Ponpes YTP, Munaqasyah,
dan Kemerdekaan Berfikir
Bukhori At-Tunisi
(Alumni Ponpes YTP, Kertosono)
K.H. Salim Akhyar, pilihan pemikiran
keislamannya jelas: Islam modern. Pilihan itu tergambar dalam mars pondok pesantren
yang beliau dirikan, yaitu Pondok Pesantren Arroudlotul Ilmiyah, Kertosono,
Nganjuk, Jawa Timur, yang mengusung pemikiran “merdeka”. Jargon yang sering
dikumandangkan para pembaharu pemikiran Islam. Yai Salim menggambarkan
kebebasan berfikir, ditamsilkan dengan burung Garuda, --selanjutnya saya ganti
dengan burung Rajawali--, yang mampu terbang tinggi ke angkasa, yang kemampuan
terbangnya jauh melebihi burung biasa. Sang Rajawali terbang jauh ke angkasa,
meninggalkan sarangnya, tidak mau terkungkung dan terpenjara oleh lingkungan
keadaannya. Mencari maisyah dengan berkelana jauh melampaui lingkungan
teritorialnya.
Yai Salim mau berfikir merdeka, berfikir
bebas, hurriyah al-fikr, dan tidak mau terbelenggu dan terkungkung oleh pemikiran
lama yang beku dan stagnan. Beliau mau terbang tinggi bagai Rajawali, “bebas”
terbang tinggi keluar dari sangkar yang membelenggu, menjelajah angkasa,
terbang “mi’raj” ke “langit tujuh”, bahkan hingga “Sidratul Muntaha”
(Pohon Puncak Penghabisan) demi menemukan kebenaran (al-‘ilm, al-haq). Beliau
ingin menjelajah cakrawala luas yang tak terhingga, hingga menemukan satu atau
dua titik, atau lebih kebenaran melalui ijtihadnya, berkelana jauh hingga
puncak kebenaran, bukan kebenaran “katanya” yang tentatif, atau kebenaran
menurut moyang yang relatif dan cukup “taken for granted” belaka.
Yai Salim mau berikhitiyar dengan sekuat
tenaga dan seluruh kemampuan fikirannya, untuk menghasilkan produk ijtihad yang
benar-benar ilmiyah, berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan berdasarkan nafsu,
sehingga kebenaran hasil ijtihadnya diterima oleh siapa pun, karena tidak
terafiliasi dengan “thaifah”, “syarikah”, atau “hizb” mana
pun. Ia murni hasil ijtihad.
Namun, sebagaimana tradisi kenabian, bahwa “terbang
ke langit” untuk “talaqqi” dengan Ilahnya, bukan untuk “moksa”, sehingga
lupa “dunia”. Namun tradisi profetik mengajarkan bahwa “Sang Resi”, setelah “mi’raj”-nya,
harus kembali ke “alam”-nya, ke masyarakatnya untuk menebarkan hikmah,
kebijakan, kebajikan, dan kebaikan. Bukan kebajikan yang egois, nafsiyah, privat,
hanya untuk dirinya sendiri belaka, namun kebajikan ma’iyyah, bersama,
insaniyah, musyarakah, social.
Bagi Yai Salim, setelah “isra’“ yang panjang,
dan munajat dengan Ilahi melalui “mi’raj” ke “langit”, Sang Rajawali harus
pulang dari penjelajahan panjangnya dalam mencari kebenaran dan menyebarkan
kebenaran dan kebaikan di “sibghah” duniawi (wadah, belanga, tempat
tertentu) yang telah disediakan Allah. Tidak lari dari pergaulan sosial
duniawi, berkhalwat menyendiri tak peduli realitas sosial. Ada kewajiban
moral-profetik untuk menyuarakan yang haqq (kebenaran) untuk meninggikan
derajat Islam.
Gambaran itu jelas dideskripsikan dalam Mars
Ponpes YTP sebagai berikut:
#MARS TAMAN PENGETAHUAN#*
Taman Pengetahuan
Ialah garuda
Yang ngibarkan
Sayap duanya
Karna siap sedia melindungi
Putra-putri Islam
Tidak akan jemu selama-lamanya
Sehingga tercapai cita-citanya
Nyiarkan pelajaran agama Islam
Tidak terbatas satu haluan
Bersihkan kefahaman hati
Kepada Allah Ta’ala
Dari khurafat auham
Meninggikan derajat Islam
Di alam pergaulan
(al-Syaikh al-Awwal, K.H. Salim Akhyar)
Yai Salim mencita-citakan pesantrennya menjadi
“taman” (al-raudlah) yang ditumbuhi berbagai macam pohon “pengetahuan” (al-‘ilmiyah).
Pohonnya bukan satu, terbatas dan berbilang. Yang diharapkan Yai Salim, tumbuh
berbagai “pohon pengetahuan” yang banyak, tak terhingga (muntaha al-jumu’).
Penuh warna dan beragam corak dari segala jenis tumbuhan yang bisa ditanam di “al-Raudlah”
tersebut. Pohonnya berbunga dan berbuah. Bunganya dinikmati keindahannya,
sedang buahnya dimakan dan dimanfaatkan oleh, dan untuk orang banyak. Oleh
sebab itu, Ponpes Arroudlatul Ilmiyah, tidak cukup hanya menanam satu pohon
pengetahuan belaka, tetapi banyak, beragam pohon pengetahuan, agar banyak
pilihannya.
Oleh sebab itu, Ponpes Arroudlotul Ilmiyah,
tidak menghambakan dirinya kepada “marja’ pemikiran” (madzhab)
keislaman tertentu, baik madzhab fiqih, kalam, falsafah, bahasa dan lainnya.
Ponpes YTP (Yayasan Taman Pengetahuan), orang lain menyebutnya—adalah “rumah
pemikiran” yang siap menampung beragam pemikiran untuk ditelaah, dipilah dan
dipilih, dicari yang terbaik. Ponpes YTP bahkan mengajak untuk menjelajah
berbagai ragam pemikiran yang berkembang. Yai Salim menggambarkan sikap open
minded (terbuka)-nya, bagai burung Garuda (rajawali) yang terbang tinggi, mengepakkan
kedua sayapnya, menjelajah berbagai negeri. Matanya terbuka, bukan
tertutup. Sang rajawali jeli memandang dan tajam melihat apa saja, sehingga
mampu menemukan kebenaran dan mendapat apa yang dicita-citakan.
Dalam realitasnya, Ponpes YTP, kitab fiqihnya
tidak menfokuskan diri pada satu madzhab fiqih tertentu, misalnya Hanafi,
Maliki, Syafii, Hanbali, Zaidi, al-Tsauri, dan lainnya, namun yang diajarkan
adalah kitab fiqih muqaranah (fiqih perbandingan) karya Ibn Rusyd: Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Sedang tafsir yang diajarkan adalah Tafsir
al-Baidlawi, sebuah tafsir ringkasan (mulakhkhash) dan modifikasi
dari Tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, yang berafiliasi kepada
madzhab tafsir bi al-ra’yi (tafsir rasional). Sehingga alumninya
terbiasa denganragam corak pemikiran fiqih yang berkembang di dunia Islam. Tidak
taqlid, dan tidak pula berafiliasi dengan madzhab fikih tertentu.
Yai Salim sejak dini, telah mendoktrin santrinya
untuk berfikir bebas (hurriyal al-fikr), berijtihad, tidak terkungkung
pada satu madzhab pemikiran. Dan di Ponpes YTP, untuk mempraktikkan kebebasan
berfikir tersebut, Ponpes YTP sejak dini sudah melatih santrinya untuk munaqasyah,
berdebat dengan sesama santri dalam topik tertentu yang dilakukan oleh santri kelas
3 Nihaiyah (setingkat MA), dengan menggunakan ilmu-ilmu alat yang sudah
diajarkan, semisalnya ilmu Nahwu, sharaf, tarikh, fiqih, ushul fiqih, fiqih
muqarah, hadits, ilmu hadits, tafsir, ilmu tafsir, balaghah, ilmu manthiq, ilmu
kalam (tauhid).
Di pesantren lain, munaqasyah, nama lainnya: munazharah,
jidal, mudzakarah, dianggap “tabu”, tidak beradab, karena diajarkan “membantah”.
Sedang di pesantren tradisional, diajarkan untuk andab asor, tawadu’, dan
neriman apa yang dijarkan dan diucapkan yang lain, terutama guru. Membantah dalam
pesantren tertentu dikatagorikan bagian dari “suul adab”, bukan “husnul
adab”. Akibatnya, munaqasyah setengah diharamkan untuk diajarkan.
Mengapa tradisi keilmuan ini oleh sebagian
pesantren dianggap sebagai tradisi yang tabu? Karena santri diajari tidak
ber-“adab” dan tidak “sopan”, dididik “melawan”. Begitu di antara argumen yang
mereka bangun. Karena dalam tradisi pesantren, orang belajar (al-muta’allim)
harus tunduk, patuh dan pasrah serta menerima apa saja yang diberikan oleh
gurunya. Ketidaksetujuan, “ngengkel” kepada senior, guru atau syaikh,
menurut keyakinan sebagian pesantren dapat berakibat ilmu tidak bermanfaat, termasuk
dalam masalah keilmuan.
Oleh sebab itu, tidak semua pesantren
membekali santrinya dengan tradisi “jidal”, sebutan lain dari “munaqasyah”. Alhamdulillah,
hattal an, Pesantren YTP masih mempertahankan tradisi Munaqasyah
dalam pembelajarannya. Maka tidak
heran, jika sebagian pesantren mengesampingkan tradisi munazharah—sebutan
lain dari munaqasyah-- sebagai bagian dari tradisi keilmuan klasik dari
pesantrennya. Dalam pandangan Yai Salim, munazharah dihilangkan karena
para kyai ingin mempertahankan posisi “aman” mereka. Mereka mau menikmati
“status quo” yang sudah mapan, karena “produktifitas” (intaj)
“material”-nya menjanjikan. Mereka “bermain” dalam dua posisi: (1). Menikmati kekuasaan
keagamaan atas (2). Ketidaktahuan (al-jahl) jama’ahnya untuk mendapatkan
“fai” atas ketidakberdayaan orang-orang yang belum tercerahkan. Padahal,
lahirnya mazhab-madzhab kalam, fiqh, qira’ah, tafsir, falsafah, filologi dan
keilmuan Islam lainnya, merupakan produk munazharah.
Washil ibn ‘Atha’ berhasil mendirikan Madzhab
Kalam Mu’tazilah, karena berbeda pendapat dengan gurunya, seorang tabi’in,
yaitu Hasan al-Bashri. Abu al-Hasan al-Asy’ari, mendirikan Madzhab Tauhid
Asy’ariyah karena berbeda pendapat dengan gurunya yang beraliran Mu'tazilah.
Ibn Taimiyah, berhasil menulis buku polemiknya
yang sangat monumental: Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqdl al-Kalam
Syi’ah wa al-Qadariyah karena berbeda pendapat dengan teolog Syi’ah, ‘Allamah
al-Hilly.
Last but not least, NU didirikan antara lain karena polemik dalam banyak hal
yang tidak berkesudahan dengan kaum modernis.
Mereka, para pemikir ulung, termasuk Yai Salim
Akhyar, mengambil posisi corak pemikiran, madzhab fiqh, kalam, falsafah dan
lainnya, tidak dibangun di atas pondasi epistemologis yang rapuh, namun konsep
pemikiran dibangun di atas “frame’ pemikiran yang kokoh, baik secara naqliyyah
dan aqliyyah, antara lain melalui “ujian” material, pakah shahih
ataukah “ghalath” (salah”?
Ust. Sartian Ismail, salah seorang santri Yai
Salim saat ditelewicara melalui HP, mengatakan, “Saya, walaupun aktif di
Persyarikatan Muhammadiyah, tetapi ilmu dari YTP tetap saya pertahankan.” Lalu
saya tanya, “Apa maksud ilmu yang diperoleh dari YTP?”, Yai Sartian
menjawab, “Bahwa Yai Salim menanamkan pada santrinya, agar segala sesuatu
merujuk pada ukuran utama dalam Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.”
Itulah tipikal santri YTP, yang didoktrin
sejak dini oleh Yai Salim untuk independen dalam berfikir. Tidak terikat oleh
madzhab tertentu (‘adamul inhiyaz), tetapi didoktrin untuk melakukan istinbath
sendiri dari dalil-dalil naqli dan aqli secara benar.
Dengan munaqasyah, Yai Salim mendidik
dan melatih santrinya untuk menggunakan logika rasional, pemikiran yang sehat,
konsisten dan koheren. Karena tidak semua pemikiran yang disandarkan kepada
doktrin agama, kepada dalil-dalil naqli, menghasilkan natijah yang shahih
manakala metodologinya keliru. Dengan dalil yang sama, sangat
dimungkinkan berbeda dalam kesimpulan akhirnya, bila cara isinbath yang
digunakan berbeda.
Yai Salim ingin mendoktrin bahwa kebenaran
yang dipropose oleh faham tertentu perlu diuji (dimunaqasyah)
validitasnya. Bila lolos uji doktrinal dan rasional, sehingga relialibitasnya
bisa dibuktikan kesahihannya. Dalam sejarah teologi dan fiqih, tiap firqah menggunakan
dalil dalam membenarkan (menjustifikasi) hizbinya. Sehingga tidak
semua dalil harus diterima apa adanya menurut pemikiran tertentu, namun harus diuji
kesahihannya secara doktrinal dan rasional.
Yai Salim ingin mendidik santrinya bahwa
kebenaran bisa berada “di mana-mana”, namun tidak di satu “nama”. Karena
kebenaran bersumber dari Yang Satu, Yang Maha Muthlaq. Sedang selain Yang Satu,
selain Allah, kebenaran yang diproduk bersifat nisbi (relatif), bukan muthlaq.
Dengan memberi contoh kajian fiqih muqaranah yang ditampilkan dalam Kitab Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Yai Salim memberikan tamsilan, bahwa tanawwu’ul
fiqh merupakan sesuatu yang historis, bukan utopis, namun riel, hakiki.
Tanpa harus bersikap “buta”, “tuli” dan “bisu” terhadap kebenaran yang
disampaikan siapa pun, namun juga jangan taqlid, tidak punya landasan
pemikiran, tidak punya ukuran kebenaran, semuanya benar asal dari orang,
kelompok atau faham tertentu yang menawarkan kebenaran .
Santri YTP tidak hanya dipersiapkan untuk
menjadi guru, dosen, dai, pengusaha, politisi dan seterusnya yang berfikiran
modern, terbuka, kritis, progresif, namun mereka telah dipersiapkan sebagai
santri yang meta-modernis dengan bekal keilmuan yang tidak terbatas pada
penguasaan keilmuan keislaman klasik dengan kemampuan membaca kitab kuning, kitab
gundul sebagai turats (heritage) yang harus dijaga dan
direvitalisasi. Namun mereka juga siap untuk bergumul dengan gagasan progresif
baru yang lagi trending (al-mu’ashirah). Tetapi harus digaris
bawahi yang tebal (under line and bold) bahwa
santri YTP tidak pernah mau terikat oleh corak pemikiran manapun, karena santri
YTP didoktrin untuk tidak menerima pendapat siapa pun tanpa ditelaah lebih
dahulu. Seluruh produk pemikiran dalam doktrin Ponpes YTP sama, yaitu sebagai ijtihad
manusia. Hasil ijtihad yang satu tidak dapat menafikan ijtihad yang lain.
dalam Kaidah Ushul Fiqh, Sesama produk pemikiran, tidak dapat menggugurkan
produk pemikiran yang lain, (الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد),
karena sama-sama produk ijtihad-pemikiran. Hasil ijtihad tidak dapat naik maqamnya
menjadi “produk” Tuhan yang harus dimutlakkan kebenarannya. Begitu juga
“produk” Tuhan tidak dapat diturunkan maqamnya menjadi produk manusia
yang bersifat “profan”.
Santri YTP sepakat bahwa wahyu (al-Qur’an dan
al-Hadits) bersifat qath’iy al-wurud ([قطعي الورود], pasti
datang dari Allah. namun, pemahaman terhadap teks-teks syar’i, bersifat zhanniy
dilalah ([ظني الدلالة]) zhanniy
al-dilalah). Sehingga siap-siap kecewa bila “membina” santri YTP ternyata
tidak pernah tunduk kepada “fikrah” yang didoktrinkan, tetapi mereka hanya
tunduk dan patuh kepada wahyu Ilahi.
*Mars ini sering dinyanyikan oleh K. H. Sartian Ismail dan Ust. Ihsanuddin Sanjaya
Dalam konteks ini mungkin bisa dilakukan sebuah ta'ammulat antara pemikiran Syeck Tsaqib Arsalan dan pemikiran K.H Salim Ahyar, terutama bila dihubungkan dg kemunduran (taakhara al-muslimun) umat Islam di abad modern ini. Kemunduran itu menurut Naqib al-Athas yang paling tampak jelas adalah "The loos of adab" dan sebagai predisposisi (pencetusnya) adalah karena "Confius of Knowleage". Oleh karena visi K.H Salim Ahyar yang telah diajukan di atas memang harus dipahami tidak saja bagi santri YTP tapi untuk semua. Karena ia transend ke arah yang universal. Dan ini adalah subtansi dari ajaran Islam sebagai "Din al-Hadarah". Dari visi tersebut dapat dilihat betapa terdapat lompatan pemikiran dari KH Salim Ahyar dalam mengajar dan mendidik santrinya. Akan tetapi pemikiran tersebut harus dibreack down menjadi lebih implementatif dalam konteks globalisasi. Sehingga dapat menghadirkan "Islamic World View" atau "al-Tashawur al-Islamiy". Dalam wujud dialektika antara pemikiran dan wahyu yang menghegemoni pemikiran ke Islaman alumni YTP. Allahumma aamin.
BalasHapus