HUBUNGAN AL QURAN DAN SAINS (Bagian Satu)
HUBUNGAN AL QURAN DAN SAINS
Dr. H.N. Raihan, MA
(Alumni Ponpes YTP, Kertosono)
Konsep Ijaz Ilmi dan Tafsir Ilmi
Dalam lintasan sejarah, perjalanan tafsir Al-Qur'an sudah berlangsung ketika Rasulullah SAW masih hidup, yakni pada saat Al-Quran diturunkan. Rasulullah SAW berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan). Beliau menjelaskan kepada sahabat sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Qluran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidal: mereka pahami atau samar artinya. Setelah Rasulullah wafat, usaha penafsiran Al-Quran dilanjutkan oleh para sahabat dan para tabi in dimana wahyu sudah sempurna diturunkan. Estafet kegiatan penafsiran Al-Quran terus berkembang hingga masa sekarang.
Apabila disimak sejarah awal perkembangan tafsir, paada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran muncul dalam dua jenis penafsiran al-Quran, yaitu tafsir bi al-Matsur atau disebut juga dengan tafs'ir bi ar Riwayah dan tafsir bi ar Ra yi atau tafsir bi ad Dirayah. Akan tetapi sejalan dengan lajunya dinamika masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran. maka tidak heran muncul berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam metode dan coraknya. Masing- masing ulama menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan Al-Quran sesuai dengan dinamika zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Upaya penafsiran terhadap Al-Quran telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan laju perkembangan dan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al-Quran serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir Al-Quran. Salah satu dari beberapa corak baru dalam bidang penafsiran yang berdimensi ilmiah pada saat ini adalah penafsiran ilmiah atau dikenal dengan Tafsir Ilmy (Sciences Exegesis). Tokoh-tokoh seperti Abu Hamid al Ghazali (450-505H), Fakhruddin al-Razi (606H), Ibn Abial-Fadlal-Mursi (570-655H) adalah representasi pemikir muslim klasik yang menandakan gelombang pertama berupa isyarat keharusan menafsirkan Al-Quran dengan bantuan penemuan sains di zamannya. Tesis penafsiran sains juga diperkuat dalam literatur Ulum AlQuran, terutama dua karya induk yang fenomenal yaitu “al-Burhan fi Ulumal Quran yang disusun oleh Badruddin al-Zarkasyi (w 794 H) dan al Itqan fi Ulum al-Quran yang ditulis oleh Jalaluddin al-Suyuthi (W 911H)
Maksud daripada sains di sini adalah ilmu-ilmu pengetahuan tentang alam semesta seperti: ilmu teknik, astronorni, matematika, biologi, kimia, ekonomi-sosial, flora-fauna, geologi, dan lain sebagainya. Ada beberapa definisi yang diberikan beberapa pakar tentang tafsir ilmi/saintik ini, diantaranya: Pertam, definisi yang diajukan oleh Aminal-Khuli adalah: Tafsir yang memaksakan istilah-istilah keilmuan kontemporer atas redaksi Al-Quran dan berusaha menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi Al Quran itu.
Kedua; definisi yang diajukan oleh Abdul Majid Abdul Muhtasib adalah: Tafsir yang mensubordinasikan redaksi Al-Quran ke bawah teori dan istilah-istilah-sains-keilmuan dengan mengerahkan segala daya untuk menyimpulkan berbagai masalah keilmuan dan pandangan filosofis dari redaksi Al-Quran it'u.
Kedua definisi di atas tampak mirip, dan dapat kita beri catatan dalam dua hal; 'Pertama, kedua definisi tersebut mendiskreditkan model tafsir saintifik, sebab memberi kesan bagi orang awam yang membaca definisi itu bahwa corak tafsir itu harus dihindari karena dinilai telah menundukkan redaksi Al-Quran ke dalam teori-teori sains yang kerap berubah-ubah. Lagi pula sosok Abdul Muhtasib ini dikenal berada di barisan ulama yang kontra dan tak menyetujui corak tafsir ini. Kedua, definisi tersebut tidak mampu menggambarkan konsep sebenarnya yang diinginkan para pendukung tafsir ilmi; Para pendukungnya tak pemah berkeinginan untuk memaksakan istilah-istilah keilmuan modem dalam redaksi Al Quran, atau menundukkan redaksi Al Quran itu pada teori-teori sains yang selalu berubah.
Oleh sebab itu, kiranya definisi yang lebih cocok untuk corak tafsir ilmi dan sesuai dengan realitas di lapangan adalah: Tafsir yang berbicara tentang istilah istilah sains yang terdapat dalam Al-Quran dan berusaha sungguh sungguh untuk menyimpulkan pelbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah Al-Quran itu, atau definisi lain yang dapat dikemukakan di sini adalah: Tafsir yang diupayakan oleh penafsirnya untuk: l) Memahami redaksi redaksi Al Quran dalam lingkup kepastian yang dihasilkan oleh sains modem, dan 2) Menyingkap Rahasia kemukjizatannya dari sisi bahwa Al-Quran telah memuat. informasi-informasi sains yang amat dalam dan belum dikenal oleh manusia pada masa turunnya Al-Quran, sehingga ini menunjukkan bukti lain akan kebenaran fakta bahwa Al-Quran itu bukan karangan manusia, namun ia bersumber dan Allah SWT, pencipta dan pemilik alam semesta ini
Di dalam Al-Quran tak kurang dari 800 ayat-ayat kauniah dalam hitungan Muhammad Ahmad al-Ghamrawi. Bahkan, menurut Zaghlul al-Najjar terdapat 1000 ayat yang sarih dan ratusan lainnya yang secara tidak langsung terkait dengan fenomena alam semesta. Tafsir ilmiah atas ratusan ayat-ayat Al-Quran itu dengan bantuan ilmu pengetahuan dan sains modern, yang disikapi berbeda-beda oleh para pakar Al- Quran. Penyikapan yang berbeda atas upaya ini terutama sekali setelah iptek dan filsafat peradaban lain telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dan gerakan kodifikasi ilmu pengetahuan mengalami puncaknya. Pertanyaan seputar hal ini berkisar pada satu masalah yaitu: apakah teks Al-Quran mengandung seluruh ilmu pengetahuan seperti filsafat, sosiologi, politik, ekonomi, etika religius, dan applied sciences lainnya, ataukah Al-Quran itu hanya sebagai kitab petunjuk dan pedoman bagi umat?
Para pakar Al-Quran berbeda pandangan menyikapi pertanyaan mendasar tadi. Kelompok pertama, percaya dan berusaha menafsirkan istilah keilmuan dalam Al-Quran berikut redaksinya sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan kontemporer. Kelompok kedua, menolak kecenderungan pertama dengan membedakan secara tegas mana yang menjadi hakikat keagamaan yang menjadi inti Al-Quran dan mana yang merupakan konklusi ilmiah dan sebatas produk inovasi dan penelaahan akal manusia yang terbatas.
Penolakan terhadap Ijaz ilmi datang dari ulama yang beranggapan sebagai berikut; l) menafsirkan Al-quran sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia adalah salah safu bentuk tafsir bir rayi yang tercela dan terlarang, 2) Ij az atau kemukjizatan terbatas pada aspek kebahasaan Al-Quran, 3) tafsir ilmi mengandalkan riwayat israiliyat dari perjanjian lama, 4) Al-Quran adalah kitab petunjuk Tuhan untuk manusia dalam masalah akidah, ibadah, akhlak dan muamalat, bukan kitab sains dan teknologi, 5) Al-Quran bersifat baku dan absolut sedangkan sains bersifat relatif dan berubah-ubah, 6) pencapaian sains dan teknologi pada abad modem telah membatalkan adanya aspek tahaddi (tantangan) dalam ayat-ayat sains.
.Kemukjizatan Al-Quran bukan hanya berlaku untuk orang Arab yang berbahasa Arab, tetapi untuk seluruh manusia. Pembatasan kemukjizatan pada aspek bahasa sama dengan pembatasan tantangan kebenaran Al-Quran untuk orang Arab saja tidak bagi yang lainnya. Hal ini tentu saja tidak benar. Adapun tentang riwayat Israiliyat maka di jaman kemajuan sains dan tekonologi abad ini, maka penafsiran saintifik terhadap Al-Quran tidak memerlukan itu. Maka kecurigaan terhadap pemanfaatan israiliyat menjadi tidak relevan. Cakupan Al-Quran terhadap petunjuk-petunjuk sains yang sangat akurat sebagai dalil keagungan Allah SWT, tidak bertentangan dengan kedudukan Al- Quran sebagai kitab petunjuk dari Allah yang berisi ketentuan akidah, ibadah, akhlak dan muamalat untuk mengatur kehidupan manusia. Seluruh ilmu 'pada prinsipnya berkembang dan mengalami perubahan- perubahan yang dinamis, bukan hanya sains. Dengan demikian tidak benar jika perkembangan dan perubahan dalam'sains dijadikan alasan penolakan Ijaz ilmi. Justru kebakuan huruf dan lafadz Al-Qur an yang bisa mengimbangi perubahan sains yang cepat menunjukkan kemukjizatannya tersendiri.
Banyak mufassir yang lebih menitikberatkan corak tafsimya pada aspek ilmiah; semacam Abu Suud yang menulis dalam lima jilid tebal yang oleh Abdul Qadir Ahmad Atha dinilai melebihi Zamakhsyari maupun Abdul Qahir Al-Jurjani dalam pembahasan bahasa, dan lebih mendalam dalam kajian tafsir ilmi daripada Hanafi Ahmad.
Dalam Al-Jawahir fi Tafsir Al Qur an al Karim yang ditulis oleh Tantawi Jauhari menarik luntuk diketengahkan dalam tulisan ini. Ia berangkat dari ketertarikannya terhadap fenomena-fenomena keajaiban alam yang ada dilangit dan bumi, sebagaimana ayat ayat Al-Quran juga berbicara tentang fenomena-fenomena tersebut. Menurutnya, dalam Al- Quran terdapat 750 ayat yang berbicara tentang berbagai ilmu pengetahuan dan hanya 150 ayat yang berbicara tentang fiqih secara jelas. Sayangnya perhatian intelektual Islam terhadap pemikiran pemikiran tersebut sangat minim, sementara di sisi lain kebutuhan terhadap ilmu pengetahuan seperti yang ditunjukkan dalam ayat-ayat yang berbicara tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, langit dan bumi juga tidak bisa dinafikan disamping kebutuhan terhadap hukum dan sebagainya.
Sementara berkaitan dengan “Fawatih as-Suwar” sebagaimana disebutkan pada Q8. (3): l. ia mengaitkannya dengan rahasia-rahasia kimia. Huruf huruf tersebut adalah ungkapan bahasa, sementara bahasa adalah sarana untuk memahami hakikat ilmiah termasuk matematika dan sains. Bagaimana bahasa itu digunakan untuk memahami sesuatu yang lain tanpa memahami hakekat bahasa itu sendiri kecuali dengan menganalisanya sebagaimana matematika dengan mengetahui hakikat angka-angka dan kimia dengan mengetahui hakikat molekul-molekul.
Penafsiran model Tantawi Jauhari di atas kemudian banyak dinilai melenceng dari kaidah-kaidah dan prinsip penafsiran pada umumnya, bahkan dinilai tidak memiliki hubungan dan relevansi dengan Al-Quran. Beberapa kritik yang dilontarakan kepada karya Tantawi Jauhari, diantaranya: l. Menafsirkan Al-Quran secara tekstual dan ringkas, lebih banyak menunjukkan pemikiran-pemikiran sains Timur dan Barat modern untuk menunjukkan bahwa Al-Quran juga berbicara tentang hal itu; 2. Menggunakan teori-teori sains tanpa memperhatikan kaidah-kaidah penafsiran pada umumnya dan melenceng dari tujuan-tujuan Al Quran; 3. Tidak memperhatikan dan keluar dari kaidah-kaidah Ilmu-ilmu Al-Quran termasuk menggunakan rumus rumus matematika yang pada umumnya tidak dibenarkan. 5. Menunjukkan ilustrasi gambar, foto, tabel tentang hewan hewan, tumbuhan, pemandangan :alam yang dimaksudkan untuk menjelaskan kepada pembaca secara gamblang. 6. Menggunakan referensi dari Injil (Barnabas), sementara para kritikus menilai banyak terjadi penyelewengan dan perubahan di dalamnya.
Meskipun demikian; Tantawi Jauhari membela diri dengan menjelaskan bahwa pendekatannya terhadap teks Al-Quran tidak lebih serupa dengan tafsir tafsir hukum. Ia menegaskan, bukankah dengan cara yang sama dilakukan oleh para ahli hukum Islam yang mendasarkan sistem sistem hukum berupa peringatan-peringatan moral Al-Quran yang masih samar. Mufassir ilmiah (tafsir ilmi) menurutnya juga bisa menarik kesimpulan benda benda angkasa dari al-Quran. Dengan demikian, corak tafsir ilmi tidak berbeda dari tafsir tafsir hukum. Jika tafsir ilmi menyangkut hukum hukum alam maka tafsir hukum menyangkut persoalan hukum-hukum manusia.
B. Dinamika Pemikiran Timur dan Barat Mengenai Hubungan Al- Quran dan Sains
Penafsiran ilmiah dilakukan juga oleh Zaghlul Raghib Muhammad an-Najjar, seorang pakar geologi asal Mesir. Zaghlul berkeyakinan penuh bahwa Al Quran adalah kitab mukjizat dari aspek bahasa dan sastranya, akidah-ibadah-akhlaq (tasyri), informasi kesejarahannya, dan tak kalah pentingnya adalah dari sudut aspek isyarat ilmiahnya. Dimensi kemukjizatan yang disebut terakhir ini maksudnya adalah keunggulan kitab ini yang memberikan informasi yang. Menakjubkan dan akurat tentang hakikat alam semesta dan fenomenanya yang mana ilmu terapan belum sampai ke hakikat itu kecuali setelah berabad-abad turunnya Al-Quran
Hal ini merupakan bukti penguat bagi ahli ilmu pengetahuan di zaman ini bahwa Al-Quran itu benar benar firman Allah yang menyeru umat manusia sejak pertama kali diturunkan itu agar berpijak pada dasar yang kokoh. Oleh sebab itu menurut Zaghlul, kita hanya diperkenankan untuk membuktikan kemukjizatan ilmiah Al-Quran dengan memanfaatkan fakta dan hukum sains yang tetap saja tak berubah lagi, meski dimungkinkan adanya penambahan dan. penguatan hakikat itu di masa yang akan datang. Ketentuan ini berlaku umum bagi ayat ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Quran, dengan pengecualian ayat-ayat penciptaan; baik terkait alam semesta, kehidupan, dan manusia. Lebih lanjut ia menilai dalam rangka mengkompromikan konteks dan tujuan ayat-ayat, penciptaan langit dan bumi, kehidupan, juga manusia yang memang terjadi di luar kesadaran manusia yang mutlak. Namun Allah SWT menyisakan beberapa bukti di lempengan bumi dan lapisan langit yang dapat membantu manusia untuk menyatakan asumsi proses penciptaan. Akan tetapi asumsi yang bisa diraih oleh ilmuwan di bidang ini baru sebatas teori belaka, dan belum sampai pada tingkatan hakikat / fakta keilmuan. Zaghlul menilai bahwa ilmu terapan di bidang hakikat penciptaan tak dapat melampaui teorisasi. belaka. Varian teori penciptaan inipun tergantung asumsi dan keyakinan para pencetusnya.
Pada posisi inilah, bagi ilmuwan muslim tersedia cahaya Allah SWT, yang terdapat dalam ayat Al-Quran atau hadis. Nabi. Cahaya yang diberikan secara cuma-cuma oleh Allah dan Rasul Nya itu dapat membantu .ilmuwan muslim untuk mengangkat salah satu teori dan asumsi sains ke tingkat hakikat ilmiah, bukan karena ilmu terapan itu yang menetapkannya, akan tetapi lebih karena terdapat isyarat hakikat ilmiah itu dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Artinya kita telah memenangkan ilmu dengan informasi Al-Quran atau Sunnah dan bukan sebaliknya, memenangkan Al-Quran dengan bantuan ilmu.
William Chittick seorang pakar Islam dari Barat yang telah menghabiskan empat dasawarsa dalam studi Islam, khususnya tradisi filsafat dan sufi, dapat dikatakan mampu menghidupkan kembali studi kontemplatif terhadap intelektual islam saat ini, yang memungkinkan para penasehat intelektualnya (Rumi, Ibn Arabi, Mulla Sadra, Ibnu Sina dan al-Ghazali) berbicara tentang wawasan mereka yang relevan dengan konteks modern, terutama peran yang dimainkan oleh ilmu pengetahuan dalam Zeitgeist kontemporer.
Latar belakang intelektual dari apa yang telah ia tuliskan adalah tentang menghilangnya institusi pendidikan tradisional yang cenderung mengarahkan muridnya untuk mendedikasikan hidup mereka bagi pencarian pengetahuan dan kebajikan. Chittick sendiri memilih .judul “Ilmu Kosmos, Ilmu Jiwa”, justru menyoroti ilmu pengetahuan dan pada saat yang sama membawa istilali “jiwa”, sebagai pusat dari tradisi filsafat
Premis dasar dari Chittick adalah apa yang disepakati oleh pembelajaran intelektual dan pembelajaran transmisi, yakni Allah adalah satu, dan Dia adalah asal dari segala sesuatu. inilah Tauhid. Hal lain yang menjadi pengamatan utamanya adalah bahwa tradisi intelektual saat ini tidak sama dengan tradisi intelektual terdahulu, dan ini memberi sesuatu untuk ditawarkan. Hal ini dibandingkan dengan dunia Islam pramodern, ketika pemikir besar dan kaum intelek menghabiskan seluruh hidup mereka mencari pengetahnan yang lebih dalam tentang Tuhan, alam semesta dan jiwa. Dari pencarian itu menjadi tugas yang tak pernah berakhir. Jadi untuk mendapatkan kekayaan dari warisan intelektual kita .harus mempersiapkan diri untuk memahami, dan olehnya menuntut sebuah upaya pencarian dan pelatihan. Seseorang tidak dapat .menerima tauhid begitu saja yang berdasarkan imitasi, sebab iman sejati tidak pernah menjadi keyakinan buta. Melainkan komitmen dengan apa yang benar benar seseorang ketahui adalah benar. Melalui karyanya, Chittick menyarankan bahwa untuk pulih atau bangkit dari apa yang ia sebut sebagai “kebodohan ganda” adalah mengakui bahwa Anda tidak tahu, sehingga Anda dapat beranjak “mencari ilrnu”.
Tradisi intelektual sangat penting untuk kelangsungan hidup agama, karena sesorang tidak bisa memikirkan Islam tanpa secara bersamaan memahami perintah Al-Quran yang menuntut seorang Muslim untuk selalu berpikir, merenung, dan merenungkan. Tugas pertamanya menurut Chittick adalah untuk mengidentifikasi dua mode mengetahui dalam tradisi Islam, sebagai “transmisi” (taqlid) dan “intelektual” (tahqiq). Jika yang pertama bersifat diiturunkan dari generasi ke generasi, maka yang terakhir adalah dipelajari dengan melatih pikiran dan membersihkan hati. Chittick berpendapat bahwa mode taqlid sering disalah mengertikan oleh Muslim dan non-Muslim. Baginya, ilmu pengetahuan modern memang dibangun atas konsensus, bukan pengetahuan intelektual. Selain itu, ia berpendapat bahwa kebenaran pembelajaran yang ditransmisikan tidak bergantung pada pembuktian dengan dirinya (self evident), tetapi lebih pada otoritas nabinya dan para keberadaan penerusnya dan bagi ilmuwan modern yang membuat penemuan baru, yang telah membenarkan dan merealisasikan ilmu untuk dirinya sendiri, tidak akan disebut realisa (tahqiq) oleh para intelektual muslim karena tidak cukup meluas masuk ke kedalaman jiwa dan ruh untuk mengenali sifat sesungguhnya dari sesuatu. Pengetahuan intelektual, justru adalah kunci tradisi intelektual Islam. Hal ini diperoleh oleh subjek yang mengetahui secara langsung.
Meskipun mungkin dalam pencariannya memerlukan guru, tetapi pengetahuan ini akhirnya tidak tergantung pada otoritas guru untuk verifikasi dan keberadaan eksistensinya, melainkan berada di hati dan pikiran orang yang berpengetahuan atau pencari itu sendiri ini adalah temuan, bukan untuk mengumpulkan informasi atau apa yang kita sebut “fakta”. Sebab semakin banyak fakta yang mereka ketahui, semakin sedikit signifikansi yang mereka dapatkan dari fakta tersebut dan juga hakekat diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka.
Tentang hal ini, Chittick mengutip ungkapan Ibn Yaqzan “Pencarian ilmu yang diwajibkan oleh Nabi kepada setiap mukmin, bukannya pencarian informasi atau sekedar “hidup yang lebih baik”. Tetapi, pencarian makna dan pemahaman Al-Quran dan hadits, yang melalui pemahaman tersebut merupakan pengetahuan diri, kesadaran diri dan mengenal tanda-tanda Tuhan di ufuk (alam eksternal) dan dalam diri. Hal ini merupakan pencarian hikmah dan penguasaan diri, bukannya kontrol dan manipulasi atas dunia dan masyarakat”
Adapun Realisasi yang dimaksud memiliki empat domain: Metafisika (Allah sebagai realitas awal dan akhir), kosmologi (penampilan dan peniadaan alam semesta), psikologi (apa artinya menjadi manusia) dan etika (kebijaksanaan praktis dan hubungan antar individu) dan pusat dari domain tersebut adalah diri (nafs) atau jiwa. Dengan demikian, pengetahuan yang ditransmisikan harus berjalan seiring dengan pengetahuan intelektual. Dalam pengertian ini, intelek adalah jiwa yang telah mengetahui dan menyadari potensi penuhnya. Chittick juga menyebutkan 10 poin yang dapat membantu kita memahami apa yang coba diverifikasi dan direalisasikan oleh para intelektual Muslim pramodern.
Islam dapat didefinisikan dalam satu kata: Tauhid. Dan karena tauhid pada dasarnya adalah pemikiran, banyak buku yang menjadikan konsep ini sangat penting. Tidak diragukan lagi, mengapa Chittick bersikeras terhadap pentingnya rehabilitasi pemikiran, karena ini berarti bahwa tradisi intelektual Islam sedang menderita penyakit serius.
Jika tauhid menegaskan Keesaan Tuhan, sebaliknya taktsir menegaskan pluralitas. Takstir tanpa tauhid tidak bisa memberikan visi penyatuan. Ini akan menyangkal secara implisit bahwa keberadaan memiliki tujuan, sehingga ia juga menolak gagasan bahwa aspirasi manusia untuk mencapai perbaikan moral dan etika dan menjadi sempurna secara intelektual dan spiritual yang memiliki landasan dalam realitas objektif.
Hasil bersihnya adalah penyebaran pengetahuan manusia, pertumbuban disiplin ilmiah dan akademik, multiplisitas tujuan manusia, ketidaksepakatan yang berlangsung terus menerus, perselisihan, disintegrasi dan korupsi. Meskipun kaum muslim tidak melihat takstir sebagai buruk semata, namun manusia harus bisa keluar dari kebiasaan tersebut, menuju tauhid yang damai, imbang, harmonis dan damai di dunia. Akibatnya, semakin kita menekankan takstir, semakin sedikit peran kita sebagai manusia yang akan muncul untuk bermain dalam kosmos. Sebagai catatan Chittick, para ilmuwan mengasumsikan kesatuan alam yang paralel dengan makna spiritual dari tauhid, namun perbedaan utama adalah bahwa metode ilmiah tidak menerima realisasi diri oleh seorang individu sebagai bukti yang cukup untuk realitas fenomena.
Komentar
Posting Komentar