ORANG BELAJAR ISLAM BUKAN BUANGAN”



ORANG BELAJAR ISLAM BUKAN BUANGAN”

DR.  ADIAN HUSAINI

Kamar seluas kurang lebih 4x5 meter persegi itu dikitari rak buku yang berisi beragam jenis buku. Sebuah sisi bagian tengah terletak ruang meja dengan laptop di atasnya. Sebuah televisi di sisi lain, meja tamu lengkap dengan kursi berada di tengah ruang. Di situlah Adian Husaini mengasah pemikirannya, menjelajah dunia ilmu, dan melahirkan karya-karyanya.

            Kini, tak kurang dari 25 buku mantan kelahiran kelahiran Bojonegoro, 17 Desember 1965, ini diterbitkan. Bukunya, Habibie, Soeharto, dan Islam, yang ia tulis pada tahun 1994, sempat mengundang kontroversi, berkeliling dari kampus ke kampus mengikuti bedah buku itu. Saya tidak mengenal Habibie. Tapi, di situ saya bela Habibie habis-habisan, karena saya melihat di lapangan yang anti-Habibie motifnya agama, '' ucap penulis buku Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal yang mendapat penghargaan sebagai buku terbaik untuk kategori non- fiksi dalam Islamic Book Fair di Jakarta pada tahun 2006.

            Adian berhenti jadi wartawan, lanjutkan kuliah S-2 Hubungan Internasional Universitas Jayabaya sambil aktif di KISDI. Tesisnya soal politik zionis Israel. Dia memang merekomendasikan menekuni bidang ini. Studi tentang Yahudi, dalam benak Adian, yang memungkinkan adalah di Amerika, Inggris, atau Israel. Gayung bersambut, seseorang menawarinya beasiswa belajar ke Amerika.

            Tengah dalam proses, dia berubah arah. Pertemuannya dengan Hamid Fahmi Syarkasyi membuat sarjana kedokteran hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) di Malaysia berpaling ke Malaysia. Kini ia tengah mempersiapkan disertasi doktornya pada bidang pemikiran dan peradaban Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization - Internasional Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM).

            Selasa (24/4/2007) lalu, ayat enam anak --M Syamil Fikri (12 tahun), Bana Fatahillah (10 th), Dina Farhana (8 th), Fatiha Aqsha Kamila (6 th), Fatih Madini (4) , Alima Pia Rasyida (2 th) - dari penikahannya dengan Megawati ini menerima Burhanuddin Bella dari Republika di kediamannya, bilangan Depok. Berikut petikannya:

 

*****

Apa aktivitas Anda yang banyak menyita waktu saat ini?

Bulan-bulan ini saya menyelesaikan disertasi. Mudah-mudahan akhir April, kalau tidak, Mei selesai. Yang lainnya, mengisi pengajian dari masjid ke masjid. Hampir tiap Jumat mengisi khutbah Jumat. Semula saya enggan, tapi saya pengin juga berkomunikasi dengan umat. Misalnya, bagaimana menyampaikan ide-ide yang intelek di pengajian ibu-ibu. Itu eksperimen yang menarik. Yang susah, saya mewakili ceramah nikah. Saya tolak. Tapi, waktu saudara saya nikah, ibu saya maksa. Ya, mau tidak mau. Beberapa majalah tiap minggu juga meminta saya menulis. Ada beberapa yang minta saya menulis rutin. Kita juga sedang mempersiapkan kurikulum studi Islam S-2 di beberapa kampus. DDI kerja sama dengan beberapa kampus untuk pembinaan dai tingkat S-2.


Mengapa Anda tidak jadi kuliah di Amerika?

Waktu di sini, saya jumpa dengan Mas Hamid Fahmi Zarkasyi yang sedang kuliah S-3 di ISTAC. Dia bilang, '' Anda jangan ke Inggris atau ke Amerika. Harus ke ISTAC. '' Dia masternya di Inggris, pernah belajar di Pakistan. Dia merasa, ISTAC yang luar biasa, kampus Islam yang tidak ada duanya di dunia Islam. Saat ke sana, Mas Hamid yang jemput, langsung dibawa bertemu Prof Wan Muhammad Nur. Rupanya, Prof Wan sudah baca buku-buku saya. Buku terakhir yang saya tulis sebelum berangkat, Islam Liberal itu. Saya langsung ditanya, secara lisan kira-kira dia bilang, '' Ya sudah. Kalau memang Anda serius kuliah, Anda kuliah di sini. ''


Tawaran belajar ke Amerika dibatalkan?

Ini sangat berkesan. Saya tercengang lihat kampus yang arsiteknya sangat indah, perpustakaannya sangat lengkap. Di situ memadukan antara Islam dan Barat. Jadi, dari mata kuliahnya sudah menarik. Kita harus belajar Quran, belajar Hadis. Tapi, kita
situ memadukan antara Islam dan Barat. Tapi, kita juga diwajibkan ambil kuliah tentang Barat, sejarah peradaban Barat, aains Barat, ada filosofi Barat, sampai kepada Bahasa Yunani, Bahasa Latin, Bahasa Jerman, Bahasa Persi. Kita ditantang aja.

 
Apa reaksi orang yang menawari Anda belajar ke Amerika?

Beliau sangat kecewa. Akhirnya saya datang ke kantornya dan saya jelaskan, bukan saya apriori belajar di Amerika. Saya siap. Beliau mengatakan, Anda tidak perlu khawatir akan berubah, tetap seperti ini kalau ke sana. Kedua, hampir semua tokoh Islam yang saya konsultasi saran belajar di Malaysia. Juga keluarga. Jadi, saya bilang kepada beliau yang menawari saya, nanti kalau selesai, mungkin saya ke sana untuk riset di Amerika atau di mana. Dia kecewa sekali. Setelah saya jelaskan latar belakangnya, dia mengerti.


Di Malaysia Anda bayar sendiri?

Itu unik juga. Kalau di Amerika saya kan dijamin. Di Malaysia, semula saya sudah dijanji lisan oleh Prof Wan Muhammad Nor. Setiap bulan dapat beasiswa, kalau rupiah kira-kira Rp 2,5 juta. Kuliah gratis. Ketika akan berangkat, ISTAC berubah. Pimpinan diganti. Janji itu kan nggak bisa terlaksana. Waktu itu saya bilang ke teman-teman di Kuala Lumpur, kalau kondisinya seperti ini, apakah saya masih perlu kuliah lagi? Kurikulum kan berubah. '' Ya, sebaiknya Anda tetap di sini. '' Mobil, saya jual. Saya Bismillah. Saya terbiasa kalau mencari ilmu niat ikhlas, insya Allah, akan ada pertolongan dari Allah. Waktu itu saya optimistis. Akhirnya komitmen pimpinan yang baru, saya kuliah gratis atau mungkin itu utang, saya tidak mengerti. Pokoknya saya belum bayar, yang penting tidak membebani saya.


Mengapa tidak memperdalam ilmu di IPB saja? Apa yang membuat pergeseran itu?

Sebenarnya begini. Kalau IPB itu mampir. Sejak kecil ibu mengharuskan saya di pesantren. Jadi waktu SD, pagi sekolah, siang madrasah, malam mengaji. Saya tidak boleh bolos. Sekolah saya boleh bolos, ngaji tidak boleh. Itu dari kelas 1-6. Kelas 4 saya sudah mulai ngaji kitab kuning. Nulis Arab sudah terbiasa di madrasah. Lulus SD saya mau mondok. Tapi, karena saya nomor satu, guru saya tidak izinin. Dia bujuk terus, '' Sayang kalau ke pondok, sekolahlah ke SMP. '' Bayangan orang waktu itu, nanti jadi dokterlah, jadi apa. Jadi, saya ke SMP. Waktu SMA, ibu mewajibkan saya masuk pondok. Kebetulan pondok hanya sekitar 2 km dari SMA, akhirnya saya tinggal di pondok, tapi sekolah umumnya di SMA.

 
Mengapa tidak sekolah di pondok saja?

Nggak tahu, ya. Bahasa (pelajaran) juga saya suka. Belajar fisika, matematika segala macam, ya hobi. TAPI, belajar di pondok juga bahagia, belajar kitab kuning tiap hari. Meskipun di pondok kalau orang lihat lihat, tapi saya senang. Minum air mentah, mandi di kolam, tidak ada sumber air. Makan kadang-kadang pakai sambal saja. Kalau kita goreng telur, itu sudah mewah. Tidak ada listrik. Boleh dikata keluarga saya berkecukupan. Waktu itu jarang punya TV, di rumah saya sudah ada.

 
Tidak merasa terbebani di pondok seperti itu, berbeda dengan keadaan di rumah?

Waktu itu saya ngadu ke ibu. Teman saya minggu sudah tidak kuat. Sudah kudisan. Saya juga begitu. Yang paling tidak tahan kudisannya itu. Malu kan kita anak SMA kudisan. Tapi, ibu saya bilang, 'Biasanya, semakin semakin semakin berhasil.' '

 
Kalau kudisan, bagaimana Anda bergaul dengan teman-teman di SMA?

Malulah, apalagi kalau olahraga pakai celana pendek. Tapi, ya, teman-teman kayak-nya mengerti. Kadang-kadang kita coba sembunyikan. Pernah saya kena eksim, sampai bernanah di kaki. Sampai saya pernah mandi di air belerang. Ya, karena semua di pondok begitu. Saya malu kalau teman saya datang ke pondok. Biasanya saya keluar utama.

Mengapa Anda memilih masuk IPB?

Saya dapat rangking kedua di SMA. Tiap tahun SMA saya selalu dapat jatah dua orang. Tapi, kalau itu saya sudah mulai baca buku-buku filsafat. Ada paman saya pulang dari Jakarta bawa banyak buku-buku Hamka. Saya juga ke toko buku. Jadi, sudah terbiasa di SMA baca buku. Malah sejak SMP. Bapak saya kan berlangganan majalah Panjimas dan Muslimun. Jadi, sejak SMP saya sudah suka dengan majalah Panjimas, tulisan-tulisan Hamka. Rubrik Dari Hati ke Hati Hamka itu tidak pernah saya pernah. Itu luar biasa. Jadi, bidang pemikiran itu sudah lama.

Waktu di IPB, Alhamdulillah, saya dipertemukan Allah dengan teman-teman yang tidak saya duga. Ketemunya di kereta. Saya gabung saja kos sama dia, empat orang satu rumah. Mereka ini yang kerjaannya, Quran itu tidak pernah lepas dari tangan. Saya waktu itu sangat kagum. Meski dulu orang pesantren, tapi saya tidak seberani mereka. Di bus baca Quran, di kereta baca Quran, di kelas bawa Quran. Akhirnya saya juga makin terpacu untuk belajar agama. Waktu itu saya ingin pindah ke PTIQ. Tapi, ibu saya melarang. Ibu maksa saya selesaikan dulu di IPB, setelah itu terserah. Dengan berbagai penjelasan saya terima. Mungkin kalau dihitung berapa persen saya kuliah dengan mengaji waktu di Bogor, itu bisa lima puluh lima puluh. Lebih banyak saya tidur di masjid dari pada di rumah, banyak belajar dengan senior-senior.

Sampai di titik ini, apa yang Anda masih cari?

Setelah kuliah di ISTAC, saya mengalami penambahan wawasan yang luar biasa. Studi Islam saya tidak teratur. S-1 Kedokteran Hewan, S-2 Hubungan Internasional. Waktu di ISTAC semua disatukan. Setelah banyak diskusi, saya melihat masalah utama umat Islam adalah ilmu dan pendidikan. Bukan masalah lain tidak penting, tapi di sinilah perlu ada pembagian tugas di kalangan umat. 

Tidak merekomendasikan ke politik? Ada yang manawari saya jadi sekjen di satu partai baru. Saya katakan tidak. Meskipun saya ikut mendirikan Partai Bulan Bintang, silakan silakan teman-teman-teman yang politik. Setelah ISTAC, saya lebih melihat sebagian umat yang menekuni bidang pemikiran dan pendidikan. Bagaimana umat Islam mandiri dalam studi Islam. Islam tidak mungkin menolak peradaban lain. Dari dulu Islam selalu take and give, apa yang baik dari luar diambil. Tapi, asal kuat dan serius. Obsesi sekarang, bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan Islam. Itu sedang kami rintis bersama teman-teman. Pendidikan Islam itu adalah pendidikan yang tidak terpisah antara agama dan umum. Di ISTAC itu dipraktikkan betul.

 

Kalau gagasan ini ide besar, bagaimana Anda 'memasarkan'?

Sekarang kita banyak sama-sama. Saya di INSISTS (Lembaga Studi Pemikiran dan Peradaban Islam) dengan teman, Pak Hamid di Gontor. Dia mulai dari sana. Kita ingin orang belajar Islam bukan buangan. Belajar Quran harus serius, belajar Hadis serius, belajar pemikiran Islam serius. Kita sudah mulai sosialisasikan sejak 2003. Kita sekarang menekankan apa yang kita sebut sebagai membangun tradisi ilmu. Kita ingin membangun peradaban Islam, sehingga kami mendirikan Yayasan Bina Peradaban Islam. Itu membawahi INSISTS. Kita mulai dari situ, ya di mana saja kita berada. Saya sampaikan kepada teman-teman, di samping aktif dalam kegiatan dakwah, merespons hal-hal yang aktual juga penting. Tapi, sekarang, menata perpustakaannya harus terbaik, lembaga pendidikan kita harus serius. Di rumah juga saya mulai dari TK. (Wawancara dengan Harian Republika, 2007)
(Sudono Syueb)

 

******

NB. Tahun 2012, lahir anak ke-7 bernama Asad Hadhar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi