Kyai Salim Akhyar dan Gerakan Sempalan (الشيخ سالم أخيار و حركة الاعتزالية)
Kyai
Salim Akhyar dan Gerakan Sempalan
(الشيخ سالم أخيار و حركة
الاعتزالية)
Bukhori at-Tunisi
(Alumni Ponpes Arroudlotul Ilmiyah, Kertosono)
Sebelum “nyempal” (i’tizal, اعتزال), Washil
ibn Atha’ pernah “bicang-bincang” berbobot sama gurunya, hingga pada suatu
pertanyaan yang membuatnya mengambil posisi “nyempal” dari pendapat gurunya.[2]
Alur dialog dengan gurunya sebagai berikut:
Secara sosiologis, sejarah terbentuknya “kelompok” (firqah, qabilah,
thaifah, ummah), “sempalan” (i’tizalah) di antara penyebabnya adalah
ketaksepahaman (ikhtilaf) dengan “ideologi” (fikrah, madzhab, fahm)
kelompok mayoritas (jumhur). Di abad pertengahan, ditulis buku “Al-Farq
bain al-Firaq” (Perbedaan antar Kelompok), “al-Milal wa
Nihal”, (Agama-agama dan Sekte);
begitu juga buku baru seperti “Tarikh Madzahib al-Islamiyah” (Sejarah
Kelahiran Madzhab-madzhab Islam), menggambarkan dengan jelas tentang
perkembangan munculnya kelompok sempalan baru yang berpisah dari kelompok utama.
Dari sisi positifnya, munculnya “sempalan”, terjadi adanya “pembaharuan” (tahdits)
atas status quo (qadim). Sisi negatifnya, munculnya “antithesa”
terhadap “thesa” lama yang telah mapan, mengguncang bangunan lama dari
“kenyamanan”, karena bangunan lama berkurang bagian organiknya, karena adanya
“dahan” yang “sempal”, putus, patah, dan terlepas dari bagian “pohon utama”,
dan menjadi “pohon baru”.
Goncangan awal justru terjadi pasca wafatnya
Nabi dengan munculnya nabi palsu dan kelompok yang menolak membayar zakat.
Kemunculannya membuat “kaget” ummat yang disebut oleh al-Qur’an sebai “khairu
ummah” (ummat terbaik). Lalu peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman ibn
‘Affan dan peperangan antara Aisyah, Mu’awiyah, melawan Khalifah Ali ibn Abi
Thalib, membuat ummat Islam “limbung” karena mendapat cobaan besar (alfitnah
al-kubra). Munculnya kelompok “apolitik” yang diperlihatkan oleh sosok
sahabat besar seperti Ibn Umar hingga Tabiin kenamaan Imam al-Hasan al-Bashri, yang
akhirnya nanti menjadi “cikal-bakal” kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah
karena “berisiknya” gesekan intra ummat Islam.
Kelompok mayoritas yang “apolitik” pun mengalami goncangan saat muncul kaum
rasionalis yang dikomandani Washil ibn Aha’. Posisi yang sama dialami oleh kaum
rasionalis Mu’tazilah, saat menguasai medan politik kekuasaan keagamaan --
karena dijadikan sebagai madzhab resmi negara, [4] oleh
Khalifah al-Ma’mun dan penerusnya--, saat Abu Hasan al-Asy’ari mendeklarasikan
diri “menyempal” dari madzhab Mu’tazilah dan membentuk faham baru, yang nantinya
dinisbatkan kepada namanya sendiri: “Asy’ari”, menimbulkan “guncangan” internal
kaum Mu’tazilah, karena kehilangan “bagian” yang dulu menjadi bagian integral
madzhabnya.
Di kalangan ahli Kalam dan ahli Fiqh pun, yang terbiasa berfikir rasional-spekulatif, terjadi guncangan, saat muncul faham salafiyah, yang mengajak kembali kepada metode pemahaman kaum salaful ummah, yaitu metode pemahaman para Sahabat Nabi, Tabiin dan Imam Madzhab salaf. Faham yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah melalui gerakan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” [‘ala manhaj al-salaf al-shalih”], (Kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, ‘ala manhaj salaf shalih), mengkritik dasar-dasar keagamaan kaum spekulan, faham keagamaan yang mendasarkan kepada hasil “ratio”, bukan kepada “nash”. Pemahaman yang menurut Ibn Taimiyah, kehilangan “ruh” keagamaannya, karena agama tidak mendasarkan kepada doktrin wahyu, namun mendasarkan kepada hasil spekulasi ratio (al-‘aql).Awal penyempalan
Penyempalan awal justru terjadi pasca wafatnya Nabi Muhammad saw., yaitu
pada masa Khalifah Abu Bakar, di mana masa pentasyri’ an baru selesai. Kekuasaan
Abu Bakar belum seumur jagung, sudah ada pengingkaran terhadap perintah tasyri’
dan membangkang terhadap pemerintahan Islam. Padahal, ingatan para Sahabat
nabi masih hangat-hangatnya, karena baru kemarin ditinggal manusia yang paling
dicintai, Nabi akhir zaman. Apa yang dikerjakan Nabi, masih terbayang jelas di
mata mereka. Segala ucapan, amaliah, dan approval (taqrir) Nabi
masih mereka hafal semua, terjadi peristiwa “riddah” dan penolakan
membayar Zakat. Lalu mengapa peristiwa riddah (keluar dari Islam) dan
menolak untuk membayar zakat terjadi?
Ada tiga macam motif timbulnya kelompok sempalan: 1. Motif keagamaan; 2.
Motif politik. 3. Motif pemikiran
Satu, “Motif keagamaan”. Dalam sejarah Islam, motif keagamaan justru muncul pasca
wafatnya Nabi Muhammad saw. saat kaum Yamamah menolak membayar zakat, karena “zakat”
dianggap sebagai “upeti”. Upeti adalah pembayaran bagi kelompok yang tunduk
kepada kekuasaan yang lebih besar untuk mendapat jaminan keamanan dan
perlindungan. Bagi orang Yamamah, zakat dipersepsi sebagai kompensasi jaminan
keamanan. Bagi masyarakat Yamamah, “zakat” adalah merendahkan martabat dan
prestis kaum Yamamah kepada kekuasaan Madinah. Pimpinan mereka membuat tameng
dan “menjual” agama sebagai justifikasi (pentashih) kebenaran klaim
“ketidaktundukan” kepada kekuasaan Madinah yang dipimpin oleh “khalifaturrasul”,
yaitu Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq, dengan memproklamirkan diri sebagai “nabi”
baru, dan membawa agama baru.
Model “sempalan” seperti kasus kaum “murtad” (keluar dari Islam) di
Yamamah, dinilai oleh para mutakallimun dan ahli fiqih, sebagai sempalan yang
sesat (dlalal), karena sudah keluar dari sendi-sendi pokok (ushul)
Islam. Sehingga tidak ada “toleransi” untuk mempertahankan eksistensi mereka.
Sikap ini, diambil oleh Khalifah Abu Bakar, dengan memerangi kaum murtad di
Yamamah, sehingga mereka tunduk dan kembali ke jalan yang benar. Peristiwa ini kenal
dengan “Ghazwah Yamamah”, yang dipimpin oleh Panglima Perang Khalid
ibn Walid, yang banyak menewaskan para penghafalal-Qur’an. Di posisi kaum
Yamamah, Musaillamah al-Kadzdzab ingin menjadi nabi dan dan menjadi pemimpin
agama, karena banyak “benefit” duniawiyahnya.
Kedua, “Motif politik”. Pada peristiwa Perang Jamal (khalifah Ali vs Ummul
Mu’minin, Aisyah binti Abi Bakar) dan Perang Shiffin (Khalifah Ali vs
Muawwiyah), kental aroma “siyasah” (politik) untuk memperebutkan
kekuasaan dengan berlindung di balik kematian Utsman ibn Affan. Nyatanya, pasca
berakhirnya kekuasaan Khalifah Ali dan beralih ke tangan kekuasaan Muawiyah
pasca “Ammul Jama’ah” (Tahun Unifikasi) antara Khalifah
Hasan ibn Ali[5]
dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan, “tuntunan” untuk menghukum pelaku pembunuh
Utsman, tidak lagi muncul ke permukaan, padahal kekuasaan de facto kekuasaan
Arab Islam pada waktu itu ada pada Dinasti Umayyah, di mana Utsman dan Muawiyah
masih dalam satu klan.
“Penyempalan” (firaq) semacam yang dilakukan oleh Sayyidah Aisyah
dan Muawiyah, oleh para mutakallimin dan para fuqaha’ masih “al-ma’fu”
(ditoleransi, dimaafkan), sehingga tidak masuk dalam kategori “riddah”
(keluar dari Islam). Hingga tokoh kritis seperti Ibn Taimiyah tidak berani
“menghakimi” para sahabat nabi terbaik sebagai “murtakib al-kabirah”,
“ma’shiyah”, bahkan “kafir”. Dengan berlindung di balik konsep “ijtihad”. Ibn
Taimiyah menyatakan, “Ali memerangi Muawiyah adalah benar karena mendasarkan
pada ijtihadnya, bahwa sebagai kepala negara harus mempertahankan eksistensi
kekhalifahan dari “pemberontakan” yang dapat mengacaukan dan menghancurkan
negara. Muawiyah juga benar berdasarkan ijtihadnya, yang berhak menuntut
“keadilan” atas nama “ahli waris” dari Klan Umayyah ibn Harb, di mana Utsman
dan Muawiyah, sama-sama satu klan. Karena sama-sama produk “ijtihad”, maka jika
benar dapat dua pahala, --pahala berijtihad dan melaksanakan hasil
ijtihadnya--, jika salah dapat satu pahala, yaitu pahala “berfikir”-nya saja.”
Hanya kaum Kharijiyah yang menilai Ali, Muawiyah, Amr ibn Ash, sebagai “murtakib
al-kabirah” (pendosa besar), karena tidak bertahkim dengan hukum
al-Qur’an. Mereka bertiga yang paling bertanggungjawab atas kekacauan politik
ummat, sehingga layak disebut sebagai “kafir” yang pas untuk “dihabisi”, karena
tidak bertahkim dengan hukum Allah, tetapi bertahkim berdasarkan “kesepakatan”,
“musyawarah” yang “pincang”.
Kaum Kharijiyah asal muasalnya adalah para pengikut Khalifah Ali. Mereka
kecewa dengan Khalifah Ali yang menerima ajakan damai kelompok “bughat”
Muawiyah. Menurut kelompok yang akhirnya “keluar” (kharij) dari kesatuan
kelompok Ali, ajakan damai Muawiyah dengan mengangkat al-Qur’an hanya “tipu
muslihat” saja demi menghindari kekalahan perang, bukan untuk damai, an sich.
Karena “keluguan”, ketulusan, dan keikhlasan Imam Ali, ajakan damai tersebut
diterima, walau banyak ditentang oleh kelompok Imam Ali sendiri. Kita semua
tahu, “ending” dari teaterikal “Daumatul Jandal”, utusan Imam Ali, Abu Musa
al-Asy’ari, seorang shahabi yang alim, tawadlu’ dan nir
pengalaman diplomasi, dipecundangi oleh Amr ibn Ash, lewat “kelihaian” siyasah
Amr atas “keluguan” tokoh “sholeh”, Abu Musa al-Asy’ari. Ali kecewa, tapi “nasi
sudah menjadi bubur”, ummat sudah terpecah menjadi tiga kekuatan: Pendukung
Ali, Pendukung Muawiyah, dan Kaum Khawarij (kelompok sempalan, non alingment
poros utama). Tahkim Daumatul Jandal secara
geneologis, adalah pemicu nyempalnya (kharij, i’tizal)
sebagian kelompok Khalifah Ali, untuk membuat “poros baru” sebagai “kekuatan
ketiga” (thrith force), di luar Poros Ali dan Poros Muawiyah. Sisa-sisa
ideologis tiga kelompok besar “salaf” tersebut, masih tumbuh subur hingga
sekarang, baik di kawasan Maghribi, Timur Tengah, dan Timur Jauh.
Ketiga, Motif Pemikiran. Ada perkembangan positif di dunia pemikiran Islam, bahwa munculnya
pemikiran baru, tidak melulu bersifat politis dan mendompleng (ikut
menjadi bagian) kekuasaan atau motif yang berkedok “agama” untuk justifikasi “vested
interest” duniawi. Pemikiran baru ada yang tumbuh genuin (murni)
dari hasil pemikiran kontemplatif dan dialogis. Pada abad pertengahan,
kontemplasi dan dialog ilmiyah yang ditampilkan lewat sosok Washil ibn Atha’
dengan gurunya al-Hasan al-Bashri, Abu Hasan al-Asy’ary dengan gurunya
al-Jubbai, adalah murni dialog kontemplatif yang bersih dari pengaruh luar
Arab. Begitu juga perdebatan seputar fiqih, genuin (murni) pemikiran
spekulatif ubudiyah, bukan dipengaruhi oleh faktor luar. Ambil contoh dalam
fiqih, “Bagaimana hukumnya, suami salah menggauli saudara istrinya saat tidur
karena rumahnya gelap?” pertanyaan seperti ini jelas-jelas spekulatif, bukan
realis, karena ia produk imajinasi seksualis ahli fiqih. Masak ya, istri dan
saudara istri tidur satu ranjang, sehingga salah menggauli. Kan tidak mungkin,
namun pertanyaan itu ada, walaupun “ngarang-ngarang”.
Yang dahsyat adalah pengaruh dari penterjemahan buku-buku Yunani, Persia,
dan India, banyak melahirkan filosuf muslim, saintis, matematikawan, dan kaum
sufi-filosofis. Sebut misalnya Ibn Sina, al-Kindi, al-Farabi, al-Khawarizmi, al-Jauhari, al-Battani, Ibn Hayyan,
Ibn Thifail, Ibn Rusyd, Ibn Firnas, dan lainnya.
Itulah 3 pokok yang biasa menjadi pemicu berpisahnya satu komunitas dari
komunitas lainnya. Dan faktor yang lain masih banyak, nanti bisa dielaborasi
lebih lanjut di dalam space yang berbeda.
Mu’tazilah masuk dalam katagori di atas. Istilah “i’tizal” atau “mu’tazil”
sendiri, justru datang dari Imam Hasan al-Bashri. Karena memisahkan diri dari
kajian Imam Hasan al-Bashri dan mendirikan kelompok kajian sendiri. Penyebutan “i’tizal”
(nyempal), kalau zaman sekarang (now), masuk kategori labelisasi
yang menjadi bagian dari “politik identitas”. Labelisasi “tertentu” pada “yang
lain” yang berbeda mentradisi juga di kalangan pemikiran keagamaan. Namun
“labelisasi” juga penting bagi orang “alim”, untuk “menandai” dan “membedakan”
(taqsim (تقسيم), tafshil” (تفصيل))
antara yang berbeda dan mengelompokkan sesuatu yang sama (sabr, سبر),
biar tidak jatuh pada “over generalisasi”. Inilah salah satu “kebiasaan” orang
Arab, untuk menandai perbedaan (al-fashl, distingcy) dengan
“mengaitkan” hal-hal baru tersebut dengan “person” (rijal, tokoh),
“daerah” (madinah, tempat tinggal), “keturunan” (family, alu,
dzurriyat), “kelompok” (clan, ashabiyah), atau “ide” (fikrah),
“waktu” (zaman) agar lebih dikenali (ma’rifah) dan dimengerti (mafhum).
Contoh “pengenalan” (ma’rifah) yang menggunakan “ya’ nisbah”:
Jahamiyah, Sabaiyah (diadopsi dari nama Jahm ibn Shafwan);
al-Shan’ani, al-Bukhari (diambil dari nama kota atau daerah); “Alawi,
Hasani, Fathimi (keturunan); qadariyah, jabariyah, bidai (pola
pemikiran) ; salafi (generasi awal Islam (time): para Shahabat
Nabi, Tabiin, dan Tabiut Tabiin); dan seterusnya. Dalam tatabahasa Arab, untuk
membuat suatu “kaitan”, atau “hubungan”, “nisbat”, “kelompok”,
“identitas”, “asal-usul”, dan lainnya, dengan menggunakan “ya’ nisbah” (ي).
Di Indonesia, H.O.S. Cokroaminoto keluar dari pekerjaannya yang “nyaman”
sebagai “ambtenaar” Belanda. Beliau lebih memilih sebagai orang bebas
yang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya daripada kerja sebagai “kacung”
Belanda. Soekarno, salah seorang murid dan menantu Cokroaminoto, lebih memilih nyempal
menjadi pejuang kemerdekaan bangsanya daripada menjadi pegawai Londo. H. Agus
Salim lebih memilih nyempal untuk menjadi guru para calon intelektual
bangsa dan pejuang memerdekakan bangsanya, daripada menjadi “konsul” penjajah Belanda
di Jeddah. Muhammad Hatta lebih memilih nyempal dengan menjadi
“Mahasiswa Pejuang” kemerdekaan bangsanya daripada menjadi mahasiswa
“baik-baik”, “nurut” sama Londo. Begitulah sikap para anak muda lainnya, mereka
rela nyempal (mufaraqah, i’tizal) dari posisi “nyaman” dan
memilih posisi yang “tidak nyaman” untuk kemuliaan bangsanya sendiri.
Kyai Salim Akhyar, lahir di desa Kelutan, Ngronggot, Nganjuk. Pendidikan
ibtidaiyahnya, nyantri di Pondok Pesantren “Masyariqul Anwar”
(Tempat berkilaunya Cahaya). Pesantren ini sampai sekarang (tahun 2022) masih
ada, namun tidak terlalu besar untuk ukuran pesantren yang berafiliasi ke faham
Nahdlatul Ulama’. Setelah menamatkan di Pesantren Masyariqul Anwar, beliau
melanjutkan belajar di Ponpes Tebu Ireng, Jombang, yang diasuh oleh Kyai Hasyim
Asy’ari.
Saat menjadi santri Pesantren Tebu Ireng, [Yai] Salim yunior pernah bertanya
kepada Kyai Hasyim, “Romo Kyai Hasyim, La nopo ndamel celono kok dihukumi
haram?” Kyai Hasyim menjawab, “Nek gak diharamno, mengko rakyat melok
Londo kabeh. Tunduk patuh marang Londo, penjajah rakyat Nusantara iki. Kan
haram hukume melok penguasa seng kafir. Lah, nek pakaeane podo karo penjajah,
berarti iku podo karo melok dadi penjajah. Iku haram. Iki koyo sabda Nabi, “Man
tasyabbaha bi qaumin fa innahu minhum.” Lah nganggo sarung kanggo santri iku
wajib, sebab dadi tengeran, lan dadi tondo kesalehan lan perlawanan karo
penjajah ora secara terang-terangan.”[6]
Kyai Salim bercerita pada santrinya saat mendirikan Pesantren Arroudlotul
Ilmiyah, bahwa beliau “tidak setuju” terhadap pendapat gurunya tersebut.
Menurut Yai Salim, hukum memakai celana tetap pada hukum “asal” berpakaian,
yaitu “ibahah” (boleh), bukan haram. Jadi berpakaian apa saja “boleh”, tidak
haram. Berubahnya hukum karena adanya suatu sebab (علة),
yai Salim setuju. (الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما), “Hukum
berlaku karena ada atau tidak adanya sebab”, tetapi derajat “celana”, tidak
sampai derajat “haram”. Sempat terjadi “dialog” antara beliau dan Kyai Hasyim,
namun belum sampai “i’tizal” seperti apa yang dilakukan Washil ibn ‘Atha’.
Namun sebagai santri “kritis” sudah ada semenjak menjadi santri.
Cikal-bakal kritisisme dan keinginan untuk “banyak tahu” sangat tinggi (حمس)
sejak nyantri. Semangat itulah yang mendorong untuk belajar lebih tinggi ke tempat
Islam lahir, Timur Tengah. Ust. Ihsanuddin Sanjaya, santri dan tetangga beliau
bercerita, “Bahwa “cengkir” (kencenge pikir) adalah modal terbesar untuk
melanglang buana, walau pun harus “ngontel” (sepeda ontel) dan lewat jalur
darat untuk sampai di Timur Tengah.".
Sebagaimana diketahui, Yai Salim ke Saudi Arabia hingga sampai di Sudan
pada tahun 30-40an sebelum merdeka lewat jalan darat, mulai dari Jawa,
Sumatera, nyeberang ke Tumasik (Singapura), Malaya (Malaysia), Thailand, Burma,
Bangadesh, India Pakistan, Afghanistan, Iran, Irak, hingga ke Saudi. Tak heran,
jika santri awal Ma’had Arroudlotul Ilmiyah ada yang berasal dari Cirebon,
Lampung, Jambi, Palembang, dan Singapura, adalah anak-anak teman dan kenalan
beliau yang tinggal di jalur yang dilalui Yai Salim saat melawat ke Timteng.
Beliau belajar di Makkah al-Mukarramah dan juga di Mesir. Di Timur
Tengahlah, sikap kritis dan tidak menerima begitu saja suatu pendapat terformulasasi,
saat bertemu dengan gagasan “taqdis” (pemurnian) kaum Muwahhidun dan “tahdits”
(pembaharuan) Abduh. Kata orang Jawa,“Tumbu kepethuk tutupe” (Tumbu
bertemu tutupnya: Apa yang diharapan menjadi kenyataan). Di antara teman
belajar saat di Mesir dan sering berkunjung ke Ponpes YTP, serta memberikan
ceramah umum di Pesantren YTP adalah Prof. Kahar Muzakkir, salah seorang
Perumus Piagam Jakarta dan Rektor UII Yogyakarta.
Mirip kyai Dahlan pendiri Muhammadiyah, yang saat di Makkah tertarik pada
pemikiran moderen Afghani dan Abduh; dengan membaca tulisan Jamal al-Din
al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, dan Sayyid Rasyid Ridla yang disiarkan lewat
majalah Al-Manar dan ide pemurnian Islam dari buku-buku tulisan Syaikh
Muhammad ibn Abul Wahhab. Hal yang sama dialami juga oleh Yai Salim, pemikiran
beliau dipengaruhi oleh Pan Islamismenya Afghani dan modernisme Abduh, plus
ketambahan pemikiran nahdlah politik ‘ala Ikhwanul Muslimin. Tak
heran di Ponpes Arroudlotul ilmiyah diajarkan kitab Risalah Tauhidnya
Abduh, Aqaidnya Hassan al-Banna, ‘Anashir fi Quwwah al-Islam
karya Sayyid Sabiq; tak lupa tulisan kelompok modernis Sumatera Barat, kitab
Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, seperti Mu’in al-Mubin, Mabadi’ Awwaliyah,
al-Sullam, dan al-Bayan, dipakai jadi matapelajaran pada Pesantren
Arroudlotul Ilmiyah.
Pulang dari Timur Tengah, buku-buku beliau dikirim melalui 2 (dua) jalur:
1. Jalur Jakarta; 2. Jalur Tuban. Yang lewat Jakarta, disita dan dibakar; yang
lewat Tuban, bisa lolos.
Setiba di tanah air, beliau mengajar di Pondok Pesantren Nglawak dan ngaji keliling
di sekitar kota Kertosono. Difasilitasi oleh keluarga turunan Arab, yaitu Bang
Dullah, Siti Maryam dan keluargannya, beliau dikasih wakaf tanah di Timur Pasar
Kertosono untuk didirikan Pesantren. Maka ide purifikasi ‘ala Bin Abdul
wahhab dan modernisme Islam ‘ala Abduh diajarkan di pesantren yang
beliau ajar.
Tak diketahui secara pasti kapan beliau “nyempal” dari faham “guru”-nya.
apakah sejak nyantri di Tebu Ireng ataukah setelah berkenalan dengan pemikiran taqdis
dan tahdits Timur Tengah? Bibit-bibit kritisisme memang sudah lahir
sejak nyantri di Tebu Ireng, namun belum nampak ke permukaan, karena beliau
masih “sendirian”. Di kampung beliau sendiri, Kelutan, Ngronggot, tidak ada
orang Muhammadiyah atau “langgar” Muhammadiyah. Begitu juga di Kertosono,
Muhammadiyah belum ada. Berkembangnya Muhammadiyah di Kertosono setelah
kedatangan beliau di Kertosono pasca kembali dari Timteng. Adi, besar kemungkinan
“i’tizal” beliau pasca belajar dari Timur-Tengah.
Gerakan sempalan biasanya dicu oleh:1. Tidak puas dengan yang ada; 2. Menemukan
ide baru; 3. Perbaikan keadaan.
Pertama, Tidak puas dengan keadaan. Ketidakpuasan menjadi salah satu fakor
lahirnya gerakan sempalan. Suasana “gerah”, “panas”, dan “pengap” menjadi
faktor ketidakbetahan untuk bertahan di “rumah lama”, sehigga untuk memperoleh
suasana baru yang lebih segar, hangat, dan nyaman, harus membuat rumah yang
baru. Rumah lama sudah terlalu sesak dan terbatas ruangannya sehingga tidak
layak untuk menampung bertambahnya “anggota” baru. Biasanya, kelahiran jabang
bayi baru, tidak dapat jatah lagi untuk “bersemayam” di kamar yang telah banyak
berisi anggota lama, maka kehadiran “bayi” yang baru lahir, harus membuat rumah
baru yang lebih besar, nyaman, dan banyak kamarnya, sehingg bisa banyak
menampung anggota baru yang lebih “fresh”, enerjik, dan
Kedua, Menemukan ide baru. Munculnya ide baru kadang tidak diterima oleh komunitas
lama, sehingga harus membuat komunitas baru untuk menampung dan menyebarkan
ide-ide yang sama dalam satu komunitas. Timbulnya komunitas sempalan, adalah
karena ide baru dianggap keluar dari pakem lama yang sudah mapan. Sedang
bagi kaum pembaharu, ide baru dianggap lebih relevan dan maju untuk zaman ke
kinian; maka jalan “menyempal” adalah salah cara untuk menumbuh kembangkan ide
beru yang ditemukan untuk menghindari terjadinya “konflik” dalam komunitas
lama. Pertimbangan “mashlahah” dijadikan rujukan untuk menyempal agar tidak
timbul “madlarat” yang merugikan semua komunitas (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح).
Ketiga, perbaikan keadaan. Munculnya gerakan sempalan adalah untuk memperbaiki
keadaan (ishlah, reform) yang kurang baik, kurang maju dan stagnan (jumud).
Adakalanya keadaan memang betul-betul bobrok yang dapat mengakibatkan
kehancuran, sehingga perlu perbaikan keadaan biar kerusakannya tidak lebih
parah. Dalam gerakan perbaikan ini, pasti ada tantangan, karena para membela
“status quo”, menganggap keadaan baik-baik saja. Pembelaan utama pro status quo
adalah posisinya sangat menguntungkan kelompok mereka. Gerakan sempalan sering
berada dalam posisi berseberangan dengan kelompok status quo ini, karena ingin
mengoreksi, memperbaiki, dan mengganti keadaaan. Dalam kelompok status quo
keagamaan pun, mereka banyak mendapat previlage dari sistem yang sudah
terbentuk dan berjalan lama. Mereka tidak mau diganggu posisi nyaman mereka.
Ditolaknya kelompok pembaharuan, karena mengganggu posisis adventages mereka.
Dari 3 (tiga) faktor tadi, Kyai Salim menemukan “kawan” pemikiran merdekanya (hurriyah al-fikr) saat belajar di Timur Tengah. Ide bebasnya memperoleh penguatan (empowerment) saat bertemu dengan gerakan taqdisiyah Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Tahdisiyah Muhammad “Abduh, dan Ishlahiyah siyasiyah Ihwanul Muslimin. Kata orang Medan, “Jadilah barang” itu, sehingga ide modernisme lokal ‘ala Yai Salim berani muncul ke permukaan di kota kecil Kertosono, walaupun menjadi “minoritas”. Tiga faktor di atas ada pada diri Yai Salim, walaupun tidak genuin (murni) dari ide diri beliau tanpa pengaruh ulama’ lain.
Nyempal ke mana?
Ke mana Yai Salim nyempal? Yai Salim menyempal dengan “menyalahi” faham
“jumhur” yang berkembang pada waktu itu, lalu mengambil sikap mendukung: 1. Kemerdekaan
berfikir; 2. Menolak taklid; 3. Bebas bermadzhab; 4. Menerima modernisme;
Pertama, mendukung kebebasan berfikir. Free thinking, hurriyah al-fikr, kemerdekaan
berfikir adalah “rukun” faham pembaharuan (modernism), karena kemerdekaan
berfikir menjadi basic pemecah kebuntuan (stagnant) produktifitas
berfikir. Tidak akan pernah terjadi pembaharuan pemahaman pemikiran, manakala kebebasan
berfikir dilarang. Tidak akan ada konsep baru yang lahir yang bisa ditawarkan bila
yang alim tidak boleh berfikir. Sejarah berkata, masa kejayaan kekuasaan Islam,
produktifitas karya tulis (tafsir, filsafat, matematika, geografi, sains, dll)
sangat luar biasa, karena kekuasaan memberikan ruang bebas yang sangat luas
bagi para ilmuwan, cendekiawan, alim-ulama’ untuk berfikir bebas dan menulis,
sehingga para ahli ilmu terpacu untuk menuangkaan idenya dalam tulisan. Dukungan
penguasa terhadap karya tulis dengan menghargai setiap tulisan setara (equal)
dengan berat emas atau uang dinar, membuat hidup mereka terjamin. Penghargaan yang belum
pernah ditorehkan oleh kekuasaan manapun kecuali kekuasaan kekhalifahan Islam.[7]
Kebebasan berfikir membuat warna dan bentuk keragaman yang sangat indah dan
dinamis. Di dalam fiqih, ada Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Zaidi,
zhahiri, juga yang kurang masyhur: madzhab Auza’i, Thabari, Tsauri, dan
lainnya. Bila dipersempit menjadi madzhab fiqih kontekstual ‘ala Maliki,
rasional ‘ala Hanafi dan Syafi’i, “tekstual” ‘ala Hanbali dan Zhahiri. Belum
lagi di Syiah yang mengikuti aliran Akhbari (tekstual) dan Ushuli (rasional).
Di Indonesia ada madzhab Nahdliyah dengan “Bahtsul Masail”-nya dan Muhammadiyah
dengan “Majelis Tarjih”-nya.
Dalam bidang teologi lahir Madzhab Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Murjiah,
Jahamiyah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Ahlus Sunnah, Wahabi.
Dalam bidang tafsir, ada aliran tafsir rasional (bi al-ra’yi),
tekstual (bi al-ma’tsur), filosofis (falsafah), sufistik (isyari),
saintis (ilmiyah), sosiologis (ijtima’i), bahasa (lughawi),
makna (ma’ani, semantik), dan lainnya.
Dalam bidang politik anak aliran Khawarij, Sunni, dan Syi’i. Yang lebih
modern ada aliran pragmatis, idealis, komunis, nasionalis, dan lainnya
Begitu kaya khazanah intelektual kaum muslim. Kyai Salim tidak mau dirinya
dan kaum muslim dibatasi untuk ikut satu atau dua madzhab aliran saja, baik
teologi, fiqih, tafsir, siyasi, dan lainnya. Terlalu sempit “rumah” madzhab
yang ditawarkan jika hanya rumah yang diterima atau diwariskan dari
bapak-moyangnya saja. Masih banyak alternatif dan pilihan yang beragam yang
lebih fresh dan lebih konfortabel bagi masing-masing person dan ummat.
Karena itu, Yai Salim di dalam Mars YTP mengajak santri untuk terbang tinggi ke
angkasa melihat keindahan keragaman cakrawala dan bumi dari ketinggian, tidak
hanya menyaksikan keindahan di dalam kamar, rumah, atau lingungan “madzhab”
tertentu saja, yang terbatas dan tidak luas. Yai salim mengajak untuk
melepaskan diri untuk tidak terikat dan terbang tinggi jauh untuk menemukan
dunia baru yang indah dan membahagiakan. Oleh sebab itu di Taman Pengetahuan (Arroudlotul
Ilmiyah) –masa awal--yang beliau bangun dan didirikan, diajarkan beragam
kitab lintas madzhab. Ada Bidayatul Mujtahid, al-Mu’in al-Mubih
(fiqih muqaranah dan fiqih moderen), Risalah al-Tauhid, Aqaid, Husun
al-Hamidiyah (tauhid, teologi modern, Asy’ariyah), Alfiyah, Nahwu
al-Wadlih (Gramatika klasik dan modern), Tafsir Baidlowi, Jalalain (tafsir
bernuansa Mu’tazili dan Sunni), Hadits Bukhari, Bulugh al-Maram, Riyadlus
Shalihin (hadits), Muqaddimah ‘Ilm al-Tafsir [Ibn Taimiyah], al-Itqan fi
‘Ulum al-Qur’an (ilmu al-Qur’an aliran Salaf dan Sunni), ‘Anashir fi
Quwwah all-Islam (siyasah), mabadi’ Awwaliyah, all-Sullam, Bayan (Ushul
Fiqh modernis), dan lainnya.
Dari dididikan Yai Salim di Taman Pengetahuan-nya lahir tokoh yang besekala
nasional, mulai dari Kang Moeslim Abdurrahman (Teologi Transformatif), Ki Ageng
Fatah Wibisono (PP MUhammadiyah), Kyai Mustain Kastam (As-Syaikh al-Tsani),
Kyai Ali Manshur (As-Syaikh al-Tsalits), Dr. Arief Imroni (akademisi), K.H.
Hamim Thohari al-Brengkoi (Metode Tikrar [li h]’fizh al-Qur’an]) –santri Yai
Tain--, dan lainnya.
Kedua, Menolak taklid (تقليد). Dalam budaya
Nusantara, sikap “ikut-ikutan” dimaknai sama dengan “taklid”. Jika ada orang
mengikuti pendapat, sikap, atau perilaku yang lain tanpa memiliki konsep
tentang sikapnya tersebut, disebut “taklid”; namun jika ikut pendapat tertentu
disertai dengan konsep dan argumen rasional, berbetulan sama dengan yang
dikonsepkan orang, disebut “ittiba’” (اتباع).
Kyai Salim menolak sikap kaum “ortodoks” agar orang awam taklid saja
terhadap apa yang diajarkan, difatwakan, atau dicontohkan kyai, tak perlu berfikir
lagi mengenai hukum boleh, sunnah, wajib, atau haram tentang sesuatu. Kewajiban
mengetahui hukum-hukum secara tafshili (terperinci) merupakan kewajiban
kelompok orang-orang berilmu saja. Orang awam tidak perlu berfikir “njlimet”
(terperinci), ikuti saja orang-orang yang berilmu, para ulama’ atau kyai.
Secara doktrin, taklid memang dilarang agama, karena Islam mendorong ummatnya
untuk berfikir kritis, rasional, dan ilmiyah. Jika tidak tahu, disuruh
“bertanya” kepada orang yang memiliki ilmu, bukan “ikut-ikutan”. Secara
sosiologis, taklid menjadi penyebab keterbelakangan ummat, sehingga ummat tidak
pintar (educated).
Ketiga, Bebas bermadzhab. Konsekuensi dari kebebasan berfikir dan anti taklid, Kyai
Salim menolak pendapat bahwa berislam harus mengikuti salah satu dari 4 madzhab
yang mu’tabarah (terkenal). Kaum
Nahdliyin misalnya mengakui dan megikuti madzhab empat walau kenyataannya
bermadzhab Syafi’i, namun pengakuan secara tekstual dalam risalah
keorganisasian mereka merupakan jaminan bahwa mengikuti empat madzhab yang
mu’tabarah tersebut akan aman, selamat, tidak menyimpang, bahkan tidak sesat.
Memang berbeda dengan khithabah para masyayikh mereka yang
selalalu menekankan doktrin Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) dalam
berorganisai, mereka sangat rigit untuk selalu merujuk dan membela
madzhab Syafi’i. Karena itu bila ada gerakan “baru” yang oleh pengamat disebut
gerakan pembaharuan, mereka sikapi dengan sikap “kurang bersahabat”, dimusuhi,
dan selalu dinilai negatif. Tak jarang, di beberapa tempat ada terjadi
kekerasan fisik, ujaran kebencian, bahkan penutupan Amal Usaha organisasi lain,
yang mereka anggap tidak sefaham dengan ajaran Aswaja. Memang di tingkat
“elite” Nahdliyin terjadi “keterbukaan” terhadap ide-ide baru yang diadopsi
dari Barat, misalnya faham “liberalisme”, “progresifisme”, “emansipasi”,
“demokrasi”, “kiri Islam”, “gender”, dan lainnya, namun secara “syari’ah”,
mereka tetap bertahan dan kekeh memegang madzhab Syafi’iyah. Tak heran,
tokoh JIL kenamaan, masih saja tetap melakukan kegiatan Yasinan, Tahlilan,
Tabarruk, Khaul, Tawassul, dan lainnya, tidak berani melepas semua kegiatan
tersebut, walau sudah menjadi seorang liberal. Ada rasa khawatir tidak disebut
nahdliyin dan pengikut Aswaja. Wajar jika ada yang menilai, bahwa tokoh JIL ini
masih dalam lingkup Neo-tradisionalismme.
Sebaiknya, kaum modernis seperti Muhammadiyah, mereka berani meninggalkan
yang dinilai kurang moderen, dan bukan ajaran asasi Islam, dengan mereformulasi
bentuk dan isi.[8]
Mereka bebas untuk menerima atau menolak pemikiran Barat, Timur, keindonesiaan,
dan lainnya, tanpa takut dikatakan sebagai kebarat-baratan, ketimur-timuran,
ke-indonesi-an, dan seterusnya, yang penting, nilai-nilainya islami terrealisasi
dan tidak ada nash yang melarang; sehingga, faham dan pergerakannya lebih
fleksibel dan dinamis. Oleh sebab itu, seperti Muhammadiyah dan gerakan moderen
lainnya, mereka tidak mengikatkan diri pada madzhab fiqih tertentu, juga tidak
pada aliran teologi kalam terytentu, aliran tafsir tertentu, dan lainnya, mereka
melakukan istinbath dan istikhraj dari hasil ijtihad jama’i
mereka. Mereka bebas untuk bermadzhab atau pun tidak bermadzhab.
Kyai Salim sama posisinya seperti posisi yang diambil Muhammadiyah, tidak
menolak dan menerima begitu saja pendapat para imam madzhab. Karena itu, di
Ponpes Arroudlotul Ilmiyah diajarkan fiqih muqaranah dengan mengajarkan buku
karya Ibn Rush, Bidayatul Mujtahid, wa Nihayatul Muqtashid, juga-juga
buku-buku lain yang berbeda dengan buku yang diajarkan di pesantren
tradisional.
Keempat, menerima modernisme. Kyai Salim tidak menolak famam moderen dari barat dan
moderen Islam, namun juga tidak anti Arab. Karena itu, pada saat santri
pesantren lainmasih memakai sarung, santri YTP memakai celana dan berbaju ala
Elvis Presley dan A. Rafiq. Tidak pakai kopyah, sorban, atau baju “koko”
muslim. Rambutnya panjang ‘ala Rhoma Irama. Itulah penampilan fisik santri YTP.
Secara pemikiran, tradisi kritis yang melahirkan modernisme Barat, sejak dini
sudah dibiasakan di Ponpes YTP. Para santri dilatih kritis dan bertukar
fikiran, debat, alias munaqasyah. Di mana di pesantren lain dianggap
pelajaran yang tabu dan suul adab.
Faham sempalan, tidak selalu negatif, salah, sesat, atau menyimpang. Yang salah
adalah faham sempalan yang keluar dari doktrin dasar Islam.
[1] Lidah orang Jawa dan sebagian suku di
Nusantara, bila mengucapkan “h” (ح) menjadi “k”, (ك), “hasan” menjadi “kasan”, “husen”
menjadi “kusen”; “f” (ف) menjadi “p” (ڤ), “al-fatihah” menjadi “al-patekah,
“fikir” menjadi “pikir”; “q” (ق) menjadi “k” (ك), seperti “qadir” menjadi “kadir”,
“qahhar” menjadi “kahar”, “Qadli” [hakim] menjadi “kadi”. Kalau ada nama
“[Su]kadi” artinya “hakim yang baik”; “zh” (ظ) menjadi “l” (ل), seperti “zhuhur” menjadi “luhur”
atau “lohor” (jw), “nazhar” menjadi “nalar”, “hafazh” menjadi “hafal”, begitu
seterusnya.
[2] Saya tidak membahas definisi “mainstrem” (jumhur) dan “sempalan” (i’tizal)
perdefinisi. Saya lebih pada poin-poin penting tentang gerakan sempalan lokal
dalam pengertian positif (gerakan baru) bukan yang negatif (sesat, radikal,
sektarian). Untuk definisi sempalan, baca Martin van Brunisen, “Gerakan
Sempalan di Kalangan Ummat Islam Indonesia,” dalam http://blog.ub.ac.id/irfan11/files/2013/02/Gerakan-Sempalan-di-Indonesia-oleh-Martien-Van-Bruinesen.pdf. Diakses pada 4 September 2022.
[3] Mu’tazilah punya 5 doktrin dasar yang menjadi ciri khasnya,
yaitu Ushul al-Khamsah (5 dasar, lima Sila, atau panca sila): 1. Al-Tauhid;
2. Al-‘Adl; 3. Al-Wa’d wa al-Wa’id; Amr al-ma’ruf wa Nahy al-munkar; 5. Al-Manzilah
bain al-Manzilatain. 5 doktrin dasar tadi adalah “Pancasila”-nya kaum Mu’tazilah.
Jadi “pancasila” secara geneologis, bukan barang baru dalam khazanah pemikiran Islam.
[4] Now, di Indonesia semacam Politik Madzhab Pancasila atau
Madzhab NKRI harga mati untuk menjadi “jualan” politiknya.
[5] Hasan ibn Ali, sempat dibaiat menjadi khalifah menggantikan
posisi ayahnya, Ali ibn Abi Thalib, sebelum “menyerahkan” kekuasaannya kepada
Muawiyah, yang secara geopolitik lebih kuat dan lebih berpengalaman, dengan
kompensasi: 1. Membayar dana “tebusan” [kekuasaan] kepada Hasan ibn Ali, 2.
Diadakan pemilihan khalifah baru pasca meninggalnya Muawiyah. Untuk yang nomor
dua, diingkari oleh Muawiyah. Dalam hal kedua ini, Hamka berpendapat, “Tindakan
Muawiyah mengangkat anaknya Yazid menjadi pengganti dirinya, adalah hasil
ijtihad Muawiyah untuk menjaga kemashlahatan ummat yang lebih besar dan
meminimalisir madlarat yang akan ditimbulkan bila tidak menunjuk anaknya
sebagai khalifah. Logika berfikir ini, mirip dengan logika yang digunakan Ibn
Taimiyah, untuk “membenarkan” tindakan Muawiyah melawan Ali, yang secara de
jure dan de facto sebagai khalifah saat itu, yaitu senjata
“ijtihad”. Bagi yang berpendapat bahwa shahabat “ma’shum”, tidak pernah salah,
maka justifikasinya adalah “ijtihad”; sedang yang menganggap bahwa shahabat
tidak ma’shum, maka argumennya adalah bahwa sahabat Nabi adalah manusia juga
seperti manusia lainnya, walaupun mereka kualitasnya kelas satu.
[6] [Terjemah] Kyai Salim [Yunior] bertanya, “Kyai Hasyim, mengapa memakai
celana kok diharamkan? Kyai Hasyim menjawab, “Kalau memakai celana tidak
diharamkan, rakyat nanti ikut Belanda semua. Tunduk dan patuh kepada Belanda
semua, penjajah rakyat di Nusantara ini. Kan, ikut penguasa yang lalim hukumnya
haram. Kalau cara berpakaiannya sama dengan para penjajah itu, itu sama dengan
ikut menjadi penjajah. Kan itu haram. Ini seperti apa yang disabdakan Nabi,
“Barang siapa menyerupai dengan suatu kaum, maka dia menjadi bagian dari kaum
itu.” Dan bagi santri, memakai Sarung, hukumnya wajib, karena sarung itu sebagai
identitas santri dan tanda sebagai orang soleh, sekaligus wujud perlawanan
secara diam-diam kepada penjajah. ”
[7] https://www.voa-islam.com/read/smart-teen/2010/05/09/5862/ketika-buku-seharga-emas/, diakses 5 September 2022
[8] Di antara isu yag sering diangkat oleh para penceramah Nahdliyin adalah
masalah Qunut, dan Teraweh K.H. Ahmad dalam buku lama yang diberi judul “Fiqh
Muhammadiyah”. Kata mereka, “Mengapa Muhammadiyah pasca kedatangan K.H. Mas
Mansur dengan Majelis Tarjihnya, rakaat Tarawihnya menjadi 11 rakaat, tidak 23
rakaat lagi?” Mereka mensyiarkan bahwa Muhammadiyah awal, fiqihnya adalah fiqih
ala kaum Nahdliyin, bukan fiqih yang beredar pada saat ini. Untuk menjawab
iklan tersebut, para aktifis Muhammadiyah menjawab dengan kalimat sederhana, “Muhammadiyah
bukan Dahlaniyah.” Apa yang dikatakan Kyai Dahlan, tidak musti dijadikan
faham Muhammadiyah. Di sinilah perbedaan “tradisi” NU dengan MD, dalam “defend”
dan “change” sesuatu. Ada yang getol bertahan tradisi lama, ada yang mudah
untuk mereformulasi.
Komentar
Posting Komentar