Ketika Lebaran Tanpa Mudik dan Tanpamu..., Dik…!

Ketika Lebaran
 Tanpa Mudik dan Tanpamu..., Dik…!

Dr. Amam Fakhrur
(Kolumnis Sosial)

“Cak...., bekerja setahun di luar kota, mengumpulkan uang adalah untuk mudik,” begitu ceritera  salah seorang kawan saya yang bekerja di sektor informal di suatu kota. Poster lucu  bernada “provokatif” pun dikirim ke saya. Bunyinya begini , “Mudik tidak mudik virus corona akan tetap ada, sementara orang tua kita, tahun depan belum tentu masih ada”. 

Pandangan kawan saya tersebut di atas adalah pandangan yang wajar, karena mudik lebaran telah sangat mentradisi. Tak sedikit warga yang menghukumi bahwa mudik lebaran adalah sangat penting bahkan bisa pada tingkat  “fardlu ain”. Dianggap tidak patut kalau tidak mudik.

Nah hari-hari ini, jelang idul fitri, saya kira  tak ada kata yang melebihi populernya kata mudik. Soalnya hari-hari ini adalah momen warga untuk kembali ke udik, kembali ke asal daerah. Berlebaran di kampung halaman setelah lama tinggal di perantauan.  

Di media sosial penuh dihiasi soal mudik. Mudik lebaran khas Indonesia, begitu heboh. Saya kira tidak ada tandingan hebohnya di negara manapun  atau di zaman apapun. Setiap tahunnya, mereka yang mudik jumlahnya mencapai  puluh juta . Tentu saja hal ini membawa efek multidimensi  baik dari sisi ekonomi, transportasi maupun keamanan.

Entah bagaimana sejarahnya mudik lebaran sebagai tradisi yang kuat mengakar. Konon sejak zaman Majapahit sudah ada tradisi mudik, atau sekurang-kurangnya zaman penjajahan Belanda sudah ada tradisi mudik, yaitu mudiknya para pekerja pribumi setelah sekian lama mereka meninggalkan kampung halaman untuk mengerjakan proyek-proyek pemerintahan Belanda. 

Tradisi mudik tetap berlanjut dan kemudian bertemu dan bersenyawa dengan perayaan keagamaan, yaitu idul fitri. Beridul fitri setelah umat Islam menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Secara sosiologis menjadi klop. Tradisi  yang dianggap positif bertemu dengan momentum hari raya keagamaan. Maka menjadi wajar ada yang menganggap tradisi mudik telah menjadi bagian integral dari budaya keagamaan. Jadilah mudik lebaran.

Mudik itu wujud obat kerinduan kampung halaman setelah sekian lama ditinggalkan. Dengan mudik dapat benostalgia, dapat mengenali kembali suasana kampung yang dahulu mereka pernah tinggal. Juga menjadi ajang untuk silaturrahmi ke orang tua dan sanak famili.  Bahkan mudik itu mempunyai  frekwensi tersendiri. Orang yang semula tidak berencana mudik, dapat terdorong dan “tertular” untuk turut ikut mudik. Telah dianggap tidak patut, saat lebaran  tidak berada di kampung halaman.

Mudik lebaran tahun ini menjadi lebih heboh. Mengapa ? Karena  telah ada larangan mudik, demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Meski sebenarnya larangan ini tidak mutlak. Dalam hal-hal tertentu, termasuk dalam kedaruratan, dengan melengkapi persyaratan warga masih dapat mudik, namun secara umum, mudik telah dilarang. 

Begitu kuat tekat warga untuk mudik, berbagai cara diupayakan untuk dapat mudik, meski ada larangan. Banyak juga mereka memilih mudik terlebih dahulu sebelum hari H larangan mudik. Kemaren saya menerima kiriman video mengenai kiat mudik di tengah larangan mudik. Tujuh  orang bermaksud mudik tidak menggunakan transportasi sebagaimana biasanya. Mereka memilih naik mobil  minibus, namun minibus  itu dinaikkan truk tronton. Agar ada kesan bahwa truk tronton itu  semata mengangkut mobil untuk dibawa kesuatu daerah lain. Maksudnya mengelabuhi petugas di jalan raya. Tetapi polisi curiga, truk dminta minggir di tepi jalan. Setelah diperiksa di dalam minibus yang diangkut truk tronton tersebut, terdapat tujuh orang yang bermaksud mudik.  Saya kira banyak warga yang menggunakan kiat lain agar bagaimana dapat mudik. 

Sebenarnya mudik yang berkelitkelindan dengan idul fitri, dimana umat Islam telah melaksanakan ibadah puasa Ramadlan, sekaligus dapat dijadikan momentum untuk memudikkan diri. Pada awal penciptaan manusia, saat manusia ditiupkan roh di jasadnya, sesungguhnya manusia adalah makhluk yang ber-Tuhan. Saat ditanya Tuhan, tentang ke-Tuhanan-Nya, manusia menjawab, “ Ya, aku menyaksikan bahwa Engkau adalah Tuhanku”. Seiring dengan berjalannya waktu dan aktifitas keduniaan, secara sayup-sayup suara Tuhan menjadi  disisihkan atau bahkan ditinggalkan dan dicampakkan dengan ragam alasan. 

Mudik lebaran adalah momentum yang tepat untuk sekaligus memudikkan diri menjadi manusia yang berke-Tuhanan, sebagaimana awal manusia dijadikan. Hal ini selaras dengan tujuan puasa yaitu menjadi manusia yang berkualitas taqwa.

Lha apakah saya akan mudik lebaran tahun ini ? Pengennya sih mudik, tetapi agaknya tidak bisa. Banyak kok yang nggak mudik lebaran tahun ini. Soal bagaimana efektifitas larangan untuk menahan penyebaran Covid 19 saya bukan ahlinya
Saya tidak mempunyai kompetensi untuk menilainya.  Saya _berhusnudzdzan_ saja, semua ini demi kebaikan bersama, yaitu memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang masih mewabah. Saya akan mudik untuk silaturrahmi dengan keluarga dan sanak family di luar momentum lebaran saja. 

Jadi seperti lebaran tahun lalu, saya akan lebaran tanpa mudik, oh ya...,  sekaligus lebaran tanpamu…dik…! 

Semoga kita semua baik yang mudik lebaran atau yang tidak, dapat mudik menjadi manusia yang berke-Tuhanan, sebagaimana saat awal kita diciptakan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi