Pandiran Warung: "Liwarnya pang...!"

 Pandiran Warung: "Liwarnya pang...!"



Pertengahan atau akhir tahun lalu (lupa kapan tanggal dan bulannya) ulun pernah sedikit mahual atas gagalnya pemerintah dalam menerapkan prokes ke masyarakat di tengah status wabah covid19  melanda. Kegagalan tentang penerapan aturan-aturan 3M yang mau ditegakkan pada gaya hidup masyarakat hari ini. Permasalahan prokes yang sampai detik ini barangkali masih jadi perbalahan tak tentu kapan selesainya. 

Ulun sepakat bahwa ada produk aturan yang harus dipaksakan sehingga penerapannya di lapangan bisa maksimal dan tercapai sesuai tujuannya. Ulun tidak membantah bahwa penegakan aturan melalui sanksi dan denda atau lebih jauh dari itu, hukuman penjara misal, mesti dilakukan jika memang demi alasan terjaganya ketertiban dan keamanan warga. Tetapi soal prokes nampaknya sedikit berbeda. Menerapkan prokes bukan semata soal aturan dan undang-undang, tapi upaya merobah gaya dan tatanan kehidupan sosial yang tentu perlu proses dan waktu lama. Nah, proses yang butuh waktu itu (sekali lagi, dalam kacamata subjektif ulun) lebih pada soal edukasi. Pembiasaan. Bukan dengan ancaman atau hukuman. Setidaknya pemahaman ulun aja pang. Bisa saja ulun yang salah paham. 

Jika kemaren-kemaren, penegakan aturan prokes di mana warga diminta untuk mentaati selama masa pandemi, boleh jadi tingkat keberhasilannya berbanding lurus dengan kegagalannya. Meskipun ini sekadar penilaian subjektif saja. Namun toh dalam kenyataan, penerapan prokes itu memang tidak maksimal dan optimal. Selain akibat terbentur dengan urusan ideologi jua terlalu banyaknya informasi yang masuk ke kepala setiap orang melalui broadcast di media sosial dan dunia maya.  

Dalam implementasinya sendiri penegakan prokes jua terasa aneh. Sedikit asa garigitan terkadang. Inilah yang pernah ulun hual beberapa waktu silam. Mereka yang mau memberikan edukasi prokes 3M ini mesti paham jika sampai sekarang terkadang progres yang didapat sekadar sampai pada tahap malumu tunjuk wara. Sia-sia sih tidak, tapi ya, kaya malikit kumpai basah. Bagaimana tak, soal mengedukasi masyarakat serta merobah gaya hidup dan sebagiannya terkait dengan cara beribadahnya warga, kita malah disuguhi dengan ancaman demi ancaman. Prokes yang mestinya berupa usaha mengedukasi berobah menjadi sebuah produk aturan yang membuat orang salah-salah bisa menjadi pesakitan di balik dinding penjara. 

Coba kita tengok pemberitaan. Bagaimana hukuman push up, lari keliling lapangan, squat jump, dan yang paling mambari muar adanya hukuman berupa menghapal teks Pancasila. Kejadian luar biasa yang satu-satunya pernah terjadi di negara amazing ini. Ada juga yang diminta melakukan tugas sosial semacam menyapu jalan atau seumpamanya. Okelah itu. Tidak sedikit yang sepakat dengan jenis-jenis hukuman itu sebagai sanksi atas pelanggaran aturan prokes. Itu hak mereka juga sih. Pelanggaran tidak memakai masker, misal. Disuruh push up. Bukankah agak konyol ada hukuman mesti push up di depan orang banyak. Mestinya yang dihukum adalah kesalahannya, pelanggaran yang ia lakukan dan bukan menghukum harga diri manusia yang memiliki kehormatan sebagai warga negara. 

Maka dalam hualan ulun saat itu ulun katakan jika proses edukasi terkait penerapan prokes ini mesti dibumbui dengan ancaman dan intimidasi serta sanksi konyol, liwarnya pang! Kita sudah cukup hidup dalam suatu zaman yang penuh ancaman dan tekanan. Zaman di mana orang yang memiliki pemikiran berbeda terancam dipenjara. Zaman baliho. Zaman ketika mural, satire dan suara-suara kritis dalam bentuk lainnya dianggap tindak kejahatan sehingga para pelakunya layak mendekam di balik jeruji besi. Jika memang urusan prokes ini adalah soal edukasi, maka tatkala ada beragam ancaman di sana, jangan heran pemerintah akan kehilangan momentum kesadaran warga untuk mentaatinya. Jangan kaget jika orang memakai masker semata karena takut dirajia. 

Nampaknya, kehilangan momentum kesadaran warga itu sudah dan sedang terjadi. Adanya beberapa penolakan akan kewajiban vaksin adalah sebagian bukti dari itu. Jika saja soal edukasi prokes itu sejak awal sudah serius, sistematis, terukur dan tanpa ancaman-ancaman, maka kewajiban vaksin ini akan lebih tenang dan kada tumbur macam sekarang. Setidaknya persentasi keberhasilan barangkali akan jauh lebih besar dan yang paling penting adalah kemampuan pemerintah memiliki momentum yang baik bersama rakyatnya. Momentum kesadaran itulah yang kadung tipis sekali ada jika tak ingin disebut hilang sama sekali. 

Orang lebih takut tidak bisa masuk mall, bepergian ke luar kota, melancong ke negeri tetangga atau sekadar ke jamban umum untuk bahira karena tidak bisa menunjukan bukti sudah divaksin. Esensi dan tujuan dari vaksin itu sendiri lenyap oleh ancaman demi ancaman. ASN yang tidak boleh bekerja jika tidak divaksin atau Guru dilarang mengajar jika tidak divaksin hanyalah sebagian dari 'ancaman' yang menyebabkan pemerintah kita akan terperosok ke lubang yang sama untuk kali kedua. 

(Kayla Untara, 19/08/21)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi