KONSERVASI NILAI-NILAI PESANTREN DI ERA METAVERSE

 

KONSERVASI NILAI-NILAI PESANTREN DI ERA METAVERSE[*]

Oleh: BUKHORI AT-TUNISI[†]


Metaverse, melampau dunia. Itu makna sederhananya. Orang hidup sudah “melampaui dunia” alamiahnya, hidup nyaman dengan imajinasinya (اماني), menerawang “dunia lain” (metaverse) di luar dunianya, menjelajah ke mana-mana tanpa batas, untuk pemenuhan kebutuhan dirinya (nafs). Dalam dunia digital, di mana Metaverse ada di dalamnya, performencenya nampak penuh keadaban dan kecanggihan, namun tak peduli dengan “lain”-nya, demi “ego”-nya. Metaverse adalah kelanjutan dari dunia digital yang telah ada sebelumnya. Orang asyik dengan sendirinya, padahal duduk bersebelahan dengan yang lain. Tak peduli kawan, kenalan, atau orang lain, dia asyik dengan chattingannya. Orang menjadi asing bagi orang “terdekat”-nya. Kemajuan teknologi begitu dahsyat, menakjubkan, dan di luar jangkauan nalar orang awam.

Ibarat Suku Sentinel, di Kepulauan Nicobar, India, hidup masih telanjang tanpa pakaian, melihat pesawat terbang melintas di wilayah mereka, bagai mimpi di siang bolong. "Kok benar ada, “Gatot Koco” bisa “terbang” mengelilingi Mayapada (bumi)." Bagi mereka, “terbang” di angkasa adalah impian. Kebalikan bagi yang sudah berkehidupan modern, terbang di angkasa bukanlah mimpi, tetapi realitas. Hal yang sama akan terjadi, misalnya suku tertentu di Irian Jaya yang masih memakai Koteka, di bawa ke Amerika Serikat, mereka akan bilang, “Bagai hidup di dalam surga, apa saja ada,” tergantung pesanan dan permintaan.  

Ada “jumping culture” (lompatan budaya) yang begitu jauh di “awang-awang” (samawi) hingga “mustahil” dijangkau. Hal tersebut “persis” seperti orang Arab jahiliyah yang tidak percaya (kufr) kepada kerasulan Muhammad, bahwa “wahyu” yang diterima Nabi Muhammad adalah “syair” para sastrawan (syu’ara’) yang mampu “menyihir” orang-orang “rendahan” (aradzilun) di antara para borjuis Arab. Syair yang dapat “membius” para mustadl’afin (kelompok lemah, pinggiran, oppresed). “Kemampuan” yang dimiliki Muhammad, hanya dimiliki para penyair “khawas”, yang  mampu “berkomunikasi” dengan Yang Ghaib, sehingga keluar “mantra-mantra” yang memiliki daya magic yang dahsyat. Peristiwa yang dialami Muhammad, mirip para penyair saat “sakau” (sakara: mabuk) ketika asyiq-masyuq dengan “Ilah”-nya. Dari mulutnya,  keluar kata-kata indah yang menakjubkan, yang tidak mampu diucapkan kaum “awam”.

 Hal yang sama terjadi, saat Isra’ dan Mi’raj, tidak semua sahabat Nabi saw. langsung mempercayai kejadian tersebut. Ada yang bilang,”Beliau barusan duduk di sini.” Sebuah ungkapan yang mengisyaratkan bahwa tidak ada kejadian apa-apa. Tidak ada peristiwa yang luar biasa. Tentang Isra’ dan Mi’raj, minimal ada 2 pendapat besar di kalangan sahabat Nabi:  Nabi Isra’ dan Mi’raj dengan ruhnya saja; dan ada yang mengatakan, “Ruh dan jasadnya sekaligus.” Apatalagi bagi orang-orang yang tidak percaya (kafir) terhadap kenabian Muhammad, pasti cerita tersebut ditolaknya. Hanya Abu Bakar yang langsung percaya tanpa tanya atas peristiwa tersebut, berkat keimanan yang menancap kokoh di hati, bahwa apa yang dikatakan Rasul Allah pasti benar, tidak ada bohongnya sama sekali (al-shidq, la kidzba ashlan), Abu Bakar langsung percaya adanya peristiwa Isra’ wa Mi’raj, tanpa sikap “mempertanyakan” kebenarannya, bila kaifa.

Orang yang tidak faham teknologi, dibuat tercengan dan terheran-heran, “Kok bisa, pertandingan tinju di Amerika antara Muhammad Aly lawan Joe Frazier, ditonton di Tipi.” Lebih tercengan, “Orang bisa bicara dengan saudaranya yang di luar Jawa, Cuma pakai HP.” Teknologi membuat lompatan besar dan hebat, suara manusia bisa berubah menjadi tulisan. Atau sebaliknya, tulisan berubah menjadi suara. Dengan penemuan teknologi yang mutakhir, semakin menguak “misteri” wahyu, bahwa dari hal-hal yang bersifat “metafisik”, ruhani, bisa berubah menjadi “fisik”, inderawi. Sehingga wahyu, bukan "amaniy" (angan-angan)lagi, namun sudah menjadi “realitas” yang tidak bisa dipungkiri eksistensinya dan sifatnya yang “haq”. Wahyu bukan sekedar dongeng (usthurah) atau sesuatu yang dibuat-buat (iftara).

Orang “dipaksa” untuk menerima “dunia lain” (metaverse), di luar nalar “alamiah”-nya. Orang terkaget-kaget, “Ada apa ini? Kok begini?” Nalar “natural”-nya belum menerima “khawariquladah” (peristiwa luarbiasa) di hadapannya. Akalnya belum “nyambung” dengan “lompatan peradaban” luar “sana” yang begitu dahsyat. Sementara dirinya masih “telanjang-bulat” belum “berpakaian” ala orang Sentinel atau suku di Irian Jaya sana. Tapi, itu realitas yang merupakan hidangan yang ada di hadapan kita, kaum santri dan non-santri, harus menhadapi tantangan yang harus dihadapi.

Ada 3 sikap menghadapi perubahan: 1. Menolak (rejective); 2. Menerima (accomodative); 3. Pilih-pilih (selective). Untuk pilihan terakhir, patut direnungkan syair Bang Haji Rhoma Irama:

Saringlah dulu apa yang datangnya dari Barat

Jangan asal telan

Ambil isi dan campakkanlah kulitnya

Ambil yang baik dan campakkan buruknya

Pondok pesantren, yang terbiasa bergelut dengan “Kitab Kuning”, makan bersama memakai “Talam”, tidur berjajar bagai “ikan dendeng”, pakaian sederhana: Sarung (syar’an) dan kopiah (qufyah), berserandal; sikapnya tawadlu’, qana’ah, tawakkal, dan sikap “sederhana” lainnya; semangat “thalabulilmi” (ngangsu kaweruh) sangat tinggi. Kondisi seperti ini, dipaksa berhadapan dengan “dunia yang melampaui” (metaverse) dunianya. Ibarat suku Sentinel, pesantren menjadi “canggung”, serba salah, dan merasa masih hidup di dunia belantara Amazon. Pesantren ada di antara sikap “al-muhafazhahala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).”  Menjaga tradisi dan menerima realitas di hadapannya yang begitu maju. 

المحافظة على القادم الصالح

والاخذ بالجديد الاصلح

 Bagaimana menghadirkan tradisi “kitabiyah” dalam dunia “maya” menjadi realitas riel dalam “game” Metaverse yang langsung menancap di ‘aql fa’al” (akal aktif) dan “qalb” (hati, rasa). Itulah tantangannya (chalange, tahaddi). Metaverse, mengajak “dunia kesalihan” (orang bahagia yaitu orang mu’min [QS. Al-Mu’minun: 1) divirtualkan menjadi “impian” khalayak global, yakni menjadi manusia bahagia, minus depresi dan stres [pekerjaan dan multi tuntutan]. Naik kelas menjadi “superman” (insan kamil) karena sudah masuk ke alam malakut, dunia ruhani. Atau menjadi “mad man” seperti Harut dan Marut yang harus “turun tahta” dari alam malakut ke alam nasyuth (dunia nyata, fisik-jasmani), mau mencoba indahnya kehidupan dunia, namun tidak tahan godaan dan tidak tahan uji.

Namun, Metaverse jangan membuat IMAJINASI mantan pacar di pesantren atau di bangku kuliah, atau membayangkan nikah dengan artis yang punya bodi aduhai (semlohai: wong Suroboyo), menjadi menu keseharian, tentu berbahaya.

Pesantren,  kitab kuning, keadaban, dikreasi dalam dunia metaverse sehingga terlihat di depan matanya seolah-olah ada di Timur Tengah, atau di tengah-tengah pondok pesantren, berbicara dengan orang Arab menggunakan bahasa Arab dan menyaksikan secara imajinatif tentang budaya, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi Arab wa ma haulahu—terutama masa keemasan Islam pada abad pertengahan.

Ada optimisme, karena pesantren sejarahnya selalu menjadi kemp bagi kemajuan ummat. Mengapa?

 A.    Pesantren: Base Camp

 Pondok, past and now, adalah base camp, markas  penampungan: 1. Ilmu pengetahuan (ilmiyyah, علمية), 2. Pergerakan (harakah, حركة), 3. Perlawanan (jihadah, جهادة), 4. Pertahanan (difa’iyyah, دفاعية)

 “FUNDUQ” (فندوق) artinya penginapan, pondok, hotel. Lalu diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi “pondok”. Pada asalnya pondok memang sebagai “tempat khalwat kaum thariqat”. Sesudah diadopsi, istilahnya menjadi pondok pesantren, di kemp tersebut, santri ditata akhlaknya seperti kaum sufi dan para penganut tarekat.

Pesantren: artinya tempat santri.[‡] “Pesantren” dari bahasa Pali (bahasa asli kitab T[r]ipitaka, Budha): artinya “orang belajar (sinau, ngaji)” dan “orang pinter kitab suci Tripitaka” (bikhu, pendeta). Santri masuk di pondok-pondok untuk belajar kepada para pendeta yang ahli agama. Oleh sebab itu, dalam tradisi santri Jawa, “santri” harus “ngenger karo kyai”, (mengabdi dan menyerahkan diri kepada kyai), agar ilmunya cepat “nyerep” ke dalam hati sanubari santri. Secara psikologis, tidak adanya jiwa “menolak” (kufr, ma’shiyah, inkar) kepada apa yang diberikan kyai, memudahkan untuk “menerima” apa yang diberikan kyai; sebaliknya, adanya sikap menolak, tidak memungkinkan untuk menerima apa yang diberikan kyai. Santri harus qana’ah, “nerimo pandume kyai”, menerima dengan ikhlas apa yang diberikan kyai, sehingga ilmunya berkah, bukan bersikap menolak dan inkar terhadap yang diberikan kyai, sehingga ilmunya sulit masuk dan bila masuk pun, tidak bermanfaat.

 1.      Base camp intelektual (مركز العلمية).

 Pesantren adalah base camp-nya orang-orang terpelajar, karena di pesantren ilmu-ilmu dipelajari (muthalaah) dan dikaji (bahts), didiskusikan (munazharah), diuji kesahihannya (munaqasyah), dan ditulis (kitabah).

Sebagai tempat belajar, pondok pesantren menjadi kemp “kelompok sadar” dan terpelajar, bukan kelompok yang hanya “waton mangan” sudah cukup. Mereka kelompok tercerahkan yang sadar tentang dirinya sendiri dan masyarakatnya. Bukan lagi seperti kelompok kebanyakan (عوام) yang hanya “nerimo ing pandum” (merasa cukup apa yang dikasih Tuhan), tanpa “neko-neko” (banyak tingkah) dalam kehidupan sosial.

Pada zaman Nabi saw., Darul Arqam, masjid, terutama kelompok ahl al-shuffah, merupakan “Madrasatur Rasul” (sekolahnya Nabi, tempat belajar, tempat penggemblengan para sahabat Nabi), camp pembelajaran yang diselenggarakan Nabi, menghasilkan kelompok terpelajar yang bisa tulis-menulis, dan bukan lagi sebagai kelompok “ummi”, yang buta huruf. “Madrasatur Rasul” menghasilkan tokoh-tokoh kelas wahid, seperti Abu Bakar (dijuluki khalifatur Rasul), Umar (amirul mu’mini dan mujtahid), Utsman (konglongmerat), Ali (ilmuwan), Ibn Abbas (faqih dan mufassir), Muawiyah (politisi ulung, [ahlus siyasi]), dan tokoh-tokoh sahabat lainnya yang hebat-hebat. Secara literasi, al-Qur’an dan al-Hadits ditulis dalam periode Rasul oleh para sahabat hasil didikan Nabi saw., ilmu nahwu (gramatika), dihasilkan dalam periode ini.

Di Indonesia, dulu orang Arab menyebut “Jawi”, alumni pesantren menjadi kelompok intelektual yang menghasilkan kitab yang mendunia, sebut saja Kyai Mahfuzh al-Tarmasy yang menulis Hasyiyah al-Turmusi, Manhaj Dzawin Nazhar fi Syarh al-Manzhumat, Fathul Khabir (ulumul Qur’an),  Kifayah al-Mustafidz lima ‘ala min al-Asanid, dan lainnya.

Syaikh Khatib al-Minankabawi, imam besar Masjidil Haram, menulis kitab: Fath al-Mubin fi ma Yata’allaqu bi Umur al-Din, al-Manhaj al-Masyru’, adalah gurunya ulama’ nusantara seperti Haji Rasul, Kyai Dahlan, juga kyai Hasyim Asy’ari, dan santri nusantara lainnya.

Imam Nawawi al-Bantani, penulis Tafsir Marah Labib, adalah gurunya Syaikh Saleh Darat, pengarang Tafsir Faidlur Rahman.

Syaikh Arsyad al-Banjari, ulama’ Kalimantan yang tinggal di Banjar, penulis kitab fiqih terkenal: Sabilal Muhtadin

Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani, Abdur Rauf as-Sinkili, Syaikh Ahmad Khatib al-Sambasi, Kyai Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari, dan lainnya, adalah penulis buku-buku berkualitas alumni pesantren.

Jadi, menulis merupakan tradisi pesantren, bukan tradisi Barat yang ditularkan di pesantren-pesantren Nusantara. Jika sekarang kyai jarang menulis, hakikatnya melupakan tradisi pesantren itu sendiri. Proyek “ihya’ al-turats” pesantren adalah mengembalikan tradisi menulis ilmiyah di pesantren. Boleh mengikuti pola Ibn Taimiyah yang menulis sendiri (banyak menulis di penjara) atau pola Abduh, yang pemikirannya banyak ditulis Sayyid Rasyid Ridla.


 2.      Base camp pergerakan (مركز الحركة).

 Berdirinya Republik Indonesia ini, banyak digagas oleh kaum ulama’ jebolan pesantren. Organisasi Jamiatul Khair di awal tahun 40-an, didirikan oleh para ulama’ turunan Arab, yang menjadi cikal-bakal lahirnya organisasi modern lainnya.

SDI (Serikat Dagang Islam) Solo, didirikan Kyai Samanhudi, juga jebolan pesantren. SI (Syarikat Islam) yang merupakan kelanjutan SDI, yang didirikan oleh H.O.S. Cokroaminoto, beliau adalah didikan  Pesantren Tegalsari, Ponorogo, pesantrennya Kyai Kasan Besari. Muhammadiyah, didirikan Kyai Ahmad Dahlan, lulusan pesantren juga, kai Dahlan antara lain pernah nyantri di pesantrennya Kyai Darat as-Samarani. Nahdlatul Ulama (NU) didirikan Kyai Hasyim Asy’ari adalah pendiri dan pemilik Pesantren Tebu Ireng, Jombang.

Saat mendirikan Republik Indonesia ini, kontribusi pesantren dengan kyai dan santrinya sangat besar. Laskar-laskar perlawanan, misalnya Laskar Hizbullah, anggotanya banyak dari santri. Termasuk peristiwa pertempuran 10 Nopember di Surabaya melawan Inggris (Sekutu), Resolusi Jihad-nya diserukan dari Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang.

 3.      Base camp perlawanan (مركز الانتفاضة)

 Diponegoro dididik oleh para guru pesantren. Sebut misalnya Kyai Taftazani Mlangi, ngaji fiqih pada Kyai Nur Muhammad Ngadiwongso, ngaji Tafsir Jalalain kepada Kyai Baidlawi Bagelan, belajar ilmu syariat kepada kyai Kasan Besari Tegalrejo, Ponorogo. Kyai Adur Rouf Watucongol, Magelang, Termasuk Kyai Mojo, adalah panglima perang dan sekaligus guru spiritual Pangeran Diponegoro. Tak heran, para panglimanya pun adalah para santri dan kyai. Prajuritnya pun, paling besar adalah para santri, karena Perang Diponegoro disokong oleh para kyai pesantren. Dalam buku Peter Carey, Riwayat Pangeran diponegoro 1785-1855, disebutkan, Pangeran Diponegoro dibantu sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syaikh. Tak heran, otobiografi Pangeran Diponegoro yang ditulis di penjara Belanda di Benteng Makassar, ditulis menggunakan huruf Pego (Arab Melayu). Bisa menulis huruf Pego hanya berasal dari didikan guru ngaji atau kyai.

Kampung Muslim Tondano di Manado, Sulawesi Utara, adalah kampung pembuangan para prajurit dan Panglima Perang Diponegoro yang dipimpin Kyai Mojo. di Jawa pun, para prajurit Pangeran Diponegoro setelah kalah, mereka membuat musholla di tiap kampung yang mereka diami, bahkan kampung yang di atas gunung pun, didirikan musholla atau masjid.

Perang Paderi di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Imam Bonjol adalah alumni “surau”.[§] Imam Bojol sudah mencapai derajat “malim masa” (guru besar). Ada proses “difusi” pengucapan. Kata “malim” diambil dari bahasa Arab “muallim”, artinya “guru”. “Basa” berasal dari kata “besar”. Sehingga “malim basa” adalah “guru besar”. jadi, Imam Bonjol adalah mahaguru di daerah Bonjol, karena itu beliau diangkat menjadi "imam", yang artinya adalah "pemimpin besar".

Pemberontakan Petani 1888 di Banten, dipimpin para kyai. Apalagi Perang Aceh yang dikenal dengan “Perang Sabil”, para panglimanya adalah para kyai. Termasuk Cut Nyak Dien, selain sebagai seorang ningrat, beliau adalah hafizhah (penghafal) al-Qur’an. saat dibiuang ke Sumedang, Jawa Barat, dalam keadaan buta, beliau masih mengajar al-Qur'an.

KH Zainal Musthafa dari Singaparna, Tasikmalaya, yang angkat senjata melawan Jepang, adalah kyai yang memiliki pesantren dan santri yang banyak.

4.      Base camp pertahanan (مركز الدفاعية)

 Pesantren adalah markas pertahanan. Pertahanan moral, ilmu, budaya, dan politik. Tak heran jika pesantren ambil posisi “uzlah” (mengasingkan diri). Uzlah dari kontaminasi dekadensi moral, juga uzlah dari “toxin” hedonisme, dan politik transaksional. Sikap uzlah dari hingar-bingar “dunia luar” adalah sikap difensif untuk mempertahankan orisinilitas agama dari polusi lingkungan yang tercemar.

Saat orang berpakaian “you can see” dan “free style”, pesantren tampil dengan busana muslim. Saat politik transaksional, politikus santri tampil ke depan bahwa politik bersih masih ada. Saat kekuasaan kolonial menguat karena banyak begundal “londo ireng” ikut  “londo putih”, santri tampil menjadi pejuang kemerdekaan bangsa dari kolonialisme, “tidak apa-apa,” walau pernah kalah.

Saat ilmu-ilmu syariah tergeser oleh ilmu-ilmu sains (bahtah), pesantren tampil mempertahankan ilmu-ilmu syariah. Saat ilmu-ilmu syariah dianggap sebagai ilmunya kaum sarungan, pesantren tampil bahwa ilmu tidak mengenal dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu sekular.

Saat dekadensi moral pelajar merajalela, pesantren tampil menjadi lembaga alternatif penyelamat generasi bangsa. Di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) tumbuh pesantren bak jamur di musim penghujan, adalah jawaban bahwa pesantren adalah sekolah terbaik untuk membentuk generasi bangsa.

 B.     Nilai-nilai pesantren

 1.      Intelektual

Pesantren adalah tempat orang mengaji, belajar sungguh-sungguh, bukan belajar ala kadarnya. Tak heran, dari pesantren, surau, dayah, atau sebutan lainya, lahir tokoh besar yang mendunia, karena di pesantren, persoalan amaliah, duniawiyah, ubudiyah, ilmu, dikaji secara ilmiah. Tradisi al-bahts (kajian ilmiah), jidal (debat terbuka), munazharah (adu teori), munaqasyah (uji materi), mudzakarah (adu argumen), sudah menjadi barang yang lumrah. Tradisi kitabah (menulis) adalah tradisi pesantren, tradisi kuttab (istilah yang sekarang mau dipopularkan lagi), bukan tradisi dari luar. Zaman keemasan Islam, para imam, hafizh, mufassir, filosof, manakala menulis buku, oleh khalifah dikasih bisyaraah dinar seberat kitab yang ditulisnya. Tidak heran jika para masyayikh menghasilkan kitab-kitab besar dan monumental, karena maisyahnya terjamin. Intelektualnya terjamin. Lahirnya para penulis hebat, para ensiklopedis seperti Ibn Manzhur, Mu’jam al-‘ain, Kamus al-Marbawi, Kamus al-Munawwir,[**] lahir dari kondusifnya dunia intelektual.

Pesantren adalah masyarakat pembelajar, bukan masyarakat ummiyah, taqlidiyah, tak terpelajar, ikut-ikutan. Setiap persoalaan, dimuthalaah, dimudzkarah, dimunaqasyah, dimunazharah, lalu dinatijah.

2.      Spiritual (kesalihan ruhaniah)

Lahirnya para sufi amali dan sufi falsafi, berasal dari zawiyah-zawiyah (tempat dzikir) para sufi dalam menjalani suluk (lelampahan ibadah yang harus dijalani) atau thariqah untuk memperoleh ma’rifah, mengalami mukasysyafah, dan menemukan haqiqah.

Di balik pengakuan verbatimnya dan hujatan “orang luar”, realitasnya para sufi, kyai, guru, mursyid, dan santri, sampai saat ini masih mengambil posisi sebagai simbol kesalihan masyarakat. Tak salah bila orang tua “menitipkan” dan “memasrahkan” anaknya untuk dididik di pesantren. Argumennya, di pesantrenlah, dibiasakan, dilatih, dibina, dan diarahkan untuk menjadi person yang shalih.

Di kota-kota besar, mengapa sekarang menjamur boarding school, full day school, pesantren, karena orang tua khawatir “masa depan” anaknya yang tidak memiliki akhlak, moral, atau adab. Manusia kembali kepada naturnya, fithrah­nya. Takut menjadi syetan.

Di balik thesa sekularisme kaum urban, ada jawaban antithesanya: religuisitas kaum agamawan (santri). Jangan-jangan fenomena lihyah panjang, libasut taqwa, sirwal cekak, adalah muharabah (perlawanan) atas sekularisme, pluralisme ,dan liberalisme (sepilis)[††]

3.      Ma’iyyah (معية)

 Nilai kebersamaan (ma’iyyah) benar-benar ditanamkan di pondok pesantren. Di Ponpes dilatih berorganisasi, mulai dari pengurus kelas, kamar, pengurus muhadlarah atau Mumarasah khusus dipakai di YTP, pengurus pondok, dan lainnya. Dus, Ikatan alumni. Di YTP ikatan alumninya dinamai HAPPRI (Himpunan Alumni Pondok Pesantren ar-Raudlatul Ilmiyah).

Zaman doeloe, saat pesantren masih sederhana, santri biasanya membentuk grup masak masing-masing. Masak bergantian, makan dalam wadah TALAM, minum dari kran “DRAGON”, piket membersihkan kamar, halaman, kamar mandi, dan lainnya, sudah terbentuk dan mentradisi. Guru, kyai, musyrif, murabbi, mudabbir, tak perlu teriak-teriak seperti sekolah atau madrasah umum non pesantren.

Di pesantren tidak dilatih bersikap ananiyah, egoisme, tetapi kebersamaan (ma’iyyah) dan musyarakah (berorganisasi). Saya teringat ada ikatan alumni ponpes tertentu, ikatan persaudaraannya begitu kuat. Saat mendaftar di perguruan tinggi tertentu, alumninya siap menjemput di mana saja, menginap di tempat siapa saja, menemani ke mana hingga selesai keperluannya, dan seterusnya. Saya acungkan jempol untuk yang satu ini. Alumni YTP? Semoga seperti itu. Walau begitu jangan sampai terjatuh kepada ‘ashabiyah dan oligarkhi. 

4.      Kemandirian

 Ma’iyyah harus bersanding dengan kemandirian (). Setiap individu harus mampu mandiri untuk melayani dirinya sendiri. Mandi sendiri, masak sendiri [bergantian kalau berkelompok], makan sendiri, nyuci sendiri, menjemur sendir, bangun sendiri, tidur sendiri, termasuk belajar mandiri.

Di pesantren dilatih mandiri, tidak dilatih menggantungkan hidup kepada yang lain, jagakno nang liyane, tidak. Oleh sebab itu, alumni pesantren saat kuliah di dalam atau di luar negeri, siap untuk hidup mandiri, karena sudah terbiasa mandiri saat di pesantren. 

5.      Kompetitif (sabaqiyah, musabaqah) 

Pesantren, santrinya lebih heteregon (majemuk, bhinneka) dibandingkan dengan sekolah atau madrasah. Pesantren biasanya para santri datang dari berbagai penjuru daerah. Karena itu, input dan potensi akademik santri lebih beragam dan lebih banyak “isi”, maka tak heran bila di pesantren, persaingan antar santri lebih kompetitif, berbeda dengan sekolah atau madrasah, persaingannya lebih ringan, karena siswanya terbatas dari desa atau kecamatan saja. Berbeda dengan pesantren, biasanya datang dari berbagai daerah, propinsi, dengan membawa potensi diri dan kultur yang beragam.


Saat Yai Mustain masih gesang, santri berebut untuk mencari duduk di depan, karena ada jaminan, bila duduk di bangku paling depan, akan disuruh membaca. Sebaliknya, bila duduk di bagian tengah atau belakang, sangat kecil disuruh membaca. Yai Tain, dengan ciri khas menunjuk pakai JARI KELINGKING, biasanya menunjuk santri yang duduk di bangku depan, dengan diiringi ketawa santri, karena lucu cara menunjuknya.

Perebutan duduk di depan dengan sistem sorogan memicu santri untuk berkompetisi secara tidak langsung. Santri yang duduk di depan, ingin menunjukkan kemampuannya dalam penguasaan kitab kuning; karena membaca kitab kuning, tidak sekedar membaca seperti membaca kitab yang ada harakatnya, membaca kitab kuning yang gundul, harus menguasai ilmu Nahwu, Sharaf, mu’jam, dan kemampuan dzuqul lughah yang tinggi. Bila felling bahasanya rendah, sulit untuk berkompetisi dengan santri yang sudah mahir membaca.  

Saat YTP masih memperbolehkan santri sekolah di luar, sering santri menduduki perinkat 1, 2, dan 3. Bahkan pernah ada festifal “Laying-layang”, santri YTP dapat juara 1 dengan hadiah seekor kambing. 

6.      Keadaban

 Di pesantren ada adagium, al-adabu qabla al-‘ilmu, sopan santun didahulukan sebelum ilmu-kepinteran. Karena bagi pesantren, orang pinter yang tak punya adab, tidak ada nilainya sama sekali. Mulia dan rendahnya harga diri seseorang ditentukan oleh tinggi dan rendahnya adab seseorang. Di pesantren dititahkan, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin tinggi akhlaknya. Semakin rendah akhlak dan adabnya seseorang, semakin menunjukkan rendahnya ilmu seseorang. Pesantren sering mengutip filosofi Padi, “Semakin berisi, semakin menunduk.” Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin rendah hati.

Begitulah santri dididik, agar santri berakhlak dan berbudi. Karena suatu bangsa akal kekal abadi selama menjunjung budi; sebaliknya, bangsa akan hancur, bila tidak menjunjung budi. Tragedi Pompei menjadi pelajaran abadi. 

7.      Tanggung jawab

 Di pesantren dilatih untuk tanggung jawab kepada diri sendiri, orang tua, guru dan institusi. Karena di pesantren didoktrin, bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggung jawabannya. Setiap perbuatan ada balasannya, yang baik akan diberi ganjaran, yang buruk akan diberi hukuman.

Tabu, bagi santri untuk melempar tanggung jawab kepada yang lain. Di pesatren tidak dilatih untuk menjadi pengecut. 

كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته

لها ما كسبت و عليها ما اكتسبت

Di pesantren tidak ada orang tua, tetapi tetap bertanggung jawab untuk belajar, shalat, keuangan, hingga bersih-bersih juga harus mendiri. 

8.      Kesederhanaan

 Qana’ah, nerimo ing pandum, menerima apa adanya pemberian [Allah], adalah didikan para kyai pada santrinya, biar tidak thama’, serakah. Santri lama, sukup berpakaian sopan, pakai sarung, kopyah, dan cukup berserandal tanpa sepatu. Tawadlu’, menghindari istikbar, sombong. Tidak usah berpenampilan perlente tapi kosong isinya. Lebih baik sederhana, tetapi berisi.

Di pesantren diajari hidup sederhana, makan apa adanya, tidak berlebihan. Bersyukur kepada Allah atas pemberian, tidak israf (berlebih-lebihan) sehingga terjadi tabdzir. 

C.    Dialog dengan Metaverse : sebuah ibrah

 Bukankah istilah pondok pesantren adalah hasil dialog budaya Islam dan Nusantara? Kata “pondok pesantren”, adalah akultrasi kata Arab dan Sankrit (Pali). “Pondok” berasal dari bahasa Arab: “funduq” (فندوق) dengan kata Sankrit: “pesantren” (santri).

 Ketika futuhat Islam (penaklukkan Islam)[‡‡] atas daerah-daerah sekitarnya, selalu terjadi akulturasi. Ke utara, di Syria, Islam “berdialog” dengan kebudayaan Hellenis, yang melahirkan para filosof muslim; ke Persia, berdialog dengan budaya Zaratusta, termasuk istilah “Menara” (tempat menyalakan api); Ke Qibty (Mesir), berdialog dengan budaya Fir’auniyah, tak heran jika kelak Amr ibn Ash mendukung Dinasti Umayyah saat vis a vis menghadapi kekuasaan yang sah Ali ibn Abi Thalib, karena kebiasaan kaum Qibti yang otoritarian. Ke lembah sungai Indus, berdialog dengan budaya India, menghasilkan ilmu Handasah (ilmu Hisab: MTK), ke Indonesia berdialog dengan budaya “Jawi”, Nusantara, yang melahirkan Islam “kejawen”, Islam Keindonesiaan.

Setiap zaman akan mengambil bentuk dan warna yang berbeda sesuai dengan tantangan zaman yang dihadapi berdasar ijtihad yang diikhtiarkan, dan tidak usah merisaukan masa depan pesantren, selama akal-fikiran dan qalbu diintegrasikan, pasti ada intaj yang diproduksinya sesuai dengan kemaslahatan pada zaman dan tempat yang berbeda.

Di sini urgensinya kita terus berdialog dengan metaverse, tidak usah gelisan dan khawatir, sebagaimana tradisi zaman keemasan Islam, yang mampu berdialog dan menginternalisasi nilai-nilai kemajuan kebudayaan lain. Sikap seperti itu yang akan membawa kemajuan peradaban.

Di sinilah signifikansi “tarjamah”, produksi ilmiah dan islamisasi “hadlarah”. Memproduksi kemajuan, bukan mengeluh, takut, lari, dan kalah. Jawab tantangan itu, kalau Islam memang shalih li kulli zaman wa makan.

Peradaban Barat akan kalah! Kapan? Itu yang harus kita jawab. Peradaban Babilonia di Sunga Euphrat, runtuh, digantikan peradaban Qibti, Fir’auniyah, di lembah Sungai Nil, habis itu beralalih ke Yunani, yang melahirkan peradaban Romawi, runtuh. Islam yang mengganti, hingga tiba saatnya di penghujung keemasan, The Sick Man, kekhalifahan terakhir,Turkiye, dikalahkan Barat. Now, Islam akan bangkit dan berkuasa? Tergantung kita. 

Semua harus dihadapi, jangan lari. Jangan seperti orang Jahiliyah, menolak adanya wahyu karena tidak sesuai dengan logika kebudayaan mereka, padahal yang dibawa Nabi Muhammad sesuatu yang sangat luar biasa, khawariqul ‘adah. Wahyu mereka samakan dengan mantra para penyair, dianggap sesuatu yang biasa saja, namun tidak bisa menirunya sama sekali (QS. Al-Baqarah/2: 23-24).

Jadi, jangan menolak (rejective) karena “tidak ada kemampuan” (ghairu istitha’ah), tetapi jawab dengan tangan terbuka, fikiran sehat, dan jiwa yang tenang. Tirulah Ibn Firnas yang bereksperimen terbang dengan meniru burung terbang. Siapa tahu nanti menjadi “Thairan Ababil” yang sesungguhnya, mampu menghancurkan Pasukan Bergajah (ashhab al-fil), mungkin now, thairan Ababilnya adalah pesawat pembom, al-Filnya adalah kebudayaan Barat.

Peradaban, Bahasa Arabnya adalah “hadlarah” (حضارة), yang secara etimologis bermakna “kehadiran”, bukan lari, tapi “datang” menghadapi. Islam dengan pesantrennya harus “tampil” (hadlir) menjawab tantangan Metaverse dengan versi yang berbeda dengan konten yang berbeda, dan menghasilkan peradaban alternatif yang membawa kemaslahatan yang dlaruri.

Di pesantren, Ilmu Manthiq dan [ilmu] Ushul Fiqh, sudah menjadi makanan keseharian. Karena itu, kata “qiyas” (analogi), bukan sesuatu yang asing. Qiyas, yang makna etimologinya: “Menyamakan, membandingkan, mengukur, menganalogikan. Secara terminologi, definisi qiyas adalah: “Menetapkan hukum pada kasus baru yang belum ada hukum sebelumnya, berdasarkan hukum yang sudah ada, karena adanya kesamaan sebab (‘illat)”. Definisi yang lain, adalah: “Membawa hukum yang belum diketahui hukumnya, kepada sesuatu yang sudah diketahui hukumnya, disebabkan kesamaan sebab keduanya”. Merambah dari “jali” (جلي) ke dunia “khofi” (خفي), dari “yang sudah diketahui” (معلوم) kepada “yang belum diketahui” (غير معلوم), sudah menjadi makanan sehari-hari santri. sehingga mencari hal-hal yang belum diketahui berdasarkan pengetahuan yang sudah diketahui, sudah hal yang biasa dan lumrah. Gak perlu ada “sock culture” dan ketakutan.

“Santri sepertinya kurang kerjaaan”, ujar orang jahil. Tetapi bagi orang alim, “Senam otak menyehatkan, menyegarkan, dan menyehatkan akal dan badan.” “Kita harus sering “Ngopi” (ngolah Pikir, bahkan ngocok pikiran) biar fikiran hangat, dinamis, dan produktif.” Begitu orang bijak bilang.

Mungkin kebudayaan Islam akan kembali menggantikan posisi kebudayaan Barat, Islam bisa tampil kembali, sebagaimana Barat tampil menggantikan perababan Yunani dan Romawi.

Tanda itu ada, para “mutrafun” di Barat sudah banyak berbuat “fisq” dan “fasad”, sehingga sunnatullah akan berjalan di atas relnya. Dan yang selamat adalah yang berpegang pada nilai moral dan agama. Pesantren bisa menjadi pilarnya. Why not.

 

واذا اردنا ان نهلك قرية امرنا مترفيها ففسقوا فيها فحق عليه القول فدمرناها تدميرا (الاسراء: 16)

 



[*] Disampaikan pada MUNAS HAPPRI III, 3 Juli 2022

* Alumni Ponpes YTP, Kertosono. Menulis buku: Teologi Ibn Taimiyah; Fithrah sebagai Basic Psikologi Pembelajaran al-Qur’an; Sayap Liberal, Moderat, dan Literar Pondok Pesantren.

[‡] Seperti kata “Pecinan”, artinya: “Kawasan tempat tinggal orang-orang China”.

[§] Surau adalah sebutan bagi tempat belajar agama Islam di Sumatera Barat dan sekitarnya. Di Jawa disebut pesantren, di Aceh disebut dayah atau munasah (dari kata “madrasah”).

[**] Untuk Indonesia, ada pengecualian, ditulis di sini untuk penyebutan bahwa di bumi Nusantara ada tradisi ilmiah

[††] Sebutan “Sepilis” biasanya dipakai untuk orang yang mengidap penyakit “Raja Singa”, penyakit kelamin akibat berhubungan seksual dengan WTS, PSK, pelacur. Nama Sepilis digunakan untuk selain yang semestinya, adalah untuk melawan, menyerang, minimal tidak setuju, walau agak pejoratif. Dalam ilmu pesantren, meggunakan kata untuk makna lain yang tidak semestinya, atau bukan kelazimannya disebut majaz.

[‡‡] Lebih tepat untuk istilah futuhat Islamiyah adalah pembebasan negeri-negeri oleh kekuasaan Islam, karena kekuasaan Islam tidak pernah menjajah seperti yang dilakukan oleh kolonialis Barat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi