ISLAM YANG SEBENAR-BENARNYA MENURUT MUHAMMADIYAH

ISLAM YANG SEBENAR-BENARNYA MENURUT MUHAMMADIYAH
Oleh Noor Chozin Agham

Editor: Sudono Syueb


Jakarta,tajdidatturatsblopspot.com-Menurut Muhammadiyah bahwa Islam yang sebenar-benarnya adalah Islam sebagai agama Allah yang diwahyukan kepada para nabi dan atau Rasul (Q.S. al-Syura: 13, Q.S. al-Baqarah: 136). Artinya, bahwa agama yang dibawa oleh para Nabi sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Isa a.s. adalah agama Islam. Dengan kata lain, ajaran yang dibawa oleh para Nabi, termasuk (dan khususnya Nabi Isa a.s.), adalah ajaran Islam, bukan ajaran (agama) Katholik atau Protestan, bukan. Hanya saja, agama atau ajaran Islam yang dibawa oleh para Nabi, Nabi Isa a.s. misalnya, yaitu agama Islam yang belum sebenar-benarnya, yakni masih belum sempurna. Inilah sebabnya, agama yang diwahyukan kepada Nabi akhir zaman; Muhammad Saw. adalah sebagai penyempurna (Q.S. al-Maidah: 3), dan ini pula sebabnya, Muhammadiyah memandang bahwa semua agama, selama dianut oleh manusia keturunan (nabi) Adam a.s. pada hakikatnya adalah agama Islam, dan para penganutnya disebut sebagai Moslem’s, bukan musuh.  
Dengan memaknai agama Islam seperti di atas, bagi Muhammadiyah agama Islam berarti dapat disebut pula sebagai Kalimah Sawa yang Tunggal Eka dalam kebhinnekaan. Ajarannya, menurut Muhammadiyah mengatur hubungan manusia dengan Khaliqnya dan hubungan manusia dengan makhluk-Nya (Q.S. Ali Imran: 112) supaya menjadi rahmat bagi semesta alam (Q.S. al-Anbiya: 107), terangkum dalam 4 bidang, yaitu (1) akidah, (2) akhlak, (3) ibadah, dan (4) mu'amalah duniawiyah, yang secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:

Akidah
Secara sederhana, akidah adalah keyakinan. Bagi orang Islam, tentu memiliki keyakinan yang menjadi prinsip hidup dan kesadaran imani berupa tauhid yang benar, ikhlas, dan penuh ketundukkan sehingga terpancar sebagai lbad al-rahman (Q.S. al-Furqan: 63-77) yang menjalani kehidupan sehingga menjadi mukmin, Muslim, muttaqin, dan muhsin yang paripurna. Setiap Muslim wajib menjadikan iman (Q.S. al-Nisa: 136) dan tauhid (Q.S. al-Ikhlash: 1 s.d.4) sebagai sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh mengingkari keimanan berdasarkan tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak syirk, takhayul, bid'ah, dan khurafat yang menodai iman dan tauhid kepada Allah Subhanahu Wata'ala 

Akhlak
Setiap umat Islam dituntut untuk meneladani perilaku Rasulullah Saw. dalam mempraktikkan akhlak mulia (Q.S. al-Qalam: 4), sehingga menjadi uswah hasanah (Q.S. al-Ahzab: 21) yang diteladani oleh sesama berupa sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah, dituntut agar dalam melakukan amal dan kegiatan hidup senantiasa didasarkan kepada niat yang ikhlas (Q.S. al-Bayyinah: 5) dalam wujud amal-amal shalih dan ihsan, serta menjauhkan diri dari perilaku riya’, sombong, ishraf, fasad, fahsya, dan kemunkaran, dituntut untuk menunjukkan akhlaq yang mulia (akhlaq al-karimah) sehingga disukai/diteladani dan menjauhkan diri dari akhlak yang tercela (akhlaq al-madzmumah) yang membuat dibenci dan dijauhi sesama.
Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh, maka terbentuk manusia Muslimin yang memiliki sifat-sifat utama: a). Kepribadian Muslim, b). Kepribadian Mu'min, c). Kepribadian Muhsin dalam arti berakhlak mulia, dan d). Kepribadian Muttaqin. Masing-masing (dari empat) kepribadian ini, dijelaskan dalam PHIW (Pedoman Hidup Islami Warga) Muhammadiyah.

Ibadah
Setiap warga Muslim dituntut untuk senantiasa membersihkan jiwa/hati ke arah terbentuknya pribadi yang mutaqqin dengan beribadah yang tekun dan menjauhkan diri dari jiwa/nafsu yang buruk (Q.S. al-Syams: 5-8), sehingga terpancar kepribadian yang shalih (Q.S. al-Ashr: 3 dan Q.S. Ali Imran: 114) yang menghadirkan kedamaian dan kemanfaatan bagi diri dan sesamanya.
Ibadah menurut Muhammadiyah, dalam istilah fikih, disebut dengan ibadah mahdhah, ibadah khusus atau ibadah yang muwaqqat, yang bentuk dan waktu pelaksanaan telah ditetapkan berdasarkan contoh dari Rasulullah Saw. yang digambarkan lewat hadits-hadits yang shahih al-maqbulah. Karenanya, ibadah dalam persepsi Muhammadiyah tidak memerlukan ijtihad, tidak memerlukan tambahan atau pengurangan. Jadi, berbeda dengan ibadah dalam persepsi ilmu fikih yang membaginya dengan bermacam-macam ibadah, yang tersimpul dalam ibadah ghair mahdhah atau ibadah umum. 
Oleh karena itu, umat Islam khususnya warga Muhammadiyah diwajibkan beribadah dengan sebaik-baiknya dan menghidup suburkan amal nawafil (ibadah sunnah) yang juga berdasarkan (sesuai dengan) tuntunan Rasulullah serta menghiasi diri dengan iman yang kokoh, ilmu yang luas, dan amal shalih yang tulus sehingga tercermin dalam kepribadian dan tingkah laku yang terpuji.
 
Mu’amalah Duniawiyah
Permasalahan mu’amalah duniawiyah, dalam Muhammadiyah dipisahkan dengan persoalan ibadah. Karena memang dalam hal mu’amalah duniawiyah ini dipandang sangat membutuhkan pemikiran dan ijtihad, sedangkan masalah ibadah menurut Muhammadiyah – seperti tersebut di atas – terkesan kaku, tidak membutuhkan ijtihad. Perbedaan ini dimaksudkan untuk mempertegas bahwa permasalahan ibadah dalam Muhammadiyah adalah permasalahan hablun minallah, sedangkan permasalahan mu’amalah duniawiyah adalah persoalan hablun minannas (Q.S. Ali Imran: 112). Walau esensitasnya dalam kehidupan tidak bisa dipisahkan, tetapi dalam prakteknya jelas perlu dibedakan.
Jadi, prihal mu’amalah duniawiyah, bagi setiap Muslim khususnya warga Muhammadiyah diharapkan selalu menyadari dirinya sebagai abdi dan khalifah di muka bumi (Q.S. al-Baqarah: 30), sehingga memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif, inovatif, dan positif (Q.S. Shad: 27) serta produktif, tidak menjauhkan diri dari pergumulan kehidupan (Q.S. al-Qashash: 77) tentu dengan landasan akidah atau iman, akhlak mulia, dan ibadah. Untuk maksud ini, tentunya setiap Muslim atau setiap warga Muhammadiyah disenantiasakan untuk selalu berpikir secara burhani, bayani, dan irfani yang mencerminkan cara berpikir yang dapat membuahkan karya-karya pemikiran maupun amaliah yang mencerminkan keterpaduan antara orientasi habluminallah dan habluminannas serta maslahat bagi kehidupan umat manusia, yang tentunya mengharuskan semua untuk mempunyai etos kerja Islami, seperti: kerja keras, disiplin, tidak menyia-nyiakan waktu, berusaha secara maksimal/optimal untuk mencapai suatu tujuan (Q.S. Ali Imran: 142; dan Q.S. al-Insyirah: 5-8).***

Noor Chozin Agham 
(Dosen AIK di UHAMKA dan UMT, Penulis buku: Islam Berkemajuan Gaya Muhammadiyah, UHAMKA Press, Jakarta, 2015. Anggota Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi