Resonansi Syaikh HM.Basioeni Imran

Resonansi Syaikh HM.Basioeni Imran

Oleh : Dr. Amam Fakhrur
(Kolumnis Sosial Agama)

Sejak usia remaja, di sekitar tahun 1982, saya telah mengenal buku yang berjudul  “Limadza Taakhkhara al-Muslimun wa Li Madza Taqaddama Ghairuhum”, karya Amir Syakib Arslan, meski hanya versi terjemahan. Yang menerjemahkannya adalah H. Munawar Chalil, ulama' Muhammadiyah,  dengan judul "Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Kaum Selainnya Maju ?“. 

Buku yang terbit di akhir abad 19 itu  digagas oleh penulisnya bermula dari pertanyaan ulama' asal Sambas, Kalimantan Barat, namanya Syaikh HM.Basioeni Imran. Ia sering berkorespondesi dengan majalah al-Manar yang terbit di Mesir, besutan ulama' pembaharu Muhammad Rasyid Ridha. Ia pernah mengajukan pertanyaan ke radaksi “Limadza taakhkhara al-muslimun wa li madza taqaddama ghairuhum”. Oleh Amir Syakib Arslan, pertanyaan tersebut dijawab dan dimuat dalam Majalah al-Manar secara berseri. Kemudin jawaban-jawaban tersebut disusun menjadi sebuah buku, dan pertanyaan HM. Basioeni Imran tersebut dijadikan sebagai judulnya.

Saat penerbitannya, di akhir abad 19 buku tersebut memang membikin heboh. Karena di masa-masa itu, umat Islam telah tertinggal di halaman belakang di pentas kemajuan dunia. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami keterbelakangan. Negara-negara Islam berada dalam koloni penjajah. Buku itu telah menginspirasi dunia Islam untuk bangkit menuju kemajuan dan kejayaan.

Saya ingat betul, di suatu momen acara para remaja Islam, di usia remaja tersebut, saya memberikan sambutan dengan  menukil dan sedikit mengurai substansi buku tersebut. Bahwa kaum muslimin mundur adalah karena meninggalkan agamanya, sementara kaum selainnya maju adalah kerena meninggalkan agamanya. Sama-sama berpredikat meninggalkan agamanya, tetapi menuai hasil yang berbeda. Orang-orang Islam telah abai terhadap ajaran tentang bagaimana mendayagunakan akal untuk berperadaban yang maju dan berilmu pengetahuan yang tinggi. Mareka asyik maksyuk dengan tradisi dan kebiasaan yang negatif.

Namun pada saat itu saya tidak terlalu fokus tentang siapa di balik terbitnya buku tersebut dan dari mana asalnya. Saya mulai ngoh sekitar setahun lalu,  saat saya mulai  tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat. Saya membaca beberapa referensi, yang menyebutkan bahwa, orang yang berada di balik terbitnya buku tersebut adalah ulama' Nusantara yang   berasal Sambas, Kalimantan Barat, bernama Syaikh HM. Basioeni Imran (1885 M – 1976 M). Saya kemudian berkesimpulan sederhana, bahwa  orang yang telah  berkorespondensi dengan  majalah al-Manar yang terbit di Mesir adalah bukan orang sembarangan, tentu ia adalah ulama' hebat di jamannya. 

Antara Pontianak dengan Sambas yang berjarak 227,7 km. Keinginan  saya untuk melihat dari dekat akan jejak dan warisan intelektual darinya menjadi tak terbendung. Maka saat liburan Idul Fitri 1442 H, beberapa waktu lalu, saya meluncur ke lokasi di mana dahulu beliau pernah tinggal, yaitu di sebuah rumah panggung yang terletak di Lubuk Dagang, Sambas, Kalimantan Barat.

Saya diterima dan dipandu oleh dua orang, seorang adalah aparatur desa dan yang seorang lagi adalah penggali kubur yang sekaligus penjaga rumah peninggalannya. Dari arah depan rumah nampak jelas gerbang melengkung yang bertuliskan “Museum Tamadun Sambas”. Rumah berbahan kayu belian termasuk berukuran luas, terdiri dari dua lantai dan terdapat beberapa kamar di dalamnya. Lantai dua terdapat beberapa peninggalannya yang sudah tidak difungsikan lagi. Nampak rumah itu masih sebagaimana aslinya, kecuali bagian atapnya yang pernah diganti. Di rumah ini, dahulu selain Syaikh HM. Basioeni Imran tinggal sekaligus ia menfungsikan sebagai madrasah. 

Di atas pintu memasuki ruang tengah ada tulisan khath al-Qur’an Surat al-Mukminun, ayat 29. “Rabbi anzil ni munzalan mubarokan wa anta khairun al-munzilin” (Ya Tuhaku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat ). Di tengah-tengahnya terdapat tulisan tahun hijriyyah 1333H-1334 H. Ada kemungkinan tahun tersebut menunjuk kapan tulisan khat tersebut dibuat.

“Kamar ini adalah tempat istirahat Syaikh HM. Basioeni Imran”, kata aparatur desa yang memandu saya sambil menunjuk kamar yang terletak di bagian depan dalam rumah. Di balik kamar tersebut adalah ruang depan rumah dan terdapat sebuah almari berukuran sedang yang berhimpitan dengan dinding kamar sebelah selatan. Almari itu diberi beberapa sekat atas bawah dan diletakkan buku-buku. Sebagian buku disusun dalam posisi tegak berdiri dan sebagiannya dalam posisi bertumpuk. Saya melihat buku yang ada di almari tersebut sebagian besar berbahasa Arab, dan sebagiannya berbahasa Belanda dengan ragam judul. Ada juga beberapa buku kecil berbahasa Indonesia. Buku-buku yang ada terkesan tak terawat, tak sedikit yang sudah berubah warna dan terkelupas dari jilidannya. Banyak buku yang diikat dekat dengan benang agar lembaran-lembarannya tak berserakan .

Di perpustakaan pribadinya itu, saya tidak mendapatkan buku-buku sebagai karya beliau. Beliau dikenal sangat produktif menulis. Saya mendengar bahwa di antara buku yang pernah beliau tulis berjudul,  Bidayah al –Tauhid fi Ilmi at-Tauhid, Tazkir Sabil al Najah fi Tarki as-Shalah, Khulashah al-Sirat al-Muhammadiyah, Irsyadu al-Ghilman ila Adabi Tilawah al-Qur’an, Nuru as-Siraj fi Qishash al-Isra’ waMi’raj. Bisa jadi,  buku–buku karya beliau disimpan di tempat lain, demi lebih menjaga keamanannya. Entahlah saya belum mendapatkan informasi pasti apakah buku-buku karya beliau telah digandakan atau dilakukan digitalisasi. 

Di balik kaca almari ada merk bertuliskan Syaikh HM. Basioeni Imran, berbahan kayu. Melihat koleksi buku-bukunya, semakin meyakinkan saya bahwa beliau selain menguasai bahasa asing (sekurang-kurangnya bahasa Arab dan Belanda), beliau adalah seorang ulama' yang berwawasan luas dan berkelas internasional. Memang namanya tidak terlalu dikenal sebagai ulama' besar di tanah air, namun sekurang-kurangnya di Kalimantan Barat, khususnya di Sambas, beliau dikenal sebagai ulama' besar.

Saat saya mengamati judul-judul buku, saya mendapatkan satu bendel majalah al-Manar. Perasaan saya menjadi lebih lega, seolah telah membuktikan bahwa benar Syaikh HM. Basioeni Imran adalah pernah berkorespondensi dengan majalah tersebut, meski saya tak menemukan asli surat korespondensinya. Soal kebenaran korespondensinya, sebenarnya telah terinformasikan dalam buku karya Amir Syakib Arslan tersebut.

Sosok keulamaannya tak diragukan lagi. Ia pernah menjabat sebagai  Maharaja Imam di Kesultanan Sambas. Ia menekuni pendidikan yang dikelola secara modern di zamannya. Atas titah Sultan Sambas Tsafiuddin II (1688 M-1922 M), ia juga dipercaya sebagai pengawas sekolah Islam as-Sulthaniyyah yang didirikan oleh pihak kerajaan. Berkat sentuhannya,  banyak alumninya yang melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah dan ke pulau Jawa. Ia pernah belajar  langsung kepada ulama' pembaharu terkemuka yaitu Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Makkah dan kepada Muhammad Rasyid Ridha di Mesir.

Di kalangan masyarakat Sambas, resonansi Syaikh HM. Basioeni Imran di bidang keagamaan khususnya di bidang pendidikan agama Islam adalah sangat terasa. Namun menurut saya lebih jauh dari itu, ia juga  telah memberikan andil tak ternilai dalam upaya kebangkitan dunia Islam. Mengapa?  Karena buku  “Limadza Taakhkhara al-Muslimun wa Li Madza Taqaddama Ghairuhum”, karya Amir Syakib Arslan, yang terbit di akhir abad 19 tersebut, telah menginspirasi dunia Islam untuk bangkit dari ketertinggalannya, dan ternyata di balik terbitnya buku tersebut adalah sosok ulama' yang bernama Syaikh HM. Basioeni Imran. (Wallahu a’lam).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi