Ayah Sejati itu bernama Ibrahim

Ayah Sejati itu bernama Ibrahim
oleh Agus Adib FR

(Guru SMAN 1 Batuan Sumenep.
Mantan Ketua Umum PW PII Jatim 2004-2006)

Editor: Sudono Syueb

Sekitar 4000 tahun yang lalu, hiduplah seorang laki-laki terpilih, ia bernama Ibrahim. Dalam bahasa Semit kuno “Ib” berarti ayah dan “Rahim” berarti penyayang, maka Ibrahim; “ayah yang penyayang”. Laki-laki dengan karakter sangat kuat sejak muda. Keteguhan iman berpadu dengan kecerdasan dan keberanian yang mengesankan. Ia menjalankan semua tugas kehidupannya dengan luar biasa.

Kelak ia menjadi Abu al-Anbiya’ (ayah para Nabi). Hal itu tidak berlebihan karena keluarga Ibrahim adalah salah satu dari dua keluarga yang Allah pilih untuk menjadi teladan bagi umat manusia, selain Keluarga Imran. Kita dituntunkan untuk selalu mengingat keteladanan keluarga Ibrahim itu setidaknya di setiap akhir shalat kita, pada shalawat Ibrahimiyah yang selalu kita lafalkan dalam tahiyat sebelum salam.

Keluarga hakiki dibangun di atas visi ibadah (penghambaan kepada Allah) yang kuat. Itulah Baytiy Jannatiy (rumahku surgaku). Rumah dimana satu sama lain saling menjaga dan mendukung agar tetap dalam ketaatan kepada Allah. Saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Hingga kelak keluarga yang ada di dalamnya dapat kembali berkumpul di surga.

Ibrahim senantiasa menghiasi hari dan keluarganya dengan berdoa. Bahkan nama Ismail dalam bahasa Semit kuno bermakna; isma’ (dengarlah) dan il (tuhan), “dengarkanlah doa kami wahai Tuhan”. Jika kita susuri surat Ibrahim pada ayat ke-35 hingga 40, kita akan mandapati doa-doa beliau Allah abadikan. Doa yang mengajarkan kepada kita bagaimana mendidik dan membesarkan generasi.

Pertama, menanamkan aqidah yang kokoh, serta menjaganya berbagai pengaruh yang menyesatkan. Kedua, menjadikan Shalat sebagai tiang kehidupan. Ketiga, mencukupi kebutuhan pangan. Keempat, membangun citra positif keluarga (pandangan yang baik) oleh masyarakat. Karena citra diri yang positif merupakan modal penting bagi anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang baik. Yang terakhir, adalah doa. Hanya Allah lah yang kuasa memberikan yang terbaik.

Ibrahim mengajarkan kita untuk menghargai anak. Saat turun perintah agar mengurbankan sang putra, tidak lantas menjadikan beliau berlaku semau sendiri. Beliau meminta pendapat Ismail, dengan kalimat yang di-abadikan dalam al-Qur’an; “sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku akan menyembelih-mu, maka bagaimana menurutmu Nak?” 

Sering kita mendambakan anak setaat Isma’il, tapi sudahkah kita se-shalih Ibrahim? atau se-shalihah Ibunda Hajar?

Di tengah gonjang-ganjing pendidikan negeri ini, selain menghadirkan kembali gambaran Keluarga Ibrahim, tampaknya perlu juga kita meneladani keluarga ‘The Grand Old-man of Republic’. Keluarga Haji Agus Salim. Keluarga pejuang yang hidup dalam kebersahajaan. Bahkan Scermerhorn (pejabat Belanda lawan runding Agus Salim) mengatakan: “Agus Salim adalah orang yang sangat fasih berbicara, kekurangannya hanya satu; melarat.” Meski beliau dekat dengan Presiden, namun keluarga Agus Salim dikenal sering berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain.

Haji Agus Salim, seorang yang fasih berbicara 9 bahasa asing itu, dipercaya menjadi menteri luar negeri beberapa kabinet awal kemerdekaan. Selalu menjadi bagian dalam perjuangan diplomatik membangun pengakuan dunia internasional atas berdiri dan merdekanya bangsa ini. Berkeliling ke negara-negara Afrika, Timur tengah dan Eropa serta tampil dalam sidang PBB pada masanya.

Saat sekolah belanda mendidik anak-anak pribumi untuk bermental inlander (mental terjajah; inferior dan mengagungkan penjajah), Agus Salim memilih untuk mendidik sendiri anak-anaknya. Kecuali anak yang terakhir beliau sekolahkan di SR. Beliau dikaruniai 10 anak, tetapi dua diantaranya meninggal saat masih kecil. Di tengah kesibukan yang luar biasa beliau berhasil menjadikan anak-anaknya fasih berbahasa asing, menguasai sastra dan berwawasan luas. Haji Agus Salim adalah contoh orangtua yang berkarakter.

Memulyakan ‘Idul Adha, berarti juga membangunkan kembali kesadaran kita tentang hakikat menjadi orang tua dan keluarga.

 Pasarkayu, 10 Dzulhijjah 1441 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi