Pandiran Warung: ”Bajual karamput…"
Pandiran Warung: ”Bajual karamput…"
Kiranya di Barabai ini memang penuh sensasi yang _rami_ dijadikan _kambang pandiran_ di warung atau sekadar duduk di Gardu. Setelah wacana diberlakukannya Portal Parkir selama 24 jam sempat viral meski skala lokal, dialnjutkan dengan munculnya edaran Raperda terkait pemungutan pajak pada beberapa bidang usaha. Yang paling menonjol adalah soal adanya pungutan 5% ke pengusaha kuliner (restoran).
Memang jika sampai pada 5% semata, masih wajar dan _kada pacang batumburan._ Tetapi, yang lalu membuat gaduh di media sosial karena adanya redaksi lanjutan; *_Tidak termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang omzetnya sampai dengan Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) perbulan._* Artinya bagi warung makan yang beromzet di atas empat juta perbulan dikategorikan sebagai objek pajak sebesar 5% tersebut.
_Tumburlah dunia maya._ Meski masih berupa rancangan, namun adanya wacana pengenaan pajak bagi pelaku usaha restoran _(Pelayanan yang disediakan Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain)_ yang beromzet di atas empat juta ini mau tak mau melahirkan protes dan setidaknya _garunuman._ Ingat, dalam Raperda yang beredar itu redaksinya menyebutkan OMZET, bukan PROFIT. Lau menyebutkan angka empat juta sebagai ambang batas bawah wajib pajaknya. Dalam arti mereka yang ber-OMZET lima juta dan seterusnya merupakan objek pajak yang wajib dipungut.
_Ulun_ masih ingat beberapa tahun lalu pada saat masih menjalani profesi sampingan sebagai Paman Es Coklat. Waktu itu dalam catatan keuangan kami rata-rata perhari mampu menjual 100-200 cup es coklat dengan harga 10 ribu sampai 12 ribu per-cupnya. Rekayasa matematisnya 100 x 10.000 = Rp. 1.000.000,- alias mampu mendapatkan sejuta perharinya. Jika dalam waktu sebulan (30 hari) maka tinggal dikalikan saja. Tiga puluh juta. Iya, tiga puluh juta omzet perbulan. Jangan bayangkan saat itu _ulun_ punya kafe atau tempat yang bisa nongkrong macam sekarang. _Ulun_ jualan cuma pakai gerobak. Dan itu sekadar jualan es coklat. Bukan jualan pakai menu macam Kalijo atau misal Café Janji Jiwa.
Karena redaksi nya ditulis OMZET, jelas orang akan bertanya: _”Bajual apa nang omzetnya dibawah 4 juta sabulan?”_ Lha, _ulun_ yang sekadar jual es blender saja bisa puluhan juta omzetnya apalah lagi jenis warung makan. Kalau mau tanya, coba tanya Kang Bubur yang sering keliling komplek pakai gerobak atau _paman pintul_ yang senang stanby di depan masjid saban jumatan. Berapa OMZET jualan mereka? Jika mereka bilang omzet perbulan mereka di bawah empat juta, bawa itu gerobak _tajunakan ka susungaian!_
Orang jual keripik singkong saja, jika ditanya omzet perbulan sudah jelas akan lebih dari empat juta. Warung Amat Tiu di muka gaang rumah _ulun_ ini saja _ulun_ yakin minimal omzet perharinya di atas 200 ribu. Lalu jenis jualan kuliner apa yang “aman” dari pajak jika dalam raperda itu disebutkan ambang batas bawahnya senilai itu? Ingat, yang kita bicarakan ini OMZET, bukan PROFIT.
Ada yang tau? _Ulun habis pikir_ mencari jenis usaha kuliner yang masuk dalam kategori “aman” dari wajib pajak.
Oh, iya. Mungkin ada jenis jualan yang bebas pajak. Jualan yang sering hadir pada musim pilkada. _Bajual karamput!_
_(Kayla Untara, 11/09)_
Komentar
Posting Komentar