YAI TAIN, ADZAN dan al-Wilayatul al-Khashshah

 YAI TAIN, ADZAN
dan
al-Wilayatul al-Khashshah

 

 Bukhori At-Tunisi
(Alumni Ponpes YTP, Kertosono)

A.    Pengantar

Orang sering berpendapat bahwa shalat yang paling baik adalah awal waktu. Namun bagi kaum santri, pernyataan bahwa shalat yang paling baik dan paling afdlal adalah di awal waktu, akan ditertawai. Karena Nabi dalam banyak Hadits ternyata tidak selalu shalat di waktu paling awal. Bila panas, Nabi menyuruh untuk menunggu waktu agak dingin, bila hujan, Nabi menyuruh untuk shalat di rumah atau di kendaraan masing-masing; Nabi lebih senang shalat Isya’ agak malam (‘atamah); namun Nabi senang shalat Ashar dan Subuh di awal waktu.

Intinya, Nabi shalat mementingkan shalat jama’ah untuk pembinaan  masyarakat dan kohesi sosial serta memilih waktu yang dapat mengantarkan kepada kekhusyukan shalat agar fungsional.

Yai Tain sepenuhnya sadar bahwa shalat di awal waktu lebih banyak manfaat dan kelebihannya (afdlal) dibandingkan dengan tidak di awal waktu. Namun dalam situasi dan kondisi yang berbeda, tidak tepat, manakala shalat di laksanakan di awal waktu, namun dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sebagaimana yang sudah disepakati. Dan “molor”-nya pun tidak lama, bedanya hanya sebentar. Cuma tidak sama dengan jadwal pada umumnya. Pertimbangan itulah, mengapa, saat “Pondok Ramadlan”, waktu zhuhur diundur sedikit. Yai Tain mendasarkan argumennya pada Hadits di bawah ini. 

عن انس قال, كان النبي صلعم اذا اشتد البرد بكر للصلاة واذا اشتد الحر ابرد بالصلاة (رواه البخاري)

 (Dari Anas r.a., dia berkata, “Nabi saw. Manakala sangat dingin, mensegerakan shalat; dan manakala sangat panas, maka Nabi shalat menunggu saat lebih dingin). 

عن عائشة قالت: اعتم النبي صلعم ذات ليلة حتى ذهب عامة الليل حتى قام اهل المسجد, ثم خرج فصلى, فقال, انه لوقتها, لولا ان اشق على امتي (رواه مسلم)

 (Dari Aisyah, dia berkata, “Nabi mengerjakan shalat Isya’ hingga larut malam, hingga berlalu sebagian besar malam, hingga orang-orang di masjid bangun tidur; kemudian Nabi keluar lalu shalat. Setelah itu nabi berbicara, “Shalat Isya’ ini ada pada waktunya. Andai tidak memberatkan ummat-ku”). 

لولا ان اشق على امتي لامرتهم ان يؤخروا العشاء (رواه احمد و الترمذي)

 (Andaikata tidak memberatkan ummat-ku, tentu akan aku perinta mereka untuk mengakhirkan shalat Isya’)

 Jadi, waktu Isya’ menurut riwayat di atas, lebih afdlal di akhir malam. Namun oleh Nabi, ketentuan seperti itu memberatkan, sehingga perintah untuk mengakhirkan shalat Isya’ dibatalkan.

 Menurut Yai Tain, dengan berdasar pada argumen naqliyah di atas, maka jadwal waktu shalat dapat dirubah sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan di suatu lembaga, termasuk Pesantren YTP, Kertosono. 

B.     Adzan: Dimarahi. 

Pondok Pesantren YTP Kertosono, meliburkan Kegiatan belajar-Mengajar (KBM) pada bulan Ramadlan. Namun, pada bulan Ramadlan diadakan Pesantren Ramadlan. Penyelenggaraanya dibuat seperti model “Studium General”, ‘ala kuliah umum di Universitas. Diikuti langsung oleh semua santri putra dan putri. Dengan kajian spesial: Hadits Shahih al-Bukhari, Bulughul Maram, Riyadlus Shalihin, Ushul Fiqh. Yang mengajar, semua kyai senior: Yai Tain, Yai Ali Manshur, Yai Ali Hamdi dan Yai Ja’far Yasa’. 

Suatu ketika, pada saat Zhuhur tiba, pak Abdul Hamid adzan. Yai Tain sedang memberikan pelajaran Bulughul Maram belum selesai. Mendengan P. Hamid adzan, Yai Tain marah-marah. Yai bilang, 

Ngene iki, wong pinter tapi gak ngerti ilmune. Bener adzan iku nglaksanakno perintah Pengeran, nglaksanakno syareate Pengeran. Tapi, nglaksanakno syareate Pengeran iku ono aturane. Ono unggah-ungguhe. Gak ngawur ngono. 

Ibarat wong shalat jama’ah, iku gudu onok imame. Lamun nek awakmu shalat nang gone wong, ojo keminter terus ngimami jamaahe mesjid seng wes ono imam shalate. Iku aturane Pengeran lewat Nabi. Di balik iku, iku ngajare etika, unggah-ungguh, sopan-santun nang wong Islam. Gudu ngregani kedudukane wong masing-masing! Ojo nglende, ojo ngenggoni panggonane wong. Iku akhlak jenenge. 

Adzan iku bener aturane Pengeran, aturane syareat Islam. Tapi nggok kene ono pimpinane. Ojo sak karepe dewe, plunta-pluntus gak ruh aturan. Adzan gok kene, nek wes mari jam pelajarane. Ojo ngawur lan keminter, tapi goblok. 

Iki lo, fungsine ngaji, ben ngerti.gok endi nggon iku ono seng kuoso, ono seng mimpin. Ojo ngawur koyo pitik, mmlebu-metu sak karepe dewe. Kluruk sak karepe dewe. 

Terjemahnya sebagai berikut: 

(Begini ini, orang “pinter” tetapi tidak punya etika ilmu pengetahuan. Adzan, memang benar sebagai pelaksanaa perintah Allah, melaksanakan aturan Allah. Namun, melaksanakan perintah Allah, juga memilki aturan, ada sopan santun-nya,  tidak semaunya sendiri. 

Ibarat orang shalat berjamaah, maka harus ada orang yang menjadi imam. Namun jika kamu shalat di tempat orang. Kamu jangan sok pintar, kemudian [mengambil alih] dengan mengimami jamaah masjid yang sudah ada imam tetapnya. Yang demikian itu merupakan aturan Allah yang disampaikan melalui Nabinya. Di balik itu semua, Nabi mengajarkan etika, bisa menempatkan diri, punya sopan-santun kepada orang muslim lainnya. Orang itu harus menghargai posisi setiap orang. Karena itu, tidak boleh mengambil alih posisi [kekuasaan] orang lain. jangan menduduki posisi yang sudah diduduki orang. Itu namanya etika, akhlak. 

Benar, Adzan merupakan aturan Allah, aturannya syariat Islam. Tetapi, di tempat ini [Pesantren YTP, pen] ada yang memimpin. Karena itu, jangan semaunya sendiri. Keluar-masuk semaunya sendiri tidak ikut aturan.  Aturan di sini, Adzan sehabis pelajaran selesai. Orang itu jangan ngawur, semaunya sendiri, dan sok pinter, tapi sebenarnya bodoh. 

Inilah fungsinya orang belajar, agar mengerti. Di mana saja, pasti ada yang berkuasa, ada yang memimpin. Jangan ngawur, semaunya sendiri, kaya ayam. Keluar-masuk semaunya sendiri, berkokok semaunya sendiri, kawin pun semaunya sendiri). 

Qaul itu, saya dengar langsung saat saya ikut Pesantren Ramadlan di laksanakan di Ponpes YTP. Saya waktu itu, kaget juga. Biasanya, di kalangan awam, manakala ada kumandang adzan dilantunkan, semua akan berhenti dan bergegas menuju ke tempat shalat (masjid, mushalla atau langgar). Namun kali ini, baru menemukan seorang kyai yang memarahi orang azdan, padahal waktunya telah tiba. 

Ternyata, argumen yang digunakan oleh K.H. Mustain Kastam adalah dalil naqli juga dan dalil Ushul Fiqih yang jarang digunakan oleh para penceramah atau dai kebanyakan. Dalil itu antara lain, seperti yang dikutip di atas, namun lebih jelas antara lain sebagai berikut: 

C.    Argumen Yai Tain. 

Di antara argumen yang dikemukaka Yai Tain antara lain: 

1.      Imam Shalat: Ditegur Nabi 

Shalat, kata Nabi saw., sebagai pembeda keislaman dan kekufuran seseorang. Artinya, shalat merupakan pokok pembeda (distinction, al-fashl) antara keimanan dan kekufuran. Shalat bukan sebagai sesuatu yang komplementer (al-takamuliyah) dan asesoris (tahsiniyah) belaka. Ia sebagai “Ushul al-Diniyyah” (pokok keberagamaan) seseorang sehingga disebut sebagai “muslim”. Oleh sebab itu, Nabi menyebut Shalat sebagai piranti dasar, sebagai pondasi (asas al-bina’) dari rancang bangun Islam. Kata Nabi, 

بني الاسلام على خمس: شهادة ان لا اله الا الله, وان محمدا رسول الله, واقام الصلاة, واتاء الزكاة, وصوم رمضان والحج البيت من استطاع اليه سبيلا. 


(Islam dibangun atas lima dasar: 1). Bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah; 2). Menegakkan shalat; 3). Mebayar zakat; 4). Puasa Ramadlan; 5). Haji ke Baitullah bagi orang yang mampu menjalankannya). 

Meskipun sebagai Pokok dari rancang bangun Islam, namun Nabi saw. Memberikan pelaksanaan  shalat sesuai dengan situasi dan kondisi di mana shalat akan dikerjakan. Tidak gebyah uyah, tidak disama-ratakan pelaksanaannya, namun situasional. Bila cuacanya panas (al-harr), maka ditunda menunggu cuaca agak dingin (al-bard). Bila hujan dianjurkan shalat di rumah; bila bepergian dirukhshahkan mengqashar shalat. Shalat dalam situasi perang (Shalat Khauf), tidak sama pelaksanaannya saat situasi normal. Begitu seterusnya. 

Suatu ketika, Mu’adz ibn Jabal menjadi Imam di suatu kampung. Ternyata Mu’adz terlalu panjang dalam membaca ayat dan do’anya, sehingga ada yang “membatalkan” jama’ahnya. Setelah kejadian tersebut, orang yang “nyempal” tersebut, lapor kepada Nabi. Setelah itu Nabi memanggil Mu’adz ibn Jabal dengan memberi masukan agar bila menjadi imam shalat di suatu kampung, hendaknya jangan panjang-panjang dalam membaca surah dan do’a. Karena ada orang yang mempunyai keperluan (hajat) tertentu, sakit, atau umur sudah lanjut, manakala dilamakan, maka akan menggangu kekhusyu’an shalatnya. Oleh sebab itu, bila menjadi imam hendaknya diperingan bacaan dan doanya. Kecuali shalat sendirian (munfarid), maka boleh dikerjakan selama (thala) mungkin, dengan membaca surah-surah al-Qur’an yang panjang dan do’a yang panjang pula dengan banyak pengulangan. 

عن جابر بن عبد الله قال: صلى معاذ باصحابه العشاء, فطول عليهم, فقال النبي ص. "اتريد ان تكون يا معاذ فتانا؟" "اذا اتممت الناس فاقرأ بالشمس ... وسبح ... واقرأ ... والليل ... (متفق عليه)

(Dari Jabir ibn Abdillah, dia berkata, “Muadz pernah shalat dengan para sahabatnya, lalu Muadz memanjangkan bacaaanya”. [Setelah kejadian tersebut] Nabi ngomong kepada Muadz, “Hai Muadz, Apakah kamu ingin membuat persoalan?” selanjutnya Nabi menyuruh, “Manakala kamu mengimami manusia, baca saja Surat al-Syams ..., atau Sabbihis, ... atau Iqra’ ..., atau al-Lail). 

عن ابي هريرة ان النبي ص. قال: "اذا ام احدكم الناس فليخفف! فان فيهم الصغير و الكبير والضعيف وذا الحاجة. فاذا صلى وحده فليصل كيف شاء" (متفق عليه).

 (Dari Abu Hurairah, Nabi pernah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu mengimami orang banyak, hendaknya diringankan! Karena di antara mereka ada yang masih anak-anak, orang lanjut usia, orang yang lemah fisiknya, dan juga orang yang memiliki hajat tertentu. Karena itu, bila shalat sendirian, boleh shalat sekehendak hatinya). 

Dalil inilah yang digunakan Yai Tain untuk mengambil kesimpulan hukum (isthibath), bahwa shalat pun, sebagai ibadah mahdlah yaitu ibadah yang ketentuan waktu, jumlah dan tatacaranya ditentukan oleh Pembuat syariat, dalam pelaksanaanya harus memperatikan situasi dan konsdisi. 

2.      Doa di Masjid, dilempari batu oleh Umar ibn Khattab 

Berikut contoh Kebaikan yang dikerjakan menurut sebagian orang, sebagai suatu kesalehan karena ‘amaliah yaumiyahnya hanya berdo’a, taqarrub dan bermunajat terus kepada Allah, namun dalam pandangan Umar ibn Khaththab, perbuatan “sufistik” tersebut tidak “syar’iyyah” karena mengabaikan “sunnah” yang lain yang musti harus dikerjakan. 

Suatu ketika ada seseorang yang rajin shalat dan berdoa di Masjid Nabawi, tidak pulang-pulang ke rumahnya hingga siang hari. Kejadian tersebut berulang-ulang tiap hari. Melihat kejadian tersebut, Khalifah Umar ibn Khaththab melempari orang tersebut dengan batu [kerikil]. Si Fulan protes, “Mengapa engkau melempari aku ya Khalifah?” Umar menjawab, “Rezeki tidak akan turun kepada orang tidak bekerja, doa saja tidak cukup bagi Allah untuk menurunkan rezeki kepada kamu”. 

Bukankah berdoa bagian dari ibadah? Mengapa dilarang oleh Umar? Dalam pandangan Umar ibn Khaththab, berdoa saja tidak cukup. Orang yang meminta kepada Allah harus mengerjakan sesuatu yang dimintanya. Tidak mungkin Allah mengabulkan permintaan seorang hamba hanya “bermodal” ucapan belaka, tanpa disertai (iqtiran) dengan amal-perbuatan. Ibarat “iman”-nya orang munafiq yang hanya di mulut belaka, tanpa dibuktikan dengan amal-perbuatan nyata, maka “pengakuan” verbal yang diucapkan tidak dinilai oleh Allah sebagai nilai Iman. Iman hanya dinilai sebagai iman yang sebenarnya, manakala ucapan yang diomongkan sesuai dengan kenyataan yang dikerjakan dengan anggota jasmaniahnya. 

Ikhtiar bagi Umar ibn Khaththab, merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Hanya dengan ikhtiar dan do’a, permohonan sang hamba akan dikabulkan oleh Allah SwT. Rezeki akan dimudahkan buat orang yang bertaqwa. Sedang yang dianggap sebagai orang taqwa, tidak cukup hanya mengucapkan keyakinan kepada Allah secara verbal belaka, namun harus amal-shalih. Kesatuan antara ucapan verbal dan realitas amaliah itu yang akan mengantarkan pada wujudnya rezeki Allah. Ibarat orang mencari ilmu yang ingin mahir dan faqih dalam ilmu pengetahuan, manakala tidak belajar, hanya makan dan tidur, mustahil memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu hanya dapat diperoleh dengan belajar plus do’a [taqwa]. 

Jadi, kebaikan bukan sebagai kebenaran, manakala tidak sesuai yang disunnahkan Allah dan Rasul-Nya. Berdoa merupakan suatu kebaikan, namun do’a tidak menjadi kebenaran, saat menanggalkan aturan yang lain. jadi kebaikan dan kebenaran, harus seiring-sejalan. Sama-sama berkelindan dalam jalur yang sama. 

3.      Wilayah al-Khashshah (Kekuasan Khusus) 

Islam mengakui adanya kekuasan privat, kekuasaan yang bersifat pribadi, yang tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan negara. Kekuasaan negara hanya bisa mengatur hal-hal sekundar dan komplementer. Sedang yang primer, tetap menjadi kekuasaan privat (al-wilayah al-khashshah). Contoh, menikahkan anak perempuan, merupakan hak dan kewajiban wali, orang tua kandung, merupakan wali yang paling dekat. Selama ada wali nasab, maka wali hakim (kekuasaan pemerintah/negara) tidak bisa masuk ke dalam kekuasan dan kewenangan wali nasab. 

Rumah milik pribadi, tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin si pemilik rumah. Negara tidak boleh “memaksa” bahwa seseorang agar menerima tamu tertentu yang tidak diizini oleh pemiliki rumah. Karena rumah pribadi merupakan kekuasaan privatnya (al-wi;ayah al-khashshah). 

Dalam qaidah Ushul Fiqih, dikenal dengan qaidah sebagai berikut: 

الولاية الخاصة اقوى من الولاية العامة

 (Kekuasaan khusus itu lebih kuat dibandingkan dengan kekuasan yang bersifat umum)

Teritori kekuasaan yang abersifat khusus, lebih kuat dibandingkan dengan teritori kekuasaan yang bersifat umum. Dalam kasus kepemilikan tanah privat, negara tidak berhak mengambil alih kekuasaan dengaan memberikan hak miliki sah seseorang kepada orang lain. 

Dalam contoh lain, hukum qishash karena terjadinya pembunuhan, maka hak untuk mengampuni atau tidak kepada terdakwa, merupakan  kekuasaan privat yang dimiliki oleh korban dan keluarganya. Negara tegara tidak punya wewenang untuk mengampuni, manakal si korban tidak memberikan maaf atau ampunan. 

Keyakinan, kepercayaan dan Agama, merupakan urusan privat, maka negara tidak boleh memaksa kepercayaan dan Agama kepada seseorang. Wewenang negara hanya dalam hal-hal yang  bersifat komplementer dan tersier belaka dalam masalah Agama. 

Dalam pandangan Yai Tain, Pondok Pesantren Al-Raudlatul Ilmiyah merupakan masuk teritorial wilayah khusus yang menjadi wewenang tanggung jawabnya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren YTP. Include ke dalam kekuasaannya adalah menentukan jadwal waktu yang berlaku bagi Pesantren YTP, termasuk jadwal waktu adzan shalat Zhuhur. Pondok Pesantren YTP, tidak ada kewajiban untuk menyesuaikan dengan umumnya waktu adzan shalat zhuhur di luar Ponpes. Karena ini erat hubungannya dengan pelaksanaan kurikulum yang berlaku di YTP. 

4.      Etika 

Terakhir, menurut Yai Tain adalah berhubungan dengan masalah etika. Dalam sebuah organisasi ada etika organisasi. Dalam rumah tangga ada etika berumah tangga. Dalam pesantren pun ada hierarkhi kekuasaan yang harus dipatuhi oleh semua warga pesantren. Karena bila tidak dipatuhi, maka akan rusak tata aturan mainnya, sehingga tidak akan menciptakan dan mampu mewujudkan kemaslahatan. Justru yang muncul adalah kerusakan tatanan dan kegagalan pendidikan di pesantren. Yai Tain mengibaratkan keteraturan yang berkaitan erat dengan etika tersebut dengan perilaku ayam. Katau Yai Tain, ayam itu “slunang-slunung” keluar kandang tanpa ada aturan mainnya. Keluar tanpa izin, masuk juga tanpa izin, bahkan kawin pun tanpa izin dan tanpa aturan. Pesantren kata Yai Tain, bukan kandang ayam. Dan santrinya juga bukan ayam. Karena itu, santri YTP tidak boleh berperlaku seperti ayam, hewan yang tak berfikir itu. Etika tersebut juga berlaku bagi siapa saja yang hidup dan beraktifitas di pondok. Kalau setiap individu menentukan keputusan sendiri tanpa “izin” sang Pengasuh, kacau jadinya sistem yang ada di Pesantren. Karena itu, kata Yai Tain, segala sesuatu harus minta izin dan atas persetujuan dirinya sebagai pemangku dan pengasuh Pesantren YTP. Termasuk dalam masalah adzan shalat. 

Dalam suatu peristiwa, Allah memberikan peringatan kepada Sahabat Nabi, agar

$yJ¯RÎ) šcqãZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur #sŒÎ)ur (#qçR$Ÿ2 ¼çmyètB #n?tã 9öDr& 8ìÏB%y` óO©9 (#qç7ydõtƒ 4Ó®Lym çnqçRÉø«tGó¡o 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# y7tRqçRÉø«tFó¡o šÍ´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# šcqãZÏB÷sム«!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur 4 #sŒÎ*sù x8qçRxø«tGó$# ÇÙ÷èt7Ï9 öNÎgÏRù'x© bsŒù'sù `yJÏj9 |Mø¤Ï© öNßg÷YÏB öÏÿøótGó$#ur ãNçlm; ©!$# 4 žcÎ) ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÏËÈ [1] 

 

([Yang disebut] orang-orang beriman adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila telah ada antara Rasul dengan mereka urusan bersama, mereka tidak meninggalkan urusan hingga mereka minta izin. Sungguh orang-orang yang meminta izin kepadamu, mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika mereka minta izin kepadamu karena sebagian urusan mereka, maka berilah izin kepada orang yang kamu kehendaki. Dan mintakanlah ampun kepada Allah. sungguh Allah Maha Pengamoun lagi Maha Penyayang). 

Ayat di atas cerita tentang Perang Khandaq (nama lainnya: Ghazwah al-Ahzab). Di mana sudah dibuat kesepakatan dalam menghadapi perang melawan koalisi musyrik Makkah, para suku-suku yang menajadi sekutu dan kelompok munafiq, untuk membuat Parit (khandaq) sebagai benteng pertahanan, yang untuk ukuran waktu itu, merupakan ide yang sangat brilian. Waktu menggali parit tersebut, ada kalangan Sahabat yang meninggalkan amal shalih menggali parit untuk suatu keperluan tanpa izin Nabi, lalu turunlah ayat di atas (QS. Al-Nur [24]: 62), sebagai teguran moral-etik atas ketidak disiplinan dan ketidak patuhan atas keputusan bersama. Karena perbuatan “dzahab”, pergi tanpa izin tersebut, mengganggu “kebersamaan” (jam’iyyah, syirkah). Boleh minta izin karena suatu keperluan, namun atas seizin dan persetujuan Nabi. Itu pun kata Allah, Nabi Muhammad disuruh untuk memintakan ampun kepada Allah (istighfar) atas permintaan izin tersebut. Artinya, meskipun diberi izin oleh Nabi saw., namun perbuatan tersebut “mengganggu” kebersamaan dan kekuatan “jam’iyyah”, dengan “qarinah” kata “istghfar”. 

Allah hendak mengingatkan kembali atas peristiwa Perang Uhud, yang banyak menewaskan pemanah muslim, termasuk paman Nabi tercinta, Hamzah ibn Abdul Muthalib. kematiannya membuat Nabi sedih sekali, karena kehilangan paman tercinta, paman sang pemberani dan pembela Islam sejati. 

Peristiwa Uhud adalah peristiwa terburuk zaman Nabi, karena ketidak disiplinan sebagian para tentara Islam yang berada pada posisi strategis, untuk taat dan tunduk pada komando Panglima Tertinggi Islam, Nabi Muhammad saw. Peristiwa inilah yang diingatkan Allah kepada orang-orang mu’min untuk bersama-sama dalam berjuang. Pahit dan manis dirasakan bersama. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, Berat atau pun ringan, ditanggung bersama-sama. 

Ayat di atas, peristiwa Perang Uhud dan prosesing penggalian parit pada Perang Khandaq sebagai benteng pertahanan, dijadikan isthinbath oleh Yai Tain untuk mengambil sikap bahwa di suatu lembaga seperti pondok pesantren, harus ada aturan, etika dan ketaatan kepada kesepakatan yang ada, antara lain: Adzan shalat. (pernah dimuat di www.harianmerdekapost.com)

 



[1] QS. Al-Nur [24]: 62.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi