Klepon, Kurma, dan Islam di Indonesia
Klepon, Kurma, dan Islam di Indonesia
Oleh:
Ahmad Khoirul Fata
Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo
Editor: Sudono Syueb
Tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba viral gambar-gambar klepon tidak islami yang dipertentangkan dengan kurma yang disebut sebagai islami. Kontan hal ini memicu perdebatan di tengah masyarakat. Isu ini pun dibawa-bawa ke ranah politik dengan tuduhan yang cenderung menyerang kekuatan politik yang selama ini kritis terhadap kekuasaan.
Sejak awal memang mencurigakan. Bagaimana mungkin isu klepon tiba-tiba menjadi viral padahal selama ini tidak ada satu kelompok pun dalam Islam di Indonesia yang mengharamkan jajanan tradisional ini. Untungnya publik segera tersadar bahwa isu ini sengaja disebar oleh buzzer untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari persoalan-persoalan sosial-politik tertentu yang kini sedang disorot masyarakat, seperti tentang politik dinasti atau pertumbuhan pasien Covid 19 yang makin tak terkendali.
Selain sebagai upaya pengalihan isu, klepon vs kurma juga bisa dianggap sebagai upaya pihak tertentu untuk mendiskreditkan Islam dan umat Islam, seolah-olah Islam itu ajaran yang tidak ramah terhadap tradisi setempat. Seakan-akan Islam hadir ke Nusantara ini untuk memberangus kebudayaan di dalamnya. Ada semacam upaya adu domba antara Islam dengan tradisi Nusantara.
Jika dirunut lebih jauh, upaya ini akan terus dibawa ke gambaran bahwa Islam merupakan agama impor yang berbeda dengan “identitas asli” Nusantara. Dan pada akhirnya akan diopinikan jika Islam itu merupakan ancaman bagi keindonesiaan. Tentu ini sebuah upaya adu domba yang sangat berbahaya.
*Akulturasi Budaya*
Sebelum Islam hadir Nusantara telah berisi tradisi dan budaya yang beragam yang bersumber dari kepercayaan lokal dan peradaban luar sebagai akibat dari proses interaksi antar masyarakat. Dalam wadah yang telah berisi inilah Islam datang ke Nusantara dan menyapa masyarakatnya.
Alih-alih saling menafikan, telah terjadi dialog yang mewujudkan akulturasi yang memperkaya warna keindonesiaan kita. Bahkan jika dilihat dengan teliti, sesungguhnya nilai-nilai Islam telah meresap dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas keindonesiaan kita. Diakui atau tidak, Islam telah meresap dan memberi warna pada budaya dan peradaban Nusantara. Bukan sekedar aksesoris kulit luar belaka, pengaruh Islam terhadap tradisi-budaya Nusantara bahkan telah menjadi jantung yang memompa aliran darah ke seluruh bangunan peradaban Nusantara. Demikian pula karateristik budaya Nusantara yang agraris dan berpulau-pulau juga turut memberikan pengaruh pada cara berislam masyarakatnya sehingga terciptalah sebuah peradaban Islam yang khas Nuswantara.
*Hibriditas Budaya*
Mempertentangkan Islam vis a vis “budaya asli Indonesia” merupakan kesalahan fatal. Dalam buku “Nusa Jawa Silang Budaya”, Denys Lombard secara jelas memberikan gambaran menarik tentang unsur-unsur pembentuk peradaban Nusantara, termasuk Jawa. Menurutnya, Nusantara selama 2000 tahun merupakan wilayah persilangan dari berbagai peradaban yang ada. Semua datang, memberikan pengaruh, dan membentuk karakter kebudayaan Nusantara yang khas. Sebuah kebudayaan yang campur aduk dan hibrid.
Sebagai sebuah wilayah “persilangan budaya”, Nusantara merupakan lokasi peleburan berbagai unsur-unsur peradaban yang beragam. Persilangan itu membentuk kebudayaan yang warna-warni dan kaya. Hibriditas menjadi ciri utama kebudayaan semacam ini. Otentisitas kebudayaan semacam ini terletak pada kemampuannya mengadopsi dan mengolah secara apik berbagai unsur itu. Pada aras ini Lombard melihat ada tiga peradaban yang memberikan pengaruh kuat dalam pembentukan budaya Nusantara itu, yaitu peradaban Hindia, Islam, dan Eropa modern.
Contoh nyata kemampuan hibriditas itu terlihat dalam bidang politik. Negara Indonesia modern yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan perpaduan unsur-unsur “Barat modern, Islam, dan Hinduisme”. Bentuk negara Indonesia modern yang republik dengan sistem demokrasi secara jelas mengadopsi ide-ide politik modern Barat. Namun lambang-lambang kenegaraan RI banyak menggunakan simbol-simbol yang diambil dari peradaban Hindu, seperti burung Garuda, motto Bhinneka Tunggal Ika, istilah Pancasila dan tentu saja nama “Indonesia” itu sendiri.
Meski demikian, secara substansi kenegaraan, Republik Indonesia modern ternyata berisi nilai-nilai keislaman. Kelima sila dalam Pancasila merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai ajaran Islam. Konsep-konsep politik Islam pun memberi warna dan rasa dalam sistem politik-kenegaraan negara ini, seperti konsep “kerakyatan,” “keadilan”, “musyawarah”, “perwakilan”, atau “beradab”. Tidak boleh lupa, Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan inti dari Pancasila pun merupakan obyektivikasi dari substansi agama Islam, tauhid. Hal ini ditegaskan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bahwa Pancasila dan UUD 45 dijiwai oleh Piagam Jakarta.
Evolusi politik-kenegaraan itu sendiri bermula dari konversi kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara menjadi Islam, dari semula kerajaan Hindu-Buddha berubah menjadi kesultanan-kesultanan Islam. Bukan sekedar perubahan bentuk belaka, konversi itu telah mengubah nalar politik Nusantara dari raja sebagai pusat kekuasaan dan sumber hukum _(sabdo pandito ratu)_ menjadi raja/sultan sekedar wakil Allah _(khalifatullah)_. Perubahan paradigma ini kemudian diiringi dengan pelembagaan institusi ulama/wali sebagai penasehat bagi raja/sultan dalam bentuk _ahlul halli wal aqdi_ sebagaimana yang berlaku di Jawa (Demak), atau ulama sebagai qadhi dan mufti. Posisi raja/sultan dan ulama/wali dalam politik-kenegaraan di Nusantara itu disimbolkan dengan burung “Raja-wali” sebagai ganti bagi burung mitologis Hindia “Garuda”.
*Warna Islam*
Islam sendiri telah memberikan pengaruh besar dan fundamental dalam pandangan hidup dan kebudayaan masyarakat Nusantara. Pengaruh paling signifikan terjadi pada pandangan hidup orang-orang Nusantara. Dari semula animisme-dinamisme yang bercampur dengan Hinduisme dan Budhisme, menjadi cara pandang yang berdasar ajaran Islam. Perubahan fundamental ini banyak terekspresikan dalam pola pikir dan pola hidup masyarakat Nusantara.
Karena itulah, Anthony Reid (2015) menolak kesimpulan bahwa pengaruh Islam itu hanya di aspek kulit budaya Nusantara saja. Reid menegaskan bahwa Islam telah memberikan pengaruh kuat dalam peradaban Nusantara sampai-sampai orang-orang Nusantara yang masuk Islam itu merasa dirinya seolah-olah “berganti etnis”. Ada banyak contoh-contoh perubahan “bagaikan berganti etnis” yang diberikan Reid.
Sebelum kedatangan Islam, wanita-wanita di banyak daerah di Nusantara, seperti di Jawa dan Bali, diharuskan membakar diri mereka dalam api pembakaran jenazah suaminya. Namun, tradisi seperti itu hilang tanpa bekas ketika Islam datang. Kebiasaan makan babi, khususnya dalam upacara-upacara keagamaan dan berbagai pesta yang biasa digelar oleh suku-suku di Nusatara pra-Islam, juga ditinggalkan saat mereka mengkonversikan keyakinannya pada Islam. Mereka juga melakukan khitan atau sunat.
Tradisi berbusana menutup seluruh tubuh dalam masyarakat Nusantara juga merupakan evolusi berpakaian akibat pengaruh Islam. Beberapa riwayat menceritakan, ketika pengaruh Islam belum kuat menancap, orang-orang Nusantara hanya menggunakan selembar kain untuk berbusana. Kain itu hanya menutup bagian vital belaka. Namun Islam datang dan mengubah itu. Terjadilah evolusi berbusana. Jika semula mereka hanya menutup bagian tubuh yang vital saja, kemudian berkembang menutup sebagian besar tubuh, lalu berkembang terus hingga saat ini dalam bentuk jilbab dan hijab.
Contoh lainnya adalah perubahan konsep waktu dalam masyarakat Nusantara, khususnya Jawa. Dahulu kala masyarakat Jawa kuno hanya mengenal konsep lima hari sepasar _(Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage)_. Namun sejak era Sultan Agung konsep waktu Jawa itu berubah menjadi tujuh hari dengan nama-nama hari dan bulan-bulan yang sepenuhnya mengadopsi konsep waktu dalam Islam.
Lebih dari itu Reid menceritakan, sejak dulu kala adzan sebagai panggilan shalat juga telah membentuk identitas masyarakat di Nusantara. Pada abad ke 16-17 M, para pelancong asing bisa mengenali masyarakat Nusantara sebagai Muslim seperti di berbagai negara Islam di Timur Tengah dari suara-suara adzan yang terdengar lima kali sehari, khususnya di hari Jumat. Dan hingga kini, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sendiri, shalat dan adzan telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat di kepulauan Nusantara. Setidaknya keduanya telah menjadi pertanda waktu. Ungkapan “setelah Maghrib”, “habis dzuhur”, atau “ba’da Isya’” sudah menjadi kebiasaan ketika kita mengadakan janji ketemu atau kegiatan tertentu.
Dengan demikian menganggap masyarakat Nusantara “kurang berislam” atau mempertentangkan keislaman dengan “budaya asli Indonesia” menunjukkan ketidaktahuan orang itu terhadap sejarah dan budaya Nusantara itu sendiri. Atau jika tidak, teori tersebut sengaja disebar untuk memudarkan peran Islam dalam masyarakat Nusantara. Allahu a’lam
Komentar
Posting Komentar