Pondok Pesantren YTP, Kitab Kuning, dan Tradisi Menulis*
Bukhori at-Tunisi
(Alumni Ponpes YTP, Kertosono)
Suatu ketika, seorang alumni Ponpes YTP, Kertosono, Nganjuk, Jatim, menginap di Gedung Dakwah Muhammadiyah,
Jakarta. Saat siang hari, ada kesempatan untuk melihat buku-buku yang dijual di
gerai buku bagian belakang Gedung Dakwah kebanggaan warga Muhammadiyah
tersebut. Saat ngobrol panjang, terucap perkataan yang sedikit misleading, karena
dia menyatakan, “Diantara kelemahan dai Muhammadiyah adalah kurang penguasaan
terhadap kitab kuning, sementara para dai organisasi “sebelah”. Penguasaan
kitab kuningnya bagus sekali..., ” dalam Ilmu Manthiq, pernyataan tersebut
bagian dari “salah fikir” (intellectual cul de sac) karena menyamakan orang lain dengan dirinya
sendiri. Meng-over generalisir dari peristiwa individual menjdi
peristiwa umum (general). Kesalahan berfikir tersebut karena mensimplikasi
berfikir, seolah dengan mengeneralisir semua orang seperti dirinya,
merupakan suatu kesimpulan yang benar. Padahal sebalikya, kesimpulan tersebut
salah (khatha’ al-natijah), karena, “Tidak semua dai Muhammadiyah, lemah membaca kitab kuning, ada yang
bagus penguasaan kitab kuningnya, terutama yang berasal dari lulusan pesantren.” Begitu alumni
YTP ini menimpali pada teman di sampingnya, yang berasal dari bumi Borneo.
Hampir semua orang menstigma bahwa dai Muhammadiyah lemah dalam membaca Kitab
Kuning, padahal, dai Muhammadiyah yang berasal dari pondok pesantren, misalnya
di Jawa Timur, ada Ponpes Muhammadiyah, Karangasem; Ma’had al-Raudlatul
Ilmiyah, Kertosono; Ponpes Gontor, Ponorogo; Ma’hal al-Ittihad al-Islami, baik yang ada di Bangil
maupun yang ada di Camplong, sampang, Madura, dan alumni ponpes lainnya, mahir membaaca kitab kuning.
Jadi, kesimpulan bahwa dai Muhammadiyah lemah penguasaan kitab kuning tidak
benar. Yang benar: Ada sebagian dai Muhammadiyah, lemah dalam penguasaan kitab
kuning.
A. Pondok Pesantren: Kitab Kuning
Ciri khas pondok pesantren adalah Kitab Kuning. Kitab berbahasa Arab
gundul, tanpa harakat, menggunakan kertas berwarna kuning. karena itulah disebut "kitab kuning". Bila
disebut Kitab Kuning, maka itulah yang dimaksud. Kitab Kuning adalah kitab-kitab
berbahasa Arab yang meliputi telaah bidang kajian Tafsir, ilmu tafsir, nahwu,
sharaf, balaghah, fiqh, ushul fiqh, ilmu manthiq, tauhid atau ilmu kalam, ilmu
qira’ah, faraidl, ilmu falaq, tarikh, arudl wa al-qawafi, dan lainnya.
Kitab Kuning yang paling banyak dikaji di pesantren adalah kitab yang
mengkaji tentang: 1). Bahasa (al-lughah) yang meliputi: Nahwu, Sharaf,
Balaghah, Arudl wa al-Qawafi; 2). Fiqh dan Ushul Fiqh; 3). Tafsir dan Ilmu
Tafsir; 4). Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam. Dalam Fiqh dan ushul Fiqh, yang hidup
adalah fiqih Madzhab Syafi’iyah, sedang yang lain hanya disebut sambil lalu. Fiqh
Siyasah dalam muhadlarah sering diceramahkan, justru tidak dikaji
sama sekali. Jadi jarang di kalangan pesantren mengenal kitab, misalnya Ahkam
al-Sulthaniyyah karya al-Mawardi, Nashihatul Muluk karya al-Ghazali
atau al-Siyasah al-Syar’iyyah karya Ibn Taimiyah.
Ilmu Kalam, yang survive hanya Aliran Kalam Asy’ariyah-Maturiyah,
sementara Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah dan lainnya, tidak dikaji.
Keengganan untuk mengkaji kitab-kitab yang beraliran rasional dan “free will”, karena dianggap akan “merusak” tradisi yang selama ini berjalan dengan baik. Masuknya Kalam
aliran rasional akan “membangunkan” orang yang lagi “nyenyak” tidurnya. Kata
Aboe Bakar Atjheh, aliran kalam yang rasional justru tumbuh subur di kalangan
Syiah. Maka tidak tidak heran ketika para Mullah di kalangan Syiah, penguasaan
filsafat dan sufi-filosofis, buka sufi-praktis, sangat bagus. Sehingga tidak
heran bila tokoh semisal Rafsanjani, mantan presiden Iran, mampu menulis dalam
bahasa yang sangat bagus dan ilmiah. Begitu juga mantan Prsiden Khattami, yang
mampu menghasilkan karya tulis yang sangat bagus, Dialog Peradaban.
Lebih jauh, karena masyarakat Indonesia, cenderung fatalistik (determinism)
terhadap nasib yang menimpa diri mereka. Sehingga segala sesuatu yang terjadi,
semuanya bermuara pada taqdir dalam konsep Jabariyah-Asy’ariyah. Konsep ikhtiyari
kurang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Dan para guru dan kyai berperan
besar dalam menina-bobok-kan itu.
Karya tulis dalam bidang Ilmu Tauhid yang agak rasional, misalnya Risalah
al-Tauhid karya Syaikh Muhammad Abduh, oleh sebagian kyai diharamkan
untuk dibaca, karena akan merusak “aqidah” yang selama ini dianut dengan mapan.
Sehingga karya tersebut hanya diajarkan di pondok pesantren yang corak
berfikirnya berafiliasi kepada manhaj modernis. Meskipun Risalah
Tauhid kitabnya berwarna kuning, namun oleh sebagian kalangan tidak
dianggap sebagai Kitab Kuning, karena beraliran rasional. Padahal yang
saya punya, di rumah, warnanya kuning. Di sini, mulai ada pergeseran paradigma
tentang Kitab Kuning.
Kitab Kuning merupakan simbol penguasaan pesantren atas kitab-kitab
keagamaan klasik yang berbahasa Arab. Tidak disebut sebagi pesantren manakala
tidak diajarkan Kitab Kuning. Namun belakangan, imej pesantren identik dengan
Kitab Kuning berubah dengan adanya versi baru bentuk pesantren. Di mana
pesantren tersebut, tidak diajarkan full Kitab Kuning, namun diajarkan kitab
berbahasa Arab versi baru. Ada percampuran pembelajaran, sebagian kitab lama
diajarkan, namun kitab-kitab berbahasaa Arab yang baru juga diajarkan.
Misalnya, Ilmu Nahwu, tidak diajarkan Kitab al-Ajrumiyah,
terkenal dengan sebutan Jurumiyah, namun diganti dengan al-Nahwu
al-Wadlih; fiqih Sullam safinah diganti dengan al-Fiqh al-Wadlih karya
Mahmud Yunus; Risalah al-Tauhid Muhammad Abduh juga diajarkan,
begitu seterusnya.
Adanya pergeseran paradigma tersebut, kemudian pesantren yang mengkhususkan
untuk mengajarkan Kitab Kuning, menyebut dirinya dengan Pesantren Salafiyah.
Sedang pesantren yang memasukkan kitab-kitab Arab versi baru, menyebut
dirinya dengan Pesantren “Modern”. Penamaan ini, hanya identifikasi, tidak
berhubungan dengan subtansi pemikiran yang dikandung di dalam kitab-kitab
berbahasa Arab tersebut.
Kitab Kuning merupakan kitab estafet keilmuan keagamaan Islam yang
berfungsi sebagai penyambung tradisi keilmuan Islam klasik sehingga bisa
survive sampai saat ini. Fungsi sebagai “penjaga” tradisi keilmuan ini memberi
dampak positif terhadap keterjagaan “turats” (warisan) klasik Islam dan
keberlangsungan hidup tradisi keilmuan hingga generasi sekarang. Tidak bisa
dibayangkan andaikata tidak ada Kitab Kuning di pesantren. Bagaimana nasib
keilmuan Islam klasik.
Memang banyak kritik tentang Kitab Kuning, terutama dalam hal
“progresifitas” produksi pemikiran keislaman. Karena kitab kuning banyak
berkutat dalam bidang: 1). Tarjamah; 2). Syarah (penjelasan
secara etimologis dan terminologis); 3). Hasyiyah (catatan pinggir). 4).
Hasyiyah ‘ala al-hasyiyah (syarah atas “catatan pinggir”). Sehingga
jarang melahirkan pemikiran baru (tajdid al-fikr) yang dituangkan dalam
bentuk tulisan.
Kuatnya tradisi menjaga apa yang “didawuh”-kan seorang kyai, al-Syaikh,
guru atau mursyid, menghambat keberanian untuk berfikir “lebih” dari apa yang
diperoleh dari kyai atau gurunya. Kyai, guru, lebih banyak berfungsi sebagai
“guardian” Kitab Kuning, daripada membuat Kitab Kuning baru. Akibatnya adalah “muraja’ah”,
reply, pengulangan terus-menerus kajian kitab klasik Islam sehingga
pemikiran keislaman menjadi stagnan, berhenti. Akibatnya, penilaian
kemajuan santri adalah sejauhmana santri mampu hafazha (hafal)
kitab-kitab klasik yang diajarkan Islam. Bila muncul persoalan-persoalan baru
yang tidak ditemukan pada kitab-kitab klasik, maka paling jauh adalah mengqiyas
dengan yang ada pada kitab-kitab klasik, tidak berani untuk keluar dari
kungkungan kitab klasik tersebut. Sehingga subur tradisi hasyiyah ‘ala
al-hasyiyah ‘ala al-hasyiyah dan seterusnya. Memang ada karya ori seperti Tafsir
al-Ibriz, namun karya yang berbentk hasyiyah ‘ala al-hasyiyah sangat
dominan.
Maka tradisi menulis di kalangan santri, tidak menjadi tradisi. Banyak
kitab yang lahir dari kalangan santri, namun bukan Kitab Kuning, tetapi Kitab
Putih, buku yang disusun menggunakan bahasaa Indonesia dan menggunakan
kertas putih. Yang mentradisi adalah Khath, tulisan indah yang memiliki
nilai seni, art. Jadi santri sangat intens dalam musabaqah tulisan
khath, namun kurang produktif di dalam menulis Kitab Kuning modern.
B. Penguasaan Kitab Kuning
Ada santri baru, kelas 1 Nihaiyah, Wahid namanya, tinggal
di Kamar Siti Marjam, belajar i’rab
kepada salah seorang temannya. Kebetulan sang teman tadi merupakan santri
pindahan dari Ponpes Modern di Ponorogo. Ponpes ini terkenal penguasaan bahasa Arab
dan Inggrisnya, namun dalam penguasaan keilmuan keislaman yang lain belum
banyak informasi yang didapat.
Saat dimuraja’ah, ada yang keliru, lalu diberitahu
kesalahannya. Ternyata Cak Wahid, lapor kepada santri pindahan dari Ponpes
Modern yang ada di Ponorogo ini. Hari berikutnya, Sang Teman tadi datang dan
memberitahu bahwa apa yang diajarkan dan dituliskan kepada Wahid itu benar.
Maka terjadilah “Munaqasyah” mini antar 2 (dua) orang dari ma’had
berbeda gaya dan stressing kajian pesantrennya. Tentu karena di Ma’had YTP
terbiasa dalam i’rab, ibdal,i’lal apalagi jidal. Tentu bisa
ditebak endingnya.
Suatu ketika ada santri baru, lulusan pondok modern yang
berlokasi di Paciran, Lamongan. Santri baru tadi termasuk santri berprestasi di
ponpes yang berlokasi di Paciran tersebut. Namun saat masuk di kelas 1
Nihaiyyah, dengan sukarela, turun ke kelas 3 al-Wustha, agar mampu mengimbangi
teman-teman satu kelasnya, bila kelak naik ke kelas 1 Nihaiyyah.
Pengalaman individu, saat masuk Ma’had al-Raudlatul ‘Ilmiyah,
sudah ketinggalan hari dan materi pembelajarannya. Telat mendaftar, karena
sebelumnya tidak ada fikiran untuk masuk pesantren. Awalnya mau mendaftar di
sekolah milik negara yang favorit di Kota Krian. Nasib, anak petani, zero info,
telat mendaftar. Akhirnya ada 1 jama’ah yang sudah mendaftar di Ponpes YTP Kertosono. Kurang lebih sudah 1 bulan lamanya. Anaknya pulang. Akhirnya
didorong orang tua untuk mondok di Pesantren Kertosono. Masuk, walaupun telat.
Tidak ada fikiran apa-apa, yang penting sekolah.
Saat mau maghrib, masuk ruang paling ujung barat yang
digunakan untuk shalat. Yai Ali Manshur, menyapa nama saya. Saya heran, kok
tidak lupa nama saya, padahal santrinya ratusan. Saya dibilangi, “Nanti ikut
saya, beli buku di rumah Pak. Ali Hamdi.” Benar, habis maghrib, saya langsung
diajak ke rumah P. Ali Hamdi, dan diambil-belikan buku-buku pelajaran pondok.
Ta’jub saya pada Pak. Yai Ali Manshur: Kok hafal nama
saya, padahal baru daftar tadi siang. Ternyata belakangan saya tahu, kalau P. Ali,
cepat hafal nama santrinya, mungkin hafal nama semua santri YTP. Bekal kekuatan
hafalan inilah, mungkin, yang mengantarkan Yai Ali Manshur Kastam memperoleh
beasiswa ke Saudi Arabia, padahal melalui seleksi ketat dari pesntren yang ada
di seluruh Indonesia. Al-kisah, beliau nomor dua se Indonesia.
Saat pertama kalai nyantri, pas pelajaran Balaghah,
yang diasuh oleh Ust. Ja’far Yasa’. Yai Ja’far membacakan per-tarkib dalam
suatu kalimat. Dicatat yang kira-kira tidak tahu artinya. Ternyata, P. Ja’far
menunjuk saya untuk membaca apa yang telah dibacakan tadi dengan maknanya.
Aduuuuhhhh, masyaallah, saya saat membaca kok disalahkan
semua. Perasaan, dulu waktu sekolah di kampung, B. Arab itu mudah, dan paling
pinter di kelas. Hhhh sombong. Ternyata, di YTP Kertosono, bacaanya salah
semua. Misalnya kata “al-Ithnabu” (الاطناب). Saya
dulu bebas dalam membaca, apakah diakhiri dengan bacaan “ba”, “bi”, atau “bu”,
tidak ada yang menyalahkan. Ternyata di pesantren ada aturan mainnya. Tidak
boleh ngawur. Membaca kitab berbahasa Arab harus secara nahwiyyah. Rasa
malu luar biasa tiada terkira. Karena bacaaannya salah semua.
Saat itu, terasa berada di tengah lautan yang tiada
bertepi, tidak tahu arah, tidak tahu timur atau barat. Tidak ada “pegangan”
untuk “menyelamatkan” diri dari hempasan ombak laut, yang siap menelan
hidup-hidup manusia. Bingun, kok semuanya salah. Semangat lama tumbuh: Jangan
Kalah !!!
Maghrib tiba, habis shalat, ngaji, dan makan. Akhirnya
belajar. Saya tanya kepada Said bin Umar dan Komaruddin. Satu kelas dan satu
kawasan. Saya tanya, “Kok bacaan saya tadi siang salah semua?” Cak Umar
menjawab, “Membaca Arab itu harus sesuai dengan ‘qo[a]idah!”Saya tanya,
“Apa qoidah itu? Biasa, anak pondok menjawab dengan tidak langsung,
namun menggunakan retorika dan manthiq.
“Fiil itu, ada yang mabni dan ada yang mu’rab”,
kata Cak Umar. Tambah bingung saya. “Apa mabni dan apa mu’rab?” Tidak
dijawab. ”Belajaro sek!!!”. OK. Singkat cerita. Saya belajar. Ada 2 cara: 1).
Tanya kakak kelas’ 2). Buka buku (Kamus). Belajar, belajar, belajar. Niru JW.
Dua minggu berlalu, tetapi masih ingat rumah. Malam nangis,
walau teman tidak ada yang tahu. Kirim info kepada keluarga, agar disambangi.
Dua hari kemudian kakak datang. Alhamdulillah: ploooong, ada sesuatu yang
bisa dilepaskan dari benak hati dan fikiran. Akhirnya kerasan juga.
Selama kelas 1 Nihaiyyah, terus belajaar “merangkak” agar bisa berdiri
sejajar dengan teman-teman 1 kelas yang sudah 3 tahun di YTP, atau 1 tahun yang
ikut isti’dad (persiapan). Baru di tahun ke-2 bisa berdiri mengimbangi
santri lama yang satu kelas. Di tahun ke-3, musabaqah agar ada di depan.
C. Tradisi menulis
Weakness-nya adalah tradisi menulis di kalangan santri
YTP perlu dimulai dan digalakkan. Tapi naif, al-kisah, ada ada
santriwati YTP, bikin
cerpen, masuk di sebuah majalah terkenal. Bagi kalangan umum merupakan prestasi
luar biasa yang harus diapresiasi dan dikasih penghargaan. Karena tidak semua
orang mampu menembus persaingan penulisan cerpen atau esai di majalah atau
koran terkenal. Malah yang terjadi, menurut sumber yang terpercaya, santriwati
ini malah ditahdzir dan di-“ancam” bila menulis lagi, karena membuat
“malu” pondok. Mungkin karena tidak belajar membaca “kitab kuning” malah buat
cerpen. Ini patut disayangkan, karena potensi yang besar, layu lalu mati
ditelan waktu. Saat saya tanya, “Anaknya sekarang ke mana?” dijawab, “Jadi
ibu rumahtangga.”
Di kalangan santri memang beredar terjemahan kaidah-kaidah “al-Nahw
al-Wadlih”, karya Arifin Abduh, mulai jilid 1 hingga jilid 3 untuk marhalah
al-wustha.tulisan tangannya bagus dan rapi, semua orang pasti bisa membaca
dan tidak kesulitan untuk mencerna. Untuk ukuran santri sangat bagus, namun
untuk dipublish ke publik, perlu penyelarasan bahasa.
Yang pernah menerbitkan buku, antara lain: Ust. Amrozi dari Sedayu lawas.
Saat saya nyantri di YTP, sudah beredar buku saku: Kamus Bahasa
Inggris-Indonesia, dan Grammar bahasa Inggris. Alumni yang berkarya
dalam tulis-menulis seperti Ust. Amrozi ini juga harus diapresiasi.
Ustadz Sudono Syueb menulis: Dinamika Hukum Pemerintah Daerah; Paradoks Politik; dan yang sebentar lagi terbit, "Tarjamah al-Quran Tiga Bahasa: Jawa, Indoneisa, dan Inggris".
Ustadz Ihsanuddin Sanjaya, menulis tentang "Jamus Kalimasada"
Amam Fakhrur, yang sekarang menjadi salah satu hakim tinggi pada Balitbangdiklatkumdil Mahkamah Agung RI, menulis buku "Kotak Hitam".
Alumni lain yang menulis adalah, Ust. Khozin Abu Faqih, yang membahas tentang Poligami. Sekarang mengasuh pondok pesantren
di Bandung, Jawa Barat.
Sirot Fajar, alumni YTP yang kuliah di Unesa, juga menulis beberapa karya di
bidang psikologi remaja, antara lain: Jomblo, Istiqomah Bahagia; dan
lainnya.
M. Husein Labib, alumni YTP juga, sekarang jadi PNS di Kalimantan Timur,
menulis puisi. Buku antologi puisi yang sudah terbit yaitu: Ziarah Cinta.
M. Sholikhul Huda, alumni YTP yang sekarang jadi dosen di UMS
(Surabaya), menulis tentang Muhammadiyah, antara lain:“The Clash of Ideology
Muhammadiyah, Pertarungan Ideologi Moderat versus Radikal”; ”Manifesto
Kekerasan Agama Kaum Muda Muhammadiyah”,
Alumni yang sering menulis artikel di koran maupun majalah antara lain: A.
Choirul Fata (Dosen IAIN Gorontalo), terakhir, buku tentang politik Buya Hamka yang berasal dari disertasinya di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, telah diterbitkan; dan Muhammad Ainun Najib (Dosen IAIN Tulungagung).
Alumni YTP kelahiran Wringinanom, Gresik, Jatim, juga menulis: Konsep
Teologi Ibn Taimiyah; Fithrah sebagai Pendekatan Psikologis pembelajaran
al-Qur’an; logical Fallacies, Kritik al-Qur’an atas Logika;
Yang sudah malang melintang di tingkat nasional adalah: Noor Chozin Agham,
alumni YTP kelahiran Indramayu, Jawa Barat, dosen senior di UHAMKA, Jakarta.
Antara lain menulis: Teologi Muhammadiyah dan Penyelewengannya;
Filsafat Pendidikan Muhammadiyah; Islam berkemajuan Gaya Muhammadiyah;
Ki Ageng Fatah Wibisono, alumni YTP kelahiran Gowah, Paciran, lamongan ini,
pernah menjadi salah satu ketua di Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
2010-2015. Sering menulis di majalah 2 mingguan, Suara Muhammadiyah. Buku
yang ditulis antara lain: Kecenderungann Neo-Modernisme dalam Ijtihad
Muhammadiyah; Hukum-hukum yang Kontroversial, Telaah atas Ijtiha d Muhammadiyah;
dan lainnya.
Kang Moeslim Abdurrahman, salah seorang santri Yai Salim yang paling sukses
dalam dunia pergerakan dan pemberdayaan masyarakat juga dalam bidang tulis
menulis. Kiprahnya yang moncreng tersebut, mengantarkan Kang Moeslim untuk
menjadi salah satu Ketua Majelis di Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Beliau banyak
menulis, antara lain: Kang Thowil dan Siti Marginal; Islam Transformatif;
Semarak Islam Semarak demokrasi?; Islam Sebagai Kritik Sosial;
Di level nasional, alumni YTP baru memunculkan 2 nama tokoh yaitu Kang Moeslim
dan Ki Ageng Fatah Wibisono. masih jauh produktifitas secara kelembagaan dalam melahirkan tokoh nasional, misalnya
dibandingkan dengan pondok modern di Ponorogo, yang telah melahirkan banyak
tokoh intelektual kelas nasional seperti Idham Cholid, Noercholish Madjid, Amin
Abdullah, Emha Ainun Najib, Din Syamsudin, Hasyim Muzadi, yang baru munccul,
Burhanudin Muhtadi. Kita leading di kelas menengah, namun small di
kancah nasional. Wallahu al-musta’an
Kyai YTP, yang menulis buku adalah Yai Ali Hamdi Mudaim, asli Sedayu Lawas.
Buku yang ditulis, mengkaji masalah fenomena Akhir zaman, (Hari Kiamat). Sedang
buku kedua, terbit setelah saya lulus dari YTP.
Di sini urgensinya Pesantren YTP Kertosono mencanangkan proyek “mengangkat”
seorang “katib” untuk menulis kajian-kajian yang disampaikan para kyai atau 1
kyai yang ada. Agar kajian, pemikiran, tafsir atau “fatwa” yang disampaikan
terbukukan, tidak hilang ditelan angin malam dan siang, yang silih berganti,
namun bekas yang “termaktub” tidak terlacak. Suatu kerugian besar (khusr)
bila “turats” yang ditinggalkan para kyai kita hanya termaktub di dalam shudur
(dada: hafalan) saja, namun yang tertulis di atas kertas (al-suthur)
tidak ada. Bukankah itu “jariyah” ilmu, yang pahalanya terus mengalir kepada
sang “mu’allim”? bagaimana nasib “turats” yang sangat berharga itu
hilang secara “shudur” dan “suthur”? Bukankah al-Qur’an sendiri, saat ditadwin
dalam satu mushhaf, harus ada tulisan, baik tertulis di kulit binatang,
tulang, pelepah kurma, batu dan lainnya, sebagai bukti otentik bahwa wahyu
Allah itu ditulis semenjak Nabi hidup, ada. Disamping harus ada “syawahid” (saksi-saksi)
yang hidup, dari kalangan sahabat Nabi, untuk mengkroscek antara wahyu verbal dan
wahyu yang sudah ditulis. Sehingga secara ilmiah, scientific, tidak
dapat terbantahkan kebenarannya.
Maka benarlah peran yang dimainkan oleh Ibn Qayyim al-Jaauziyah, Ibn
Katsir, al-Dzahabi, dan al-Suyuthi atas gurunya: Ibn Taimiyah. Begitu juga
peran Abduh atas Sayyid Jamal al-din al-Afghani, Rasyid Ridla atas Abduh.
Sehingga ilmu yang disampaikan gurunya tidak hilang dengan “tiada”-nya
sang guru. Bukankah Nabi Muhammad mengangkat banyak sekretaris? Kurang
historiskah itu?
Komentar
Posting Komentar