Kyai Salim Akhyar dan Gerakan Sempalan (الشيخ سالم أخيار و حركة الاعتزالية)

 

Kyai Salim Akhyar dan Gerakan Sempalan
(الشيخ سالم أخيار و حركة الاعتزالية)



Bukhori at-Tunisi

(Alumni Ponpes Arroudlotul Ilmiyah, Kertosono)

 Imam Washil ibn Atha’ sebelum menjadi pimpinan kaum Mu’tazilah, adalah murid Imam Hasan al-Bashri, tabiin yang tinggal di kota Bashrah, Irak. Imam Hasan al-Bashri sangat mashur kealimannya. Kemashurannya mendunia hingga sampai ke pelosok Nusantara, hingga orang Jawa pun banyak memberi nama anaknya dengan nama beliau, misal nama kyai besar Kyai Kasan Besari dari Tegalsari, Ponorogo. Tidak tanggung-tanggung, beliau adalah gurunya Pangeran Diponegoro, Pemimpin Perang Jawa, pejuang yang sangat ditakuti Belanda. Terkadang orang Jawa memberi nama anaknya: Besari saja, diambil dari nama belakang beliau, al-Bashri.[1]

Sebelum “nyempal” (i’tizal, اعتزال), Washil ibn Atha’ pernah “bicang-bincang” berbobot sama gurunya, hingga pada suatu pertanyaan yang membuatnya mengambil posisi “nyempal” dari pendapat gurunya.[2] Alur dialog dengan gurunya sebagai berikut:

 Washil                 : Guru, di manakah tempat orang mu’min di akhirat?

 Hasan al-Bashri   : Orang mu’min, tempat tinggalnya di Surga.

 Washil                 : Sedang orang kafir di mana tempatnya?

 Hasan al-Bashri   : Dimasukkan ke dalam neraka, karena mereka maksiat terhadap perintah. Mereka mendapatkan balasan dari dosa yang mereka perbuat (irtikab)

 Washil                 : Orang mu’min yang melakukan dosa besar, apakah statusnya tetap sebagai orang mu’min?

 Hasan al-Bashri   : Ya, pendosa besar tetap sebagai orang mu’min

 Washil                 : Di mana tempat mereka di Akhirat?

 Hasan al-Bashri   : Mereka tetap akan dimasukkan ke dalam Surga.

 Washil                 : Saya tidak sependapat. Orang yang melakukan dosa besar, mereka tidak di surga, juga tidak di neraka, namun berada di suatu tempat di antara Surga dan Neraka (al-manzilah bain al-manzilatain).

 Sejak perbedaan pendapat tersebut, Washil tidak mengikuti kajian Imam al-Hasan al-Bashri, keluar dan membentuk kajian tersendiri di Masjid Bashrah.

Itulah cikal-bakal berdirinya kelompok Mu’tazilah[3], yang kelak membentuk dirinya menjadi gerakan madzhab rasional Islam(ahl al-ra’y). Sempat jaya karena didukung penguasa dan dijadikan madzhab resmi kekhalifahan, pada akhirnya melemah dan sedikit pengkutnya, karena tidak didukung oleh penguasa berikutnya. Dalam bentuk madzhab resmi sudah hilang, namun konsep pemikiran rasionalnya tidak hilang hingga kini. Di kampus-kampus banyak dikaji pemikiran rasional Mu’taziah. Kedudukan berikutnya di posisi kekuasaan diganti oleh doktrin Asy’ariyah yang nanti menjelma Madzhab Ahlus Sunnah.

Secara sosiologis, sejarah terbentuknya “kelompok” (firqah, qabilah, thaifah, ummah), “sempalan” (i’tizalah) di antara penyebabnya adalah ketaksepahaman (ikhtilaf) dengan “ideologi” (fikrah, madzhab, fahm) kelompok mayoritas (jumhur). Di abad pertengahan, ditulis buku “Al-Farq bain al-Firaq” (Perbedaan antar Kelompok), “al-Milal wa Nihal”,  (Agama-agama dan Sekte); begitu juga buku baru seperti “Tarikh Madzahib al-Islamiyah” (Sejarah Kelahiran Madzhab-madzhab Islam), menggambarkan dengan jelas tentang perkembangan munculnya kelompok sempalan baru yang berpisah dari kelompok utama. Dari sisi positifnya, munculnya “sempalan”, terjadi adanya “pembaharuan” (tahdits) atas status quo (qadim). Sisi negatifnya, munculnya “antithesa” terhadap “thesa” lama yang telah mapan, mengguncang bangunan lama dari “kenyamanan”, karena bangunan lama berkurang bagian organiknya, karena adanya “dahan” yang “sempal”, putus, patah, dan terlepas dari bagian “pohon utama”, dan menjadi “pohon baru”.

Goncangan awal justru terjadi pasca wafatnya Nabi dengan munculnya nabi palsu dan kelompok yang menolak membayar zakat. Kemunculannya membuat “kaget” ummat yang disebut oleh al-Qur’an sebai “khairu ummah” (ummat terbaik). Lalu peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman ibn ‘Affan dan peperangan antara Aisyah, Mu’awiyah, melawan Khalifah Ali ibn Abi Thalib, membuat ummat Islam “limbung” karena mendapat cobaan besar (alfitnah al-kubra). Munculnya kelompok “apolitik” yang diperlihatkan oleh sosok sahabat besar seperti Ibn Umar hingga Tabiin kenamaan Imam al-Hasan al-Bashri, yang akhirnya nanti menjadi “cikal-bakal” kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah karena “berisiknya” gesekan intra ummat Islam.

Kelompok mayoritas yang “apolitik” pun mengalami goncangan saat muncul kaum rasionalis yang dikomandani Washil ibn Aha’. Posisi yang sama dialami oleh kaum rasionalis Mu’tazilah, saat menguasai medan politik kekuasaan keagamaan -- karena dijadikan sebagai madzhab resmi negara, [4] oleh Khalifah al-Ma’mun dan penerusnya--, saat Abu Hasan al-Asy’ari mendeklarasikan diri “menyempal” dari madzhab Mu’tazilah dan membentuk faham baru, yang nantinya dinisbatkan kepada namanya sendiri: “Asy’ari”, menimbulkan “guncangan” internal kaum Mu’tazilah, karena kehilangan “bagian” yang dulu menjadi bagian integral madzhabnya.

Di kalangan ahli Kalam dan ahli Fiqh pun, yang terbiasa berfikir rasional-spekulatif, terjadi guncangan, saat muncul faham salafiyah, yang mengajak kembali kepada metode pemahaman kaum salaful ummah, yaitu metode pemahaman para Sahabat Nabi, Tabiin dan Imam Madzhab salaf. Faham yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah melalui gerakan “al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” [‘ala manhaj al-salaf al-shalih”], (Kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, ‘ala manhaj salaf shalih), mengkritik dasar-dasar keagamaan kaum spekulan, faham keagamaan yang mendasarkan kepada hasil “ratio”, bukan kepada “nash”. Pemahaman yang menurut Ibn Taimiyah, kehilangan “ruh” keagamaannya, karena agama tidak mendasarkan kepada doktrin wahyu, namun mendasarkan kepada hasil spekulasi ratio (al-‘aql).Awal penyempalan 

Penyempalan awal justru terjadi pasca wafatnya Nabi Muhammad saw., yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar, di mana masa pentasyri’ an baru selesai. Kekuasaan Abu Bakar belum seumur jagung, sudah ada pengingkaran terhadap perintah tasyri’ dan membangkang terhadap pemerintahan Islam. Padahal, ingatan para Sahabat nabi masih hangat-hangatnya, karena baru kemarin ditinggal manusia yang paling dicintai, Nabi akhir zaman. Apa yang dikerjakan Nabi, masih terbayang jelas di mata mereka. Segala ucapan, amaliah, dan approval (taqrir) Nabi masih mereka hafal semua, terjadi peristiwa “riddah” dan penolakan membayar Zakat. Lalu mengapa peristiwa riddah (keluar dari Islam) dan menolak untuk membayar zakat terjadi?

Ada tiga macam motif timbulnya kelompok sempalan: 1. Motif keagamaan; 2. Motif politik. 3. Motif pemikiran

Satu, “Motif keagamaan”. Dalam sejarah Islam, motif keagamaan justru muncul pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. saat kaum Yamamah menolak membayar zakat, karena “zakat” dianggap sebagai “upeti”. Upeti adalah pembayaran bagi kelompok yang tunduk kepada kekuasaan yang lebih besar untuk mendapat jaminan keamanan dan perlindungan. Bagi orang Yamamah, zakat dipersepsi sebagai kompensasi jaminan keamanan. Bagi masyarakat Yamamah, “zakat” adalah merendahkan martabat dan prestis kaum Yamamah kepada kekuasaan Madinah. Pimpinan mereka membuat tameng dan “menjual” agama sebagai justifikasi (pentashih) kebenaran klaim “ketidaktundukan” kepada kekuasaan Madinah yang dipimpin oleh “khalifaturrasul”, yaitu Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq, dengan memproklamirkan diri sebagai “nabi” baru, dan membawa agama baru.

Model “sempalan” seperti kasus kaum “murtad” (keluar dari Islam) di Yamamah, dinilai oleh para mutakallimun dan ahli fiqih, sebagai sempalan yang sesat (dlalal), karena sudah keluar dari sendi-sendi pokok (ushul) Islam. Sehingga tidak ada “toleransi” untuk mempertahankan eksistensi mereka. Sikap ini, diambil oleh Khalifah Abu Bakar, dengan memerangi kaum murtad di Yamamah, sehingga mereka tunduk dan kembali ke jalan yang benar. Peristiwa ini kenal dengan “Ghazwah Yamamah”, yang dipimpin oleh Panglima Perang Khalid ibn Walid, yang banyak menewaskan para penghafalal-Qur’an. Di posisi kaum Yamamah, Musaillamah al-Kadzdzab ingin menjadi nabi dan dan menjadi pemimpin agama, karena banyak “benefit” duniawiyahnya.

Kedua, “Motif politik”. Pada peristiwa Perang Jamal (khalifah Ali vs Ummul Mu’minin, Aisyah binti Abi Bakar) dan Perang Shiffin (Khalifah Ali vs Muawwiyah), kental aroma “siyasah” (politik) untuk memperebutkan kekuasaan dengan berlindung di balik kematian Utsman ibn Affan. Nyatanya, pasca berakhirnya kekuasaan Khalifah Ali dan beralih ke tangan kekuasaan Muawiyah pasca “Ammul Jama’ah” (Tahun Unifikasi) antara Khalifah Hasan ibn Ali[5] dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan, “tuntunan” untuk menghukum pelaku pembunuh Utsman, tidak lagi muncul ke permukaan, padahal kekuasaan de facto kekuasaan Arab Islam pada waktu itu ada pada Dinasti Umayyah, di mana Utsman dan Muawiyah masih dalam satu klan.

“Penyempalan” (firaq) semacam yang dilakukan oleh Sayyidah Aisyah dan Muawiyah, oleh para mutakallimin dan para fuqaha’ masih “al-ma’fu” (ditoleransi, dimaafkan), sehingga tidak masuk dalam kategori “riddah” (keluar dari Islam). Hingga tokoh kritis seperti Ibn Taimiyah tidak berani “menghakimi” para sahabat nabi terbaik sebagai “murtakib al-kabirah”, “ma’shiyah”, bahkan “kafir”. Dengan berlindung di balik konsep “ijtihad”. Ibn Taimiyah menyatakan, “Ali memerangi Muawiyah adalah benar karena mendasarkan pada ijtihadnya, bahwa sebagai kepala negara harus mempertahankan eksistensi kekhalifahan dari “pemberontakan” yang dapat mengacaukan dan menghancurkan negara. Muawiyah juga benar berdasarkan ijtihadnya, yang berhak menuntut “keadilan” atas nama “ahli waris” dari Klan Umayyah ibn Harb, di mana Utsman dan Muawiyah, sama-sama satu klan. Karena sama-sama produk “ijtihad”, maka jika benar dapat dua pahala, --pahala berijtihad dan melaksanakan hasil ijtihadnya--, jika salah dapat satu pahala, yaitu pahala “berfikir”-nya saja.”

Hanya kaum Kharijiyah yang menilai Ali, Muawiyah, Amr ibn Ash, sebagai “murtakib al-kabirah” (pendosa besar), karena tidak bertahkim dengan hukum al-Qur’an. Mereka bertiga yang paling bertanggungjawab atas kekacauan politik ummat, sehingga layak disebut sebagai “kafir” yang pas untuk “dihabisi”, karena tidak bertahkim dengan hukum Allah, tetapi bertahkim berdasarkan “kesepakatan”, “musyawarah” yang “pincang”.

Kaum Kharijiyah asal muasalnya adalah para pengikut Khalifah Ali. Mereka kecewa dengan Khalifah Ali yang menerima ajakan damai kelompok “bughat” Muawiyah. Menurut kelompok yang akhirnya “keluar” (kharij) dari kesatuan kelompok Ali, ajakan damai Muawiyah dengan mengangkat al-Qur’an hanya “tipu muslihat” saja demi menghindari kekalahan perang, bukan untuk damai, an sich. Karena “keluguan”, ketulusan, dan keikhlasan Imam Ali, ajakan damai tersebut diterima, walau banyak ditentang oleh kelompok Imam Ali sendiri. Kita semua tahu, “ending” dari teaterikal “Daumatul Jandal”, utusan Imam Ali, Abu Musa al-Asy’ari, seorang shahabi yang alim, tawadlu’ dan nir pengalaman diplomasi, dipecundangi oleh Amr ibn Ash, lewat “kelihaian” siyasah Amr atas “keluguan” tokoh “sholeh”, Abu Musa al-Asy’ari. Ali kecewa, tapi “nasi sudah menjadi bubur”, ummat sudah terpecah menjadi tiga kekuatan: Pendukung Ali, Pendukung Muawiyah, dan Kaum Khawarij (kelompok sempalan, non alingment poros utama). Tahkim Daumatul Jandal secara geneologis, adalah pemicu nyempalnya (kharij, i’tizal) sebagian kelompok Khalifah Ali, untuk membuat “poros baru” sebagai “kekuatan ketiga” (thrith force), di luar Poros Ali dan Poros Muawiyah. Sisa-sisa ideologis tiga kelompok besar “salaf” tersebut, masih tumbuh subur hingga sekarang, baik di kawasan Maghribi, Timur Tengah, dan Timur Jauh.

Ketiga, Motif Pemikiran. Ada perkembangan positif di dunia pemikiran Islam, bahwa munculnya pemikiran baru, tidak melulu bersifat politis dan mendompleng (ikut menjadi bagian) kekuasaan atau motif yang berkedok “agama” untuk justifikasi “vested interest” duniawi. Pemikiran baru ada yang tumbuh genuin (murni) dari hasil pemikiran kontemplatif dan dialogis. Pada abad pertengahan, kontemplasi dan dialog ilmiyah yang ditampilkan lewat sosok Washil ibn Atha’ dengan gurunya al-Hasan al-Bashri, Abu Hasan al-Asy’ary dengan gurunya al-Jubbai, adalah murni dialog kontemplatif yang bersih dari pengaruh luar Arab. Begitu juga perdebatan seputar fiqih, genuin (murni) pemikiran spekulatif ubudiyah, bukan dipengaruhi oleh faktor luar. Ambil contoh dalam fiqih, “Bagaimana hukumnya, suami salah menggauli saudara istrinya saat tidur karena rumahnya gelap?” pertanyaan seperti ini jelas-jelas spekulatif, bukan realis, karena ia produk imajinasi seksualis ahli fiqih. Masak ya, istri dan saudara istri tidur satu ranjang, sehingga salah menggauli. Kan tidak mungkin, namun pertanyaan itu ada, walaupun “ngarang-ngarang”.

Yang dahsyat adalah pengaruh dari penterjemahan buku-buku Yunani, Persia, dan India, banyak melahirkan filosuf muslim, saintis, matematikawan, dan kaum sufi-filosofis. Sebut misalnya Ibn Sina, al-Kindi, al-Farabi,  al-Khawarizmi, al-Jauhari, al-Battani, Ibn Hayyan, Ibn Thifail, Ibn Rusyd, Ibn Firnas, dan lainnya.

Itulah 3 pokok yang biasa menjadi pemicu berpisahnya satu komunitas dari komunitas lainnya. Dan faktor yang lain masih banyak, nanti bisa dielaborasi lebih lanjut di dalam space yang berbeda.

Mu’tazilah masuk dalam katagori di atas. Istilah “i’tizal” atau “mu’tazil” sendiri, justru datang dari Imam Hasan al-Bashri. Karena memisahkan diri dari kajian Imam Hasan al-Bashri dan mendirikan kelompok kajian sendiri. Penyebutan “i’tizal” (nyempal), kalau zaman sekarang (now), masuk kategori labelisasi yang menjadi bagian dari “politik identitas”. Labelisasi “tertentu” pada “yang lain” yang berbeda mentradisi juga di kalangan pemikiran keagamaan. Namun “labelisasi” juga penting bagi orang “alim”, untuk “menandai” dan “membedakan” (taqsim (تقسيم), tafshil” (تفصيل)) antara yang berbeda dan mengelompokkan sesuatu yang sama (sabr, سبر), biar tidak jatuh pada “over generalisasi”. Inilah salah satu “kebiasaan” orang Arab, untuk menandai perbedaan (al-fashl, distingcy) dengan “mengaitkan” hal-hal baru tersebut dengan “person” (rijal, tokoh), “daerah” (madinah, tempat tinggal), “keturunan” (family, alu, dzurriyat), “kelompok” (clan, ashabiyah), atau “ide” (fikrah), “waktu” (zaman) agar lebih dikenali (ma’rifah) dan dimengerti (mafhum). Contoh “pengenalan” (ma’rifah) yang menggunakan “ya’ nisbah”: Jahamiyah, Sabaiyah (diadopsi dari nama Jahm ibn Shafwan); al-Shan’ani, al-Bukhari (diambil dari nama kota atau daerah); “Alawi, Hasani, Fathimi (keturunan); qadariyah, jabariyah, bidai (pola pemikiran) ; salafi (generasi awal Islam (time): para Shahabat Nabi, Tabiin, dan Tabiut Tabiin); dan seterusnya. Dalam tatabahasa Arab, untuk membuat suatu “kaitan”, atau “hubungan”, “nisbat”, “kelompok”, “identitas”, “asal-usul”, dan lainnya, dengan menggunakan “ya’ nisbah” (ي).

Di Indonesia, H.O.S. Cokroaminoto keluar dari pekerjaannya yang “nyaman” sebagai “ambtenaar” Belanda. Beliau lebih memilih sebagai orang bebas yang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya daripada kerja sebagai “kacung” Belanda. Soekarno, salah seorang murid dan menantu Cokroaminoto, lebih memilih nyempal menjadi pejuang kemerdekaan bangsanya daripada menjadi pegawai Londo. H. Agus Salim lebih memilih nyempal untuk menjadi guru para calon intelektual bangsa dan pejuang memerdekakan bangsanya, daripada menjadi “konsul” penjajah Belanda di Jeddah. Muhammad Hatta lebih memilih nyempal dengan menjadi “Mahasiswa Pejuang” kemerdekaan bangsanya daripada menjadi mahasiswa “baik-baik”, “nurut” sama Londo. Begitulah sikap para anak muda lainnya, mereka rela nyempal (mufaraqah, i’tizal) dari posisi “nyaman” dan memilih posisi yang “tidak nyaman” untuk kemuliaan bangsanya sendiri.

 Kyai Salim nyempal 

Kyai Salim Akhyar, lahir di desa Kelutan, Ngronggot, Nganjuk. Pendidikan ibtidaiyahnya, nyantri di Pondok Pesantren “Masyariqul Anwar” (Tempat berkilaunya Cahaya). Pesantren ini sampai sekarang (tahun 2022) masih ada, namun tidak terlalu besar untuk ukuran pesantren yang berafiliasi ke faham Nahdlatul Ulama’. Setelah menamatkan di Pesantren Masyariqul Anwar, beliau melanjutkan belajar di Ponpes Tebu Ireng, Jombang, yang diasuh oleh Kyai Hasyim Asy’ari.

Saat menjadi santri Pesantren Tebu Ireng, [Yai] Salim yunior pernah bertanya kepada Kyai Hasyim, “Romo Kyai Hasyim, La nopo ndamel celono kok dihukumi haram?” Kyai Hasyim menjawab, “Nek gak diharamno, mengko rakyat melok Londo kabeh. Tunduk patuh marang Londo, penjajah rakyat Nusantara iki. Kan haram hukume melok penguasa seng kafir. Lah, nek pakaeane podo karo penjajah, berarti iku podo karo melok dadi penjajah. Iku haram. Iki koyo sabda Nabi, “Man tasyabbaha bi qaumin fa innahu minhum.” Lah nganggo sarung kanggo santri iku wajib, sebab dadi tengeran, lan dadi tondo kesalehan lan perlawanan karo penjajah ora secara terang-terangan.”[6]

Kyai Salim bercerita pada santrinya saat mendirikan Pesantren Arroudlotul Ilmiyah, bahwa beliau “tidak setuju” terhadap pendapat gurunya tersebut. Menurut Yai Salim, hukum memakai celana tetap pada hukum “asal” berpakaian, yaitu “ibahah” (boleh), bukan haram. Jadi berpakaian apa saja “boleh”, tidak haram. Berubahnya hukum karena adanya suatu sebab (علة), yai Salim setuju. (الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما), “Hukum berlaku karena ada atau tidak adanya sebab”, tetapi derajat “celana”, tidak sampai derajat “haram”. Sempat terjadi “dialog” antara beliau dan Kyai Hasyim, namun belum sampai “i’tizal” seperti apa yang dilakukan Washil ibn ‘Atha’. Namun sebagai santri “kritis” sudah ada semenjak menjadi santri.

Cikal-bakal kritisisme dan keinginan untuk “banyak tahu” sangat tinggi (حمس) sejak nyantri. Semangat itulah yang mendorong untuk belajar lebih tinggi ke tempat Islam lahir, Timur Tengah. Ust. Ihsanuddin Sanjaya, santri dan tetangga beliau bercerita, “Bahwa “cengkir” (kencenge pikir) adalah modal terbesar untuk melanglang buana, walau pun harus “ngontel” (sepeda ontel) dan lewat jalur darat untuk sampai di Timur Tengah.".

Sebagaimana diketahui, Yai Salim ke Saudi Arabia hingga sampai di Sudan pada tahun 30-40an sebelum merdeka lewat jalan darat, mulai dari Jawa, Sumatera, nyeberang ke Tumasik (Singapura), Malaya (Malaysia), Thailand, Burma, Bangadesh, India Pakistan, Afghanistan, Iran, Irak, hingga ke Saudi. Tak heran, jika santri awal Ma’had Arroudlotul Ilmiyah ada yang berasal dari Cirebon, Lampung, Jambi, Palembang, dan Singapura, adalah anak-anak teman dan kenalan beliau yang tinggal di jalur yang dilalui Yai Salim saat melawat ke Timteng.

Beliau belajar di Makkah al-Mukarramah dan juga di Mesir. Di Timur Tengahlah, sikap kritis dan tidak menerima begitu saja suatu pendapat terformulasasi, saat bertemu dengan gagasan “taqdis” (pemurnian) kaum Muwahhidun dan “tahdits” (pembaharuan) Abduh. Kata orang Jawa,“Tumbu kepethuk tutupe” (Tumbu bertemu tutupnya: Apa yang diharapan menjadi kenyataan). Di antara teman belajar saat di Mesir dan sering berkunjung ke Ponpes YTP, serta memberikan ceramah umum di Pesantren YTP adalah Prof. Kahar Muzakkir, salah seorang Perumus Piagam Jakarta dan Rektor UII Yogyakarta.

Mirip kyai Dahlan pendiri Muhammadiyah, yang saat di Makkah tertarik pada pemikiran moderen Afghani dan Abduh; dengan membaca tulisan Jamal al-Din al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, dan Sayyid Rasyid Ridla yang disiarkan lewat majalah Al-Manar dan ide pemurnian Islam dari buku-buku tulisan Syaikh Muhammad ibn Abul Wahhab. Hal yang sama dialami juga oleh Yai Salim, pemikiran beliau dipengaruhi oleh Pan Islamismenya Afghani dan modernisme Abduh, plus ketambahan pemikiran nahdlah politik ‘ala Ikhwanul Muslimin. Tak heran di Ponpes Arroudlotul ilmiyah diajarkan kitab Risalah Tauhidnya Abduh, Aqaidnya Hassan al-Banna, ‘Anashir fi Quwwah al-Islam karya Sayyid Sabiq; tak lupa tulisan kelompok modernis Sumatera Barat, kitab Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, seperti Mu’in al-Mubin, Mabadi’ Awwaliyah, al-Sullam, dan al-Bayan, dipakai jadi matapelajaran pada Pesantren Arroudlotul Ilmiyah.

Pulang dari Timur Tengah, buku-buku beliau dikirim melalui 2 (dua) jalur: 1. Jalur Jakarta; 2. Jalur Tuban. Yang lewat Jakarta, disita dan dibakar; yang lewat Tuban, bisa lolos.

Setiba di tanah air, beliau mengajar di Pondok Pesantren Nglawak dan ngaji keliling di sekitar kota Kertosono. Difasilitasi oleh keluarga turunan Arab, yaitu Bang Dullah, Siti Maryam dan keluargannya, beliau dikasih wakaf tanah di Timur Pasar Kertosono untuk didirikan Pesantren. Maka ide purifikasi ‘ala Bin Abdul wahhab dan modernisme Islam ‘ala Abduh diajarkan di pesantren yang beliau ajar.

Tak diketahui secara pasti kapan beliau “nyempal” dari faham “guru”-nya. apakah sejak nyantri di Tebu Ireng ataukah setelah berkenalan dengan pemikiran taqdis dan tahdits Timur Tengah? Bibit-bibit kritisisme memang sudah lahir sejak nyantri di Tebu Ireng, namun belum nampak ke permukaan, karena beliau masih “sendirian”. Di kampung beliau sendiri, Kelutan, Ngronggot, tidak ada orang Muhammadiyah atau “langgar” Muhammadiyah. Begitu juga di Kertosono, Muhammadiyah belum ada. Berkembangnya Muhammadiyah di Kertosono setelah kedatangan beliau di Kertosono pasca kembali dari Timteng. Adi, besar kemungkinan “i’tizal” beliau pasca belajar dari Timur-Tengah.

Gerakan sempalan biasanya dicu oleh:1. Tidak puas dengan yang ada; 2. Menemukan ide baru; 3. Perbaikan keadaan.

Pertama, Tidak puas dengan keadaan. Ketidakpuasan menjadi salah satu fakor lahirnya gerakan sempalan. Suasana “gerah”, “panas”, dan “pengap” menjadi faktor ketidakbetahan untuk bertahan di “rumah lama”, sehigga untuk memperoleh suasana baru yang lebih segar, hangat, dan nyaman, harus membuat rumah yang baru. Rumah lama sudah terlalu sesak dan terbatas ruangannya sehingga tidak layak untuk menampung bertambahnya “anggota” baru. Biasanya, kelahiran jabang bayi baru, tidak dapat jatah lagi untuk “bersemayam” di kamar yang telah banyak berisi anggota lama, maka kehadiran “bayi” yang baru lahir, harus membuat rumah baru yang lebih besar, nyaman, dan banyak kamarnya, sehingg bisa banyak menampung anggota baru yang lebih “fresh”, enerjik, dan

Kedua, Menemukan ide baru. Munculnya ide baru kadang tidak diterima oleh komunitas lama, sehingga harus membuat komunitas baru untuk menampung dan menyebarkan ide-ide yang sama dalam satu komunitas. Timbulnya komunitas sempalan, adalah karena ide baru dianggap keluar dari pakem lama yang sudah mapan. Sedang bagi kaum pembaharu, ide baru dianggap lebih relevan dan maju untuk zaman ke kinian; maka jalan “menyempal” adalah salah cara untuk menumbuh kembangkan ide beru yang ditemukan untuk menghindari terjadinya “konflik” dalam komunitas lama. Pertimbangan “mashlahah” dijadikan rujukan untuk menyempal agar tidak timbul “madlarat” yang merugikan semua komunitas (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح).

Ketiga, perbaikan keadaan. Munculnya gerakan sempalan adalah untuk memperbaiki keadaan (ishlah, reform) yang kurang baik, kurang maju dan stagnan (jumud). Adakalanya keadaan memang betul-betul bobrok yang dapat mengakibatkan kehancuran, sehingga perlu perbaikan keadaan biar kerusakannya tidak lebih parah. Dalam gerakan perbaikan ini, pasti ada tantangan, karena para membela “status quo”, menganggap keadaan baik-baik saja. Pembelaan utama pro status quo adalah posisinya sangat menguntungkan kelompok mereka. Gerakan sempalan sering berada dalam posisi berseberangan dengan kelompok status quo ini, karena ingin mengoreksi, memperbaiki, dan mengganti keadaaan. Dalam kelompok status quo keagamaan pun, mereka banyak mendapat previlage dari sistem yang sudah terbentuk dan berjalan lama. Mereka tidak mau diganggu posisi nyaman mereka. Ditolaknya kelompok pembaharuan, karena mengganggu posisis adventages mereka.

Dari 3 (tiga) faktor tadi, Kyai Salim menemukan “kawan” pemikiran merdekanya (hurriyah al-fikr) saat belajar di Timur Tengah. Ide bebasnya memperoleh penguatan (empowerment) saat bertemu dengan gerakan taqdisiyah Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Tahdisiyah Muhammad “Abduh, dan Ishlahiyah siyasiyah Ihwanul Muslimin. Kata orang Medan, “Jadilah barang” itu, sehingga ide modernisme lokal ‘ala Yai Salim berani muncul ke permukaan di kota kecil Kertosono, walaupun menjadi “minoritas”. Tiga faktor di atas ada pada diri Yai Salim, walaupun tidak genuin (murni) dari ide diri beliau tanpa pengaruh ulama’ lain. 

Nyempal ke mana? 

Ke mana Yai Salim nyempal? Yai Salim menyempal dengan “menyalahi” faham “jumhur” yang berkembang pada waktu itu, lalu mengambil sikap mendukung: 1. Kemerdekaan berfikir; 2. Menolak taklid; 3. Bebas bermadzhab; 4. Menerima modernisme;

Pertama, mendukung kebebasan berfikir. Free thinking, hurriyah al-fikr, kemerdekaan berfikir adalah “rukun” faham pembaharuan (modernism), karena kemerdekaan berfikir menjadi basic pemecah kebuntuan (stagnant) produktifitas berfikir. Tidak akan pernah terjadi pembaharuan pemahaman pemikiran, manakala kebebasan berfikir dilarang. Tidak akan ada konsep baru yang lahir yang bisa ditawarkan bila yang alim tidak boleh berfikir. Sejarah berkata, masa kejayaan kekuasaan Islam, produktifitas karya tulis (tafsir, filsafat, matematika, geografi, sains, dll) sangat luar biasa, karena kekuasaan memberikan ruang bebas yang sangat luas bagi para ilmuwan, cendekiawan, alim-ulama’ untuk berfikir bebas dan menulis, sehingga para ahli ilmu terpacu untuk menuangkaan idenya dalam tulisan. Dukungan penguasa terhadap karya tulis dengan menghargai setiap tulisan setara (equal) dengan berat emas atau uang dinar, membuat  hidup mereka terjamin. Penghargaan yang belum pernah ditorehkan oleh kekuasaan manapun kecuali kekuasaan kekhalifahan Islam.[7]

Kebebasan berfikir membuat warna dan bentuk keragaman yang sangat indah dan dinamis. Di dalam fiqih, ada Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Zaidi, zhahiri, juga yang kurang masyhur: madzhab Auza’i, Thabari, Tsauri, dan lainnya. Bila dipersempit menjadi madzhab fiqih kontekstual ‘ala Maliki, rasional ‘ala Hanafi dan Syafi’i, “tekstual” ‘ala Hanbali dan Zhahiri. Belum lagi di Syiah yang mengikuti aliran Akhbari (tekstual) dan Ushuli (rasional). Di Indonesia ada madzhab Nahdliyah dengan “Bahtsul Masail”-nya dan Muhammadiyah dengan “Majelis Tarjih”-nya.

Dalam bidang teologi lahir Madzhab Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Murjiah, Jahamiyah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Ahlus Sunnah, Wahabi.

Dalam bidang tafsir, ada aliran tafsir rasional (bi al-ra’yi), tekstual (bi al-ma’tsur), filosofis (falsafah), sufistik (isyari), saintis (ilmiyah), sosiologis (ijtima’i), bahasa (lughawi), makna (ma’ani, semantik), dan lainnya.

Dalam bidang politik anak aliran Khawarij, Sunni, dan Syi’i. Yang lebih modern ada aliran pragmatis, idealis, komunis, nasionalis, dan lainnya

Begitu kaya khazanah intelektual kaum muslim. Kyai Salim tidak mau dirinya dan kaum muslim dibatasi untuk ikut satu atau dua madzhab aliran saja, baik teologi, fiqih, tafsir, siyasi, dan lainnya. Terlalu sempit “rumah” madzhab yang ditawarkan jika hanya rumah yang diterima atau diwariskan dari bapak-moyangnya saja. Masih banyak alternatif dan pilihan yang beragam yang lebih fresh dan lebih konfortabel bagi masing-masing person dan ummat. Karena itu, Yai Salim di dalam Mars YTP mengajak santri untuk terbang tinggi ke angkasa melihat keindahan keragaman cakrawala dan bumi dari ketinggian, tidak hanya menyaksikan keindahan di dalam kamar, rumah, atau lingungan “madzhab” tertentu saja, yang terbatas dan tidak luas. Yai salim mengajak untuk melepaskan diri untuk tidak terikat dan terbang tinggi jauh untuk menemukan dunia baru yang indah dan membahagiakan. Oleh sebab itu di Taman Pengetahuan (Arroudlotul Ilmiyah) –masa awal--yang beliau bangun dan didirikan, diajarkan beragam kitab lintas madzhab. Ada Bidayatul Mujtahid, al-Mu’in al-Mubih (fiqih muqaranah dan fiqih moderen), Risalah al-Tauhid, Aqaid, Husun al-Hamidiyah (tauhid, teologi modern, Asy’ariyah), Alfiyah, Nahwu al-Wadlih (Gramatika klasik dan modern), Tafsir Baidlowi, Jalalain (tafsir bernuansa Mu’tazili dan Sunni), Hadits Bukhari, Bulugh al-Maram, Riyadlus Shalihin (hadits), Muqaddimah ‘Ilm al-Tafsir [Ibn Taimiyah], al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (ilmu al-Qur’an aliran Salaf dan Sunni), ‘Anashir fi Quwwah all-Islam (siyasah), mabadi’ Awwaliyah, all-Sullam, Bayan (Ushul Fiqh modernis), dan lainnya.

Dari dididikan Yai Salim di Taman Pengetahuan-nya lahir tokoh yang besekala nasional, mulai dari Kang Moeslim Abdurrahman (Teologi Transformatif), Ki Ageng Fatah Wibisono (PP MUhammadiyah), Kyai Mustain Kastam (As-Syaikh al-Tsani), Kyai Ali Manshur (As-Syaikh al-Tsalits), Dr. Arief Imroni (akademisi), K.H. Hamim Thohari al-Brengkoi (Metode Tikrar [li h]’fizh al-Qur’an]) –santri Yai Tain--, dan lainnya.

Kedua, Menolak taklid (تقليد). Dalam budaya Nusantara, sikap “ikut-ikutan” dimaknai sama dengan “taklid”. Jika ada orang mengikuti pendapat, sikap, atau perilaku yang lain tanpa memiliki konsep tentang sikapnya tersebut, disebut “taklid”; namun jika ikut pendapat tertentu disertai dengan konsep dan argumen rasional, berbetulan sama dengan yang dikonsepkan orang, disebut “ittiba’” (اتباع).

Kyai Salim menolak sikap kaum “ortodoks” agar orang awam taklid saja terhadap apa yang diajarkan, difatwakan, atau dicontohkan kyai, tak perlu berfikir lagi mengenai hukum boleh, sunnah, wajib, atau haram tentang sesuatu. Kewajiban mengetahui hukum-hukum secara tafshili (terperinci) merupakan kewajiban kelompok orang-orang berilmu saja. Orang awam tidak perlu berfikir “njlimet” (terperinci), ikuti saja orang-orang yang berilmu, para ulama’ atau kyai. Secara doktrin, taklid memang dilarang agama, karena Islam mendorong ummatnya untuk berfikir kritis, rasional, dan ilmiyah. Jika tidak tahu, disuruh “bertanya” kepada orang yang memiliki ilmu, bukan “ikut-ikutan”. Secara sosiologis, taklid menjadi penyebab keterbelakangan ummat, sehingga ummat tidak pintar (educated).

Ketiga, Bebas bermadzhab. Konsekuensi dari kebebasan berfikir dan anti taklid, Kyai Salim menolak pendapat bahwa berislam harus mengikuti salah satu dari 4 madzhab yang  mu’tabarah (terkenal). Kaum Nahdliyin misalnya mengakui dan megikuti madzhab empat walau kenyataannya bermadzhab Syafi’i, namun pengakuan secara tekstual dalam risalah keorganisasian mereka merupakan jaminan bahwa mengikuti empat madzhab yang mu’tabarah tersebut akan aman, selamat, tidak menyimpang, bahkan tidak sesat. Memang berbeda dengan khithabah para masyayikh mereka yang selalalu menekankan doktrin Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) dalam berorganisai, mereka sangat rigit untuk selalu merujuk dan membela madzhab Syafi’i. Karena itu bila ada gerakan “baru” yang oleh pengamat disebut gerakan pembaharuan, mereka sikapi dengan sikap “kurang bersahabat”, dimusuhi, dan selalu dinilai negatif. Tak jarang, di beberapa tempat ada terjadi kekerasan fisik, ujaran kebencian, bahkan penutupan Amal Usaha organisasi lain, yang mereka anggap tidak sefaham dengan ajaran Aswaja. Memang di tingkat “elite” Nahdliyin terjadi “keterbukaan” terhadap ide-ide baru yang diadopsi dari Barat, misalnya faham “liberalisme”, “progresifisme”, “emansipasi”, “demokrasi”, “kiri Islam”, “gender”, dan lainnya, namun secara “syari’ah”, mereka tetap bertahan dan kekeh memegang madzhab Syafi’iyah. Tak heran, tokoh JIL kenamaan, masih saja tetap melakukan kegiatan Yasinan, Tahlilan, Tabarruk, Khaul, Tawassul, dan lainnya, tidak berani melepas semua kegiatan tersebut, walau sudah menjadi seorang liberal. Ada rasa khawatir tidak disebut nahdliyin dan pengikut Aswaja. Wajar jika ada yang menilai, bahwa tokoh JIL ini masih dalam lingkup Neo-tradisionalismme.

Sebaiknya, kaum modernis seperti Muhammadiyah, mereka berani meninggalkan yang dinilai kurang moderen, dan bukan ajaran asasi Islam, dengan mereformulasi bentuk dan isi.[8] Mereka bebas untuk menerima atau menolak pemikiran Barat, Timur, keindonesiaan, dan lainnya, tanpa takut dikatakan sebagai kebarat-baratan, ketimur-timuran, ke-indonesi-an, dan seterusnya, yang penting, nilai-nilainya islami terrealisasi dan tidak ada nash yang melarang; sehingga, faham dan pergerakannya lebih fleksibel dan dinamis. Oleh sebab itu, seperti Muhammadiyah dan gerakan moderen lainnya, mereka tidak mengikatkan diri pada madzhab fiqih tertentu, juga tidak pada aliran teologi kalam terytentu, aliran tafsir tertentu, dan lainnya, mereka melakukan istinbath dan istikhraj dari hasil ijtihad jama’i mereka. Mereka bebas untuk bermadzhab atau pun tidak bermadzhab.

Kyai Salim sama posisinya seperti posisi yang diambil Muhammadiyah, tidak menolak dan menerima begitu saja pendapat para imam madzhab. Karena itu, di Ponpes Arroudlotul Ilmiyah diajarkan fiqih muqaranah dengan mengajarkan buku karya Ibn Rush, Bidayatul Mujtahid, wa Nihayatul Muqtashid, juga-juga buku-buku lain yang berbeda dengan buku yang diajarkan di pesantren tradisional.

Keempat, menerima modernisme. Kyai Salim tidak menolak famam moderen dari barat dan moderen Islam, namun juga tidak anti Arab. Karena itu, pada saat santri pesantren lainmasih memakai sarung, santri YTP memakai celana dan berbaju ala Elvis Presley dan A. Rafiq. Tidak pakai kopyah, sorban, atau baju “koko” muslim. Rambutnya panjang ‘ala Rhoma Irama. Itulah penampilan fisik santri YTP. Secara pemikiran, tradisi kritis yang melahirkan modernisme Barat, sejak dini sudah dibiasakan di Ponpes YTP. Para santri dilatih kritis dan bertukar fikiran, debat, alias munaqasyah. Di mana di pesantren lain dianggap pelajaran yang tabu dan suul adab.

Faham sempalan, tidak selalu negatif, salah, sesat, atau menyimpang. Yang salah adalah faham sempalan yang keluar dari doktrin dasar Islam.



[1] Lidah orang Jawa dan sebagian suku di Nusantara, bila mengucapkan “h” (ح) menjadi “k”,  (ك), “hasan” menjadi “kasan”, “husen” menjadi “kusen”; “f” (ف) menjadi “p” (ڤ), “al-fatihah” menjadi “al-patekah, “fikir” menjadi “pikir”; “q” (ق) menjadi “k” (ك), seperti “qadir” menjadi “kadir”, “qahhar” menjadi “kahar”, “Qadli” [hakim] menjadi “kadi”. Kalau ada nama “[Su]kadi” artinya “hakim yang baik”; “zh” (ظ) menjadi “l” (ل), seperti “zhuhur” menjadi “luhur” atau “lohor” (jw), “nazhar” menjadi “nalar”, “hafazh” menjadi “hafal”, begitu seterusnya.

[2] Saya tidak membahas definisi “mainstrem” (jumhur) dan “sempalan” (i’tizal) perdefinisi. Saya lebih pada poin-poin penting tentang gerakan sempalan lokal dalam pengertian positif (gerakan baru) bukan yang negatif (sesat, radikal, sektarian). Untuk definisi sempalan, baca Martin van Brunisen, “Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam Indonesia,” dalam http://blog.ub.ac.id/irfan11/files/2013/02/Gerakan-Sempalan-di-Indonesia-oleh-Martien-Van-Bruinesen.pdf. Diakses pada 4 September 2022.

[3] Mu’tazilah punya 5 doktrin dasar yang menjadi ciri khasnya, yaitu Ushul al-Khamsah (5 dasar, lima Sila, atau panca sila): 1. Al-Tauhid; 2. Al-‘Adl; 3. Al-Wa’d wa al-Wa’id; Amr al-ma’ruf wa Nahy al-munkar; 5. Al-Manzilah bain al-Manzilatain. 5 doktrin dasar tadi adalah “Pancasila”-nya kaum Mu’tazilah. Jadi “pancasila” secara geneologis, bukan barang baru dalam khazanah pemikiran Islam.

[4] Now, di Indonesia semacam Politik Madzhab Pancasila atau Madzhab NKRI harga mati untuk menjadi “jualan” politiknya.

[5] Hasan ibn Ali, sempat dibaiat menjadi khalifah menggantikan posisi ayahnya, Ali ibn Abi Thalib, sebelum “menyerahkan” kekuasaannya kepada Muawiyah, yang secara geopolitik lebih kuat dan lebih berpengalaman, dengan kompensasi: 1. Membayar dana “tebusan” [kekuasaan] kepada Hasan ibn Ali, 2. Diadakan pemilihan khalifah baru pasca meninggalnya Muawiyah. Untuk yang nomor dua, diingkari oleh Muawiyah. Dalam hal kedua ini, Hamka berpendapat, “Tindakan Muawiyah mengangkat anaknya Yazid menjadi pengganti dirinya, adalah hasil ijtihad Muawiyah untuk menjaga kemashlahatan ummat yang lebih besar dan meminimalisir madlarat yang akan ditimbulkan bila tidak menunjuk anaknya sebagai khalifah. Logika berfikir ini, mirip dengan logika yang digunakan Ibn Taimiyah, untuk “membenarkan” tindakan Muawiyah melawan Ali, yang secara de jure dan de facto sebagai khalifah saat itu, yaitu senjata “ijtihad”. Bagi yang berpendapat bahwa shahabat “ma’shum”, tidak pernah salah, maka justifikasinya adalah “ijtihad”; sedang yang menganggap bahwa shahabat tidak ma’shum, maka argumennya adalah bahwa sahabat Nabi adalah manusia juga seperti manusia lainnya, walaupun mereka kualitasnya kelas satu.

[6] [Terjemah] Kyai Salim [Yunior] bertanya, “Kyai Hasyim, mengapa memakai celana kok diharamkan? Kyai Hasyim menjawab, “Kalau memakai celana tidak diharamkan, rakyat nanti ikut Belanda semua. Tunduk dan patuh kepada Belanda semua, penjajah rakyat di Nusantara ini. Kan, ikut penguasa yang lalim hukumnya haram. Kalau cara berpakaiannya sama dengan para penjajah itu, itu sama dengan ikut menjadi penjajah. Kan itu haram. Ini seperti apa yang disabdakan Nabi, “Barang siapa menyerupai dengan suatu kaum, maka dia menjadi bagian dari kaum itu.” Dan bagi santri, memakai Sarung, hukumnya wajib, karena sarung itu sebagai identitas santri dan tanda sebagai orang soleh, sekaligus wujud perlawanan secara diam-diam kepada penjajah.

[8] Di antara isu yag sering diangkat oleh para penceramah Nahdliyin adalah masalah Qunut, dan Teraweh K.H. Ahmad dalam buku lama yang diberi judul “Fiqh Muhammadiyah”. Kata mereka, “Mengapa Muhammadiyah pasca kedatangan K.H. Mas Mansur dengan Majelis Tarjihnya, rakaat Tarawihnya menjadi 11 rakaat, tidak 23 rakaat lagi?” Mereka mensyiarkan bahwa Muhammadiyah awal, fiqihnya adalah fiqih ala kaum Nahdliyin, bukan fiqih yang beredar pada saat ini. Untuk menjawab iklan tersebut, para aktifis Muhammadiyah menjawab dengan kalimat sederhana, “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah.” Apa yang dikatakan Kyai Dahlan, tidak musti dijadikan faham Muhammadiyah. Di sinilah perbedaan “tradisi” NU dengan MD, dalam “defend” dan “change” sesuatu. Ada yang getol bertahan tradisi lama, ada yang mudah untuk mereformulasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi