Pandiran Warung: "Aku..."
Pandiran Warung: "Aku..."
Seringkali ketika _abah_ masih lebih sehat dari sekarang, bertahun-tahun lalu, _ulun_ sering ngobrol dengan _sidin_ soal cerita perjuangan masa revolusi. Meski beliau sendiri bukan pelaku sejarah, namun di masa muda beliau pernah bertemu dengan banyak tokoh pejuang yang masih hidup ketika itu. Dari tokoh-tokoh pelaku sejarah itulah beliau mendapatkan cerita dan informasi terkait sepak terjang para pejuang di masa pergerakan.
Kini usia _abah_ tujuh puluh tujuh tahun. Tubuhnya sudah ringkih dan hampir tak berdaya. Kegagahan beliau memudar dimakan usia. Bicara pun saat ini lebih sering terdengar hanya macam gumam karena mungkin rusak pita suara. Sudah lama rasanya tidak lagi mendengar beliau bercerita nostalgia ketika masih aktif sebagai orang yang memegang jabatan di banyak organisasi kepemudaan. Jua soal bagaimana cerita-cerita masa-masa pergerakan revolusi ALRI Divisi IV. Buku *Lintas Revolusi Fisik Kalimantan Selatan* adalah satu karya yang beliau wariskan dari hasil penelitian bersama dengan beberapa rekan beliau yang sebagiannya sudah lebih mendahului berpulang. _Ulun_ bersyukur sekali sempat mengenal sebagian besar kawan-kawan _salihting_ abah tersebut. Banyak hal _ulun_ dapat dari para _tutuha_ di Kandangan ini.
Dari sekian percakapan itu, ada satu cerita yang bagi _ulun_ menarik dan ingat sampai sekarang. Ternyata situasi politik beserta dinamikanya yang kadang licik juga diidap oleh sebagian para pelaku sejarah ini. Istilah kawan makan teman sudah sejak lama ada dalam pergaulan jika itu untuk urusan mencari panggung di depan banyak orang. Malah terkadang, demi alasan yang sama rela menjatuhkan teman sendiri.
Kata abah; _"Wayah lagi kakawanan barataan masih ada, biasanya nang muncul kalimat 'KITA'. Imbah sapalih matian, baubah jadi 'KAMI'. Rahat pas tatinggal inya sasaurangan, lalu ai baubah bunyi jadi 'AKU!'..."_
Lama sebelum jelas memahami _pandiran_ abah waktu itu barulah mengerti bahwa ternyata sikap dan sifat yang abah sebutkan adalah sifat dan sikap sebagian pelaku sejarah yang ingin menguasai sendiri panggung sandiwara. Mereka yang haus dengan pujian, hormat dan jabatan. Ingin dianggap sebagai pelakon utama dalam sebuah pentas dunia.
Pada mulanya memang berbunyi 'KITA' karena jelas masih ada orang lain atau teman yang jauh lebih berperan ketimbang ia. Untuk diakui sebagai bagian dari para pelakon, maka tersebutlah kata 'KITA!'. Begitu sebagian pemain utama - yang benar-benar pemain utama - sudah tidak ada lagi tetapi masih ada rekan lain yang mengetahui sebagian besar skenario dan episode sesungguhnya, maka penyebutan itu menjadi 'KAMI'. Orang-orang di luar pentas jelas tak mungkin lagi tahu dan bisa mengklarifikasi apakah Ia benar-benar bagian dari "Kami" yang disebutkan atau tidak. Seiring waktu, semua pemain pentas _matian tunggal ikungan,_ maka ia akan mengatakan sebutan pamungkas; 'AKU'-lah pemain utama kala itu.
Sifat ke-aku-an ini ternyata macam penyakit kronis dan mampu menjangkiti siapa saja. Bisa menular bahkan. Lebih sering menjangkiti para orang yang boleh dikata tua. Entah karena alasan terbius nostalgia romansa masalalu atau memang sifat buruk yang melekat sejak lama dalam kehidupannya. Dalam bahasa sederhana yang biasa terdengar di kalangan pa-warung-an adalah; _"Handak minta tangguh!"_
Sindrom _handak minta tangguh_ inilah yang membuat ego seseorang berada di atas logika dan adabnya. _"Jaka kada aku..."_; _"Itu tu pa aku samalam tutu..."_ _"Aku tahulah...",_ dan kalimat-kalimat serupa lain macam itu jadi sindrom akut yang bisa diderita siapa saja. Lebih-lebih ucapan para _urang tuha_ kepada para generasi di bawahnya yang biasanya mereka anggap kurang pengalaman, _masih anum_ dan tidak mempunyai pengetahuan sebanyak yang ia miliki.
Celakanya, itu tadi. Sindrom akut yang bisa menjangkiti siapa saja. Boleh jadi kebanyakannya _urang tuha_ yang ada di lingkungan kita. Satu pergaulan. Satu organisasi. Satu lembaga. Tapi jangan heran, kita pun punya potensi yang sama kelak. Entah esok atau beberapa tahun lagi. Ketika kita sudah menjadi orang yang di anggap _urang tuha_ yang tak memiliki kesempatan lagi untuk memberikan sumbangsih tenaga dan pikiran. Demi menjaga eksistensi dan mempertahankan hegemoni, maka jalan satu-satunya berucap; _"jaka kada aku bahari..."_
_(Kayla Untara, 20/09)_
Komentar
Posting Komentar