IBADAH: Antara Dimensi Struktutal, Fungsional, dan Spiritual

IBADAH: 
Antara Dimensi Struktutal, Fungsional, dan Spiritual

Bukhori At-Tunisi
(Alumni Ponpes YTP, Kertosono)

Semua ibadah, dapat dianalisa dari 3 dimensi, yaitu dimensi Struktural, Fungsional, dan dimensi Spiritual. Banyak dimensi yang bisa digunakan sebagai pisau analisa, untuk mempermudah memahami fenomena keagamaan. Puasa atau shalat misalnya, dapat dianalisa dengan 3 dimensi tersebut. Analisa terhadap ibadah sekalipun, penting. Karena, secara teologis, Nabi juga mendorong “muhasabah”, terhadap apa yang dilakukan manusia, bukan berjalan apa adanya, tanpa tujuan, dan setelah itu apa? Kata Nabi: “Instropeksi dirilah kalian, sebelum kalian dihisab!” Allah juga mendorong untuk menjadikan masa yang lalu (ما قدمت), sebagai dasar untuk merestrukturisasi masa depan (لغد). Masa lalu bukan berlalu begitu bersamaan dengan waktu, namun harus dievaluasi, dimuhasabah, dikalkulasi hasilnya, manfaat, dan perencanaan masa depannya secara organis, terstruktur dan fungsional. Kata Allah: “Wahai orang-orang beriman! Bertakwalah kepada Allah! Dan hendaklah diri seseorang menalar apa yang telah dilakukan di masa lalu, untuk masa depannya! Dan bertakwalah kepada Allah! Sungguh Allah maha mengetahui apa yang kamu lakukan.”

I

Dimensi struktural adalah dimensi bentuk dari sebuah bangunan. Ia adalah form, bentuk, shurah (صورة), structure, susunan yang terdiri dari beberapa bagian, sisi, yang membentuk sebuah rancang bangunan (بنية). Sebuah “bangunan rumah”, bisa disebut sebuah bangunan bila sudah wujud pondasinya, tiang, dinding, atap, pintu, jendela, fentilasi, dan lainnya. Sebuah mikrofon, strukturnya terdiri dari kepala mikrofon, tangkai, kabel penghubung, sekarang wireless, dan lainnya. Itulah yang disebut dengan dimensi struktural.

Puasa ada strukturnya, yaitu tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hubungan suami-istri. Dalam bahasa popularnya: الامساك عن المفطرات (menahan diri dari yang membatalkan puasa); mulai Subuh (fajar) hingga Magrib (tenggelam matahari) [dimensi waktu]; jumlahnya 29 hari atau 30 hari; dan dilaksanakan di bulan Ramadlan. Itulah struktur Puasa Ramadlan, ada waktunya (Ramadlan, mulai subuh hingga maghrib), ada jumlahnya (29atau 30 hari), ada larangan (tidak boleh makan, minum, dan jima’). [Qs. Al Baqarah/2: 183-187]).

Contoh lainnya, shalat. Shalat adalah ibadah yang memiliki struktur. Ada amaliah jarhiyah dan qauliyah. Dimulai dari takbiratul ihram dengan mengangkat tangan dan ditutup dengan salam sambil menolehkan wajah ke kanan dan ke kiri. Gerakan dan ucapan tersebut harus sesuai dengan yang disyariatkan; begitu pula jumlah dan waktu yang ditetapkan, harus sesuai dengan yang ditetapkan Allah dan RaulNya. Karena shalat merupakan ibadah mahdlah, ibadah yang ketentuan tempat, jumlah, waktu dan aturan lainya sudah ditetapkan Allah dan rasulNya. Itulah struktur shalat, bentuk shalat, ada takbir, ruku’, i’tidal, sujud, duduk, tahiyat, dan salam. Baik yang disebutkan di dalam al-Qur’an maupun sabda Nabi saw.

Struktur tersebut harus dipenuhi, biar sebuah “bagunan” menjadi sempurna. Dalam bahasa fiqih, syarat dan rukun puasa atau shalat, harus dipenuhi, sehingga puasa dan shalatnya sah. Namun semua yang sah secara syar’i, tidak mesti dapat wujud fungsinya. Wujud tidaknya suatu fungsi, tergantung kepada pemaknaan terhadap nilai fungsi ibadah itu sendiri oleh manusia sendiri. Inilah yang dinamakan dengan dimensi fungsional

II

Dimensi fungsional adalah dimensi kegunaan, manfaat, atau fungsi dari sebuah bangunan. Sebuah bangunan disebut fungsional, manakala dapat digunakan untuk praksis dan memberi manfaat. Tidak disebut fungsional, manakala tidak dapat digunakan untuk amaliah dan  memberi manfaat. Ia tidak bermanfaat, manakala tidak memiliki kegunaan buat sesuatu yang lain. Ia sia-sia, muspro, tak berguna. Kata orang bijak, “Adanya seperti tidak adanya”, (وجوده كعدمه). Bangunan rumah disebut fungsional, manakala bisa dijadikan tempat berteduh dari panas, melindungi diri dari hujan, dapat dijadikan tempat istirahat, atau digunakan sebagai tempat tinggal. Bila tidak memberikan manfaat seperti yang disebutkan, maka tidak fungsional. Sebaiknya, jika mampu mendatangkan manfaat tersebut, maka fungsional. 

Sebuah mikrofon, disebut bermanfaat, manakala mampu mengantarkan suara lebih keras dari suara manusia yang disalurkan lewat mikrofon. Mikrofon ada, tetapi tidak mampu mengantarkan suara lebih keras, maka tidak ada manfaatnya, tidak berguna, sia-sia saja, karena tidak berfungsi.

Berpuasa itu fungsional, manakala dapat menahan hawa nafsu dan tidak melakukan kemungkaran dan perbuatan buruk lainnya. Mengerjakan kebaikan dan banyak mengerjakan sesuatuyang bermanfaat bagi yang lain. Karena itu, pada bulan puasa, tidak boleh mengatakan sesuatu yang tidak berguna, berkata kotor, jorok, keji dan mungkar, apalagi yang dilarang, seperti omongan dusta atau bohong, menyelisihi janji dan ucapan khianat. Puasa, berfungsi untuk menjaga diri dan menjaga lidah dari yang dilarang Allah dan RasulNya. Menjaga diri dari dorongan nafsu, nafsu perut maupun nafsu kelamin. Lidah juga dijaga untuk tidak makan pada waktu yang ditentukan. Juga, lidah dijaga dari omongan kotor, keji dan mungkar.

Shalat, fungsional, manakala berfungsi untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS. Al-‘ankabut/: 45), mengingat Allah (QS. Thaha/:14), menumbuhkan jiwa sosial, peduli kepada sesama manusia, terutama kepada kaum lemah, fakir, dan miskin.

III

Kapan fungsi itu dapat diwujudkan? Bila dimensi spiritualnya benar. Dimensi spiritual, adalah sisi Ilahiyah dari sebuah struktur. Istilah ini dimaksudkan sebagai tujuan akhir dari sebuah struktur suatu bangun. Namun bukan dimaksudkan bahwa form, shurah, ‘aradl (عرض), punya dimensi Ilahi, bukan itu yang dimaksud. Yang dimaksudkan adalah bahwa setiap amal perbuatan, lelampahan, lakon, struktur, dan seterusnya, harus ada tujuan, ghayah (غاية), maksud sesuatu itu diadakan.  Sebuah rumah dibangun boleh jadi digunakan untuk masjid, majelis ta’lim, panti asuhan, rumah singgah, perumahan guru, kyai, ustadz, dan lainnya. Namun rumah, bungalow, hotel, boleh jadi dijadikan untuk hiburan malam, tempat prostitusi, penyimpanan narkoba dan lainnya. Sebuah tempat, bisa multifungsi. Mikrofon boleh jadi fungsional, karena dapat mengantarkan suara seseorang lebih keras. Digunakan untuk adzan, pengajian dan lainnya, maka nilai spiritualitasnya ada. Namun, mikrofon dapat digunakan untuk karaoke, melantungkan nyanyi kemaksiatan, yang dapat mendatangkan murka Ilahi.

 Yang dikehendaki Allah, bahwa segala sesuatu harus ditujukan untuk mendapatkan ridla Allah, bukan yang lain. Jadi, sisi spiritualitasnya adalah bahwa segala sesuatu harus diniatkan untuk Allah, bukan kesenangan duniawi, kemaksiatan dan kemungkaran. Inilah makna firman Allah, bahwa penciptaan jin dan manusia adalah untuk menyembah kepada Allah (Qs. Al Dzariyat: 56).

Puasa, kata Allah, dikhususkan untuk Allah. Orang yang tidak ikhlas berpuasa, tidak akan mampu menjalankanya. Orang mengerjakan shalat, nampak kelihatan yang lain. Begitu juga zakat, haji, menolong orang lain, membuang duri dari jalan, bisa dilihat oleh orang lain. Puasa tidak bisa dilihat, kecuali oleh dirinya sendiri dan Allah, atau diceritakan kepada yang lain. Karena begitu rahasia, sehingga Allah sendiri yang akan memberikan balasannya, الصوم لي و انا اجزي به (Ibadah puasa adalah khusus buatKu, dan aku yang akan memberi balasan).

Ibadah puasa bertujuan untuk meningkatkan kualitas diri menjadi lebih baik, menjadi manusia bertakwa (لعلكم تتقون). Takwa adalah puncak pencapaian manusia paripurna, insan kamil. Karena dalam takwa, ada nilai inheren ketaatan penuh kepada perintah untuk dijalankan secara ikhlas sepenuh hati, tanpa ada kemaksiatan atau diiringi perbuatan yang dilarang. 

Siapakah manusia yang mampu menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua laranganNya? Hanya para Nabi dan Rasul yang mampu sampai derajat itu, derajat takwa. Karena itu, mereka “ma’shum”, terjaga dari perbuatan salah dan dosa. Manusia biasa sulit untuk mencapai derajat takwa, karena manusia biasa banyak melakukan kesalahan dan dosa. Baik kesalahan kecil maupun besar. Kata Nabi, “الانسان محل الخطأ والنسيان (Manusia tempat salah dan lupa)

Manusia mungkin bisa mencapai derajat takwa, namun pada tingkatan derajat paling rendah. Dengan mujahadah yang tak mengenal lelah, sehingga jalan ke sana akan ditunjukkan Allah. Kata Allah,  “Dan orang-orang yang berjuang di Jalan Kami, sungguh benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Sungguh Allah benar-benar bersama orang-orang yang muhsin

Jika mencapai “maqam” takwa yang paling tinggi, maka akan menjadi manusia paling mulia. Karena takwa mengimplikasikan (yastalzimu) wujudnya kebaikan dan tidak adanya perbuatan buruk. Kata Allah, “Di antara kamu yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa.”

Berat untuk mencapai derajat takwa. Oleh sebab itu, pada zaman nabi, orang Arab badui yang baru masuk Islam yang langsung mengaku sebagai  “mu’min” langsung ditegur Allah. Karena kata Allah, keimanannya hanya di permukaan saja, baru pada pada pengakuan verbal belaka, belum masuk ke lubuk hati yang paling dalam. Allah berfirman dalam Qs. Al-Hujurat/49: 14:

(Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).

Manusia selalu berproses untuk menjadi, tidak sekali jadi. Karena itu, manusia disuruh menaiki jalan mendaki dan terjal, agar sampai ke puncak; jalan itu adalah amal ubudiah dan amal sosial yang saleh. Bukan jalan yang menurun dan akhirnya terperosok ke jurang neraka, yaitu jalan kemaksiatan, keji dan mungkar. Kata Allah:

                                     

(Tetapi mengapa dia tidak menempuh jalan mendaki?
Tahukah kamu Apakah jalan mendaki itu?
(yaitu) memerdekakan budak,
Atau memberi makan pada hari kelaparan,
(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat,
Atau kepada orang miskin yang sangat fakir).

Jalan itu terjal, namun harus didaki walau sulit, agar sampai pada puncaknya. Karena kalau masuk ke jurang (neraka), amatlah mudah. Terpeleset sedikit saja, jurang menganga siap menerima. Dalam bahasa Nabi, “Neraka, dihiasi dengan yang enak dan mudah.” Sedang iman, fluktuatif, ada pasang dan surutnya. “Pasang dengan berbuat kebaikan dan menurun dengan perbuatan maksiat,” kata Nabi. Inilah makna hadis Nabi, bahwa Allah cinta sekali kepada hambaNya yang berbuat kebaikan meski seberat dzarah semisal membuang duri dari jalan, mengucapkan rasa syukur atas nikmat Allah, atau membaca kalimat thayyibat, istigfar, dan kebaikan lainnya. Nabi menyuruh untuk menyertai perbuatan kebaikan atas perbuatan buruk yang pernah dikerjakan. 

ان الله ليرضى عن العبد ان ياكل الاكلة فيحمده عليها او يشرب الشربة فيحمده عليها

(Sungguh Allah ridla pada hambaNya yang makan makanan, lalu memuji Allah atas nikmat yang diberikan tersebut, atau minum satu sedupan, lalu memuji Allah atas nikmat sesedupan tersebut)

الايمان بضع وستون شعبة فافضلها قول لااله الا الله, وادناها اماطة الاذى عن الطريق
 
(Iman memiiki cabang lebih dari 70 cabang, yang paling tinggi adalah pernyataan Tidak ada tuhan selain Allah; dan yang paling rendah adalah membuang duri dari jalan)

واتبع السيئة الحسنة تمحها

(Dan ikutilah keburukan itu dengan kebaikan! Karena kebaikan akan menghapus keburukan)

Oleh sebab itu, perbuatan yang dilandasi keikhlasan, yang berat terasa ringan, yang memakan waktu lama, terasa sebentar. Ibadah shalat misalnya, terasa ringan bagi orang yang khusu’ (QS. Al-Baqarah/2: 45), dan terasa berat bagi yang tidak ikhlas, misalnya orang munafik yang banyak memiliki pamrih dan keuntungan materi duniawi (Qs. Al-Nisa’/4: 142).

Di sinilah pentingnya “ihsan”, adanya rasa kehadiran Tuhan (omnipresent) dalam setiap nafas kehidupan, karena Tuhan selalu berada di sisi manusia di mana pun manusia berada (وهو معكم اينما كنتم). Nabi pernah ditannya malaikat Jibril yang menyamar sebagai manusia, “Apakah ihsan itu?” Nabi menjawab, “Kamu menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya, jika kamu tidak dapat melihatNya, sungguh Allah melihat kamu.”

ما الاحسان؟ قال, "ان تعبد الله كانك تراه فان لم تكن تره فانه يرك

Jika rasa kehadiran Tuhan selalu menyertai, maka manusia tidak akan berbuat maksiat, namun akan selalu berbuat kebaikan. Karena “iman” kata Nabi, sebagai “perisai” wujudnya perbauatan maksiat. Kata Nabi,

لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن, ولا يسرق السارق حين يسرق وهو مؤمن
 
(seorang pezina tidak akan berzina, saat akan berzina itu dia dalam keadaan mu’min; dan seorang pencuri tidak akan mencuri, saat akan mencuri dia dalam keadaan mu’min)

Oleh sebab itu, penekanan dimensi spiritual pada semua aspek amaliah ubudiyah dan dunyawiyah, sangat perlu, karena zaman sekarang, banyak orang yang lupa Tuhan dan hanya memburu kesenangan, kekayaan dan kejayaan. Hidupnya permisif, serba boleh, halal semua, tidak ada halal dan haram, yang penting dapat uang dan kesenangan. Hidupnya hedonis, permisif, dan hewanis. Mirip apa yang dikatakan Thomas Hobes, “Homo homini lupus” (manusia menjadi pemangsa manusia lainnya); bukan manusia yang religius dan humanis, tapi bengis.

banyak orang beragama secara formal-struktural, tetapi tidak fungsional, karena agamanya tidak dilandasi spiritualitas, dimensi Ilahiyah. Beragamanya egoistis, hanya untuk ego dan keuntungan pribadi, beragama bukan untuk Tuhan dan untuk kemanfaatan kemanusiaan, juga dirinya sendiri. Karena itu, marak sekali para politisi saat ikut kontes pemilu, banyak mendatangi tempat ibadah, lembaga pendidikan, menyapa masyarakat, banyak berbagi, murah senyum, menebar pesona, namun setelah dapat kursi kekuasaan, semua yang dinampakkan kepada khalayak, tidak membekas, karena dasarnya bukan untuk Allah dan kemaslahatan kepada lainnya, namun untuk dirinya sendiri. Penampakan yang ditampilkan, hanya untuk membeli “suara” masyarakat.

Orang muslim banyak “good looking”, tongkrongan shaleh dan takwa, bergamis putih, peci putih, sarung putih, tapi paradoks dalam kehidupan sosialnya, gemar mencaplok tanah orang, menimbun kebutuhan pokok untuk dijual saat krisis, berperilaku tak sopan pada kelompok yang berbeda. Kontradiksi antara penampakan dan sikap keberagamaan, karena orang terjebak pada formalisme strukturalis, lupa pada subtansi utilitasnya, dan lupa pada Ilahinya. Wallahu a’lam  bi al-shawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi