Jum’atan On Line

 Jum’atan On Line

Dr. Amam Fakhrur

(Kolumnis Sosial Agama)

Tadi pagi sabtu, 31 Juli 2021, ba’da Subuh, saya  buka handphone saya. Saya membaca pesan  di salah satu group WA. Isinya  undangan  untuk mengikuti sholat Jum’at secara daring. Mungkin undangan itu untuk hari kemaren, untuk sholat Jum’at tanggal  30 Juli 2021. Hanya saya baru mengetahuinya. Kalau judul tulisan ini menggunakan kata “jum’atan”, itu adalah bahasa harian saya. Maksudnya adalah mengikuti dan melaksanakan sholat Jum’at.

 Seperti biasa dalam undangan kegiatan secara on line melalui telekonferensi Clouds Zoom Meeting lainnya, disertakan juga  Meeting ID, Passcode dan Link. Ada juga pengundangnya, tertera  nama Takmir Masjid Virtual. Tertera juga  woro-woro di bagian bawah undangan. Bunyinya, Agar bergabung di group WA”. Mungkin karena terbatasnya kapasitas. Ada juga fasilitas berupa Bulletin Jum’at, cukup dengan mengakses alamat yang tersedia.

Sebenarnya di awal pandemi, telah ada juga jum’atan on line. Hanya saya kurang ngreken. Bahkan ada juga berbentuk mengikuti siaran radio, seperti di London. Ada juga  dari siaran live streaming via akun facebook, seperti di Finladia. Di Indonesia juga sudah ada yang menfasilitasi jum’atan seperti itu. Waktu itu saya belum terlalu berperhatian. Saya menilai, belum sesuai kebutuhan di lingkungan dekat saya.

Kembali ke Jum’atan on line. Saya sendiri belum pernah mengikutinya. Hanya saya kira dari segi fasilitas, ya seperti fasilitas saat mengikuti kegiatan daring yang lain. Butuh komputer atau sarana digital lainnya, listrik dan fasilitas internet. Saya tidak tahu pusat ruang virtual zoomnya di suatu masjid, atau di suatu ruangan tertentu yang difungsikan sebagai masjid. Takmirnya adalah  mereka yang memenej kegatan itu. Dan marbotnya adalah mereka yang mempersiapkan dan memastikan teknologi pelaksanaan jum’atan berjalan lancar.

Lha bagaimana kaifiyahnya (tata caranya)? Seperti jum’atan yang manual pada umumnya, tidak berbeda. Ada adzannya, ada khutbahnya, ada imam sholat dan ada makmumnya. Yang membedakan adalah jum’atan on line tidak dilaksanakan secara berjama’ah dalam satu kesatuan tempat secara hakiki (nyata), demikian pula ketersambungan jama’ahnya. Kalau sholat Jum’at manual pada umumnya mengikuti norma berjama’ah secara nyata, dalam kesatuan tempat, ada kesersambungan secara fisik secara hakiki dan posisi makmum ada di belakang imam.

Sholat Jum’at itu hukumnya wajib bagi setiap lelaki muslim. Lantas bagaimana hukumnya juma’atan on line. Mengenai dalam satu kesatuan tempat secara nyata atau tidak, dapat dikaitkan dengan pendapat ulama' dahulu, tentang antara imam dan makmum ketika tidak berada dalam kesatuan tempat. Misalnya  Imam di masjid, makmum ada di rumah  dalam sholat berjama’ah.  Ulama' telah membahasnya dengan ragam pendapat. Menurut Madzhab Syafi’i, tidak sah sholat jamaah yang dilaksanakan dengan menahan imam di masjid dan makmum di rumah. Imam Malik berpendapat, kalau untuk sholat jama’ah biasa tetap sah, namun untuk sholat jum’at tidaklah sah, demikian juga Imam Ahmad. Namun Imam Abu Hanifah menyatakan pelaksanaan sholat seperti itu sah secara mutlak baik sholat jamaah biasa  maupun sholat Jum’at.

Bisa seseorang menilai jum’atan on line tidak dibenarkan menurut hukum Islam,meski berada dalam masa Pandemi Covid-19. Karena pelaksanaannya tidak dilaksanakan dalam satu kesatuan tempat secara nyata dan posisi makmum tidak berada di belakang imam. Kalau berhalangan mestinya diganti dengan sholat Zzuhur, itu syari’ahnya. Namun bisa saja seseorang menilai bahwa hal tersebut dapat dibenarkan. Makna satu kesatuan tempat tidak harus dimaknai secara fisik, pelaksanaan secara on line apalagi melalui Clouds Zoom Meeting, juga telah memenuhi kriteria satu kesatuan tempat, meski secara on line. Substansi jum’atan on line, tetap terjaga yaitu menjaga kesunnahan hari Jum’at dan mendengarkan dua khutbah hari jum’at. Apalagi di situasi pandemi.

Lantas bagaimana hukum yang sebenarnya  mengenai jum’atan on line. Saya tidak akan berpendapat. Terserah pembaca saja. Saya sendiri belum pernah melaksanakan  jum’atan on line, sesuai konteks lingkungan saya. Saya hanya sepakat bahwa mengenai hal ini adalah soal ijtihadi, yang potentai berbeda dalam menetapkan hukumnya. Di masa Nabi belum ada pelaksanaan jum’atan on line, demikian juga pada masa sahabat dan para imam madzhab. Pelaksanaan jum’atan on line muncul di saat berkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang digital dan internet. Dan di saat bersamaan datang musibah pandemi Covid-19 yang mengglobal.

Memang masa Pandemi Covid-19, telah melahirkan prilaku baru. Perilaku baru tidak hanya di bidang pendidikan, ekonomi dan sosial. Juga perilaku di bidang keagamaan, salah bentuknya adalah jum’atan on line. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi