AFORISME

AFORISME

Dr.  Nur Kholis
(Dosen IAIN Tulungagung)

Hidup layak dihayati dalam takaran pas. Seperti ukuran baju kita. Jika ukuran lengan baju kependekan, cara menjadikannya proper pastilah bukan dengan memotong lengan kita sendiri. Begitu juga sebaliknya. Ukuran lengan baju memang harus dipermak agar sesuai dengan ukuran lengan kita. Itulah aforisme bahwa manusia dalam dirinya merupakan ukuran. Jabatan dan kekayaan berlimpah, tidak semestinya menjadikan seseorang bersikap melampaui keberadaannya sebagai manusia yang sederajat dengan manusia lain. Orang yang tenggelam dalam jabatan atau kekayaan, ibarat memakai ukuran baju yang tidak proper dengan ukuran badannya. Begitu juga sebaliknya. Seseorang yang tidak dikaruniai jabatan dan kekayaan apa pun, tidak lantas menjadikan dirinya kehilangan harga diri dan tidak setara. Jabatan, kekayaan, kemiskinan, dan kenestapaan tidak akan mengubah jati diri seseorang yang memahami kadar dirinya sebagai manusia. Itulah istiqamah. Wallahu’alam. 19 Ramdlan 1442 H / 01 Mei 2021. Prof. Maftukhin, M.Ag. Rektor IAIN Tulungagung.

      Ini menarik, saya kira kalimat singkat pak rektor, “manusia dalam dirinya merupakan ukuran”, layak dijadikan sebagai aforisme. Aforisme dapat dimaknai sebagai kata-kata mutiara (aufforisme [Perancis], aphorismus [latin] ), atau kalimat pendek, bernas (aphorizein). Atau dengan kata lain, aforisme adalah suatu ungkapan mengenai doktrin, prinsip, atau suatu kebenaran yang sudah diterima umum. Aforisme pertama kali diungkapkan oleh filosof Hipokritus, yaitu, “via trita via tuta, jalan yang sudah licin karena ditapaki adalah jalan yang aman”, adalah aforisme medis yang cukup terkenal. Ucapan para ahli memang kadang didasarkan pada pengetahuan ilmiah, pengalaman, dan kebenaran intuitif. Inilah yang kadang dapat menginspirasi temuan-temuan pengetahuan dan teknologi berikutnya.

       Salah satu keadilan Tuhan (teodise) adalah memberikan peran berbeda-beda pada masing-masing makhluk-Nya berdasarkan kepentingan kelangsungan makrokosmis. Masing-masing diri manusia adalah memiliki standar, yang semua dunia eksternalnya harus menyesuaikan dengan dunia internal nya. Misalnya membeli baju, baik aspek kualitas, kuantitas, maupun size harus disesuaikan dengan yang bersangkutan; tinggi, berat, dan warna kulit badannya. Begitu juga dengan makanan. Makanlah sesuai selera dan kemampuan diri, bukan sesuai ukuran orang lain. Pada saat teman kita membeli sate, tidak serta merta kita ikut membeli sate, dan seterusnya. Masing-masing pikiran (keinginan) seseorang berbeda tentang selera makan. Jadi makan itu ukurannya dipikiran (persepsi), bukan di lidah atau bahkan ditentukan oleh orang sekitar.

       Ukuran diri, bukan berarti hanya aspek jasmaniah tetapi yang lebih penting adalah ruhaniah; pikiran-pikiran, keinginan, kebutuhan, dan persepsi diri. Kadang seseorang lebih mementingkan keinginan  (desire) bukan kebutuhan (needs). Keinginan tidak akan ada batasnya, seseorang yang terpenuhi satu keinginannya dia akan menambah atau meningkatkan keinginan lainnya. Sementara, kebutuhan ada batasnya, misalnya kebutuhan makan (lapar), maka batasnya adalah kenyang. Kebutuhan akan semakin terbatas jika didasarkan pada konsep diri dan tujuan hidup yang jelas masing-masing individu. Seseorang yang memiliki konsep diri positif, akan selalu menerima secara positif dan ikhlas kondisi apapun yang dialami. Bahkan, ia akan bersikap realistis (ikhlas, pasrah) terutama jika dikaitkan dengan tujuan hidupnya mengbadi untuk Tuhan.

       Seperti halnya tumbuh-tumbuhan dan hewan yang beragam dalam segala aspeknya. Manusia pada hakikatnya adalah beragam pula. Keragaman ini bertujuan untuk kelangsungan, kebaikan, terciptanya keseimbangan (equilibrium) keseluruhan unsur-unsur makrokosmis. Masing-masing individu telah diberi potensi yang sama, tetapi pengembangannya berbeda sesuai lingkungan sosial dan kebutuhannya. Mereka tercipta dalam potensi yang saling membutuhkan, membantu, dan mengembangkan. Peningkatan kapasitas masing-masing individu ditentukan oleh seberapa besar konektifitas relasi sosial yang dibangun antar individu. Sama halnya dengan potensi otak manusia, semakin banyak informasi yang dimasukkan kedalam otak, maka akan semakin banyak sel syarafnya yang terkoneksi, dan akhirnya menentukan kapasitas pemikiran dirinya.

       Kapasitas diri; cara berfikir, bersikap, wawasan, dan tindakan (akhlak) itulah yang menentukan kesetaraan antar individu. Jabatan, pakaian, peran, dan semua atribut yang dimiliki individu hanya asesoris untuk mempesonakan penglihatan antar satu dengan lainnya. Keindahan penglihatan selalu tidak bertahan lama, karena penglihatan manusia sejatinya adalah relatif . Memang, dengan atribut yang dimiliki seseorang semakin merasa penting dan bermanfaat bagi lainnya, hahkan bagi sebagian orang akan merasa memliki segalanya,  dan ada juga yang merasa kehilangan segalanya. Jati diri manusia bukan terletak pada asesoris, tetapi rekam jejak yang disimpan dalam memori orang-orang yang ada disekitarnya—inilah yang dalam teori politik disebut dengan soft legacy.

       Warna-warninya bunga-bunga di sebuah taman bukan-lah hakikat, tetapi keajegan peran masing-masing bunga semakin mempesonakan taman tersebut. Beragamnya peran masing-masing individu di latar sosial duniawi bukanlah hakikat individu, tetapi keajegan dan keikhlasan masing-masing dalam peran dan kebermanfaatan bagi orang-orang di sekitarnya-lah yang menentukan kapasitas dan kesejatian diri. Menyombongkan diri dalam peran yang relatif adalah sama tidak baiknya dengan merendahkan diri dalam ketiadaan peran. Memiliki dan ketiadan peran adalah bagian dari tangga ujian oleh Tuhan agar setiap individu dapat mencapai puncak kemasyhuran yang abadi, memberikan sinar bagi orang-orang disekitarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi