Pandiran Warung; ”Urang dalam…”

Pandiran Warung; ”Urang dalam…”

Pasca media sosial ramai dengan viralnya video “Aku adingnya Basit!” mau tak mau akhirnya jua jadi _pamandiran_ warga sampai ke warung-warung. Lalu muncullah video-video serupa yang memparodikan video viral itu dengan gaya khas urang banua. Muncul stiker dan meme yang jua mengangkat cerita yang sama. Adingnya Basit, sepupunya Basit, Acilnya Basit, sampai malah ada yang membuat anekdot jembatan itu dinamakan jembatan BASIT karena penampakannya dari tali sling baja jembatan yang terlihat macam _Bajarat Sisit._

Lalu siapa si Basit ini?

Nampaknya fenomena Basit ini seakan menggambarkan adegan kehidupan sehari-hari kita. Budaya dan sosial kultural yang melekat di kebanyakan urang banua. Ya, siapa Basit? Basit itu, ya, kita. Cerminan perilaku kita. Wajah kita. Bagaimana yang seringkali kita lakukan dalam berbagai hal. Bagaimana kekuatan _urang dalam_ acapkali jadi persoalan yang semakin mempersempit rasa keadilan.

Urusan faktor _urang dalam_ tidak semata soal pergaulan sosial dan urusan birokrasi formal namun juga menyentuh persoalan yang bersisian dengan perilaku beragama kita. Coba, kenapa ada istilah yang sering kita dengar _urang dalam pagar?_ Bukankah itu mengesankan terbangunnya sebuah sekat dan pembatas antara orang yang “di dalam” dan “di luar pagar”.  Ada semacam kesenjangan penyetaraan disebabkan urusan dalam dan luar ini. Bisa dilihat dalam soal pelayanan dan penghormatan. Jika sduah begitu, akan ada yang namanya kebanggaan kelompok yang baik secara langsung atau tidak mengatakan bahwa mereka yang “dalam pagar” punya keistimewaan  tinimbang mereka yang di luar pagar.

Bisa saja statement di atas sekadar pendapat dan mungkin lebih pada tudingan. Namun yang jelas fenomena “Aku adingnya Basit” ini hakikatnya menggambarkan realita bahwa inilah kita. Perilaku yang memanfaatkan _urang dalam_ ini sudah menjadi gejala akut sosial yang kadung kita maklumi. Bagaimana segala urusan birokrasi dan administrasi formal bisa lancar dengan mengandalkan _urang dalam._ Kita bisa saksikan betapa mudahnya mengurus sesuatu dikarenakan adanya _urang dalam._ Bisa mendapatkan pekerjaan disebabkan _urang dalam_ dan masih banyak lagi. Terjadi di segala koneksi sosial kita selama ini. 

Konon kabarnya, muncul video klarifikasi dan sekaligus permohonan maaf si Basit disebabkan viralnya video ini. Bukan tanpa alasan, jembatan yang jelas masih tertutup untuk umum dengan mudahnya dibuka pembatasnya hanya karena mengatakan “Aku adingnya Basit!”. Macam _password_  yang bisa membuka ketatnya sebuah aturan. Sama macam rombongan pengendara Moge yang sebelumnya juga bisa lewat di jembatan itu, karena alasan dan password yang kurang lebih sama. _Urang dalam!_

Mestinya si Basit bukannya diciduk lantas diminta klarifikasi, tapi diberi penghargaan atau dijadikan Duta apa, misal. Atau sekalian saja jembatan itu disematkan namanya. Jembatan Basit. Bukankah dikarenakan fenomena “Aku adingnya Basit”-lah akhirnya menyentak kesadaran sekaligus menampar kita semua bahwa password yang serupa acapkali juga kita lakukan di banyak kesempatan selama kita merasa punya koneksi bernama _urang dalam._

_(Kayla Untara, 23/09)_

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi