Prof. Zainuddin Maliki: Peta Jalan Pendidikan Harus Punya Dimensi Transendensi
Prof. Zainuddin Maliki: Peta Jalan Pendidikan Harus Punya Dimensi Transendensi
Laporan: Sudono Syueb
Menyusun kebijakan pendidikan, peta jalan dan apalagi Rancangan Undang-Undang Sisdiknas harus punya dimensi transendensi.
"Jika tidak, peraturan perundangan, peta jalan maupun kebijakan Pendidikan hanya akan berdimensi antroposentris, bahkan bisa jadi sekuler," demikian pendapat Prof. Zainuddin Maliki, anggota Komisi X DPR RI dalam webinar pendidikan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Surabaya kerjasama dengan lembaganya Ketua Aliansi Kebangsaan dan Ketua Umum FKPPI Ponco Sutowo, Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Rabu, 29/7/20.
Dalam webinar bertajuk Pendidikan sebagai Wahana mengokohkan Budaya Bangsa ini, politisi dari Fraksi PAN tersebut menyatakan bahwa RUU Sisdiknas yang baru, tidak boleh lebih dangkal dari UU No. 20 tahun 2003.
"Dalam UU Sisdiknas yang disusun tahun 2003 dan masih berlaku saat ini memiliki tujuan pendidikan dengan dimensi transendensi yang jelas, yaitu berusaha mengembangkan potensi siswa didik hingga menjadi anak-anak bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa," tegas legislator asal Dapil Jatim X Gresik-Lamongan ini.
"Di samping itu hendak menjadikan siswa didik berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab," tambahnya.
Pikiran antoposentris berpandangan manusia bisa menyelesaikan semua tantangan yang dihadapi tanpa campur tangan yang di atas. Apalagi sekarang dengan kecerdasan literasi dan keunggulan numerasi, manusia merasa semakin canggih karena menguasai teknologi digital, otomasi dan berbagai bentuk artificial inteligence.
"Pikiran seperti itu hanya akan membuat manusia pongah, seakan bisa menyelesaikan semua masalah. Mungkin wabah Covid-19 ini yang bisa menyadarkan kepongahan penganut antroposentris," ungkap mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.
"Di bidang ekonomi, antroposentrisme akan melahirkan manusia serakah yang tidak akan berhenti mengeksploitasi, tanpa peduli berakibat rusaknya lingkungan, sistem politik, relasi sosial maupun budaya," tambahnya.
Di tengah dunia yang terus berubah yang ditandai dengan disrupsi di hampir semua lini kehidupan, penulis buku Sosiologi Pendidikan ini sepakat untuk mempersiapkan anak didik dengan membekali kemampuan mengantisipasi masa depan, seperti kemampuan literasi dan numerasi. "Kecerdasan literasi dan numerasi kita tertinggal, padahal itu diperlukan untuk mengantisipasi munculnya berbagai jenis dan karakteristik pekerjaan baru," jelasnya.
"Tetapi sekali lagi, kecerdasan literasi dan numerasi tanpa nilai-nilai transendensi hanya akan melahirkan manusia pongah dan serakah. Juga hanya bisa melihat tantangan ke depan, lupa masa lalu sehingga tidak bisa menghargai sejarah," tandasnya.
"Agar pendidikan tidak menghasilkan anak-anak salah asuhan, maka ajari mereka sejarah agar bisa mengambil nilai-nilai lama yang baik, dan beri kemampuan berinovasi untuk membangun nilai-nilai baru yang lebih baik," tegasnya pula.
Komentar
Posting Komentar