Memiliki Motor “Syari’ah”

Memiliki Motor “Syari’ah”

Catatan : Amam Fakhrur

Tentu saja dengan judul di atas saya  tidak bermaksud  menggambarkan bagaimana proses saat saya  memiliki sepeda motor yang berbahan sesuai syari’ah. Motor yang halal seperti kehalalan suatu makanan. Mesin, karburator, atau joknya halal.  Akan tetapi saya ingin menggambarkan bagaimana saat saya  mendapatkannya dengan transaksi yang sesuai syari’ah. Makanya  kata syari’ah pada judul saya kasih tanda kutip.

Keluarga inti saya berjumlah lima orang. Terdiri dari saya, isteri dan tiga orang anak. 

Saya dan isteri bekerja di instansi pemerintah yang berbeda. Dua anak saya, yang nomor satu dan dua  telah bekerja di perusahaan swasta, Anak yang bungsu, Rudi  barusan lulus SMA dan akan masuk kulyah  di suatu perguruan tinggi. Untuk menunjang mobilitas sehari-hari, saya, isteri dan dua anak saya menggunakan sepeda motor. Adapun anak yang nomor tiga, selama ini  berangkat dan pulang sekolah SMA naik angkot. 

Sekarang Rudi  telah memasuki perguruan tinggi. Tidak efektif kalau berangkat dan pulang kampus naik angkot. 
 “ Pak, saya pengen memliki sepeda motor, untuk kulyah”, begitu sambat Rudi kepada saya. Keinginan Rudi adalah sesuatu yang wajar. Secara sepontan saya mengaminkan keinginannya. Bisa berjam-jam kalau pergi dan pulang kampus naik angkot. Harus oper sampai dua kali.

Di rumah telah ada empat sepeda motor. Itu lazim, bukan aneh untuk kebutuhan keluarga era ini. Dua motor  saya beli secara kontan  dan yang duanya lagi saya kredit melalui lembaga keuangan konvensional. 

Untuk memenuhi keinginan Rudi, saya ingin mendapatkannya bukan dengan cara membayar kontan atau kredit secara konvensional. Tapi dengan cara kredit (mencicil) melaui bank atau leasing syari’ah. 

Adanya keinginan ini,  karena merasa sebagai muslim, terikat dengan norma syari;ah. Berusaha agar setiap transaksi yang saya lakukan adalah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah. Artinya transaksi yang halal, tiada riba. Syari’ah itu ya ketentuan hukum dari Allah SWT. 

Juga kepincut iklan dan poster tentang layanan syari’ah. Bertebaran di tempat-tempat strategis.  Juga selebaran yang ditempel para sales motor di pagar rumah. Lagian era sekarang tak sedikit layanan serba syari’ah. Ada hotel syari’ah, kolam renang syari’ah, gadai syari’ah dan lain-lain.

Sabtu, di awal bulan lalu saya menuju Bank Syari’ah al–Mal. Terletak di salah satu jalan protokol di kota saya tinggal, Sidoarjo. Setelah medapatkan antrian, langsung saja saya menuju salah satu teller. “Saya bermaksud memiliki sepeda motor baru merk Hiu, 150 CC”, kata saya kepada petugas layanan. Langsung saja  dengan ramah petugas tersebut menyerahkan kepada saya sejumlah formulir. Formulir permohonan dan janji pembelian suatu barang . 

Saya pelajari semua ketentuan-ketentuan yang ada. Setelah merasa sreg, saya isi formulir-formulir tersebut. Ada juga  sejumlah persyaratan administrasi yang harus saya sertakan. Saya lengkapi semua persyaratan dan saya serahkan.

Tidak sampai seminggu saya diminta datang ke kantor bank. Saya diberikan informasi bahwa permohonan saya telah disetujui. Saya dapat membeli motor tersebut dengan cara mencicil selama 24  bulan. Harganya  lebih mahal  dari harga bila membeli secara kontan.   Bank lantas membelikan motor sesuai yang saya pesan kepada pedagang motor. 

Bank kemudian menawarkan motor tersebut kepada saya. Saya menerimanya sesuai dengan janji yang pernah saya buat. Saya memutuskan untuk membayar uang muka  sejumlah Rp.10.000.000,- ( sepuluh juta  rupiah). Setiap bulannya saya harus menyicil sebesar Rp. 900.000,- (Sembilan ratus ribu rupiah).

 Bila ditotal jauh lebh mahal dari beli kontan. Kalau beli kontan harga motor itu Rp. 26.000.000,- (dua puluh enam juta rupiah). Dengan cara mencicil total harga adalah Rp. 31.000.000,- (tiga puluh satu juta rupiah). Kemudian  antara saya dan pihak bank membuat akad murabahah ( kontrak perjanjian jual beli ). Tak lama kemudian motor yang saya idamkan dikirim ke rumah.

Dari sisi syari’ah, hukum islam, ada yang mempertanyakan tentang bagaimana hukum jual beli seperti itu. Apakah hal tersebut diperbolehkan. Mengingat seolah ada tambahan harga. Lebih mahal dari harga kontan.

Sebagaimana diketahui menurut hukum Islam, hukum asal dalam bermuamalah (kegiatan sesama manusia) adalah mubah (boleh), kecuali yang dilarang. Dalam hal ini tak ada secuilpun transaksi yang dilarang.

 Mengenai perbedaan antara harga kontan dengan harga mencicil, bukanlah ada dua harga. Sedari awal saya telah menentukan pilihan harga motor Rp. 31.000.000,- (tiga puluh satu juta rupiah). Saya berikan uang muka sepertiganya, dan sisanya saya cicil selama 24 bulan. Kepentingan bank menjual harga lebih tinggi dari harga kontan, karena  jangka waktu pembayaran adalah sebagai bagian dari harga jual tersebut. 

Berbeda kalau saya melakukan kredit konvensional. Harga tetap, tetapi pembayaran mempergunakan margin/bunga dari nilai barang tersebut. Sementara menurut hukum Islam, bunga adalah kategori riba. Dan riba itu terlarang.

Telah terjadi kesepakatan antara saya dan bank. Diikat dengan akad murabahah (jual beli). Jual beli secara umum dihalalkan. Tidak ada riba (kelebihan) harga di dalamnya. Antara saya dan bank telah mewujudkan tolong menolong dalam kebaikan, bukan tolong menolong dalam dalam dosa. 

Motor keren itu dipakai anak saya Rudi untuk mobilitas kuliahnya. Plong dan tenang rasanya sebagai muslim telah melakukan transaksi jual beli berdasarkan prinsip syari’ah. Semoga berkah. 

Tulisan di atas adalah fiksi. Akan dijadikan sebagai salah satu bahan sharing dalam suatu pembelajaran tentang akad murabahah dalam ekonomi syari’ah. Wallau a’lam .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi