah, namun ditolak oleh Nabi; karena urusan “agama”, “aqidah”,
“keyakinan” adalah “wilayah khashshah” yang tidak bisa dinegosiasikan untuk
mencari “win win solution”. Nabi menyatakan bahwa prinsip “tauhid” tidak
bisa dicampur dengan “syirik”. Karena dalam pandangan Nabi: Tauhid pangkal
pencerahan peradaban; sedang “syirik” adalah pangkal kegelapan, ketidak
jelasan, syubhat, keburukan dan ketidak adilan. Oleh sebab itu, antara tauhid
dan syirik tidak dapat didamaikan. Kata Nabi, “lakum dinukum waliya din[i]”
(Bagimu agamamu, dan bagiku Agamaku). Tidak bisa untuk bergantian dalam
beribadah kepada berhala di satu waktu, dan menyembah Allah di waktu yang lain.
“Tidak”, kata Nabi.
Prinsip “tasamuh” “toleransi” diterima sejauh kebebasan menjalankan “ibadah”
menurut keyakinan masing-masing, tanpa mencampur adukkan keyakinan. Menjauhkan sikap
saling hina, memusuhi, dan menafikan antar keyakinan. Dan bekerja sama dalam
hal-hal yang bisa dikerjakan secara bersama-sama.
Di saat prinsip “tasamuh” dapat dijalankan dengan baik dan aman, maka tidak ada alasan untuk “mufaraqah” (memisahkan diri dari kelompok, nation and state). Namun jika “tasamuh” tidak bisa berjalan dan ada yang mau memaksakan kehendak dengan jalan pemaksaan, kekerasan, bahkan penghancuran, maka harus dilawan.
Hijrah
Di saat menghadapi kesulitan dan dihadapkan pada kegagalan sosial untuk mencapai masyarakat religius dan sejahtera (baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur), maka pilihan Nabi adalah melakukan “hijrah”. Hijrah yang dilakukan Nabi adalah dalam kerangka social engineering (rekayasa sosial), menciptakan masyarakat baru yang berbeda dengan masyarakat lama dengan tujuan terlaksananya “khairu ummah”. Harapannya agar terjadi perubahan masyarakat (social change) jahiliyah, paganis, menjadi masyarakat ilmiyah, monoteis. Dari masyarakat yang “sensi” (emosi) ke masyarakat yang “aqliyi” (rasional). Di Madinah Nabi mampu menciptakan masyarakat madani, masyarakat berkeadaban yang dilandasi oleh nilai-nilai Ilahiyah bukan “watsaniyah”. Hijrah dari “darkness” ke “enleigtenment”. Dari kota Madinah yang “Tercerahkan” (al-Munawwarah) tersebut tercipta peradaban Islam yang mondial, dari Marakesh hingga Merauke.
Great Man
Pilihannya ada dua: 1). Jadi masyarakat biasa (ordinary people); 2).
Jadi Orang Besar (Great Man). Orang biasa, mati dikubur berkalang
tanah. Orang Besar, meninggal tetapi namanya “abadi” sepanjang masa. Orang Besar
adalah orang yang mampu mengubah sejarah. Apa ukuran kebesarannya: 1). Punya pengaruh
bagi generasi sesudahnya; 2). Masa pengaruhnya panjang.
Ada dua tipe tokoh besar: 1. Protagonist; 2. Antagonist. Protagonits
diwakili oleh para Nabi, rasul, filosof, pejuang, dan lainnya; yang antagonist
diwakili tokoh-tokoh kontroversial, namun besar dalam sejarahnya. Ada
Namrud, Fir’aun, Jalut, Abu Jahal, Abu Lahab. Para Nabi, Rasul, adalah tokoh
besar karena kebaikannya. Sedang Namrud atau Fir’aun dikenal besar karena
kejahatannya. Tinggal pilih!!!! Ikut orang kebanyakan atau menciptakan
sejarahnya sendiri. Begitu Poejangga.
Komentar
Posting Komentar