2021, SAATNYA PERGURUAN TINGGI HIJRAH

2021, SAATNYA PERGURUAN TINGGI HIJRAH

Oleh : Dr. Adian Husaini  
(Ketua Umum DDII Pusat)

Ed: Sudono Syueb
(Humas DDII Jatim)

            Tahun 2021 di depan kita. Pandemi Covid-19 masih melanda umat manusia. Sembilan bulan lebih, kampus-kampus di seluruh Indonesia dipaksa untuk menerapkan pembelajaran ‘daring’.  Belum jelas kapan pandemi ini akan berakhir. Semoga segera. Tetapi, sistem pembelajaran daring diperkirakan akan terus diberlakukan. Banyak kemudahan untuk dosen dan mahasiswa.

Karena itu, kini saatnya berpikir. Bahwa, sudah saatnya Perguruan Tinggi kita berubah,  lalu berhijrah. Berhijrah dari sekedar tempat mencari gelar dan ijazah formal, menjadi ‘taman ilmu dan adab’;  berubah dari perhatian yang berlebihan terhadap soal formalisme dan manajerialisme, menjadi ‘kampus merdeka’ yang mengutamakan ilmu dan kemerdekaan berpikir.

            Inilah kunci kebangkitan bangsa kita ke depan!  Biarlah Presiden dan menteri datang silih berganti. Perguruan Tinggi kita harus segera berubah. Dan itu tidak bergantung kepada siapa Presiden atau Menteri Pendidikannya. Syukur-syukur, Presiden dan Menteri Pendidikan memang serius membuat perubahan Perguruan Tinggi kita. Tentu akan berdampak besar kepada perubahan ke arah kebaikan.

            Perbaikan Perguruan Tinggi adalah langkah strategis perbaikan bangsa secara keseluruhan. Dunia sudah mengakui hal itu. Bahkan, bagi negara tertentu, Perguruan Tinggi menjadi alat penting dalam meneruskan dominasi internasional. Philip Coombs, mantan wakil Menteri Luar Negeri AS semasa pemerintahan John F Kennedy, menyatakan, bahwa pendidikan dan budaya adalah “aspek keempat” dari politik luar negeri, disamping ekonomi, diplomasi dan aspek militer. (Philip Coombs, The Fourth Dimension of Foreign Policy: Education and Cultural Affairs (New York: Harper and Row, 1964. Dikutip dari pidato Profesorial Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud di UTM, 2013, Islamization Of Contemporary Knowledge And The Role Of The University In The Context Of De-Westernization And Decolonization).

 

*****

Dalam perspektif Islam, pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi sejatinya adalah pendidikan untuk orang dewasa. Nabi Muhammad saw adalah pelopor perbaikan Pendidikan Tingi. Beliau adalah pendidik terbaik yang mencontohkan bagaimana dalam waktu singkat mampu mengubah bangsa Arab, dari bangsa tak diperhitungkan, menjadi bangsa hebat di tingkat global. 

Bahkan, dalam  beberapa tahun saja, Nabi saw mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat dengan literasi yang tinggi. Masyarakat Madinah adalah masyarakat pembelajar. Mereka dikenal haus akan tulis-menulis dan keilmuan. Kesadaran hukum begitu tinggi. Tradisi miras pun dihapus dalam tempo singkat.

Yang dididik Rasulullah saw ketika itu rata-rata adalah manusia dewasa – yang sudah akil baligh. Rasul tidak memulai dakwahnya dengan mendidik anak-anak usia TK, meskipun tentu saja, usia TK dan anak-anak adalah ‘usia emas’ untuk masa pembelajaran. Sebab, kualitas dan hasil pendidikan anak-anak, pada akhirnya ditentukan oleh kualitas gurunya. Dan guru adalah orang dewasa dan merupakan produk pendidikan pada tingkat tinggi. Itulah kedudukan penting pendidikan pada peringkat tinggi, yang secara kelembagaan kemudian diwujudkan dalam bentuk Perguruan Tinggi.

Karena itu, betapa memilukan, ketika didapati sejumlah Perguruan Tinggi menyalahgunakan fungsinya, dengan melakukan ‘jual-beli’ ijazah secara ilegal. Perburuan ijazah ini juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang terlalu menekankan pada aspek formalitas dalam dunia pendidikan, bukan pada kualitas keilmuaan dan akhlak. 

Orang dihargai dan diakui hanya karena adanya gelar akademik dan ijazah formal. Kini, sehebat apa pun ilmu dan akhlak seseorang, akan tersingkir dari dunia pendidikan, karena tidak bisa menunjukkan selembar kertas ijazah formal atau tidak punya gelar akademik tertentu.

Tidak sedikit pakar pendidikan yang mengingatkan bahaya formalisme yang berlebihan dalam dunia pendidikan. Dunia pendidikan adalah dunia ilmu. Dan dunia ilmu memerlukan ruang kreativitas dan kebebasan akademik dalam menerapkan konsep-konsep pendidikan. Sebab, kampus bukan pabrik mobil yang bisa diprogram sekian bulan harus menghasilkan sekian ratus mobil. Sekolah dan kampus adalah tempat menempa manusia dengan tujuan yang mulia.  

Sebenarnya, menurut UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Perguruan Tinggi bertugas mewujudkan: (a) Berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; (b) Dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; (c) Dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan (d) Terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Sungguh indah kata-kata dalam UU Pendidikan Tinggi itu. Logisnya, kampus adalah tempat menempa mahasiswa-mahasiswa menjadi manusia-manusia mulia luar biasa. Catat sekali lagi! Lulusan Perguruan Tinggi haruslah punya kriteria : Beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten dan berbudaya. Di kampus mana tujuan itu bisa dilaksanakan?  Apakah para pejabat tinggi dan para pimpinan Perguruan Tinggi kita bisa dijadikan contoh dalam soal keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia ?

Maka, memasuki tahun 2021, saatnya kita mau dan berani melakukan introspeksi (muhasabah). Saatnya Perguruan Tinggi kita berhijrah! Berhijrah dari alam ateisme, materialisme dan formalisme sempit, dari arena perburuan ijazah dan gelar akademik;  menuju alam keilmuan, adab, dan akhlak mulia. 

Saatnya kampus-kampus kita hijrah dan berubah  menjadi Taman Ilmu dan Kebijakan (the garden of knowledge dan wisdom). Di Taman Impian inilah para dosen dan mahasiswa berjuang dengan suka cita untuk menjadi manusia-manusia mulia, yang cinta ilmu dan kebajikan; sekaligus meninggalkan masa jahiliyah yang memuja jabatan dan harta secara berlebihan.  Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 30 Desember 2020).

Sumber: harianmerdekapost.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi