Kurban dan Ketahanan Pangan

Kurban dan Ketahanan Pangan
Oleh: Ahmad Khoirul Fata
(Dosen Fak Ushuluddin & Dakwah IAIN Sultan Amai Gorontalo/Alumni Pon Pes Arraudlatul Ilmiyah (YTP), Kertosono, Nganjuk)

Editor: Sudono Syueb

Salah satu momen penting perayaan Idul Adha adalah penyembelihan hewan kurban. Ritual ini berakar pada peristiwa penyembelihan Ismail oleh Ibrahim  atas perintah Allah Swt, yang pada akhirnya Ismail diganti dengan seekor domba. Pengorbanan Ismail oleh ayahnya itu menjadi kisah bersama yang populer di kalangan pengikut agama-agama yang berakar pada keyakinan Nabi Ibrahim (abrahamic faith) seperti Islam, Kristen dan Yahudi. Namun Islam selangkah lebih maju dengan memperingati ritual pengorbanan itu sebagai salah satu hari raya.
Secara bahasa kurban (Arab: q-r-b) bermakna dekat atau mendekat. Berkurban berarti satu ikhtiar untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui penyembelihan hewan (kambing, lembu, sapi, unta). Menurut Ali Syari’ati ritual kurban bukan sekedar bermakna mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama kaum miskin dan terpinggirkan. Ini ditandai dengan pembagian daging hewan kurban kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan.
Namun demikian, kurban sesungguhnya tidak sekedar berdimensi teologis dan sosial. Secara intrinsik kurban juga berdimensi ekonomis karena memuat pesan bagi manusia untuk memperhatikan ketahanan pangannya, khususnya di aspek pemenuhan gizi yang berasal dari daging hewan. Ketika Tuhan memerintahkan menyembelih binatang, itu artinya Dia memerintahkan hambanya untuk menjaga persediaan hewan sembelihan itu, karena tanpa stok persediaan yang cukup, perintah itu tidak bisa terlaksana secara sempurna. Ini sesuai dengan kaidah fikih: maa laa yatimm al-waajib illa bihi fahuwa waajib, “Sebuah kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan tanpa adanya sesuatu yang lain, maka sesuatu itu juga berhukum wajib.”
Setidaknya ada tiga argumen penting bagi pernyataan di atas. Pertama, secara historis tradisi kurban yang rutin dilaksanakan umat Islam saat ini bersumber dari peristiwa pengorbanan Ismail oleh Nabi Ibrahim. Ibrahim merupakan salah seorang Nabi yang berprofesi sebagai peternak. Ada banyak Nabi yang memiliki profesi sama seperti Ibrahim, di antaranya Luth, Musa dan Muhammad.
Meskipun belum memiliki tanah di Kanaan, Ibrahim dan keponakannya (Luth) tercatat telah memiliki domba, kambing, dan sapi yang banyak sehingga  padang rumput di tanah itu tidak cukup untuk ternak mereka dan sering menimbulan perselisihan di antara pekerja-pekerjanya. Untuk menyelesaikan perselisihan itu, Ibrahim pindah ke wilayah barat (Palestina) sedangkan Luth pindah ke wilayah timur di Kota Sodom, Yordania. Dalam posisi sebagai peternak sukses itulah Ibrahim mendapat perintah Tuhan untuk menyembelih anaknya Ismail, yang segera diganti dengan kambing oleh Tuhan. 
Kisah ini mengindikasikan bahwa kewajiban berkurban itu terletak pada ketersediaan ternak yang melimpah. Dalam konteks yang lebih luas, ketersediaan ternak tersebut selayaknya merupakan hasil dari keberlimpahan produksi ternak di negara setempat, tidak diimpor dari negara lain.  Sebagaimana Ibrahim yang memiliki binatang ternak yang melimpah ketika mendapat perintah berkurban. 
Memang, secara fikih tidak ada ketentuan yang secara qath’i melarang penggunaan hewan impor untuk kurban. Ulama hanya menetapkan kriteria kecukupan umur, kesehatan dan tidak ada cacat pada ternak yang akan disembelih, namun sejarah memberi petunjuk kuat  akan adanya “syarat” produksi sendiri sebagai binatang kurban.   
Indikasi itu semakin kuat jika kita merujuk ke peristiwa kurban yang terjadi pertama kali dalam sejarah umat manusia, yaitu peristiwa pertengkaran Qabil dan Habil sehingga turun perintah untuk berkurban. Dalam kisah itu Allah memerintahkan keduanya berkurban sesuatu dari hasil usaha mereka sendiri, bukan dari usaha orang lain. Sebagai petani Qabil berkurban dengan buah-buahan, sedangkan Habil mengurbankan seekor domba yang gemuk dan sehat karena ia seorang peternak.
Penyebutan kurban dari hasil usaha sendiri dalam kisah Qabil-Habil dan penggantian Ismail dengan seekor domba dalam kisah Ibrahim seolah-olah menyatakan kepada kita bahwa hewan kurban itu seharusnya berasal dari usaha kita sendiri, atau berasal dari dalam negeri sendiri, bukan diambil dari usaha orang lain atau didatangkan dari negara luar.
Indikasi pertama tersebut diperkuat dengan argumen kedua, yaitu penggunaan kata “kurban” untuk menyebut ibadah penyembelihan ternak di hari raya Idul Adha. Secara bahasa kata _“q-r-b”_ sebagai akar kata kurban memang bermakna dekat, dan para ulama memahami sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah. Namun selain bermakna itu, Dictionary of modern Arabic Writen mencatat arti lain “q-r-b”, yaitu vicinity ( di sekitar), kinship (pertalian keluarga), dan relationship (hubungan).
Makna-makna tersebut seakan-akan menyatakan bahwa kurban itu merupakan sesuatu yang sangat dekat dengan atau berada di sekitar kita (vicinity). Kedekatan itu diibaratkan seolah-olah menjadi bagian dari keluarga kita sendiri (kinship). Maka tidak berlebihan jika kita memahami binatang yang akan dijadikan hewan kurban itu seharusnya dipelihara di sekitar kita sendiri, bukan hewan yang diternak dan diimpor dari negara-negara yang berada jauh di seberang sana.
Ketiga, dalam fikih terdapat kaidah “Perkara wajib yang tidak bisa sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka sesuatu hal tersebut hukumnya wajib pula”. Contoh populer kaidah ini adalah hukum wajib bagi wudhu karena tanpanya pelaksanaan kewajiban shalat menjadi tidak sempurna (batal). 
Jumhur ulama memang menetapkan hukum kurban pada Idul Adha sebagai "sunnah muakkadah" (sangat dianjurkan), bukan wajib. Namun kiranya kaidah itu juga bisa diterapkan pada perkara yang termasuk sunnah (anjuran); “Jika sebuah kesunnahan tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka keberadaan sesuatu hal tersebut juga berhukum sunnah”. 
Maka, anjuran untuk berkurban secara tidak langsung juga merupakan anjuran untuk mengadakan binatang kurban. Memang, pengadaan hewan kurban bisa dilakukan melalui impor dari negara lain. Namun jika dikaitkan dengan dua argumen di atas, bisa dipahami bahwa anjuran berkurban itu seharusnya dilakukan secara mandiri melalui swasembada, bukan melalui impor.
Dengan demikian, ajaran penyembelihan hewan kurban pada perayaan Idul Adha sesungguhnya bukan sebuah ajakan untuk melakukan impor besar-besaran binatang ternak dari negara-negara luar seperti yang rutin dilakukan pemerintah kita. Sebaliknya, ajaran itu merupakan sebuah perintah tidak langsung bagi bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim ini untuk secara serius memperhatikan ketahanan pangannya, khususnya di bidang daging, secara mandiri. Allahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi