Belajar Hukum Perkawian dari Ibu Ita

Belajar Hukum Perkawian dari  Ibu Ita

Catatan Amam Fakhrur

Nama lengkapnya adalah Dr. Ita Musarrafa, M.Ag. Beliau ketua Program Pendidikan  Hukum Keluarga UIN Sunan Ampel Surabaya. Saya mengenalnya saat bersama menjadi nara sumber dalam suatu webinar sekitar satu setengah bulan lalu.  Webinar yang bertopik  “Masih Relevankah UU Perkawinan  No.1 Tahun 1974” yang  diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Jawa Timur. Selain saya dan ibu Ita, ada juga nara sumber lain, namanya Dr. Moh. Lutfi Ridlo. Tak lama setelah itu saya berjumpa lagi dengannya, namun di forum webinar juga. Jadi sampai hari ini saya belum pernah bertemu secara fisik dengannya .

Dalam webinar tentang UU Perkawinan itu, sebelum Ibu Ita menyampaikan pikiran-pikirannya, saya terlebih dahulu dipersilahkan oleh moderator untuk berbicara. Saya mengawali dengan menyampaikan norma perkawinan sebelum Indonesia merdeka dan setelah merdeka. Kemudian saya melanjutkan menyampaikan tentang  cakupan isi materi undang-undang tersebut. Selanjutnya saya mengurai  tentang isu materi yang kemungkinan akan terus diwacanakan untuk dilakukan perubahan dan didiskusikan. Isu itu adalah terkait hak asasi manusia, kesetaraan hak perempuan dan laki-laki, perlindungan hak anak dan soal  hubungan antara ajaran agama dengan  hukum positif.

Saya mengurai, bahwa akan selalu ada diskusi dan wacana oleh sebagian masyarakat mengenai dimungkinkannya pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang laki-laki. Atau pernikahan antara seorang wanita dengan seorang wanita. Pernikahan tidak harus terbatas antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan. Materi peraturan semacam ini ada yang menilai  sebagai pelanggaran HAM. Dengan dalil penegakan HAM, akan tetap ada kelompok yang berkehendak perkawinan sejenis agar diberi ruang dalam UU Perkawinan. Saya berpendapat, pernikahan yang tepat hanyalah mungkin  terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Pernikahan adalah termasuk ibadah, agama harus juga dijadikan rujukan. Ketentuan suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga akan ada yang menilai   bahwa  tidak ada kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Isteri seharusnya dimungkinkan menjadi kepala rumah tangga. Soal ketentuan terkait penjagaan kepentingan juga akan sealu dinamis,termasuk batas minimal usia perkawinan. Dahulu batas minimal usia menikaah bagi perempuan  adalah 16 tahun dan bagi laki-laki adalah 19 tahun. Sekarang telah berubah baik perempuan maupun laki-laki, batas minimal usia menikah adalah 19 tahun. Sekali lagi ini dinamis, suatu ketika dapat berubah lagi untuk memberikan perlindungan bagi anak. 

Demikian pula  ketika seeorang  telah menikah secara agama dan tidak dicatatkan apakah sah atau tidak, dan bagaimana konsekwensi hukum atas pernikahan seperti itu dalam konteks UU Perkawinan juga akan dinamis dan menjadi bahan “perdebatan”. Sekarang ini dalam ketentuan UU Perkawinan, pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Namun dalam ayat yang lain dinyatakan, tiap-tiap  pernikahan dicatat menurut pertaturan perundang-undangan yang berlaku. Dua ketentuan ini apakah alternatif, suatu perkawinan tanpa dicatatkan adalah tetap sah, atau fakultatif, kedua ketentuan itu tak dapat dipisahkan. Artinya setiap pernikahan harus menurut tata cara agama dan harus dicatat sesuai UU. 

Berbeda dengan yang saya sampaikan. Ibu  Ita menyampaikan mengenai teks peraturan atau kompilasi yang kini tengah berlaku, ketika dihubungkan dengan kemajuan teknologi informasi. Ia mengawali dengan sifat dunia maya yaitu  merupakan simulasi dari dunia nyata, memudahkan interaksi, buatan manusia, dapat hadir tanpa terkendala ruang dan waktu dan adanya terhubung oleh jaringan internet. 

Perkembangan teknologi informasi sekarang ini adalah telah berada pada era Industri 4.0, ditandai dengan teknologi sensor, interkoneksi dan analisis data. Era sebelumnya adalah di tahun 1784 (industry 1.0), ditandai dengan ditemukannya mesin uap dan kereta api, kemudian di tahun 1870 (Industri 2.0 ), ditandai  ditemukannya listrik, alat komunikasi, kimia dan minyak, kemudian di tahun 1969 (Industri 3.0) ditemukannya ditandai ditemukannya komputer, internet dan telepon genggam.

Menurutnya, di era seperti ini terdapat sejumlah problematika hukum keluarga Islam. Perlu dipertanyakan masihkah relevan materi-materi tertentu dari  peraturan yang ada. Misalnya masihkah saksi dalam  suatu pernikahan pernikahan harus menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Era sekarang lalu lintas komunikasi dan makna kehadiran tidaklah harus hadir secara fisik di suatu tempat, tanpa hilangnnya akurasi kehadirannya. Perlunya penambahan ketentuan bahwa kehadiran,  kesaksian dan penandatanganan akad nikah secara digital dapat dilakukan melalui sistem elektronik yang handal dan dapat dipertanggungjawabkan. Demikian pula mengenai penyerahan mahar yang mengharuskan diserahkan secara tunai. Sekarang ini sistem pembayaran sudah berkembang sedemikian rupa. Harus dibuka ruang pembayaran mahar tidak harus tunai, akan tetapi dapat dilakukan pembayaran secara elektronik, misalnya melalui uang elektronik GoPay dan semacamnya.

Masih banyak lagi yang disorot Ibu Ita  sampai soal memaknai kategori harta bersama.  dan nusyuz . Wujud harta bersama sekarang sudah sangat maju, dapat berupa saham dan uang elektronik. Nusyuz menurut fiqh adalah keluarnya  kewajiban yang harus dilaksanakan atau melakukan perbuatan menyimpang oleh salah satu pasangan. Seharusnya dapat juga dimaknai nusyuz, bila salah satu pasangan melakukan perbuatan perselingkuhan “zina”, melalui media handphone tanpa harus berselingkuh melalui kontak secara fisik. Secara keseluruhan menurutnya ketentuan-ketentuan yang secara redaksional belum terhubung dengan era sekarang yang serba elekronik perlu penyempurnaan. 

Agaknya Ibu Ita ingin menggugah peserta webinar, bahwa dunia maya adalah realitas yang dihadapi manusia, tak terkecuali umat Islam. Perlu adanya pemahaman dan ketentuan baru untuk merespon perkembangan teknologi informasi yang senayatanya telah mengubah pola prilaku manusia di berbagai bidang kehidupan.

Lontaran-lontaran pikiran dari beliau  meskipun bukanlah hal baru, namun beliau telah memberikan rumusan secara jelas dan  khusus  mengenai  materi peraturan perundang-undangan  perkawinan saat dihubungan dengan realitas kemajuan teknologi informasi.  Peraturan yang ada adalah hasil ijtihad (menemukan hukum, peraturan), pada era dibuatnya. Suatu keharusan untuk melakukan tafsir dan kajian ulang terhadap teks-teks yang telah ada dan dihubungkan dengan realitas dunia maya. Menurut saya hal ini adalah sangat perlu agar hukum Islam atau suatu peraturan yang telah dibuat tidak kehilangan relevansi. Hukum yang disusun haruslah merupakan cerminan logis dari situasi dan kondisi di mana ia tumbuh dan berkembang. 

Kalau di dalam suatu peraturan perundang-undangan  sebagai hasil transformasi hukum Islam, lantas apakah tepat teks-teks yang dinukil dari hukum Islam tersebut dilakukan perubahan. Saya kira mengenai hal ini, seharusnya malah menjadi keniscayaan, apalagi hanya menyangkut hal yang furu’, cabang dan tidak pokok. Agar hukum Islam tetap aktual (hidup) di tengah-tengah masyarakat. Dunia maya telah merubah prilaku manusia, termasuk prilaku dalam beragama. 

Saya teringat kaidah fiqh “Perubahan hukum Islam sebab perubahan tempat dan waktu” (Taghayyur al-Ahkam , bi Taghayyur al-Zaman).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi