Pondok Pesantren YTP, Kitab Kuning, dan Tradisi Menulis

 

Pondok Pesantren YTP, Kitab Kuning, dan Tradisi Menulis*

Bukhori at-Tunisi
(Alumni Ponpes YTP, Kertosono)

Suatu ketika, seorang alumni Ponpes YTP, Kertosono, Nganjuk, Jatim, menginap di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta. Saat siang hari, ada kesempatan untuk melihat buku-buku yang dijual di gerai buku bagian belakang Gedung Dakwah kebanggaan warga Muhammadiyah tersebut. Saat ngobrol panjang, terucap perkataan yang sedikit misleading, karena dia menyatakan, “Diantara kelemahan dai Muhammadiyah adalah kurang penguasaan terhadap kitab kuning, sementara para dai organisasi “sebelah”. Penguasaan kitab kuningnya bagus sekali..., ” dalam Ilmu Manthiq, pernyataan tersebut bagian dari “salah fikir” (intellectual cul de sac)  karena menyamakan orang lain dengan dirinya sendiri. Meng-over generalisir dari peristiwa individual menjdi peristiwa umum (general). Kesalahan berfikir tersebut karena mensimplikasi berfikir, seolah dengan mengeneralisir semua orang seperti dirinya, merupakan suatu kesimpulan yang benar. Padahal sebalikya, kesimpulan tersebut salah (khatha’ al-natijah), karena, Tidak semua dai Muhammadiyah, lemah membaca kitab kuning, ada yang bagus penguasaan kitab kuningnya, terutama yang berasal  dari lulusan pesantren.” Begitu alumni YTP ini menimpali pada teman di sampingnya, yang berasal dari bumi Borneo.

 Hampir semua orang menstigma bahwa dai Muhammadiyah lemah dalam membaca Kitab Kuning, padahal, dai Muhammadiyah yang berasal dari pondok pesantren, misalnya di Jawa Timur, ada Ponpes Muhammadiyah, Karangasem; Ma’had al-Raudlatul Ilmiyah, Kertosono; Ponpes Gontor, Ponorogo; Ma’hal  al-Ittihad al-Islami, baik yang ada di Bangil maupun yang ada di Camplong, sampang, Madura, dan alumni ponpes lainnya, mahir membaaca kitab kuning.

 Jadi, kesimpulan bahwa dai Muhammadiyah lemah penguasaan kitab kuning tidak benar. Yang benar: Ada sebagian dai Muhammadiyah, lemah dalam penguasaan kitab kuning.

A. Pondok Pesantren: Kitab Kuning

 Ciri khas pondok pesantren adalah Kitab Kuning. Kitab berbahasa Arab gundul, tanpa harakat, menggunakan kertas berwarna kuning. karena itulah disebut "kitab kuning". Bila disebut Kitab Kuning, maka itulah yang dimaksud. Kitab Kuning adalah kitab-kitab berbahasa Arab yang meliputi telaah bidang kajian Tafsir, ilmu tafsir, nahwu, sharaf, balaghah, fiqh, ushul fiqh, ilmu manthiq, tauhid atau ilmu kalam, ilmu qira’ah, faraidl, ilmu falaq, tarikh, arudl wa al-qawafi, dan lainnya.

 Kitab Kuning yang paling banyak dikaji di pesantren adalah kitab yang mengkaji tentang: 1). Bahasa (al-lughah) yang meliputi: Nahwu, Sharaf, Balaghah, Arudl wa al-Qawafi; 2). Fiqh dan Ushul Fiqh; 3). Tafsir dan Ilmu Tafsir; 4). Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam. Dalam Fiqh dan ushul Fiqh, yang hidup adalah fiqih Madzhab Syafi’iyah, sedang yang lain hanya disebut sambil lalu. Fiqh Siyasah dalam muhadlarah sering diceramahkan, justru tidak dikaji sama sekali. Jadi jarang di kalangan pesantren mengenal kitab, misalnya Ahkam al-Sulthaniyyah karya al-Mawardi, Nashihatul Muluk karya al-Ghazali atau al-Siyasah al-Syar’iyyah karya Ibn Taimiyah.

 Ilmu Kalam, yang survive hanya Aliran Kalam Asy’ariyah-Maturiyah, sementara Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah dan lainnya, tidak dikaji. Keengganan untuk mengkaji kitab-kitab yang beraliran rasional dan “free will”, karena dianggap akan “merusak” tradisi yang selama ini berjalan dengan baik. Masuknya Kalam aliran rasional akan “membangunkan” orang yang lagi “nyenyak” tidurnya. Kata Aboe Bakar Atjheh, aliran kalam yang rasional justru tumbuh subur di kalangan Syiah. Maka tidak tidak heran ketika para Mullah di kalangan Syiah, penguasaan filsafat dan sufi-filosofis, buka sufi-praktis, sangat bagus. Sehingga tidak heran bila tokoh semisal Rafsanjani, mantan presiden Iran, mampu menulis dalam bahasa yang sangat bagus dan ilmiah. Begitu juga mantan Prsiden Khattami, yang mampu menghasilkan karya tulis yang sangat bagus, Dialog Peradaban.

 Lebih jauh, karena masyarakat Indonesia, cenderung fatalistik (determinism) terhadap nasib yang menimpa diri mereka. Sehingga segala sesuatu yang terjadi, semuanya bermuara pada taqdir dalam konsep Jabariyah-Asy’ariyah. Konsep ikhtiyari kurang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Dan para guru dan kyai berperan besar dalam menina-bobok-kan itu.

 Karya tulis dalam bidang Ilmu Tauhid yang agak rasional, misalnya Risalah al-Tauhid karya Syaikh Muhammad Abduh, oleh sebagian kyai diharamkan untuk dibaca, karena akan merusak “aqidah” yang selama ini dianut dengan mapan. Sehingga karya tersebut hanya diajarkan di pondok pesantren yang corak berfikirnya berafiliasi kepada manhaj modernis. Meskipun Risalah Tauhid kitabnya berwarna kuning, namun oleh sebagian kalangan tidak dianggap sebagai Kitab Kuning, karena beraliran rasional. Padahal yang saya punya, di rumah, warnanya kuning. Di sini, mulai ada pergeseran paradigma tentang Kitab Kuning.

 Kitab Kuning merupakan simbol penguasaan pesantren atas kitab-kitab keagamaan klasik yang berbahasa Arab. Tidak disebut sebagi pesantren manakala tidak diajarkan Kitab Kuning. Namun belakangan, imej pesantren identik dengan Kitab Kuning berubah dengan adanya versi baru bentuk pesantren. Di mana pesantren tersebut, tidak diajarkan full Kitab Kuning, namun diajarkan kitab berbahasa Arab versi baru. Ada percampuran pembelajaran, sebagian kitab lama diajarkan, namun kitab-kitab berbahasaa Arab yang baru juga diajarkan. Misalnya, Ilmu Nahwu, tidak diajarkan Kitab al-Ajrumiyah, terkenal dengan sebutan Jurumiyah, namun diganti dengan al-Nahwu al-Wadlih; fiqih Sullam safinah diganti dengan al-Fiqh al-Wadlih karya Mahmud Yunus; Risalah al-Tauhid Muhammad Abduh juga diajarkan, begitu seterusnya.

 Adanya pergeseran paradigma tersebut, kemudian pesantren yang mengkhususkan untuk mengajarkan Kitab Kuning, menyebut dirinya dengan Pesantren Salafiyah. Sedang pesantren yang memasukkan kitab-kitab Arab versi baru, menyebut dirinya dengan Pesantren “Modern”. Penamaan ini, hanya identifikasi, tidak berhubungan dengan subtansi pemikiran yang dikandung di dalam kitab-kitab berbahasa Arab tersebut.

 Kitab Kuning merupakan kitab estafet keilmuan keagamaan Islam yang berfungsi sebagai penyambung tradisi keilmuan Islam klasik sehingga bisa survive sampai saat ini. Fungsi sebagai “penjaga” tradisi keilmuan ini memberi dampak positif terhadap keterjagaan “turats” (warisan) klasik Islam dan keberlangsungan hidup tradisi keilmuan hingga generasi sekarang. Tidak bisa dibayangkan andaikata tidak ada Kitab Kuning di pesantren. Bagaimana nasib keilmuan Islam klasik.

 Memang banyak kritik tentang Kitab Kuning, terutama dalam hal “progresifitas” produksi pemikiran keislaman. Karena kitab kuning banyak berkutat dalam bidang: 1). Tarjamah; 2). Syarah (penjelasan secara etimologis dan terminologis); 3). Hasyiyah (catatan pinggir). 4). Hasyiyah ‘ala al-hasyiyah (syarah atas “catatan pinggir”). Sehingga jarang melahirkan pemikiran baru (tajdid al-fikr) yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

 Kuatnya tradisi menjaga apa yang “didawuh”-kan seorang kyai, al-Syaikh, guru atau mursyid, menghambat keberanian untuk berfikir “lebih” dari apa yang diperoleh dari kyai atau gurunya. Kyai, guru, lebih banyak berfungsi sebagai “guardian” Kitab Kuning, daripada membuat Kitab Kuning baru. Akibatnya adalah “muraja’ah”, reply, pengulangan terus-menerus kajian kitab klasik Islam sehingga pemikiran keislaman menjadi stagnan, berhenti. Akibatnya, penilaian kemajuan santri adalah sejauhmana santri mampu hafazha (hafal) kitab-kitab klasik yang diajarkan Islam. Bila muncul persoalan-persoalan baru yang tidak ditemukan pada kitab-kitab klasik, maka paling jauh adalah mengqiyas dengan yang ada pada kitab-kitab klasik, tidak berani untuk keluar dari kungkungan kitab klasik tersebut. Sehingga subur tradisi hasyiyah ‘ala al-hasyiyah ‘ala al-hasyiyah dan seterusnya. Memang ada karya ori seperti Tafsir al-Ibriz, namun karya yang berbentk hasyiyah ‘ala al-hasyiyah sangat dominan.

 Maka tradisi menulis di kalangan santri, tidak menjadi tradisi. Banyak kitab yang lahir dari kalangan santri, namun bukan Kitab Kuning, tetapi Kitab Putih, buku yang disusun menggunakan bahasaa Indonesia dan menggunakan kertas putih. Yang mentradisi adalah Khath, tulisan indah yang memiliki nilai seni, art. Jadi santri sangat intens dalam musabaqah tulisan khath, namun kurang produktif di dalam menulis Kitab Kuning modern.

 B.     Penguasaan Kitab Kuning

Ada santri baru, kelas 1 Nihaiyah, Wahid namanya, tinggal di Kamar Siti Marjam, belajar i’rab[1] kepada salah seorang temannya. Kebetulan sang teman tadi merupakan santri pindahan dari Ponpes Modern di Ponorogo. Ponpes ini terkenal penguasaan bahasa Arab dan Inggrisnya, namun dalam penguasaan keilmuan keislaman yang lain belum banyak informasi yang didapat.

Saat dimuraja’ah, ada yang keliru, lalu diberitahu kesalahannya. Ternyata Cak Wahid, lapor kepada santri pindahan dari Ponpes Modern yang ada di Ponorogo ini. Hari berikutnya, Sang Teman tadi datang dan memberitahu bahwa apa yang diajarkan dan dituliskan kepada Wahid itu benar. Maka terjadilah “Munaqasyah” mini antar 2 (dua) orang dari ma’had berbeda gaya dan stressing kajian pesantrennya. Tentu karena di Ma’had YTP terbiasa dalam i’rab, ibdal,i’lal apalagi jidal. Tentu bisa ditebak endingnya.

Suatu ketika ada santri baru, lulusan pondok modern yang berlokasi di Paciran, Lamongan. Santri baru tadi termasuk santri berprestasi di ponpes yang berlokasi di Paciran tersebut. Namun saat masuk di kelas 1 Nihaiyyah, dengan sukarela, turun ke kelas 3 al-Wustha, agar mampu mengimbangi teman-teman satu kelasnya, bila kelak naik ke kelas 1 Nihaiyyah.

Pengalaman individu, saat masuk Ma’had al-Raudlatul ‘Ilmiyah, sudah ketinggalan hari dan materi pembelajarannya. Telat mendaftar, karena sebelumnya tidak ada fikiran untuk masuk pesantren. Awalnya mau mendaftar di sekolah milik negara yang favorit di Kota Krian. Nasib, anak petani, zero info, telat mendaftar. Akhirnya ada 1 jama’ah yang sudah mendaftar di Ponpes YTP Kertosono. Kurang lebih sudah 1 bulan lamanya. Anaknya pulang. Akhirnya didorong orang tua untuk mondok di Pesantren Kertosono. Masuk, walaupun telat. Tidak ada fikiran apa-apa, yang penting sekolah.

 Saat mau maghrib, masuk ruang paling ujung barat yang digunakan untuk shalat. Yai Ali Manshur, menyapa nama saya. Saya heran, kok tidak lupa nama saya, padahal santrinya ratusan. Saya dibilangi, “Nanti ikut saya, beli buku di rumah Pak. Ali Hamdi.” Benar, habis maghrib, saya langsung diajak ke rumah P. Ali Hamdi, dan diambil-belikan buku-buku pelajaran pondok.

 Ta’jub saya pada Pak. Yai Ali Manshur: Kok hafal nama saya, padahal baru daftar tadi siang. Ternyata belakangan saya tahu, kalau P. Ali, cepat hafal nama santrinya, mungkin hafal nama semua santri YTP. Bekal kekuatan hafalan inilah, mungkin, yang mengantarkan Yai Ali Manshur Kastam memperoleh beasiswa ke Saudi Arabia, padahal melalui seleksi ketat dari pesntren yang ada di seluruh Indonesia. Al-kisah, beliau nomor dua se Indonesia.  

Saat pertama kalai nyantri, pas pelajaran Balaghah, yang diasuh oleh Ust. Ja’far Yasa’. Yai Ja’far membacakan per-tarkib dalam suatu kalimat. Dicatat yang kira-kira tidak tahu artinya. Ternyata, P. Ja’far menunjuk saya untuk membaca apa yang telah dibacakan tadi dengan maknanya.

 Aduuuuhhhh, masyaallah, saya saat membaca kok disalahkan semua. Perasaan, dulu waktu sekolah di kampung, B. Arab itu mudah, dan paling pinter di kelas. Hhhh sombong. Ternyata, di YTP Kertosono, bacaanya salah semua. Misalnya kata “al-Ithnabu” (الاطناب). Saya dulu bebas dalam membaca, apakah diakhiri dengan bacaan “ba”, “bi”, atau “bu”, tidak ada yang menyalahkan. Ternyata di pesantren ada aturan mainnya. Tidak boleh ngawur. Membaca kitab berbahasa Arab harus secara nahwiyyah. Rasa malu luar biasa tiada terkira. Karena bacaaannya salah semua.

 Saat itu, terasa berada di tengah lautan yang tiada bertepi, tidak tahu arah, tidak tahu timur atau barat. Tidak ada “pegangan” untuk “menyelamatkan” diri dari hempasan ombak laut, yang siap menelan hidup-hidup manusia. Bingun, kok semuanya salah. Semangat lama tumbuh: Jangan Kalah !!!

 Maghrib tiba, habis shalat, ngaji, dan makan. Akhirnya belajar. Saya tanya kepada Said bin Umar dan Komaruddin. Satu kelas dan satu kawasan. Saya tanya, “Kok bacaan saya tadi siang salah semua?” Cak Umar menjawab, “Membaca Arab itu harus sesuai dengan ‘qo[a]idah!”Saya tanya, “Apa qoidah itu? Biasa, anak pondok menjawab dengan tidak langsung, namun menggunakan retorika dan manthiq.

 “Fiil itu, ada yang mabni dan ada yang mu’rab”, kata Cak Umar. Tambah bingung saya. “Apa mabni dan apa mu’rab?” Tidak dijawab. ”Belajaro sek!!!”. OK. Singkat cerita. Saya belajar. Ada 2 cara: 1). Tanya kakak kelas’ 2). Buka buku (Kamus). Belajar, belajar, belajar. Niru JW.

 Dua minggu berlalu, tetapi masih ingat rumah. Malam nangis, walau teman tidak ada yang tahu. Kirim info kepada keluarga, agar disambangi. Dua hari kemudian kakak datang. Alhamdulillah: ploooong, ada sesuatu yang bisa dilepaskan dari benak hati dan fikiran. Akhirnya kerasan juga.

 Selama kelas 1 Nihaiyyah, terus belajaar “merangkak” agar bisa berdiri sejajar dengan teman-teman 1 kelas yang sudah 3 tahun di YTP, atau 1 tahun yang ikut isti’dad (persiapan). Baru di tahun ke-2 bisa berdiri mengimbangi santri lama yang satu kelas. Di tahun ke-3, musabaqah agar ada di depan.

C. Tradisi menulis

 Weakness-nya adalah tradisi menulis di kalangan santri YTP perlu dimulai dan digalakkan. Tapi naif, al-kisah, ada ada santriwati YTP,[2] bikin cerpen, masuk di sebuah majalah terkenal. Bagi kalangan umum merupakan prestasi luar biasa yang harus diapresiasi dan dikasih penghargaan. Karena tidak semua orang mampu menembus persaingan penulisan cerpen atau esai di majalah atau koran terkenal. Malah yang terjadi, menurut sumber yang terpercaya, santriwati ini malah ditahdzir dan di-“ancam” bila menulis lagi, karena membuat “malu” pondok. Mungkin karena tidak belajar membaca “kitab kuning” malah buat cerpen. Ini patut disayangkan, karena potensi yang besar, layu lalu mati ditelan waktu. Saat saya tanya, “Anaknya sekarang ke mana?” dijawab, “Jadi ibu rumahtangga.”

 Di kalangan santri memang beredar terjemahan kaidah-kaidah “al-Nahw al-Wadlih”, karya Arifin Abduh, mulai jilid 1 hingga jilid 3 untuk marhalah al-wustha.tulisan tangannya bagus dan rapi, semua orang pasti bisa membaca dan tidak kesulitan untuk mencerna. Untuk ukuran santri sangat bagus, namun untuk dipublish ke publik, perlu penyelarasan bahasa.

 Yang pernah menerbitkan buku, antara lain: Ust. Amrozi dari Sedayu lawas. Saat saya nyantri di YTP, sudah beredar buku saku: Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, dan Grammar bahasa Inggris. Alumni yang berkarya dalam tulis-menulis seperti Ust. Amrozi ini juga harus diapresiasi.

Ustadz Sudono Syueb menulis: Dinamika Hukum Pemerintah Daerah; Paradoks Politik; dan yang sebentar lagi terbit, "Tarjamah al-Quran Tiga Bahasa: Jawa, Indoneisa, dan Inggris".

Ustadz Ihsanuddin Sanjaya, menulis tentang "Jamus Kalimasada"

Amam Fakhrur, yang sekarang menjadi salah  satu hakim tinggi pada Balitbangdiklatkumdil Mahkamah Agung RI, menulis buku "Kotak Hitam".

 Alumni lain yang menulis adalah, Ust. Khozin Abu Faqih, yang membahas tentang Poligami. Sekarang mengasuh pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat.

 Sirot Fajar, alumni YTP yang kuliah di Unesa, juga menulis beberapa karya di bidang psikologi remaja, antara lain: Jomblo, Istiqomah Bahagia; dan lainnya.

 M. Husein Labib, alumni YTP juga, sekarang jadi PNS di Kalimantan Timur, menulis puisi. Buku antologi puisi yang sudah terbit yaitu: Ziarah Cinta.

 M. Sholikhul Huda, alumni YTP yang sekarang jadi dosen di UMS (Surabaya), menulis tentang Muhammadiyah, antara lain:“The Clash of Ideology Muhammadiyah, Pertarungan Ideologi Moderat versus Radikal”; ”Manifesto Kekerasan Agama Kaum Muda Muhammadiyah”,

 Alumni yang sering menulis artikel di koran maupun majalah antara lain: A. Choirul Fata (Dosen IAIN Gorontalo)[3], terakhir, buku tentang politik Buya Hamka yang berasal dari disertasinya di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, telah diterbitkan; dan Muhammad Ainun Najib (Dosen IAIN Tulungagung).[4]

 Alumni YTP kelahiran Wringinanom, Gresik, Jatim, juga menulis: Konsep Teologi Ibn Taimiyah; Fithrah sebagai Pendekatan Psikologis pembelajaran al-Qur’an; logical Fallacies, Kritik al-Qur’an atas Logika;

 Yang sudah malang melintang di tingkat nasional adalah: Noor Chozin Agham, alumni YTP kelahiran Indramayu, Jawa Barat, dosen senior di UHAMKA, Jakarta. Antara lain menulis: Teologi Muhammadiyah dan Penyelewengannya; Filsafat Pendidikan Muhammadiyah; Islam berkemajuan Gaya Muhammadiyah;

 Ki Ageng Fatah Wibisono, alumni YTP kelahiran Gowah, Paciran, lamongan ini, pernah menjadi salah satu ketua di Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2010-2015. Sering menulis di majalah 2 mingguan, Suara Muhammadiyah. Buku yang ditulis antara lain: Kecenderungann Neo-Modernisme dalam Ijtihad Muhammadiyah; Hukum-hukum yang Kontroversial, Telaah atas Ijtiha d Muhammadiyah; dan lainnya.

 Kang Moeslim Abdurrahman, salah seorang santri Yai Salim yang paling sukses dalam dunia pergerakan dan pemberdayaan masyarakat juga dalam bidang tulis menulis. Kiprahnya yang moncreng tersebut, mengantarkan Kang Moeslim untuk menjadi salah satu Ketua Majelis di Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Beliau banyak menulis, antara lain: Kang Thowil dan Siti Marginal; Islam Transformatif; Semarak Islam Semarak demokrasi?; Islam Sebagai Kritik Sosial;

 Di level nasional, alumni YTP baru memunculkan 2 nama tokoh yaitu Kang Moeslim dan Ki Ageng Fatah Wibisono. masih jauh produktifitas secara kelembagaan dalam melahirkan tokoh nasional, misalnya dibandingkan dengan pondok modern di Ponorogo, yang telah melahirkan banyak tokoh intelektual kelas nasional seperti Idham Cholid, Noercholish Madjid, Amin Abdullah, Emha Ainun Najib, Din Syamsudin, Hasyim Muzadi, yang baru munccul, Burhanudin Muhtadi. Kita leading di kelas menengah, namun small di kancah nasional. Wallahu al-musta’an

 Kyai YTP, yang menulis buku adalah Yai Ali Hamdi Mudaim, asli Sedayu Lawas. Buku yang ditulis, mengkaji masalah fenomena Akhir zaman, (Hari Kiamat). Sedang buku kedua, terbit setelah saya lulus dari YTP.

 Di sini urgensinya Pesantren YTP Kertosono mencanangkan proyek “mengangkat” seorang “katib” untuk menulis kajian-kajian yang disampaikan para kyai atau 1 kyai yang ada. Agar kajian, pemikiran, tafsir atau “fatwa” yang disampaikan terbukukan, tidak hilang ditelan angin malam dan siang, yang silih berganti, namun bekas yang “termaktub” tidak terlacak. Suatu kerugian besar (khusr) bila “turats” yang ditinggalkan para kyai kita hanya termaktub di dalam shudur (dada: hafalan) saja, namun yang tertulis di atas kertas (al-suthur) tidak ada. Bukankah itu “jariyah” ilmu, yang pahalanya terus mengalir kepada sang “mu’allim”? bagaimana nasib “turats” yang sangat berharga itu hilang secara “shudur” dan “suthur”? Bukankah al-Qur’an sendiri, saat ditadwin dalam satu mushhaf, harus ada tulisan, baik tertulis di kulit binatang, tulang, pelepah kurma, batu dan lainnya, sebagai bukti otentik bahwa wahyu Allah itu ditulis semenjak Nabi hidup, ada. Disamping harus ada “syawahid” (saksi-saksi) yang hidup, dari kalangan sahabat Nabi, untuk mengkroscek antara wahyu verbal dan wahyu yang sudah ditulis. Sehingga secara ilmiah, scientific, tidak dapat terbantahkan kebenarannya.

 Maka benarlah peran yang dimainkan oleh Ibn Qayyim al-Jaauziyah, Ibn Katsir, al-Dzahabi, dan al-Suyuthi atas gurunya: Ibn Taimiyah. Begitu juga peran Abduh atas Sayyid Jamal al-din al-Afghani, Rasyid Ridla atas Abduh. Sehingga ilmu yang disampaikan gurunya tidak hilang dengan “tiada”-nya sang guru. Bukankah Nabi Muhammad mengangkat banyak sekretaris? Kurang historiskah itu?

 



[1] I’rab adalah harakat akhir pada setiap kata. harakat berubah karena perbedaan posisi jabatan suatu kata. Misalnya menjadi fa’il, mubtada’, isim inna, khabar kana, dan seterusnya, maka harakat akhirnya akan berbeda pula karena perbedaan posisi.

[2][2] Berasal dari Balongbendo.

[3] Antara lain pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah dan Hidayatullah.

[4] Antara lain pernah dimuat di Harian Kompas.

* Pernah dimuat di "www.harianmerdeka.com; dengan beberapa perubahan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi