KONSERVASI NILAI-NILAI PESANTREN DI ERA METAVERSE
KONSERVASI NILAI-NILAI PESANTREN
DI ERA METAVERSE[*]
Oleh: BUKHORI AT-TUNISI[†]
Metaverse, melampau dunia. Itu makna sederhananya. Orang hidup sudah “melampaui dunia” alamiahnya, hidup nyaman dengan imajinasinya (اماني), menerawang “dunia lain” (metaverse) di luar dunianya, menjelajah ke mana-mana tanpa batas, untuk pemenuhan kebutuhan dirinya (nafs). Dalam dunia digital, di mana Metaverse ada di dalamnya, performencenya nampak penuh keadaban dan kecanggihan, namun tak peduli dengan “lain”-nya, demi “ego”-nya. Metaverse adalah kelanjutan dari dunia digital yang telah ada sebelumnya. Orang asyik dengan sendirinya, padahal duduk bersebelahan dengan yang lain. Tak peduli kawan, kenalan, atau orang lain, dia asyik dengan chattingannya. Orang menjadi asing bagi orang “terdekat”-nya. Kemajuan teknologi begitu dahsyat, menakjubkan, dan di luar jangkauan nalar orang awam.
Ibarat Suku
Sentinel, di Kepulauan Nicobar, India, hidup masih telanjang tanpa pakaian, melihat
pesawat terbang melintas di wilayah mereka, bagai mimpi di siang bolong. "Kok
benar ada, “Gatot Koco” bisa “terbang” mengelilingi Mayapada (bumi)." Bagi
mereka, “terbang” di angkasa adalah impian. Kebalikan bagi yang sudah berkehidupan
modern, terbang di angkasa bukanlah mimpi, tetapi realitas. Hal yang sama akan terjadi, misalnya suku tertentu
di Irian Jaya yang masih memakai Koteka, di bawa ke Amerika Serikat, mereka akan bilang, “Bagai
hidup di dalam surga, apa saja ada,” tergantung pesanan dan permintaan.
Ada “jumping
culture” (lompatan budaya) yang begitu jauh di “awang-awang” (samawi)
hingga “mustahil” dijangkau. Hal tersebut “persis” seperti orang Arab jahiliyah
yang tidak percaya (kufr) kepada kerasulan Muhammad, bahwa “wahyu” yang
diterima Nabi Muhammad adalah “syair” para sastrawan (syu’ara’) yang
mampu “menyihir” orang-orang “rendahan” (aradzilun) di antara para
borjuis Arab. Syair yang dapat “membius” para mustadl’afin (kelompok
lemah, pinggiran, oppresed). “Kemampuan” yang dimiliki Muhammad, hanya
dimiliki para penyair “khawas”, yang mampu
“berkomunikasi” dengan Yang Ghaib, sehingga keluar “mantra-mantra” yang memiliki
daya magic yang dahsyat. Peristiwa yang dialami Muhammad, mirip para
penyair saat “sakau” (sakara: mabuk) ketika asyiq-masyuq
dengan “Ilah”-nya. Dari mulutnya, keluar
kata-kata indah yang menakjubkan, yang tidak mampu diucapkan kaum “awam”.
Orang yang tidak faham teknologi, dibuat tercengan dan terheran-heran, “Kok bisa, pertandingan tinju di Amerika antara Muhammad Aly lawan Joe Frazier, ditonton di Tipi.” Lebih tercengan, “Orang bisa bicara dengan saudaranya yang di luar Jawa, Cuma pakai HP.” Teknologi membuat lompatan besar dan hebat, suara manusia bisa berubah menjadi tulisan. Atau sebaliknya, tulisan berubah menjadi suara. Dengan penemuan teknologi yang mutakhir, semakin menguak “misteri” wahyu, bahwa dari hal-hal yang bersifat “metafisik”, ruhani, bisa berubah menjadi “fisik”, inderawi. Sehingga wahyu, bukan "amaniy" (angan-angan)lagi, namun sudah menjadi “realitas” yang tidak bisa dipungkiri eksistensinya dan sifatnya yang “haq”. Wahyu bukan sekedar dongeng (usthurah) atau sesuatu yang dibuat-buat (iftara).
Orang “dipaksa” untuk menerima “dunia lain” (metaverse), di luar nalar “alamiah”-nya. Orang terkaget-kaget, “Ada apa ini? Kok begini?” Nalar “natural”-nya belum menerima “khawariqul ‘adah” (peristiwa luarbiasa) di hadapannya. Akalnya belum “nyambung” dengan “lompatan peradaban” luar “sana” yang begitu dahsyat. Sementara dirinya masih “telanjang-bulat” belum “berpakaian” ala orang Sentinel atau suku di Irian Jaya sana. Tapi, itu realitas yang merupakan hidangan yang ada di hadapan kita, kaum santri dan non-santri, harus menhadapi tantangan yang harus dihadapi.
Ada 3 sikap
menghadapi perubahan: 1. Menolak (rejective); 2. Menerima (accomodative);
3. Pilih-pilih (selective). Untuk pilihan terakhir, patut direnungkan
syair Bang Haji Rhoma Irama:
Saringlah dulu apa yang datangnya dari Barat
Jangan asal telan
Ambil isi dan campakkanlah kulitnya
Ambil yang baik dan campakkan buruknya
Pondok pesantren, yang terbiasa bergelut dengan “Kitab Kuning”, makan bersama memakai “Talam”, tidur berjajar bagai “ikan dendeng”, pakaian sederhana: Sarung (syar’an) dan kopiah (qufyah), berserandal; sikapnya tawadlu’, qana’ah, tawakkal, dan sikap “sederhana” lainnya; semangat “thalabul ‘ilmi” (ngangsu kaweruh) sangat tinggi. Kondisi seperti ini, dipaksa berhadapan dengan “dunia yang melampaui” (metaverse) dunianya. Ibarat suku Sentinel, pesantren menjadi “canggung”, serba salah, dan merasa masih hidup di dunia belantara Amazon. Pesantren ada di antara sikap “al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).” Menjaga tradisi dan menerima realitas di hadapannya yang begitu maju.
المحافظة على القادم الصالح
والاخذ بالجديد الاصلح
Namun, Metaverse
jangan membuat IMAJINASI mantan pacar di pesantren atau di bangku kuliah, atau
membayangkan nikah dengan artis yang punya bodi aduhai (semlohai: wong
Suroboyo), menjadi menu keseharian, tentu berbahaya.
Pesantren, kitab kuning, keadaban, dikreasi dalam dunia
metaverse sehingga terlihat di depan matanya seolah-olah ada di Timur Tengah, atau
di tengah-tengah pondok pesantren, berbicara dengan orang Arab
menggunakan bahasa Arab dan menyaksikan secara imajinatif tentang budaya,
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi Arab wa ma haulahu—terutama masa keemasan
Islam pada abad pertengahan.
Ada optimisme, karena pesantren sejarahnya selalu menjadi kemp
bagi kemajuan ummat. Mengapa?
“FUNDUQ”
(فندوق)
artinya penginapan, pondok, hotel. Lalu diadopsi ke dalam bahasa
Indonesia menjadi “pondok”. Pada asalnya pondok memang sebagai “tempat khalwat
kaum thariqat”. Sesudah diadopsi, istilahnya menjadi pondok pesantren,
di kemp tersebut, santri ditata akhlaknya seperti kaum sufi dan para penganut
tarekat.
Pesantren: artinya tempat santri.[‡]
“Pesantren” dari bahasa Pali (bahasa asli kitab T[r]ipitaka, Budha):
artinya “orang belajar (sinau, ngaji)” dan “orang pinter kitab
suci Tripitaka” (bikhu, pendeta). Santri masuk di pondok-pondok untuk
belajar kepada para pendeta yang ahli agama. Oleh sebab itu, dalam tradisi
santri Jawa, “santri” harus “ngenger karo kyai”, (mengabdi dan
menyerahkan diri kepada kyai), agar ilmunya cepat “nyerep” ke dalam hati
sanubari santri. Secara psikologis, tidak adanya jiwa “menolak” (kufr,
ma’shiyah, inkar) kepada apa yang diberikan kyai, memudahkan untuk
“menerima” apa yang diberikan kyai; sebaliknya, adanya sikap menolak, tidak
memungkinkan untuk menerima apa yang diberikan kyai. Santri harus qana’ah,
“nerimo pandume kyai”, menerima dengan ikhlas apa yang
diberikan kyai, sehingga ilmunya berkah, bukan bersikap menolak dan inkar
terhadap yang diberikan kyai, sehingga ilmunya sulit masuk dan bila masuk pun, tidak bermanfaat.
Sebagai tempat
belajar, pondok pesantren menjadi kemp “kelompok sadar” dan terpelajar, bukan
kelompok yang hanya “waton mangan” sudah cukup. Mereka kelompok
tercerahkan yang sadar tentang dirinya sendiri dan masyarakatnya. Bukan lagi
seperti kelompok kebanyakan (عوام) yang hanya “nerimo
ing pandum” (merasa cukup apa yang dikasih Tuhan), tanpa “neko-neko”
(banyak tingkah) dalam kehidupan sosial.
Pada zaman Nabi
saw., Darul Arqam, masjid, terutama kelompok ahl al-shuffah, merupakan
“Madrasatur Rasul” (sekolahnya Nabi, tempat belajar, tempat
penggemblengan para sahabat Nabi), camp pembelajaran yang diselenggarakan
Nabi, menghasilkan kelompok terpelajar yang bisa tulis-menulis, dan bukan lagi sebagai kelompok “ummi”, yang buta huruf. “Madrasatur
Rasul” menghasilkan tokoh-tokoh kelas wahid, seperti Abu Bakar
(dijuluki khalifatur Rasul), Umar (amirul mu’mini dan mujtahid),
Utsman (konglongmerat), Ali (ilmuwan), Ibn Abbas (faqih dan
mufassir), Muawiyah (politisi ulung, [ahlus siyasi]), dan
tokoh-tokoh sahabat lainnya yang hebat-hebat. Secara literasi, al-Qur’an
dan al-Hadits ditulis dalam periode Rasul oleh para sahabat hasil didikan Nabi
saw., ilmu nahwu (gramatika), dihasilkan dalam periode ini.
Di Indonesia,
dulu orang Arab menyebut “Jawi”, alumni pesantren menjadi kelompok intelektual
yang menghasilkan kitab yang mendunia, sebut saja Kyai Mahfuzh al-Tarmasy yang
menulis Hasyiyah al-Turmusi, Manhaj Dzawin Nazhar fi Syarh al-Manzhumat,
Fathul Khabir (ulumul Qur’an), Kifayah al-Mustafidz lima ‘ala min al-Asanid, dan
lainnya.
Syaikh Khatib
al-Minankabawi, imam besar Masjidil Haram, menulis kitab: Fath al-Mubin fi
ma Yata’allaqu bi Umur al-Din, al-Manhaj al-Masyru’, adalah gurunya ulama’
nusantara seperti Haji Rasul, Kyai Dahlan, juga kyai Hasyim Asy’ari, dan santri
nusantara lainnya.
Imam Nawawi al-Bantani,
penulis Tafsir Marah Labib, adalah gurunya Syaikh Saleh
Darat, pengarang Tafsir Faidlur Rahman.
Syaikh Arsyad
al-Banjari, ulama’ Kalimantan yang tinggal di Banjar, penulis kitab fiqih
terkenal: Sabilal Muhtadin
Syaikh Abdus
Shamad al-Palimbani, Abdur Rauf as-Sinkili, Syaikh Ahmad Khatib al-Sambasi,
Kyai Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari, dan lainnya, adalah penulis buku-buku
berkualitas alumni pesantren.
Jadi, menulis
merupakan tradisi pesantren, bukan tradisi Barat yang ditularkan di
pesantren-pesantren Nusantara. Jika sekarang kyai jarang menulis, hakikatnya
melupakan tradisi pesantren itu sendiri. Proyek “ihya’ al-turats”
pesantren adalah mengembalikan tradisi menulis ilmiyah di pesantren. Boleh
mengikuti pola Ibn Taimiyah yang menulis sendiri (banyak menulis di penjara)
atau pola Abduh, yang pemikirannya banyak ditulis Sayyid Rasyid Ridla.
SDI (Serikat
Dagang Islam) Solo, didirikan Kyai Samanhudi, juga jebolan pesantren. SI
(Syarikat Islam) yang merupakan kelanjutan SDI, yang didirikan oleh H.O.S.
Cokroaminoto, beliau adalah didikan Pesantren Tegalsari, Ponorogo, pesantrennya
Kyai Kasan Besari. Muhammadiyah, didirikan Kyai Ahmad Dahlan, lulusan pesantren
juga, kai Dahlan antara lain pernah nyantri di pesantrennya Kyai Darat
as-Samarani. Nahdlatul Ulama (NU) didirikan Kyai Hasyim Asy’ari adalah pendiri
dan pemilik Pesantren Tebu Ireng, Jombang.
Saat mendirikan
Republik Indonesia ini, kontribusi pesantren dengan kyai dan santrinya sangat
besar. Laskar-laskar perlawanan, misalnya
Laskar Hizbullah, anggotanya banyak dari santri. Termasuk
peristiwa pertempuran 10 Nopember di Surabaya melawan Inggris (Sekutu),
Resolusi Jihad-nya diserukan dari Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang.
Kampung Muslim Tondano di Manado, Sulawesi Utara, adalah kampung “pembuangan” para prajurit dan Panglima Perang Diponegoro yang dipimpin Kyai Mojo. di Jawa pun, para prajurit Pangeran Diponegoro setelah kalah, mereka membuat musholla di tiap kampung yang mereka diami, bahkan kampung yang di atas gunung pun, didirikan musholla atau masjid.
Perang Paderi
di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Imam Bonjol adalah alumni “surau”.[§] Imam
Bojol sudah mencapai derajat “malim masa” (guru besar). Ada
proses “difusi” pengucapan. Kata “malim” diambil dari bahasa Arab “muallim”,
artinya “guru”. “Basa” berasal dari kata “besar”.
Sehingga “malim basa” adalah “guru besar”. jadi, Imam Bonjol adalah mahaguru di daerah Bonjol, karena itu beliau diangkat menjadi "imam", yang artinya adalah "pemimpin besar".
Pemberontakan
Petani 1888 di Banten, dipimpin para kyai. Apalagi Perang Aceh yang dikenal
dengan “Perang Sabil”, para panglimanya adalah para kyai. Termasuk Cut Nyak
Dien, selain sebagai seorang ningrat, beliau adalah hafizhah (penghafal)
al-Qur’an. saat dibiuang ke Sumedang, Jawa Barat, dalam keadaan buta, beliau masih mengajar al-Qur'an.
Saat orang
berpakaian “you can see” dan “free style”, pesantren
tampil dengan busana muslim. Saat politik transaksional, politikus santri
tampil ke depan bahwa politik bersih masih ada. Saat kekuasaan kolonial menguat
karena banyak begundal “londo ireng” ikut
“londo putih”, santri tampil menjadi pejuang kemerdekaan bangsa dari
kolonialisme, “tidak apa-apa,” walau pernah kalah.
Saat ilmu-ilmu
syariah tergeser oleh ilmu-ilmu sains (bahtah), pesantren tampil
mempertahankan ilmu-ilmu syariah. Saat ilmu-ilmu syariah dianggap sebagai
ilmunya kaum sarungan, pesantren tampil bahwa ilmu tidak mengenal dikhotomi
antara ilmu agama dan ilmu sekular.
Saat dekadensi
moral pelajar merajalela, pesantren tampil menjadi lembaga alternatif
penyelamat generasi bangsa. Di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi) tumbuh pesantren bak jamur di musim penghujan, adalah
jawaban bahwa pesantren adalah sekolah terbaik untuk membentuk generasi bangsa.
Pesantren adalah tempat orang mengaji, belajar sungguh-sungguh, bukan belajar ala kadarnya. Tak heran, dari pesantren, surau, dayah, atau sebutan lainya, lahir tokoh besar yang mendunia, karena di pesantren, persoalan amaliah, duniawiyah, ubudiyah, ilmu, dikaji secara ilmiah. Tradisi al-bahts (kajian ilmiah), jidal (debat terbuka), munazharah (adu teori), munaqasyah (uji materi), mudzakarah (adu argumen), sudah menjadi barang yang lumrah. Tradisi kitabah (menulis) adalah tradisi pesantren, tradisi kuttab (istilah yang sekarang mau dipopularkan lagi), bukan tradisi dari luar. Zaman keemasan Islam, para imam, hafizh, mufassir, filosof, manakala menulis buku, oleh khalifah dikasih bisyaraah dinar seberat kitab yang ditulisnya. Tidak heran jika para masyayikh menghasilkan kitab-kitab besar dan monumental, karena maisyahnya terjamin. Intelektualnya terjamin. Lahirnya para penulis hebat, para ensiklopedis seperti Ibn Manzhur, Mu’jam al-‘ain, Kamus al-Marbawi, Kamus al-Munawwir,[**] lahir dari kondusifnya dunia intelektual.
Pesantren adalah masyarakat pembelajar, bukan masyarakat ummiyah,
taqlidiyah, tak terpelajar, ikut-ikutan. Setiap persoalaan, dimuthalaah, dimudzkarah,
dimunaqasyah, dimunazharah, lalu dinatijah.
2. Spiritual (kesalihan ruhaniah)
Lahirnya para sufi amali dan sufi falsafi, berasal dari zawiyah-zawiyah (tempat dzikir) para sufi dalam menjalani suluk (lelampahan ibadah yang harus dijalani) atau thariqah untuk memperoleh ma’rifah, mengalami mukasysyafah, dan menemukan haqiqah.
Di balik pengakuan verbatimnya dan hujatan “orang luar”,
realitasnya para sufi, kyai, guru, mursyid, dan santri, sampai saat ini masih
mengambil posisi sebagai simbol kesalihan masyarakat. Tak salah bila orang tua
“menitipkan” dan “memasrahkan” anaknya untuk dididik di pesantren. Argumennya,
di pesantrenlah, dibiasakan, dilatih, dibina, dan diarahkan untuk menjadi
person yang shalih.
Di kota-kota besar, mengapa sekarang menjamur boarding
school, full day school, pesantren, karena orang tua khawatir “masa depan”
anaknya yang tidak memiliki akhlak, moral, atau adab. Manusia kembali kepada naturnya,
fithrahnya. Takut menjadi syetan.
Di balik thesa sekularisme kaum urban, ada jawaban antithesanya: religuisitas kaum agamawan (santri). Jangan-jangan fenomena lihyah panjang, libasut taqwa, sirwal cekak, adalah muharabah (perlawanan) atas sekularisme, pluralisme ,dan liberalisme (sepilis)[††]
3.
Ma’iyyah (معية)
Zaman doeloe, saat pesantren masih sederhana,
santri biasanya membentuk grup masak masing-masing. Masak bergantian, makan
dalam wadah TALAM, minum dari kran “DRAGON”, piket membersihkan kamar,
halaman, kamar mandi, dan lainnya, sudah terbentuk dan mentradisi. Guru, kyai,
musyrif, murabbi, mudabbir, tak perlu teriak-teriak seperti sekolah atau
madrasah umum non pesantren.
Di pesantren tidak dilatih bersikap ananiyah, egoisme, tetapi kebersamaan (ma’iyyah) dan musyarakah (berorganisasi). Saya teringat ada ikatan alumni ponpes tertentu, ikatan persaudaraannya begitu kuat. Saat mendaftar di perguruan tinggi tertentu, alumninya siap menjemput di mana saja, menginap di tempat siapa saja, menemani ke mana hingga selesai keperluannya, dan seterusnya. Saya acungkan jempol untuk yang satu ini. Alumni YTP? Semoga seperti itu. Walau begitu jangan sampai terjatuh kepada ‘ashabiyah dan oligarkhi.
4.
Kemandirian
Di pesantren dilatih mandiri, tidak dilatih menggantungkan hidup kepada yang lain, jagakno nang liyane, tidak. Oleh sebab itu, alumni pesantren saat kuliah di dalam atau di luar negeri, siap untuk hidup mandiri, karena sudah terbiasa mandiri saat di pesantren.
5. Kompetitif (sabaqiyah, musabaqah)
Pesantren, santrinya lebih heteregon (majemuk,
bhinneka) dibandingkan dengan sekolah atau madrasah. Pesantren biasanya para
santri datang dari berbagai penjuru daerah. Karena itu, input dan potensi
akademik santri lebih beragam dan lebih banyak “isi”, maka tak heran bila di
pesantren, persaingan antar santri lebih kompetitif, berbeda dengan sekolah
atau madrasah, persaingannya lebih ringan, karena siswanya terbatas dari desa
atau kecamatan saja. Berbeda dengan pesantren, biasanya datang dari
berbagai daerah, propinsi, dengan membawa potensi diri dan kultur yang beragam.
Saat Yai Mustain masih gesang, santri berebut
untuk mencari duduk di depan, karena ada jaminan, bila duduk di bangku paling depan,
akan disuruh membaca. Sebaliknya, bila duduk di bagian tengah atau belakang,
sangat kecil disuruh membaca. Yai Tain, dengan ciri khas menunjuk pakai JARI
KELINGKING, biasanya menunjuk santri yang duduk di bangku depan, dengan
diiringi ketawa santri, karena lucu cara menunjuknya.
Perebutan duduk di depan dengan sistem sorogan memicu
santri untuk berkompetisi secara tidak langsung. Santri yang duduk di depan,
ingin menunjukkan kemampuannya dalam penguasaan kitab kuning; karena membaca
kitab kuning, tidak sekedar membaca seperti membaca kitab yang ada harakatnya,
membaca kitab kuning yang gundul, harus menguasai ilmu Nahwu, Sharaf, mu’jam,
dan kemampuan dzuqul lughah yang tinggi. Bila felling bahasanya rendah, sulit untuk
berkompetisi dengan santri yang sudah mahir membaca.
Saat YTP masih memperbolehkan santri sekolah di luar, sering santri menduduki perinkat 1, 2, dan 3. Bahkan pernah ada festifal “Laying-layang”, santri YTP dapat juara 1 dengan hadiah seekor kambing.
6.
Keadaban
Begitulah santri dididik, agar santri berakhlak dan berbudi. Karena suatu bangsa akal kekal abadi selama menjunjung budi; sebaliknya, bangsa akan hancur, bila tidak menjunjung budi. Tragedi Pompei menjadi pelajaran abadi.
7.
Tanggung jawab
Tabu, bagi santri untuk melempar tanggung jawab kepada yang lain. Di pesatren tidak dilatih untuk menjadi pengecut.
كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته
لها ما كسبت و
عليها ما اكتسبت
Di pesantren tidak ada orang tua, tetapi tetap bertanggung jawab untuk belajar, shalat, keuangan, hingga bersih-bersih juga harus mendiri.
8.
Kesederhanaan
Di pesantren diajari hidup sederhana, makan apa adanya, tidak berlebihan. Bersyukur kepada Allah atas pemberian, tidak israf (berlebih-lebihan) sehingga terjadi tabdzir.
C. Dialog dengan Metaverse : sebuah ibrah
Setiap zaman
akan mengambil bentuk dan warna yang berbeda sesuai dengan tantangan zaman yang
dihadapi berdasar ijtihad yang diikhtiarkan, dan tidak usah merisaukan masa
depan pesantren, selama akal-fikiran dan qalbu diintegrasikan, pasti ada intaj yang
diproduksinya sesuai dengan kemaslahatan pada zaman dan tempat yang berbeda.
Di sini urgensinya
kita terus berdialog dengan metaverse, tidak usah gelisan dan khawatir,
sebagaimana tradisi zaman keemasan Islam, yang mampu berdialog dan
menginternalisasi nilai-nilai kemajuan kebudayaan lain. Sikap seperti itu yang akan membawa kemajuan peradaban.
Di sinilah
signifikansi “tarjamah”, produksi ilmiah dan islamisasi “hadlarah”. Memproduksi
kemajuan, bukan mengeluh, takut, lari, dan kalah. Jawab tantangan itu, kalau
Islam memang shalih li kulli zaman wa makan.
Peradaban Barat akan kalah! Kapan? Itu yang harus kita jawab. Peradaban Babilonia di Sunga Euphrat, runtuh, digantikan peradaban Qibti, Fir’auniyah, di lembah Sungai Nil, habis itu beralalih ke Yunani, yang melahirkan peradaban Romawi, runtuh. Islam yang mengganti, hingga tiba saatnya di penghujung keemasan, The Sick Man, kekhalifahan terakhir,Turkiye, dikalahkan Barat. Now, Islam akan bangkit dan berkuasa? Tergantung kita.
Semua harus dihadapi, jangan lari. Jangan
seperti orang Jahiliyah, menolak adanya wahyu karena tidak sesuai dengan logika
kebudayaan mereka, padahal yang dibawa Nabi Muhammad sesuatu yang sangat luar
biasa, khawariqul ‘adah. Wahyu mereka
samakan dengan mantra para penyair, dianggap sesuatu yang biasa saja, namun
tidak bisa menirunya sama sekali (QS. Al-Baqarah/2: 23-24).
Jadi, jangan menolak (rejective) karena “tidak
ada kemampuan” (ghairu istitha’ah), tetapi jawab dengan tangan terbuka,
fikiran sehat, dan jiwa yang tenang. Tirulah Ibn Firnas yang bereksperimen terbang
dengan meniru burung terbang. Siapa tahu nanti menjadi “Thairan Ababil”
yang sesungguhnya, mampu menghancurkan Pasukan Bergajah (ashhab
al-fil), mungkin now, thairan Ababilnya adalah pesawat pembom, al-Filnya
adalah kebudayaan Barat.
Peradaban, Bahasa
Arabnya adalah “hadlarah” (حضارة), yang secara etimologis bermakna “kehadiran”, bukan
lari, tapi “datang” menghadapi. Islam dengan pesantrennya harus “tampil” (hadlir)
menjawab tantangan Metaverse dengan versi yang berbeda dengan konten yang
berbeda, dan menghasilkan peradaban alternatif yang membawa kemaslahatan yang dlaruri.
Di pesantren,
Ilmu Manthiq dan [ilmu] Ushul Fiqh, sudah menjadi makanan keseharian. Karena
itu, kata “qiyas” (analogi), bukan sesuatu yang asing. Qiyas, yang makna
etimologinya: “Menyamakan, membandingkan, mengukur, menganalogikan. Secara
terminologi, definisi qiyas adalah: “Menetapkan hukum pada
kasus baru yang belum ada hukum sebelumnya, berdasarkan hukum yang sudah ada,
karena adanya kesamaan sebab (‘illat)”. Definisi yang lain, adalah: “Membawa hukum yang belum
diketahui hukumnya, kepada sesuatu yang sudah diketahui hukumnya, disebabkan
kesamaan sebab keduanya”. Merambah dari “jali” (جلي) ke dunia “khofi” (خفي), dari
“yang sudah diketahui” (معلوم) kepada “yang belum diketahui” (غير معلوم), sudah menjadi makanan sehari-hari santri.
sehingga mencari hal-hal yang belum diketahui berdasarkan pengetahuan yang
sudah diketahui, sudah hal yang biasa dan lumrah. Gak perlu ada “sock
culture” dan ketakutan.
“Santri sepertinya kurang kerjaaan”,
ujar orang jahil. Tetapi bagi orang alim, “Senam otak menyehatkan, menyegarkan,
dan menyehatkan akal dan badan.” “Kita harus sering “Ngopi” (ngolah Pikir, bahkan ngocok
pikiran) biar fikiran hangat, dinamis, dan produktif.”
Begitu orang bijak bilang.
Mungkin
kebudayaan Islam akan kembali menggantikan posisi kebudayaan Barat, Islam bisa
tampil kembali, sebagaimana Barat tampil menggantikan perababan Yunani dan
Romawi.
Tanda itu ada,
para “mutrafun” di Barat sudah banyak berbuat “fisq” dan “fasad”,
sehingga sunnatullah akan berjalan di atas relnya. Dan yang selamat adalah yang
berpegang pada nilai moral dan agama. Pesantren bisa menjadi pilarnya. Why
not.
واذا اردنا ان
نهلك قرية امرنا مترفيها ففسقوا فيها فحق عليه القول فدمرناها تدميرا (الاسراء:
16)
[*] Disampaikan pada
MUNAS HAPPRI III, 3 Juli 2022
* Alumni Ponpes YTP, Kertosono. Menulis buku: Teologi Ibn Taimiyah;
Fithrah sebagai Basic Psikologi Pembelajaran al-Qur’an; Sayap Liberal, Moderat,
dan Literar Pondok Pesantren.
[‡] Seperti kata “Pecinan”,
artinya: “Kawasan tempat tinggal orang-orang China”.
[§] Surau adalah sebutan bagi tempat belajar agama Islam di
Sumatera Barat dan sekitarnya. Di Jawa disebut pesantren, di Aceh
disebut dayah atau munasah (dari kata “madrasah”).
[**] Untuk Indonesia, ada pengecualian, ditulis di sini untuk penyebutan bahwa
di bumi Nusantara ada tradisi ilmiah
[††] Sebutan “Sepilis” biasanya dipakai untuk orang yang mengidap penyakit “Raja
Singa”, penyakit kelamin akibat berhubungan seksual dengan WTS, PSK, pelacur.
Nama Sepilis digunakan untuk selain yang semestinya, adalah untuk melawan,
menyerang, minimal tidak setuju, walau agak pejoratif. Dalam ilmu
pesantren, meggunakan kata untuk makna lain yang tidak semestinya, atau bukan
kelazimannya disebut majaz.
[‡‡] Lebih tepat untuk istilah futuhat Islamiyah adalah
pembebasan negeri-negeri oleh kekuasaan Islam, karena kekuasaan Islam
tidak pernah menjajah seperti yang dilakukan oleh kolonialis Barat.
Komentar
Posting Komentar