KRITIK PROF DANIEL M. ROSYID TERHADAP PERSEKOLAHAN

KRITIK PROF DANIEL M. ROSYID TERHADAP PERSEKOLAHAN

Oleh: Dr. Adian Husaini  
(Ketuan Umum DDII Pusat)

Ed: Sudono Syueb


             Depok-Pada 30 Januari 2013, guru besar ITS Surabaya, Prof. Daniel M. Rosyid memuat artikel berjudul “Kita tidak Butuh Sekolah, Apalagi Kurikulum”. Prof. Daniel yang pernah berubah sebagai Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur memberikan pandangan kritis terhadap dunia Pendidikan saat ini. Ia mengkritik apa yang disebutnya sebagai “Schoolism” (sekolahisme).

            Berikut ini, petikan tulisan Prof. Daniel Rosyid: “Kita sudah kecanduan sekolah sehingga tidak mampu membayangkan dunia tanpa sekolah. The society without school that ada dan pernah ada dengan kualitas kehidupan yang jauh lebih baik dari sebuah  schooledsociety  yang congkak kita sebut modern ini. Masyarakat adat yang jauh dari sekolah yang ada di daerah pedalaman lebih tahu caranya hidup bersahabat dengan lingkungan masyarakat Jakarta yang tidak tahu caranya mencampakkan sampah. Tapi orang kota memandang remeh masyarakat adat sebagai kampungan dan terbelakang.

Dalam perspektif sejarah, sekolah semula dibuat untuk mempersiapkan buruh yang akan mengisi pabrik-pabrik yang tumbuh akibat revolusi industri di Inggris sekitar abad 17 setelah James Watt menemukan mesin uap. Sebelum itu masyarakat tidak mengenal sekolah. Tradisi universitas muncul jauh mendahului tradisi sekolah. Oxford, Cambridge umurnya sudah 700 tahun. Baitul Hikmah di Baghdad ada beberapa ratus tahun sebelum Oxford. Sebelum pergi ke universitas masyarakat pra-revolusi industri praktis belajar secara otodidak atau melalui proses belajar non-formal atau bahkan informal. Yang dikenal hanya ijazah sarjana, magister atau doktor. Itupun diberikan jika mahasiswanya meminta maaf. Jadi, sekolah adalah fenomena yang umurnya kurang dari 200 tahun.

            Begitulah pandangan Prof. Daniel Royid. Selengkapnya, silakan dibaca di sini:

( https://danielrosyid.com/2013/01/30/kita-tidak-butuh-sekolah-apalagi-kurikulum/ ).

*****

            Dalam tulisannya, Prof. Daniel menawarkan solusi mendasar bagi pendidikan kita. Yaitu, perbaikan kualitas guru: “Kurikulum terbaik sekalipun pasti akan gagal di tangan guru yang tidak kompeten. Malah, di tangan guru yang kompeten, kurikulum yang sederhana akan menghasilkan proses belajar yang bermutu. Otak-atik kurikulum adalah cara gampangan yang tidak mendasar dalam perbaikan pendidikan Indonesia, dan sekaligus membiarkan ketidakcakapan dan ketidakberdayaan komunitas guru sebagai pintu masuk bagi intervensi politik dan pragmatisme proyek hingga ketingkat sekolah seperti pengadaan buku-buku wajib yang tidak bermutu tapi menghabiskan ratusan Milyar atau bahkan Triliunan Rupiah. ”

            Bahkan, katanya, “Dengan internet belajar semakin tidak membutuhkan sekolah, apalagi kurap. Membentuk karakter pun hanya dapat dilakukan dengan efektif dengan praktek di luar sekolah. Selama beberapa dekade terakhir ini terlihat bahwa semakin banyak sekolah tidak menyebabkan masyarakat kita semakin terdidik. Hasil sigi internasional terbaru oleh PISA maupun TIMSS serta PIRLS juga menunjukkan murid Indonesia yang tertinggal pada kemampuan berpikir tingkat tinggi, dan kemampuan membacanya juga tertinggal dibanding teman-teman sebayanya. Artinya, sekolah Indonesia tidak membekali murid dengan kompetensi yang penting untuk hidup di abad 21. ”

            Menurut Prof. Daniel, untuk memastikan pendidikan universal bagi kebanyakan anak-anak Indonesia, yang diperlukan bukan pembesaran sistem persekolahan, tetapi pengembangan sebuah jejaring belajar  (learning  webs)  yang lentur, luwes, lebih non-formal, bahkan informal. Sekolah disamping, simpul jejaring belajar bisa berupa bengkel, toko, klinik, studio, lembaga penyiaran, penerbit, perpustakaan, masjid, dll.

“Simpul belajar yang pertama dan utama adalah keluarga di rumah. Bukti yang dapat ditunjukkan dengan sertifikat kompetensi profesi yang diterbitkan oleh asosiasi profesi, bukan dengan ijazah. Namun syarat-syarat formalistik inipun sebaiknya diberlakukan secara sukarela. Sertifikat kompetensi bisa menjadi indikator kompetensi yang lebih baik yang bekerja ijazah. ”

Dan terakhir, guru besar Teknik Kelautan ITS awal: “Jika pendidikan kita jadikan sebagai strategi kebudayaan, maka yang kita harus kerjakan adalah membangun dan menghargai tradisi otodidak. Kita harus mengurangi kecenderungan sekolah memonopoli pendidikan, merampasnya dari tanggungjawab pribadi dan keluarga. Kesaktian kurikulum dan sekolah hanyalah mitos belaka. ”

*****

            Kritik Prof. Daniel M. Rosyid terhadap praktik persekolahan dan “sekolahisme” atau “sekolahisme” ini perlu kita renungkan dengan serius. Sebab, ia telah mengungkapkan masalah mendasar dalam dunia pendidikan kita. Bahwa, pendidikan tidak sama dengan sekolah. Pendidikan adalah proses belajar dan penanaman nilai-nilai akhlak atau karakter. Hal itu bisa dilakukan di mana saja. Tidak harus di sekolah.

            Kritiknya yang tajam terhadap fenomena persekolahan yang perlu menjadi renungan para orang tua. Bahwa, tempat pendidikan terbaik, sebenarnya adalah rumah, dan bahwa guru terbaik dan yang terpenting adalah orang tuanya sendiri. Pendidikan jangan sampai menjauhkan anak dari habitat sosial terdekatnya.

            Dan memang, di era disrupsi yang serba internet saat ini, sekolah-sekolah dipaksa untuk mengubah fungsinya, lebih sebagai penyedia layanan sejumlah materi yang diwajibkan di sekolah. Proses penanaman nilai-nilai akhlak semakin sulit dilakukan melalui pembelajaran 'berani' (dalam jaringan) internet.

            Lalu, bagaimana solusinya? Dari pemikiran Prof. Daniel Rosyid tersebut, menurut saya, semua Lembaga Pendidikan kita, baik sekolah atau universitas harus berubah menjadi “pesantren”. “Pesantren” dalam arti menjadi lembaga Pendidikan yang mengutamakan penanaman adab / akhlak mulia dan penguasaan ilmu-ilmu yang bemanfaat.

Untuk dua hal ini, serahkan saja urusannya kepada para guru dan orang tua. Pemerintah tidak perlu terlalu jauh dan terlalu ketat menentukan masalah pendidikan anak melalui sekolah. Sebab, penanaman nilai-nilai akhlak mulia memerlukan keteladanan dan kebiasaan. Dan yang paling paham dan harus berperan utama dalam hal itu adalah para guru dan orang tua.

Anak-anak di berbagai pulau di Indonesia, tidak harus menjalani kurikulum pendidikan yang sama dengan anak-anak yang tinggal di pusat-pusat industri. Jangan sampai mereka berpikir, bahwa menjadi nelayan dan petani merupakan profesi yang tidak bergengsi, dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor industri.

Jadi, sekali lagi, kritik Prof. Daniel terhadap persekolahan ini, perlu kita renungkan dan diskusikan dengan serius, untuk perbaikan pendidikan kita. Bagi kita, orang muslim, solusinya mudah: Ikuti saja konsep dan praktik Pendidikan Nabi Muhammad saw! (Depok, 20 Januari 2021).

Sumber: harianmerdekapost.com.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi