Pandiran Warung: Kalahi

Pandiran Warung: Kalahi

Kayla Untara
(Budayawan Muhammadiyah Kalsel) 

Di tiap duel, sudah pasti akan menentukan siapa yang menang siapa yang kalah. Khususnya jika duel itu bersifat One on One. Tidak akan pernah ada hasil draw jika bicara pertarungan satu lawan satu. Hampir bisa dipastikan bahwa pertarungan semacam itu akan melahirkan pemenang dan menyisakan pecundang. Duel satu lawan satu ini adalah duel yang paling menarik ketimbang duel lainnya. Coba lihat saja pertarungan Fighter UFC atau tinju, sudah pasti sepanjang pertarungan akan seru. 

“Tapi bukankah memang sering terjadi hasil draw? “ Ya, jika itu bicara soal hasil yang ditentukan berdasar nilai. Bila hasil akhir tidak ada KO (knockout) yang terjadi pada salah satu petarung. Inilah celakanya ketika duel berada di ujung pena mereka yang dinamakan dewan pengadil. Juri. Padahal hakikat sebenarnya, meski pada duel tidak ada salah satu petarung tersungkur hingga akhir ronde, sudah tentu akan bisa kita lihat siapa sang juara. Akan lahir seorang pemenang. Tidak akan ada namanya hasil berimbang terlepas apakah ada yang berhasil mengavaskan lawannya atau tidak. Duel satu lawan satu akan tetap menyisakan pecundang. Setidaknya, menurut subjektiftas masing-masing penonton. 

Bisa saja dalam duel itu, misal, Juri menentukan si A kalah (TKO) meskipun secara fisik orang yang ditentukan sebagai juara, si B, mukanya bonyok dan berdarah-darah. Mau tak mau sebagaimana klausal yang melekat dalam diri seorang juri, maka keputusan Dewan Juri ini tak bisa diganggu gugat, katanya. Ketika bicara subjektifitas orang, dalam hal ini mereka yang menonton, maka wajah yang bonyok dan kening yang sobek cukup memberitahu siapa pemenang sesungguhnya. Sistim. Kembali lagi soal sistim. Sistim dan aturanlah yang bicara jika hingga pertandingan usai namun tak satupun terkapar mencium lantai arena duel. Siapa juara ditentukan oleh sistim dan aturan yang ada.

Mungkin, sekali lagi, “mungkin” duel serupa terjadi saat ini. Duel One on One telah berakhir. Dengan dua kali mendapatkan injury time, toh semua hampir bisa menebak siapa pemenangnya. Akibat keputusan berada di tangan mereka yang disebut dewan pengadil (?). Tebakan itu tidak serta merta meruak di benak banyak orang, namun merupakan akumulasi dari sikap pesimistis terhadap sistim dan kredibilitas para dewan pengadil itu sendiri. 

Laga telah usai. Pemenang telah diumumkan di tengah arena bernama Pilkada. Sang petarung lama diputuskan mampu mempertahankan sabuk juaranya. Mengkandaskan harapan sang penantang. Meski sebagaimana pamandiran sebelumnya, bahwa bisa saja orang yang ditentukan sebagai pemenang sudah bonyok dan penuh luka memar di sekujur tubuh. Namun keputusan dewan juri berkata bahwa mereka sudah memutuskan siapa petarung terbaiknya. Mestinya, sang penantang mampu membuat KO sang juara pada saat laga berlangsung. Namun rupanya ring bel terlampau cepat berbunyi sebelum ia sempat melepaskan pukulan telaknya. 

Pesta kemenangan sudah di gadang-gadang. Akun medsos para pendukung mulai bersorak-sorai merayakannya. Sebagiannya malah maniwas wan mambajah kepada lawannya yang mereka anggap pecundang. Namun soal siapa kalah siapa menang ini, ketika tidak ada ada yang benar-benar KO, maka subjektifitas akan berperan besar di sana. 

Terlepas siapapun pemenangnya, faktanya setelah duel berakhir biasanya kita memang mematikan layar televisi dan kembali bapusut dada sambil menunggu laga berikutnya. Lantas menunggu kembali. Berulang dan terus berulang menjadi penonton setia, terkadang bertepuk tangan serta sembari ketawa. 

  (HST, 01/08/21)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi