M. NATSIR, MUSIK DAN SENGITNYA PERMUSUHAN
*M. NATSIR, MUSIK DAN SENGITNYA PERMUSUHAN*
Oleh: Wildan Hasan
_*NatsirCornerCommunity*_
Salah satu sisi lain dari sosok Mohammad Natsir adalah beliau seorang penyuka musik. Seorang pemain biola yang mahir. Di waktu mudanya, Natsir belajar dan memainkan biola di waktu-waktu senggang.
Tapi Natsir bukan orang yang tenggelam di lautan musik. Tidak, ia tidak fanatik musik meskipun juga bukan pembenci musik. Natsir percaya musik dapat melembutkan jiwa dan menghaluskan perilaku. Tentu saja jenis musik-musik tertentu. Tidak semua jenis musik ia sukai. Pilihannya kepada biola menjelaskan itu. Sebagai Muslim yang taat tidak bisa dipercaya Natsir akan menyukai musik-musik yang merusak moral.
Semasa memimpin perguruan Pendidikan Islam (Pendis) kurun 1932-1942, Natsir mengajarkan pula musik kepada murid-muridnya. Sekolah menyediakan alat musik piano. Guru-Guru diminta mengarang lagu untuk diajarkan kepada para murid. Murid kelas tinggi diminta mengarang lagu untuk murid kelas di bawahnya.
Di Pendis, setiap tahun diselenggarakan malam "Ibu-Bapak", sebagai ajang murid memperlihatkan kebolehannya. Malam itu murid mempertontonkan sandiwara, musik, deklamasi, dan tari-tarian. Waktu itu, seni sandiwara Pendis merupakan sandiwara bermutu yang terkenal di kota Bandung. ( _Mohammad Natsir 70 Tahun,_ 1978 )
Musik adalah satu bagian saja dari sekian banyak materi ajar di Pendis. Pendidikan materi khusus agama adalah materi ajar wajib dan utama. Dengan Pendis Natsir bercita mencetak manusia yang seimbang. Seimbang kecerdasan otak dan iman kepada Allah dan Rasul. Seimbang ketajaman akal dan kemahiran tangan untuk bekerja. Manusia yang percaya kepada kekuatan sendiri dan tidak selalu bergantung kepada ijazah untuk makan gaji sebagai pegawai. Manusia seimbang ini diistilahkan Natsir, "Ummatan wasathan". ( _M. Natsir; Aba sebagai Cahaya Keluarga_, 2012 )
Menurut Natsir, "Ummatan wasathan" adalah ummat yang seimbang dunia dan akhirat. Ummat yang menjadi pelopor, perintis jalan bagi manusia lainnya, dan mengikuti tuntunan serta langkah-langkah Rasulullah.
Di usia kematangan Natsir sampai usia senjanya ia semakin jarang bahkan tak terdengar lagi memainkan biola kesayangannya. Bukan karena ia berpendapat bahwa musik haram, tetapi kesibukannya yang padat tidak memungkinkannya lagi untuk memetik biolanya itu. Musik bukan perkara utama baginya. Tidak mungkin yang tidak utama akan memalingkannya dari urusan ummat dan bangsa.
Dalam persoalan furu'iyah Natsir nampak tidak terlalu condong perhatian ke ranah itu. Persoalan furu'iyah "kurang" menarik minatnya. Hal itu nampak dari tulisan-tulisannya yang jarang sekali bicara hal itu. Tetapi bukan berarti membahas perkara furu' tidak penting. Sebagai Santri terkasih Tuan Hassan, Natsir memandang persoalan furu' tetap penting. Natsir bahkan menganggap pihak yang meremehkan perkara furu' tidak adil.
_"Jangan anggap sepi sama sekali",_ kata Natsir. Jangan lupa, tegasnya, _"mereka yang memperbincangkan pelbagai macam masalah itu, yang satu ketika nampaknya mungkin seperti kecil saja, tetapi pada hakikatnya mereka adalah pembongkar pokok asal kesesatan-kesesatan yang membawa kita jauh dari rahmat dan inayat Allah s.w.t. Hubungan antara khurafat dan taklid adalah sama eratnya dengan hubungan antara hasil kebudayaan yang gilang gemilang dengan ruh intiqod (semangat mengkaji dan meneliti)._ ( _Capita Selecta 1_, 2015 )
Menurut Natsir, jalan untuk membongkar jiwa taklid satu-satunya dengan memperlihatkan secara terbuka kekeliruan-kekeliruan khurafat dan bid'ah itu. Memperlihatkannya ini membutuhkan _munadzarah_ dan _munaqasyah_ yang sungguh-sungguh, menguras tenaga, kecakapan, keuletan serta kearifan yang sangat besar.
Berkait dengan hal itu, hari-hari ini banyak diperbincangkan video viral di media sosial yang memperlihatkan sekelompok Santri menutup telinga agar tidak mendengar suara musik. Peristiwa ini memantik kecaman dan hinaan dari kalangan Islampobia. Karena pada hakikatnya bukan soal hukum musik yang mereka persoalkan tetapi momentum yang mereka dapatkan untuk lagi-lagi menghina Islam dan merendahkan penganutnya.
Meski Natsir tidak mengharamkan musik. Karena pula urusannya bukan tentang hukum musik. Dipastikan ia akan bereaksi tegas terhadap perilaku para pembenci Islam itu. Tak diragukan kepemimpinan dan pembelaannya terhadap urusan umat Islam adalah jiwa dan hidupnya. Ia tegaskan; _"Kita semua telah sama-sama melihat bagaimana akibatnya kebudayaan yang terlepas dari pimpinan dan jiwa Tauhid yang suci bersih, serta akhlak dan ibadah yang sehat. Semua ini, ada hubungannya antara satu sama lain bersangkut paut"._ Jadi, melarutkan diri berdebat soal hukum musik di saat moncong senapan musuh di depan muka kita yang membahayakan jiwa Tauhid dan izzah Islam, tidak relevan dan kurang bijaksana.
__________
Komentar
Posting Komentar