Pandiran Warung: "Tik, ampunku!"
Pandiran Warung: "Tik, ampunku!"
Masih ingat? Dulu, masa kecil hingga remaja ada ungkapan di antara kawan-kawan sebagai penanda kepemilikan sesuatu yang didapatkan secara tiba-tiba. Kalimat itu bunyinya; _"Tik, ampunku!"_ Contoh misal, lagi jalan bersama menemukan uang tercecer di jalan maka jika ada salah seorang dari kami (atau kita?) acapakali mengucapkan mantra ini. _"Tik, ampunku!"_ Maka siapapun yang pertama mengucapkan mantra itu secara formal dan legal menurut hukum _kakawanan_ sebagai pemilik barang yang ia tunjuk atau lihat pada saat itu juga.
Jangan membayangkan pada masa dulu memahami prinsip halal haram memiliki benda yang jelas bukan miliknya, kalimat sakti itu cukup sebagai pengesahan resmi kepemilikan. _"Tik, ampunku!"_ Jika sudah begitu, meski jelas masih di tangan orang pun seakan sudah milik sendiri. Mantra ini memang luar biasa _apuahnya_ terutama di masa kecil dulu. Masa di mana keinginan memiliki sebagian besarnya hanya sekadar "rasa" saja. Dalam arti, semua sebatas pada perasaan seakan memiliki. Bukan benar-benar memiliki.
Jangan-jangan prinsip yang sama juga dipakai oleh mereka. Bedanya mereka betul-betul akan berusaha memiliki meski harus dengan berbagai cara. Baik legal formal atau tidak. Ya, mereka para pengusaha dan mafia yang berkeinginan _manabuk Meratus_ dan mengambil segala isinya.
Memang jika sekadar mengambil isi dalam bumi semata maka tak apa, tetapi bukankah tindakan mereka itu tidak hanya akan merampas kekayaan dan isi bumi di Meratus. Namun juga dengan aksi itu hakikatnya mereka telah merobek kemapanan dan kebersahajaan banyak orang. Bermakna bahwa mereka jua memperkosa keberadaan hutan-hutan adat dan tanah banyu leluhur. Mereka telah merenggut sebuah kenyataan bahwa banyak kehidupan bergantung pada kekuatan alam di Meratus.
_"Tik, ampunku!,"_ kata mereka. Lalu apakah mantra itu benar-benar akan membuat hutan yang tersisa di Meratus ini diakui menjadi milik mereka? Milik para cukong dan pengusaha asing demi mengenyangkan perut dan nafsu belaka? Lantas merasa berhak untuk mengeruk segala isinya? Lalu, apakah kita hanya menjadi penonton sahaja, menyaksikan Meratus dihancurkan buldozer, dikeruk excavator dan ditebas mesin chainsaw?
_"Tik, ampunku!" "Tik, ampun kami!"_ Tanah ini adalah milik kami! Tanah yang kami jaga dengan airmata! Hutan ini adalah hutan kami! Hutan yang kami pelihara segenap jiwa! Sungai ini adalah sungai kami! Sungai yang jadi nafas kehidupan selama ini!
_"Tik, ampunku!"_ Mantra ini tidak akan lagi sekadar rasa karena jika hutan kami kalian perkosa, kami akan kirim parang maya. Jika sungai kalian cemari, maka tunggulah datangnya angkara murka dari kami.
_(Kayla Untara, 16/09)_
Komentar
Posting Komentar