Generalisasi, Demagogi, dan Kebenaran

Generalisasi, Demagogi, dan Kebenaran


Bukhori At-Tunisi
(Alumni Ponpes YTP, Kertosono)

Betapa kita, orang biasa, kampung, kota, bahkan juga kalangan intelektual, yang pernah mengenyam pendidikan formal, non formal, dan informal pun, sering terjebak dalam sebuah generalisasi. “Menyamaratakan” fakta, kejadian, person, kelompok, sejarah, panggung politik dan lainnya, dengan fakta, kejadian, person atau kelompok, peristiwa sejarah lainnya, tanpa membedakan, memberikan spesifikasi, ciri khas, distingsi (al-fashl), pembeda, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Seolah peristiwa khusus (khash, nau’), umum, (genus, jins[un]), semua yang lain, pasti sama: Sebab, akibat dan dampak suatu peristiwa khusus, yang lain pun pasti sama sebab, akibat dan dampaknya. Orang lupa bahwa tidak semua kejadian khusus pasti sama hukum dan perilaku peristiwanya. Terkadang pengalaman pribadi (spesifik), digeneralisasikan kepada pengalaman orang lain, beberapa orang, bahkan semua orang. Padahal orang lain, beberapa orang, tidak semua orang, mengalami hal yang sama, walaupun ada kemiripan peristiwa, berawal dari sebab dan akibat yang sama.

Sikap gebyah uyah, menyamaratakan, mengeneralisasi terhadap suatu peristiwa dan lainnya, seolah menjadi trade mark dan mindset kita. Tidak ada perasaan “bersalah” atas pernyataan yang meng-gebyah uyah, mengeneralisasi segala persoalan tanpa memperhatikan spesifikasi kejadian yang membenarkan suatu pernyataan. Orang akan terjerumus pada banyak kesalahan (fallacies), manakala melontarkan suatu pernyataan, tanpa difikirkan secara mendalam isi pernyataan, tidak mencari hakikat kebenaran, tidak mau menimbang manfaat dan madlaratnya, tidak menghitung implikasi yang diakibatkan dari suatu pernyataan, juga tidak mempertimbangkan aspek kepantasan seacara bahasa; logis, rasional secara manthiq, saintifik menurut ilmu pengetahuan, santun secara budaya, etis secara agama. Semua dianggap benar, an sich, tanpa ditelisik lebih dalam esensi dan kebenaran suatu pernyataan,. Nabi Muhammad pernah menyatakan: 

من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيرا او ليصمت

 (Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam saja)

 Menyatakan suatu “kebaikan”, bukan “kebenaran”, itu yang disuruh oleh Nabi saw. Di dalam kebaikan termaktub juga kebenaran. Ada “nilai” yang ingin ditekankan oleh Nabi Muhammad melalui sabdanya tersebut, bahwa menyatakan sesuatu harus memiliki makna (value) dan tujuan (purpose, goal) bukan hanya sekedar “ngomong” tanpa ada makna, termasuk dalam menyampaikan kebenaran.

 al-Qur’an juga menyatakan, mengajak kepada kebenaran dan kebaikan harus dengan cara yang bijak, jitu, dan manusiawi; bukan “hantam kromo”, asal ngomong, “asal jeplak”, irrasional, dan tidak manusiawi, agar “sesuatu” yang diucapkan harus sampai pada maksud yang dituju, tidak mengalami kegagalan. Berbicara namun “tidak didengarkan” orang, pasti rugi. Rugi secara material dan immaterial. Ini antara lain, makna firman Allah: 

ادع الى سبيل ربك باالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي احسن ان ربك هو اعلم بمن ضل عن سبيله وهو اعلم بالمهتدين

  (Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, mauizhatil hasanah dan bertukar fikiran dengan cara yang terbaik! Sungguh Tuhanmu, Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang tersesat dari jalanNya dan Dia Maha Mengetahui terhadap orang-orang yang mendapatkan petunjuk).

 Orang Arab bertutur: قل و قيل (berbicara sedikit, tetapi mengena), bukan قيل و قال (dibicarakan dan membicarakan). Apa saja dibicarakan sehingga menjadi ‘isya’ah’ (isu). Dalam istilah Jawa disebut dengan: Saur manuk, yaitu semua orang berbicara, sehingga tidak bisa didengarkan omongannya dan tidak bisa mendengarkan apa yang dibicarakan, sehingga pembicaraannya tanpa ada ujung pangkalnya dan tanpa tujuan yang jelas.

 Al Qur’an mengajak, agar apa yang dibiacarakan, harus bermakna, tidak mubadzir, sehingga tidak membuang-buang kata yang tak ada artinya.


 Al-kisah, Tan Malaka, ketika menulis Madilog, mengalami kesulitan mencari referensi buku-buku ilmiah tentang logika, seperti karya John Stuart Mill, Jones, Jevon dan lainnya. Dia akhirnya menulis sebuah pernyataan yang tidak enak dibaca atau didengar, English speaking nations (bangsa-bangsa yang menggunakan bahasa Inggris dalam berbicara), lebih memperhatikan pendidikan bangsanya, sedang yang –dijajah—Belanda, senang demagogisch (suka berkilah, suka mempertengkarkan hal-hal yang kecil dan remeh, melupakan hal-hal pokok dan besar).[1] Lebih senang ngrumpi daripada berbicara ilmiah atau berfikir. Karena itu, di negara seperti  Inggris, Jerman, bahkan Rusia, kata Tan Malaka, sangat mudah mencari buku tentang logika atau dialektika. Sedang di Jakarta, Hindia Belanda, di toko yang dianggap oleh Tan Malaka sebagai toko terbesar di Asia Timur Raya, tidak ditemukan buku logika.[2] Padahal buku merupakan lambang, cerminan educated-nya sebuah bangsa.

 Persis seperti akhir-akhir ini, berita On Line, Televisi, membicarakan hal-hal yang sumir, dangkal dan tidak subtansial. Nilai kebenaran, budi, etika, keadaaban dan hal-hal besar, terkesampingkan oleh isu-isu murahan kelas “jalanan”. Para petinggi negara sibuk melayani “omongan” para “penjilat” kuasa, daripada membahas kebenaran faktual. Orang takut bicara benar, takut tidak dapat “sesuatu”. Takut seperti pejabat yang berani bersuara benar, namun terpental dari kekuasaan. Sedang yang bicara manis, duduk ongkang-ongkang di singgasana kuasa.

 Nabi pernah menyatakan: قل الحق ولو كان مرا (katakan yang benar, walaupun pahit). Nabi, memberikan semangat brave (berani) walaupun berakibat pahit, beresiko berat. Karena kebenaran, akan membawa kepada kebaikan (al-birr, kebajikan), sedang ketakbenaran menjerumuskan kepada kehancuran (al-nar, neraka). Tingginya harkat dan martabat suatu bangsa, adalah karena kegigihannya mempertahankan kebenaran; dan hancurnya suatu bangsa karena terjerumus dalam kelaliman.[3] Karena itu Nabi Muhammad pernah manjawab sebuah pertanyaan, “Apakah jihad itu?´Nabi menjawab, “Menyatakan kebenaran kepada penguasa yang lalim”, (ما الجهاد ؟ الجهاد: قول الحق عند سلطان جائر). Karena dengan kebenaran, akan menguak kebatilan, sehingga secara evolusi atau revolusi akan terjadi perubahan besar pada suatu bangsa. (pernah dimuat di www.harianmerdekapost.com).

 



[1] Tan Malaka, MADILOG, (Jakarta, Pusat Data Indikator, 1999), h. 19-20.

[2] Ibid.

[3] Kata lalim, diadopsi dari bahasa Arab zhalim. Proses ini, seperti kata shalat lohor, dalam bahasa Jawa, yang berasal dari kata [shalat] zhuhur. Huruf “zh” berubah menjadi “l”. Ini juga seperti kata nazhar, menjadi kata nalar; zhahir menjadi lahir; dst.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi