MENUJU IBADAH YANG TRANSFORMATIF
MENUJU IBADAH YANG TRANSFORMATIF
Dr. Amam Fakhrur
(Alumni Ponpes YTP Kertosono)
Di usia kanak-kanak, di akhir tahun 70 an, sholat lima waktu sudah mentradisi dalam keseharian saya. Agak jarang saya sholat lima waktu di rumah, saya terbiasa melaksanakannya di surau yang menancap di tepi bengawan Solo, di tanah mbah Dahlan, mbah yang saya belum pernah melihat wajah atau gambarnya. Bukan soal keutamaan sholat di surau dan keunggulan sholat berjama’ah, akan tetapi ketika itu surau bagi anak-anak seusia saya adalah semacam base camp. Tak hanya sholat dan mengaji, bermain,olah raga, tidur, rujaan, ya di komplek surau yang kini telah bermetamorfose menjadi Masjid Baitul Muttaqien itu.
Boleh dibilang, tak hanya kuantitas sholat saya relatif terjaga, tetapi bacaan-bacaan sholat juga relatif mahir, bahkan arti bacaannya pun sebagiannya mengetahui. Itu pemandangan yang tidak asing di kampung halaman saya, Gisik, Laren, Lamongan, untuk anak-anak seusia saya. Telah tertanam dogma, sholat adalah salah satu kewajiban agama yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan. Tradisi ilmu keagamaan saya mengajarkan, beribadah kepada Tuhan akan dibalas surga , sebaliknya akan dibalas neraka bagi yang meninggalkannya.
Tetapi jujur, kualitas sholat dan ibadah saya ketika itu adalah masih semacam formalitas dan lebih kepada menggugurkan kewajiban dan belum sampai pemaknaan yang ideal. Seolah tidak akan sholat dan mengerjakan ibadah lainnya bila tidak ada surga dan neraka. Pemahaman yang wajar untuk anak seusia itu,dengan tidak menafikan hal itu adalah modal sosial keagamaan yang tak ternilai untuk menapaki jenjang-jenjang kehidupan berikutnya.
Ada yang membandingkan bahwa beribadah yang masih dimotivasi agar mendapatkan hadiah surga dan ketakutan ancaman neraka bila meninggalkannya adalah tak ubahnya seperti saat kita melakukan transaksi di pusat–pusat perbelanjaan, menyerahkan sujumlah uang untuk mendapatkan sejumlah barang dan terkadang masih mengharap diskon. Tak ubahnya juga seperti seeorang buruh yang bekerja untuk seorang tuan demi mendapatkan imbalah sejumlah uang, ia tidak akan bekerja kalau tidak untuk mendapatkan uang.
Entah bagaimana kongkritnya nilai ibadah yang saya lakukan di usia yang lebih dari setengah abat ini. Sulit menjelaskannya. Bisa jadi saya dan sebagian pembaca sampai hari ini masih dalam derajat manusia yang belum sepenuhnya proporsional memaknai ibadah yang kita lakukan. Potensi untuk beribadah secara formalitas ritual masih mungkin terjadi, belum sepenuhnya beribadah karena kesadaran yang melembaga. Masih menjadikan hadiah surga dan ketakutan ancaman neraka sebagai motivasi utama, belum sepenuhnya termotivasi karena kesadaran akan substansi dan efek dari ibadah. Dalam Bahasa lain, boleh jadi ibadah kita masih lebih bersifat transaksional, berkalkulasi untung rugi.
Memaknai ibadah yang tidak berhenti kepada rutinitas ritual dan pengharapan akan surga dan terjauhkan dari neraka, adalah selaras dengan sasaran agama yang diturunkan Tuhan yang di dalamnya terkandung sejumlah tuntunan beribadah, sesungguhnya adalah bukanlah untuk Tuhan,tetapi untuk manusia itu sendiri. Dalam Islam, Allah adalah dzat yang berkecukupan, Ia tidak memerlukan apa pun dan siapa pun. Oleh karenanya setiap ibadah yang dilakukan manusia harus memancarkan kesalehan sosial dalam kehidupan nyata, agar terwujud ketertiban, kemakmuran dan keamanan di lingkungan masyarakat.
Lantas apakah salah jika kita beribadah karena merindukan surga dan karena takut neraka. Sebenarnya adalah wajar jika kita beribadah karena berharap surga dan karena takut neraka. Allah menjelaskan tentang surga dan neraka dalam kitab suci berulang kali . Bahkan keberadaan surga dan neraka haruslah dipercayai, ia bagian integral dari keimanan. Sejumlah ayat dalam al-Qur’an yang tersebar di berbagai surat banyak memberi sinyal agar manusia berlomba dalam beramal, sehingga pantas mendapatkan balasan surga dan terhindar dari neraka.
Barangkali kalau Allah menyuguhkan keberadaan konsep surga dan neraka adalah identik dengan sistem reward and punishment yang banyak dalam praktek kehidupan manusia. Sistem “reward and punishment” akan memotivasi manusia untuk beribadah. Jika manusia mewujudkan suatu kebaikan, Allah akan membalas dengan kebaikan berupa pahala. Jika pahala telah banyak, nantinya akan menjadi modal untuk bisa masuk surga. Sebaliknya jika manusia melakukan kesalahan, Allah akan membalas dengan catatan dosa. Dosa yang menumpuk tidak dilakukan taubat, pada akhirnya akan menempatkan manusia di neraka.
Maka memaknai “reward” dari Allah tentang pengamalan suatu ibadah bukanlah semata formal ritual dari ibadah itu sendiri, akan tetapi juga menyangkut makna dan tujuan dari ibadah itu sendiri dalam bentuk prilaku di muka bumi. Hadits yang seringkali kita dengar yang menyatakan bahwa pertama kali akan dipertanyakan di akhirat nanti adalah sholat kita, maknanya bukanlah formalitas mekanikal sholat dari takbir sampai salam yang akan dipertanyakan oleh Allah, akan tetapi yang dipertanyakan adalah apakah sholat telah membawa perubahan positif dalam prilaku kita.
Maka yang dikehendaki di saat kita ber-Islam adalah terdapatnya keutuhan spiritual, moral dan sosial.
Sudah saatnya saya dan kita semua beribadah yang bisa jadi masih cenderung transaksional semata, ditingkatkan menjadi ibadah yang lebih transformasional ( timbul kesadaran merubah prilaku ). Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar