SIAPA WAKIL UMAT ISLAM DI PILPRES 2024 ?

 
SIAPA WAKIL UMAT ISLAM DI PILPRES  2024 ?
 
Ainur Rafiq Sophiaan
(Pengajar Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik)

 
Pilpres Indonesia  secara langsung kelima kalinya direncanakan 28 Februari 2024 mendatang. Banyak pihak mulai pasang kuda-kuda. That’s all politics.

Semua memiliki kepentingan dan agenda tersembunyi. Hidup dan kehidupan memang tak terlepas dari kepentingan (interest) yang dalam bahasa agama disebut hawa nafsu.Terlebih dalam dunia politik tak sejengkal langkah pun bebas dari kepentingan. Maka, seperti menggantang asap kalau ada orang masuk wilayah politik dengan mengklaim ingin berjuang secara ikhlas ! 

Pada  sisi lain kita mencermati berbagai pemberitaan sangat gencar berbagai survei elektabilitas para kandidat capres. Hal ini seiring dengan mulai menggeliatnya para pengincar  kursi RI 1  baik secara terang-terangan maupun malu-malu harimau – bukan kucing. 

Ada yang bernafsu memasang  banyak baliho di berbagai daerah sekadar tampil foto raksasa. Tak peduli rakyat masih berkonsentrasi keluar dari pandemi. Kerja pencitraan (image building) tak mengenal perasaan dan penderitaan rakyat.

Para pegiat lembaga survei politik berlomba menampilkan hasil jajag pendapat (polling) secara berkala. Mereka sebagian melakukan secara sukarela, sebagian lagi tanpa menyebutkan dibiayai parpol dan tokoh tertentu. 

Dari semua survei itu  keluar  5 besar, yaitu Prabowo Subianto, Anies Bawedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan Sandiaga Uno. Kalau mau dikerucutkan tiga besar menjadi Prabowo, Anies, dan Ganjar dengan peringkat bervariasi. 

Sedangkan nama Puan Maharani yang digadang-gadang ibundanya Megawati Soekarnoputri terus jeblog dalam banyak survei. Walaupun Ketua DPR itu telah memasang banyak baliho  toh angka elektabilitasnya  tak mencapai 2 persen.

Fenomena ini telah melahirkan kompetisi internal elite PDIP antara pendukung Puan dan pendukung Ganjar. Tak kurang Ketua DPD PDIP Jawa Tengah Bambang Wuryanto sampai hati menyebut barisan Ganjar dengan ‘Barisan Celeng’  
 
Persaingan Politik Islam dan Nasionalis
             
Herberth Feith bersama Lance Castle membagi politik Indonesia dalam 5 aliran ideologi dan budaya, yaitu Islam, Nasionalisme, Komunisme, Sosialisme Demokratis, dan Tradisionalisme Jawa (Indonesian Political Thinking 1945-1965, Ithaca ; Cornell University Press, 1970). _ Namun, kalau kita cermati semenjak Orde Baru yang paling mengemuka adalah dua aliran besar, yakni Islam dan Nasionalisme.

Tentu pemilahan demikian tidaklah absolut karena realitasnya pemikiran orang sangat variatif dan saling beririsan.
             
Dalam konteks wacana politik Indonesia baik yang berseliweran di media sosial maupun kehidupan politik keseharian selalu memunculkan narasi dari dua aliran itu. 

Aliran Islam bisa disebut jauh lebih otentik daripada aliran Nasionalisme karena dalam aliran nasionalisme ini sejatinya  bersembunyi  penganut aliran Komunisme, Tradisionalisme  Jawa, dan Sosialisme Demokratis. Munculnya Ribka Tjiptaning dan Budiman Sujatmiko di jajaran elite PDIP menjadi contoh telak betapa ideologi Komunisme dan Sosialisme Demokrasi  bersemayam sangat nyaman di partai banteng itu.
            
Sedangkan aliran Islam jauh lebih original dan otentik dalam pemikiran, pergerakan, dan pergaulan. Para penganut aliran ini hanyalah berbeda dalam gaya, penampilan, dan langkah dalam merespon setiap masalah keagamaan, kebangsaan, dan kenegaraan. Mereka  dapat disebut  di garis lurus antara yang keras, moderat, dan  diam. Antara yang tidak sabar sampai yang terlalu sabar. Antara yang menggunakan simbol-simbol formal sampai yang lebih memilih isu-isu substansial. Disayangkan, keragaman demikian kadang memancing perdebatan yang tak berujung pangkal.

Sudah begitu kelompok Islam paling sering mendapat hujatan dalam bentuk narasi tendensius dan insinuatif, seperti radikal, intoleran, anti-NKRI, anti-Pancasila, bahkan teroris. Padahal sejarah Indonesia berimpit erat dan beririsan kuat dengan sejarah Islam Indonesia. 

Anehnya sebagian kalangan akademisi menyebutnya sebagai pengikut politik aliran, politik identitas, politik SARA, dan seterusnya.

Padahal, kalau mau jujur sejatinya kelompok nasionalis sangat menonjolkan politik identitas dan aliran. Bahkan, mereka lebih canggih membungkusnya untuk menutupi  perilaku jahat berkonspirasi dengan konglomerat hitam, berkompromi dengan koruptor, dan pemberangusan kebebasan berekspresi yang kini melahirkan oligarki politik dan ekonomi. Sedangkan tokoh2 muslim sangat kritis dengan praktik penyalahgunaan kekuasaan ini. 

Pilkada DKI 2017  yang dimenangkan Anies Baswedan dan didahului oleh Aksi Bela Islam 2016  dengan 7 juta umat Islam sering dinukil sebagai menguatnya politik identitas atau  politik aliran. 

Faktanya  dalam penelitian Saiful Mujani Research Center membuktikan, 96 persen penilih Kristen/Katolik memilih pasangan Ahok-Djarot, Anies-Sandi (0 persen), Agus-Silvy (0 persen), dan Tidak Tahu (4 persen). Demikian juga pemilih Hindu/Budha/Konghucu memilih Ahok-Djarot (51 persen), Anies-Sandi (14 persen), Agus-Silvy (0 persen), dan Tidak Tahu (35 persen). Kompas, 21/10.2020.

Sebaliknya, suara umat Islam jauh lebih terfragmentasi dalam pilihan politiknya. Semakin jelas kelompok politik mana yang mengusung politik SARA atau identitas !

Anies atau Prabowo

Banyak pihak menilai Pilpres 2024 mendatang tak akan lari jauh dari mosaik ideologis  Pilpres 2019. Ketika itu  pendukung  Nasionalisme lebih dekat kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf yang memperoleh  55,5 persen suara dan  pendukung Islam  ke pasangan Prabowo-Sandi dengan 44,5 persen suara. Hasil demikian telah melahirkan koalisi pemerintahan yang didukung  6 parpol (rencana menyusul PAN bila dapat kursi menteri ?) dan di luar tersisa PKS dan Demokrat. 
             
Sejak pemerintahan Jokowi Jilid 1 hingga Jilid 2 sekarang ini banyak peneliti dan rakyat merasakan kebebasan ekspresi sangat tereduksi. Freedom House melansir, skor kebebasan menurun berdasarkan indikator hak politik dan kebebasan sipil dari angka 64 (2014) menjadi 61 (2020). Lembaga ini juga menemukan dalam surveinya, 69,6 persen warga takut menyatakan pendapat, 73,8 persen makin sulit berdemonstrasi, 57,7 persen aparat makin semena-mena, dan hanya 18 persen yang menilai Indonesia makin demokratis (katadata.co.id).

Fenomema demikian jelas sangat dirasakan oleh umat Islam yang ingin mengekspresikan aspirasi politiknya secara legal dan konstitusional. Selama pemerintahan Jokowi  banyak tokoh-tokoh Islam yang dipersekusi dan dikriminalisasi dengan tuduhan yang sumir dan absurd.

Sebaliknya, para pendukung Jokowi dan buzzer-nya yang dibiayai negara Rp 1,29 trilyun itu  kalau ada persoalan hukum akan masuk peti es. Hatta, tulisan mural bernada kritik pun dihapus aparat. Hal ini melahirkan apa yang disebut Alberto J. Olvera sebagai elusive democracy, yaitu demokrasi dalam mimpi akibat menurunnya kualitas demokrasi (2010). Tak salah bila sampai muncul ungkapan ; Soekarno membubarkan Masyumi, Soeharto membubarkan PKI, dan Jokowi membubarkan HTI dan FPI. 
             
Masuknya Prabowo ke kabinet juga sama sekali tak menolong. Kini muncul pertanyaan, siapakah yang bakal mewakili aspirasi umat Islam di Pilpres 2024 ? Kubu nasionalis (PDIP)  masih galau karena ingin mendorong Puan apa daya  Ganjar yang menantang. Sementara mereka juga masih belum bisa menerima figur Prabowo akibat masih tebalnya  residu politik 2019.  

Keharusan aturan perundangan  tentang Presidential Threshold 20 persen  memang menutup banyak kandidat. Bukan tidak mungkin hanya memunculkan tiga pasangan atau malah dua pasangan lagi.
Apa hendak dikata dalam istilah Robert A.Dahl, demokrasi mensyaratkan  konstestasi dan partisipasi. 

Sejauh ini para tokoh Islam tampaknya lebih cenderung ke Anies dan mulai mendorongnya *running presidency*. Sayangnya, pada 2022  dia harus mengakhiri jabatan Gubernur DKI Jakarta, sementara pilkada baru digelar 2024. Di sela itu dia akan kehilangan panggung politik formal. 

Menurut Gadi Wolfsfeld (2011), ketika penguasa kehilangan orotitas politiknya, maka dia juga kehilangan kontrol atas pemberitaan. Panggung politiknya tidak akan sedahsyat saat memegang kendali pemerintahan. Posisi Anies yang tak berpartai juga mempersulit daya tawar dalam urusan kendaraan politiknya.

Umat Islam memang tak banyak pilihan. Sebagian akibat kekurangan sumber daya yang mencukupi dalam kontestasi berbiaya tinggi. Apakah Prabowo akan berpasangan dengan Anies atau Anies secara mengejutkan akan menemukan kendaraan yang cukup dan pasangan  yang pas ? 

Hari-hari ke depan merupakan momentum yang tepat untuk mengkalkulasi sambil mengkapitalisasi semua modal politik umat yang ada, sementara  kelompok nasionalis  masih belum menemukan pemimpin baru. 

Yang penting apirasi Islam dan umat Islam jangan sampai termarjinalisai dan terdegradasi kembali. Dan itu sangat dipengaruhi siapa RI 1 nanti. Selamat berjuang !(Sudono Syueb)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi