STUDY KRITIS PEMIKIRAN CAK NUR TERHADAP PENDIDIKAN PESANTREN
STUDY KRITIS PEMIKIRAN CAK NUR TERHADAP PENDIDIKAN PESANTREN
DR. Nur Raihan
STAIS Lan
Taboer
Email : hnraihan@gmail.com
English:
Abstract
Pesantren education is one of the oldest forms of
education in Indonesia with various dynamics and developments. Its contribution
in order to educate the nation is unquestionable because its output has played
many roles as social and structural leaders. However, this perception does not
apply to Nurcholish Madjid so that he criticizes pesantren education so that
there is an improvement in the system and methodology of educational
institutions led by kyai. According to him, there has been a gap between the world
of pesantren and the global world stage of the XX century, where the current
global world is still dominated by Western cultural patterns and is being
organized to follow these patterns. Cak Nur criticized the development of
pesantren facilities and infrastructure that are still minimal, which has an
impact on the lack of comfort in the teaching and learning process of the
students. Then, he highlighted an important aspect, namely non-physical, which
is more related to the psychological condition and mental attitude of the
pesantren. The pesantren education system is also the target of Cak Nur's
criticism by saying that the pesantren teaching methodology is still
centralized in one supreme power, namely in the hands of the kyai. In the world of pesantren, kyai is found to
be a centralized figure, Cak Nur expressed his disapproval of making kyai a
centralized figure because charisma does not show a democratic attitude. No
less important, Cak Nur criticized the methodology of education in pesantren
that had been running and traditions that were no longer efficient. In Cak
Nur's view, pesantren experience weakness on the managerial side so that they
are unable to formulate educational goals and pour them into stages of work
plans or programs. In addition, Cak Nur also analyzed that the alumni of
pesantren were not ready to answer the challenges of the times, they were only
suitable for teaching in educational institutions similar to their own
institutions such as ibtid'iyah, tsânawiyah and 'aliyah or other religious
school models. Another critical study of Cak Nur is the mystical view of the
santri towards the figure of the kyai or teacher so that the santri give
excessive respect, for example, they are considered to have supernatural powers
that can bring good luck (blessings) or harm (malati, bringing mudharat), not
walking ahead or in front of the kyai, speaking with their heads down and
asking permission if they want to leave or go home.
Keywords: boarding school, santri, kyai, thought, learning,
education, Islam, teaching, methodology, education system, politics, facilities
and infrastructure, modern.
Abstract
Bahasa
Indonesia
Pendidikan pesantren merupakan salah satu pendidikan
yang paling tua di Indonesia dengan melalui berbagai macam dinamika dan perkembangannya.
Kontribusinya dalam rangka mencerdaskan bangsa tidak perlu dipertanyakan karena
outputnya telah banyak berperan menjadi pemimpin sosial dan struktural. Namun
perpsepsi ini, tidak berlaku bagi Nurcholish Madjid sehingga dirinya memberikan
kritik terhadap pendidikan pesantren agar ada perbaikan sistem dan metodologi
pada lembaga pendidikan dipimpin oleh kyai. Menurutnya, dunia pesantren telah terjadi gap atau
kesenjangan antara dunia pesantren dengan
panggung dunia global abad XX, dimana dunia global sekarang ini masih
didominasi oleh pola budaya Barat dan sedang diatur mengikuti pola-pola itu.
Cak Nur memberikan kritik pembangunan sarana dan prasarana pesantren yang masih
minim yang berdampak pada kurang nyaman dalam proses belajar mengajar para
santri. Kemudian, ia menyoroti aspek
penting yaitu non-fisik yang lebih terkait pada kondisi kejiwaan dan sikap
mental pada kalangan pesantren. Sistem
pendidikan pesantren juga menjadi sasaran kritik Cak Nur dengan mengatakan metodologi
pengajaran pesantren masih bersifat sentralistik pada satu kekuasaan tertinggi
yaitu ditangan kyai. Dalam dunia pesantren ditemukan kyai menjadi
figur sentralistik, Cak Nur mengemukan ketidaksetujuan menjadikan kyai menjadi
figur sentralistik karena kharisma tidak
menunjukan sikap demokratis. Tidak kalah pentingnya, Cak Nur mengkritisi metodologi
pendidikan di pesantren yang telah berjalan dan mentradisi yang tidak lagi
efisien. Dalam pandangan Cak Nur,
pesantren mengalami kelemahan pada sisi manajerial sehingga tidak mampu
merumuskan tujuan pendidikan dan menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana
kerja atau program. Selain itu, Cak
Nur juga memberikan analisa bahwa
alumnus pesantren pesantren kurang siap menjawab tantangan perkembangan zaman,
mereka hanya cocok
untuk mengajar di lembaga-lembaga pendidikan yang sejenis dengan institusinya
sendiri seperti ibtidâ’iyah, tsânawiyah dan ‘aliyah ataupun model sekolah
keagamaan lainnya. Study kritis Cak Nur lainya adalah adanya padangan mistis santri
terhadap sosok kyai atau gurunya sehingga para santri memberikan penghormatan
yang berlelebihan, misalnya dianggap
memiliki kekuatan gaib yang bisa membawa pada keberuntungan (berkah) atau
celaka (malati, mendatangkan mudharat), tidak berjalan mendahului atau di depan
kyai, berbicara dengan menunduk dan meminta izin jika hendak pergi ataupun
pulang.
Keyword: pondok pesantren, santri, kyai, pemikiran,
belajar, pendidikan, Islam, pengajaran, metodologi, system pendidikan, politik,
sarana dan prasaran, modern.
A.
Pendahuluan
Pendidikan
pesantren menunjukan eksistensinya dari waktu ke waktu dengan berbagai macam
pola perubahan dalam rangka menjawab tantangan zaman, dari pra kemerdekaan
hingga sekarang. Perjalanan dan perkembangan pendidikan pesantren tidak lepas
faktor politik yang turut serta
mewarnainya, karena mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan serta wewenang untuk
mengatur pendidikan khususnya pesantren. Hal ini harus diakui bahwa stabilitas
politik suatu negara memiliki sumbangan cukup signifikan dalam menentukan kondisi
dan kualitas pendidikan. Kelemahan pada aspek politik dengan kata lain
perpecahan serta kekuatannya turut mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan
pendidikan di suatu negara. Semakin stabil kondisi politiknya, maka semakin
mapan kualitas pendidikannya, begitupun sebaliknya.
Ketika masa pemerintahan
Belanda di Indonesia dengan kekuatan politiknya menyebabkan Belanda merasa
berwenang mengatur segala hal yang berkaitan dengan bangsa Indonesia.
Intervensi yang berlebihan terhadap sistem pendidikan Islam dengan adanya
berbagai peraturan yang tidak memihak pesantren menjadikan institusi tersebut
berupaya keras mengikuti alur yang telah ditetapkan di berbagai aturan,
meskipun pesantren merelakan dirinya menjadi institusi pendidikan yang berciri
khas Islam. Artinya terjadi keterkaitan hubungan atau korelasi antara
pendidikan dengan politik. Dengan kata lain terjadi hubungan timbal-balik
antara pendidikan dengan politik. Pendidikan dengan politik terkait tak bisa
dipisahkan. Kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat,
dapat mempengaruhi akses suatu kelompok masyarakat pada bidang politik, sosial
dan ekonomi. [1]
Dawam Raharjo mengemukakan bahwa sejak dasawarsa 1970-an,
pemerintah Orde Baru telah mengupayakan pembangunan ekonomi. Dampak dari semua itu, dengan bantuan luar negeri dan dana yang berasal
dari migas, telah mengubah posisi
sosial-politik maupun sikap budaya umat Islam. [2] Satu hal yang harus dicatat penguasa
pada orde baru saat itu adalah dianggap tidak banyak memihak pada umat Islam
dan “memaksakan” Pancasila untuk dijadikan sebagai asas tunggal Negara,[3] tidak ada asas lain (tidak
boleh ada lagi ideologi Islam) dan karena itu, tidak ada lagi partai Islam.[4]
Hal ini menunjukan
terminimalisirnya potensi dan kekuatan umat Islam kalangan pesantren di kancah
politik, padahal di masa perjuangan, kekuatan yang paling besar berada pada
kalangan ini.
Seiring dengan perjalanan waktu,
modernisasi masuk kedalam semua lini kehidupan, termasuk pendidikan hingga
terjadi perdebatan kaum tradisionalis yang mempertahankan tradisi dan sistem
pendidikan gaya lama, sementara kaum modernis berusaha terbuka terhadap
pengakomodasian sistem sekolah gaya Barat. Akhirnya, modernisasi tersebut
diakui kebenarannya dan dianggap mendesak untuk direalisasikannya.
Adalah sosok
Nurcholis Madjid atau lebih dikenal Cak Nur yang dinilai memberikan kontribusi terhadap
ide-ide restorasi (modernisasi) pendidikan Islam di Indonesia, terutama lembaga
pesantren. Terbukti dengan tulisan-tulisannya yang mengkritisi pesantren
sebagai lembaga pendidikan tradisional yang terkumpul dalam buku “Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret
Perjalanan”. Sebenarnya, kondisi yang agak “janggal”, sebab Cak Nur yang
berlatang belakang pesantren justru meniupkan wacana perubahan pada pesantren
yang selama ini telah “berjasa” memberikan pondasi gaya berpikirnya. Dan hal
ini mendorong sebagian pihak ingin tahu lebih jauh untuk membongkar proses
perkembangan pemikiran Cak Nur selama dua dasawarsa terakhir tampak marak.
Banyak tulisan mengenai ide-ide Cak Nur selama dua dasawarsa terakhir sampai
pada suatu kesimpulan bahwa Cak Nur oportunis, berubah-ubah, atau paling ekstrim seorang misterius. Seperti
yang dilontarkan oleh HM. Rasjidi, Endang Saefuddin Anshari, Abdul Qadir
Djaelani, Hartono Ahmad Jaiz, Adian Husaini, Daud Rasyid, Abu Ridho dan
Muhammad Yaqzhan, Hidayat Nur Wahid, Adnin Armas, Syamsuddin Arif dan Hamid
Fahmi Zarkasyi.
Kendati demikian, banyak kalangan yang memberikan respons positif terhadap pemikiran Cak Nur dengan mengatakan bahwa dia telah melewati tahapan-tahapan yang jelas dan pemikirannya benar-benar telah berubah, seperti yang disampaikan Frans Magnis Suseno, Dawan Rahardjo dan Luthfi Assyaukanie. Maka, sangatlah wajar untuk menelaah pemikirannya dengan kemestian penyesuaian pada konteks masa pemikiran tersebut diterbitkan. Hal inilah yang menjadi pijakan untuk mengukur relevansi gagasan modernisasinya dengan zaman lahirnya ide tersebut.
B.
Pengertian
Pesantren
Sebelum membahas pesantren lebih lanjut, penulis terlebih dahulu
mengemukakan definisi pesantren, baik secara etimologi (bahasa) maupun terminologi
(istilah). Secara etimologi pondok pesantren terdiri atas dua kata yaitu pondok
berasal dari bahasa Arab al-funduk yang tempat tinggal, hotel, asrama. Menurut
kamus bahasa Indonesia, kata ini mempunyai dua pengertian yaitu; 1) Orang yang beribadah
dengan sungguh-sungguh orang saleh, 2) Orang yang mendalami pengajiannya dalam
Agama Islam dengan berguru ketempat yang jauh. [5] Jika dilihat pembentukan kata,
pesantren berasal dari kata dasar “santri” yang dibubuhi awalan “pe” dan
akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri.[6]
Berdasarkan referensi yang tersedia, Mastuhu memberikan pengertian pesantren dari segi terminologis adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradidisional yang mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.[7] Selain itu, ada beberapa pendapat lain yang menerangkan definisi pesantren yaitu suatu lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non klasikal, tetapi dengan sistem bandongan dan sorogan, seorang kiai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal di pondok. [8] Dalam tinjuan dakwah, pondok pesantren digambarkan sebagai lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan agama Islam.[9] Dari ketiga pengertian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan keagamaan yang memiliki corak pengajaran tersendiri seperti bandongan dan sorogan dengan menyediakan asrama atau pondok bagi para santren agar fokus belajar kitab-kitab klasik (kuning) yang berbahasa Arab.
C.
Pergulatan
Pesantren Di Era Orde Baru
a.
Pengertian
Orde Baru
Istilah Orde Baru digunakan untuk
membedakan zaman orde lama yang dalam kontek pelaksanaan bernegara terdapat
praktik-praktik penyelewengan terhadap
mandat kekuasaan yang diamanatkan oleh rakyat.. Adapun pembedaan dirinya sendiri dengan Orde Lama
dengan mendefinisikan diri sebagai:
a.
Sebuah tatanan
negara dan bangsa yang didasarkan atas pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsisten.
b.
Sebuah tatanan
yang berusaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu keadilan dan kemakmuran
rakyat Indonesia berdasarkan Pancasila.
c.
Sebuah tatanan
yang bercita-cita membangun sistem negara dan masyarakat berdasarkan UUD,
demokrasi dan hukum.
d.
Sebuah tatanan
hukum dan tatanan pembangunan.[10]
Dalam pengertian
tataran operasional Orde Baru didefinisikan sebagai suatu Orde yang mempunyai
sikap dan tekad mental dan itikad baik yang mendalam untuk mengabdi kepada
rakyat, mengabdi kepada kepentingan nasional yang dilandasi falsafah Pancasila
dan yang menjunjung tinggi azas dan Undang- Undang Dasar 1945. [11]
Pemerintahan
Orde Baru dimulai sejak tahun 1966 – 1998, dengan adanya Surat Perintah Sebelas
Maret, yang kemudian disalahartikan sebagai surat pemindahan kekuasaan. Pada
tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat sebagai presiden hal ini berdasarkan
Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai hasil pemilu ditetapkan pada tanggal
10 Maret 1983, Ia mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional. [12]
Meskipun konsep awal orde baru tampak memberikan harapan baru bagi rakyat
Indonesia saat itu, namun dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan terutama
dalam bidang pemerintah yang lebih cenderung sentralistik.
b.
Kebijakan
Politik
Sejak
tahun 1970-an, Indonesia telah memasuki tahap baru dalam perkembangan
masyarakat. Pembangunan berencana dan berskala besar telah mengawali proses
transformasi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kerangka teori modernisasi
yang membawa masyarakat dari tahap agraris-tradisional ke tahap
modern-industrial. Dawam Raharjo mengemukakan bahwa
sejak dasawarsa 1970-an, pemerintah Orde Baru telah mengupayakan pembangunan ekonomi, setidaknya ada
tiga ciri dalam strategi pembangunan yang dianut oleh Indonesia pada era ini.
1.
Pemerintah
tampil sebagai agen pembangunan.
2.
Pemerintah mengadopsi
strategi pertumbuhan ekonomi yang berpijak pada dua kaki, yaitu pembangunan
pertanian dan pedesaan untuk mencapai swasembada pangan sebagai basis
stabilitas ekonomi-politik, dan kaki yang lain pada industrialisasi sebagai
upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang konsumen
secara massal.
3.
Indonesia masuk ke
kancah perekonomian dunia, baik dalam rangka untuk mendapatkan pembiayaan
pembangunan pemerintah maupun dalam bentuk penanaman modal asing dan
perdagangan internasional. [13]
Tahun 1970-an dilingkupi oleh masa demokrasi
Pancasila, dimana penguasa
Orde Baru dinyatakan memperoleh kemenangan mutlak dalam pemilihan
umum. Ia melalui Golongan
Karya (Golkar) memperoleh aitu 227
kursi dari 360 kursi yang diperebutkan pada tahun 1971 dan pada pemilu tahun 1977 mendapat 232 kursi. [14]
Selain itu, dalam Konsensus Nasional atau pertemuan
dengan para pimpinan partai di luar
forum DPR yang diadakan oleh Soeharto
menghasilkan hak Presiden Soeharto untuk
mengangkat 100 orang anggota DPR dari ABRI dan
1/3 anggota MPR tanpa melalui pemilihan.
Ada
beberapa kebijakan Orde Baru dalam rangka pemberlakukan Demokrasi Pancasila,
diantaranya:
1.
Penggabungan
Partai Politik
Demokrasi
Pancasila dalam melaksanakan mekanisme politik melalui musyawarah wakil-wakil
rakayat yang bertujuan mencari kemufakatan bersama. Namun dalam praktiknya
tidak demikian, karena tidak ada partai oposisi seperti yang berlaku dalam
demokrasi liberal Barat. Dengan mekanisme ini, digunakan untuk menyederhanakan
partai yang membuat partai-partai Islam yang belum bubarkan saat itu tidak
berdaya menghadapinya.
Perkembangan
berikutnya pada era Orde Baru, tahun 1973 pemerintah mengambil kebijakan
penyederhanaan partai. Dimata banyak perwira Angkatan Darat, sistem banyak partai
merupakan faktor penghambat tercapainya konsensus nasional tentang dasar serta
tujuan negara. Partaipartai hanya melakukan oposisi demi kepentingannya dan
kurang memperhatikan program-program pembangunan. Karenanya, kebijakan penyederhanaan
partai merupakan alat yang efektif untuk mengontrol partai dan memusatkan
kekuasaan ditangan penguasa. [15]
Salah satu
faktor penyederhanaan partai adalah pengalaman traumatis atas kegagalan
partai-partai politik era Demokrasi Parlementer. Dimana partai, para politisi sipil, dan ideologi
yang dianut oleh partai-partai, dinilai tidak memberikan kontribusi apapun
dalam upaya menciptakan integrasi, stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya
partai-partai dianggap sebagai sumber konflik dan faktor destabilisasi politik
yang lebih memikirkan kepentingan kelompok dan golongan masing-masing ketimbang
kepentingan bangsa. Jumlah partai dan ideologi yang dianutnya dianggap identik
dengan jumlah konflik yang dihasilkan. Karena itu jumlah partai dan ideologi
harus disederhanakan. [16]
Penerapan kebijakan tersebut menghasilkan pembentukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golkar. PPP yang formalnya didirikan pada tanggal 5 Januari 1973, merupakan fusi dari empat partai Islam yakni NU, PSII, Perti dan Parmusi. Sedangkan PDI yang formalnya didirikan pada 10 Januari 1973 merupakan penggabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katholik, IPKI dan Partai Murba. Setelah kedua partai tersebut terbentuk, pada tahun 1974 pemerintah mengajukan RUU tentang partai politik dan Golongan Karya yang isinya hanyalah melegitimasikan keadaan yang telah ada. Didalam RUU tersebut tidak disinggung tentang apa yang dimaksud dengan partai politik dan Golongan Karya. Undang-undang tersebut hanya menyebutkan secara definitif bahwa hanya diakui adanya tiga organisasi kekuatan politik yaitu PPP, PDI dan Golkar. [17]
2.
Pengesahan
P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)
Berangkat
dari kenyataan dan fakta dilapangan mengenai penyimpangan-peyimpangan yang
dilakukan orde lama dalam melaksanakan Pancasilan dan UUD 1945, Presiden
Soeharto ketika itu memandang perlu adanya pedoman dan penjabaran dalam
mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 bagi seluruh komponen Bangsa Indonesia.
Dengan diprakarsai oleh presiden Soeharto sendiri, akhirnya Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila atau lebih dikenal dengan P-4 pada tahun 1978 berhasil
dirumuskan dan rumusan ini disahkan oleh sidang MPR melalui ketetapan MPR
NO.11/1978. P-4 dimaksudkan sebagai penjabaran dari sila-sila yang terkandung
dalam Pancasila. Penjabaran Pancasila sebagaimana tercermin dalam P-4 ini
dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi seluruh bangsa Indonesia dalam
mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Pancasila itu dalam segala aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.[18]
Selanjutnya, dalam melaksanakan ketetapan tersebut, dibentuk sebuah komisi yang
dinamakan P7 (Penasehat Presiden Mengenai P-4) di Jakarta dengan tugas
memberikan nasehat kepada presiden mengenai pelaksanaan kebijakan pemerintah
mengenai P-4. Lalu, dibentuk juga BP 7
(Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4) sebagai koordinator pelaksana program
P-4, baik di tingkat nasional maupun regional.
3.
Pemberlakukan
Asas Tunggal Pancasila
Sebagai
upaya dalam mengimplementasikan P-4 dan melanggengkan kekuasaan, pemerintahan
orde baru dengan mengeluarkan kebijakan sebagai berikut:
1)
Pemerintah
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua partai politik dan
Golkar.
2)
Pemerintah
menetapkan Pancasilas sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi
kemasyarakatan.
Ada
beberapa alasan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila bagi Partai
Politik dan organisasi social kemasyarakatan, diantaranya yaitu:
1.
Pemerintah
tampaknya belajar dari pengalaman kampanye pemilu pemerintah memberlakukan asas
tunggal Pancasila yaitu pertama, pemerintah tampaknya belajar dari pengalaman
kampanye pemilu sebelumnya dimana terjadi pertarungan fisik (yang sering
berakibat fatal), khususnya antara pendukung Golkar dan PPP.
2. Secara ideologis Pancasila akan menempati posisi yang lebih kuat dalam kehidupan sosial dan nasional bangsa Indonesia. Ide ini tampakya diperkuat oleh fakta, bahwa sepanjang menyangkut Islam politik, PPP masih mempertahankan Islam sebagai asasnya disamping Pancasila. Selain itu motif utama pemberlakuan asas tunggal itu ialah untuk melindungi Pancasila sebagai ideologi nasional dan untuk terus mensosialisasikannya dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. [19]
4.
Nasib
Pesantren di Zaman Orde Baru
Sebenarnya tidak pada masa Orde Baru saja yang mengesampingkan
pendidikan Islam, khususnya pesantren, melainkan penguasa-penguasa sebelumnya
juga mengeluarkan kebijakan yang sama, seperti pada kolonial Belanda,
pendudukan Jepang dan Orde Lama. Alasannya, Indonesia bukan Negara Islam,
padahal mayoritas penduduknya beragama Islam yang secara otomatis kebutuhan
akan ilmu agama sangat penting dan mendasar, apalagi amanah konstitusi
menyebutkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dimana pendidikan agama
merupakan bagian dari pembangunan mental spiritual.
Pada masa awal pemerintahan Orde Baru
telah mengeluarkan kebijakan yang merugikan pendidikan Islam dengan
diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1972, tentang pembagian tugas dan tanggung jawab terhadap
pembinaan pendidikan dan latihan secara menyeluruh kepada tiga lembaga kementerian
yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Tenaga Kerja dan
Kementrian Agama. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bertanggung jawab atas penyelemggaraan dan
pembinaan pendidikan umum latihan keahlian dan kejuruan.
Kementerian Tenaga Kerja bertugas dan
bertanggung jawab atas latihan keahlian dan kejuruan bukan pegawai negeri serta
Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan
latihan khusus pegawai negeri. Kementrian
Agama yang sejak kemerdekaan bertugas membina pendidikan agama (pesantren,
madrasah dan sekolah agama) hanya bertugas dan bertanggung jawab untuk menyusun
kurikulum pendidikan agama, baik untuk sekolah umum, madrasah maupun perguruan
tinggi. [20]
Syeh Hawib Hamzah dalam Jurnal
Syamil, menyebutkan kebijakan yang
mengalihkan tanggung jawab pembinaan madrasah dan pondok pesantren menimbulkan
kontroversi dan keresahan diklangan tokoh- tokoh Islam. Kebijakan itu mendorong
kepada upaya pendidikan di bawah satu atap dan berdampak pada sekulerisasi
pendidikan agama. Pada akhirnya berdasarkan usulan dasar dari tokoh-tokoh Islam
melalui Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) diketuai
Imam Zarkasyi disampaikan kepada Menteri Agama kemudian dilanjutkan kepada
presiden pada saat sidang Kabinet Bidang Kesra 26 Nopember 1974. [21]
Alhamdulillah, dalam Sidang Kabinet diputuskan bahwa Keppres nomor
34 tahun 1972 dan Inpres nomor 15 tahun 1974 tidak dimaksudkan untuk
menghilangkan wewenang dan tanggung jawab Menteri Agama untuk mengelola
madrasah dan pendidikan agama pada sekolah-sekolah umum.[22]
Tindak lanjut dari hasil sidang kabinet dibentuklah sebuah tim yang anggotanya
wakil dari Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian
Dalam Negeri dan lembaga-lembaga terkait untuk merumuskan konsep keputusan
bersama yang kemudian dikenal dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri,
yaitu, Kementerian Agama, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementrian
Dalam Negeri pada tahun 1975 dengan judul Peningkatan Mutu Pendidikan pada
Madrasah.[23] Kendati demikian, harus diakui
kebijakan pemerintahan Orde Baru mengenai pendidikan Islam termasuk madrasah,
pondok pesantren bersifat positif dan konstruktif.
[24] Terbukti lembaga pendidikan Islam mendapat perhatian dari sisi anggaran
dan jumlah madrasah serta pondok pesantren juga
makin meningkat sebagai upaya menjaga eksistensinya secara populasi umat
Islam di Indonesia.
Dari berbagai kebijakan
pemerintah Orde Baru berkenaan dengan pendidikan Islam dan keagamaan dapat
dicatat beberapa keberhasilan, 26 di antaranya adalah:
a.
Pemerintah memberlakukan pendidikan agama dari tingkat SD hingga
universitas (TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966), madrasah mendapat perlakuan dan
status yang sejajar dengan sekolah umum, pondok pesantren mendapat perhatian
melalui subsidi dan pembinaan, berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada
tahun 1975, pelarangan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) mulai tahun 1993
setelah berjalan sejak awal tahun 1980-an.
b.
Pemerintah juga pada akhirnya member izin pada pelajar muslimah untuk
memakai rok panjang dan busana jilbab di sekolah-sekolah negeri sebagai ganti
seragam sekolah yang biasanya rok pendek dan kepala terbuka.
c.
Terbentuknya
UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 7 tahun 1989
tentang peradilan agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dukungan pemerintah
terhadap pendirian Bank Islam, Bank Muamalat Islam, yang telah lama diusulkan,
lalu diteruskan dengan pendirian BAZIS (Badan Amil Zakat Infak dan Sodaqoh)
yang idenya muncul sejak 1968, berdirinya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila,
pemberlakuan label halal atau haram oleh MUI bagi produk makanan dan minuman
pada kemasannya, terutama bagi jenis olahan.[25]
Lebih lanjut, Syeh Hawib
Hamzah menjelaskan pemerintah orde baru juga
memfasilitasi penyebaran da’i ke daerah terpencil dan lahan transmigrasi,
mengadakan MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur’an), peringatan hari besar Islam di
Masjid Istiqlal, mencetak dan mengedarkan mushaf Al Quran dan buku-buku agama
Islam yang kemudian diberikan ke masjid atau perpustakaan Islam, berdirinya MAN
PK (Program Khusus) mulai tahun 1986, dan pendidikan pascasarjana untuk Dosen
IAIN baik ke dalam maupun luar negeri, merupakan kebijakan lainnya.[26]
D.
Modernisasi
Pendidikan Pesantren
Hingga awal
1970-an, masih banyak ilmuan yang percaya bahwa institusi-institusi pendidikan
adalah salah satu andalan utama untuk membangun suatu sistem sosial yang terbaik.[27]
Artinya berbagai perubahan sosial dapat dikontrol dengan mengaplikasikan
intelegensi keilmuan. Adalah tugas pendidikan untuk memulai perubahan gradual
menuju tradisi demokrasi yang sempurna. Keyakinan tersebut berdasarkan suatu
klaim bahwa pendidikan dapat melakukan identifikasi, penanaman dan promosi
bakat-bakat dari latar belakang sosial, rasial atau agama apapun. [28]
Hal ini beralasan bahwa efek yang ditimbulkan oleh perbedaan kelas sosial,
agama, ras, gender terhadap bakat individu dapat dihilangkan melalui sistem
kesetaraan kesempatan pendidikan (equal educational opportunity) yang terkait
dengan sistem kesempatan kedudukan yang setara dan terbuka (equal and open
occupational opprtuniy).
Untuk itu
modernisasi merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat
Islam pada masanya. [29]
Untuk mengatasi keterbelakangan kondisi pendidikan pesantren sangat dimaklumi
jika upaya modernisasi yang dilakukannya merupakan kemestian. Hal ini guna
mengejar ketertinggalan kualitas alumnus pesantren. Padahal pada masa
tahun 1955-1965 timbul minat yang
mendalam terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, agar dapat memperkuat
umat Islam. [30]
Pada masa tersebut Kementerian Agama telah merumuskan klasifikasi jenjang
pendidikan yang digariskan untuk pendidikan Islam.
Pada awal
dasawarsa 1970-an, ketika Orde Baru masih berada dalam awal perkembangannya dan
karena itu memang sedang mencari bentuknya, baik di bidang politik, ekonomi,
maupun sosial-budaya, golongan santri modernis dihadapkan pada beberapa
pertanyaan mendesak yang mesti dijawab. Dawam Raharjo merumuskan pertanyaan
tersebut, antara lain:
1.
Mengapa umat
Islam selalu dipojokkan sebagai golongan yang “anti Pancasila”, padahal
sila-silanya tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam dan bahkan pada
saat-saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan, para pemimpin umat Islam yang
terkemuka, ikut serta dalam perumusan Pancasila, sebagaimana tercantum dalam
Mukaddimah UUD 1945?
2.
Hal ini terkait
dengan persoalan politik, yaitu mengapa golongan politik Islam tidak bisa ikut
serta dalam memimpin negara dan duduk dalam pemerintahan, seperti yang terjadi
dalam satu dasawarsa sesudah 1945?
3.
Bagaimana sikap
kaum muslim terhadap arus pemikiran modernisasi yang menjadi landasan ideologi
Orde Baru dan apakah mereka akan ikut serta dalam program pembangunan di
Indonesia yang didukung oleh negara-negara Barat? [31]
Sangat
dimaklumi bahwa kompleksitas permasalahan umat Islam pada masa tersebut
mengerucut pada ketiga pertanyaan di atas yang sekaligus juga merupakan ekspresi
protes terhadap ketidakberpihakan pemerintah pada kalangan santri atau kalangan
muslimin. Kenyatannya, dengan ajaran “jihad” pada masa perjuangan kaum santri
justru yang melatari dan mendukung penuh perjuangan melawan penjajah yang
notabene dianggap kafir.
Terkait
dengan ketiga pertanyaan di atas, berbagai jawaban diberikan oleh kalangan
muslimin. Ada yang tidak ingin mempermasalahkan lagi Pancasila dengan Islam,
langsung masuk ke ranah birokrasi dan secara tegas mendukung modernisasi, tidak
lewat diskursus yang sifatnya intelektual, melainkan langsung dengan
partisipasi dalam kegiatan pembangunan. Hal ini disepakati oleh kalangan
senior. Ada juga kalangan yang memandang masalah hubungan Pancasila dan Islam
harus dijernihkan dalam diskursus publik. Dengan alasan hal tersebut terkait
erat dengan masalah motivasi yang menggerakan seseorang dalam proses perubahan
kemasyarakatan dan tanggung jawab keagamaan. Artinya, soal hubungan Pancasila
dan Islam adalah soal etika yang mempersoalkan tanggung jawab manusia atas
perbuatannya. Kalangan yang menyepakati ini adalah yunior. [32]
Selanjutnya
masalah partisipasi politik umat Islam dalam kegiatan kenegaraan dan
pemerintahan, kalangan senior memandang bahwa hal tersebut urgen, tetapi ada
juga yang beranggapan sebaliknya. Kalangan terakhir ini yakni yunior lebih
memandang penting untuk mempersiapkan infrastruktur bagi kegiatan politik umat
Islam. [33]
Tampaknya kalangan terakhir ini lebih tertarik dalam kegiatan- kegiatan
membangun masyarakat dan bergerak di bidang pemikiran, daripada terjun ke arena
politik atau masuk ke birokrasi. Mereka juga menganggap masalah modernisasi
secara bertanggung jawab dengan mempertanyakan kembali persepsi kaum muslim
terhadap konsep-konsep teologi mereka yang mulai berhadapan dengan perubahan-perubahan
masyarakat dan kecenderungan perkembangannya di masa depan.
Era
1970-an merupakan babak dimana konseptor modernisasi mengambil inisiatif
sepenuhnya guna menjabarkan konsepsinya. Di bidang politik, jabaran konsepsi
modernisasi ditandai dengan serangan terhadap agama, terutama Islam oleh
kalangan tertentu agar tidak dimasukkan atau turut menggerakan kehidupan
politik. [34]
Lebih lanjut, Said Tuhuleley dan Zoelkifli Halim menerangkan bahwa ideologi
dipertentangkan dengan program, agar orang mengambil programnya saja dan
membuang jauh-jauh ideologinya. Sedangkan program pembangunan hampir secara
keseluruhan didominasi oleh indikator ekonomi, sehingga modernisasi dalam
segala bidang melahirkan berbagai persolan serta tantangan bagi umat Islam, yang
merupakan mayoritas masyarakat Indonesia. Namun menghindari modernisasi juga
tidak memungkinkan, karena modernisasi merupakan keharusan sejarah yang mesti
dihadapi. Hanya saja diperlukan strategi dan rencana yang mapan dalam
melaluinya. Sebab, akses modernisasi
yang sedemikian membahayakan itu bagi
Said Tuhuleley dan Zoelkifli Halim, terutama dalam wujud pengembangan budaya
”permisif” serta menjurus kepada upaya dehumanisasi, mempunyai hubungan
kausalitas dengan umat Islam. [35]
Akhirnya, kondisi inilah yang kemudian memberi warna kuat bagi sejumlah gerakan
pemuda Islam, terlebih lagi bagi perilaku politik para tokoh pemuda.
Selama dua
dasawarsa Orde Baru, masalah modernisasi ditanggapi dalam tiga kerangka. Dawam
merumuskan, sebagai berikut:
1.
Modernisasi
dilihat sebagai suatu proses penyebaran nilai-nilai yang sejalan dengan
ekspansi kekuatan ekonomi dan politik Barat. Dalam hal ini modernisasi dilihat
sebagai proses transnasionalisasi yang berkaitan dengan perkembangan
kapitalisme dan westernisasi. [36] Umat Islam dalam menyikapi hal ini tampaknya
perlu memilah antara yang bersifat universal dan yang mengandung etnosentrisme.
Artinya, diperlukan kreativitas pemikiran-pemikiran yang bersifat kritik
terhadap gagasan-gagasan yang dianggap ke-Barat-an terutama sekularisme yang
menggeser peranan agama, di samping juga mencari kembali nilai-nilai Islam yang
lebih aktual dalam rangka menimbulkan proses desekulerisasi.
2.
Modernisasi
dilihat sebagai suatu keharusan sejarah yang akan melanda seluruh dunia, dan
karena itu perlu ditanggapi, terlepas dari suka ataupun tidak. [37]
Sejarah pengalaman modernisasi Barat menunjukan masyarakat bergerak dari pola
agraris ke pola industri, sehingga nilai- nilai tradisional yang diangkat tidak
compatable terhadap era industri ini tidaklah mengherankan akan ditinggalkan. Tradisi
akan mengalami banyak pertimbangan termasuk di dalamnya adalah paham terhadap
keagamaan, sistem hukum, kelembagaan ataupun perilaku masyarakat. Kesemuanya
itu akan mengalami penyesuaian terhadap zaman atau trend yang sedang
berkembang. Artinya, dalam hal ini modernisasi dapat menimbulkan
kegiatan-kegiatan praktis dalam pembangunan.
3.
Mencoba menilai
secara kritis, baik modernisasi maupun tradisi. [38] Memang dimaklumi bahwa modernisasi merupakan
keharusan dan kemestian sejarah, namun bukan berarti modernisasi ditanggapi
dengan melepaskan nilai-nilai dari konteksnya. Dalam hal ini sejarah dan
perubahan sosial perlu mendapat porsi pengamatan yang wajar dan sesuai.
Uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi umat Islam pada tahun 1970-an,
khususnya kalangan santri, merasa memiliki andil dalam pembentukan Orde Baru.
Mereka dihadapkan pada persoalan, apakah mendukung dan berpartisipasi dalam
proses pembangunan yang dilandasi gagasan modernisasi atau tidak. Pemikiran
tentang Islam yang berkembang pada dasawarsa 1970-an berkisar pada masalah
modernisasi pada umumnya dan khususnya tentang konsep ”apologi Negara Islam”.[39] Dampak pemikiran ini, tampaknya yang paling
penting adalah menciptakan citra baru mengenai Islam yang lebih inklusif dan
juga ikut mencairkan mitos oposisionalisme umat Islam. Inilah antara lain yang
membuka kesempatan bagi timbulnya proses ”Islamisasi birokrasi” dan
”birokratisasi Islam” yang secara sosial mencairkan konsep dikotomi
santri-priyayi. Di samping itu, polarisasi santri-abangan dan santri-priyayi
juga mencair dengan masuknya golongan muslim baru terpelajar ke wilayah
birokrasi dan sebaliknya terjadinya proses santrinisasi kaum priyayi. Dalam
kerangka inilah modernisasi dianggap perlu dan mendesak untuk diwujudkan. Hal
ini dilakukan demi peningkatan dan eksistensi umat Islam dalam kancah global.
Memang,
nilai-nilai modern didominasi Barat, berpijak pada anggapan tersebut kita
digiring untuk mengakui bahwa peradaban modern yang melanda dunia, termasuk
Indonesia, adalah hasil invasi peradaban Barat. Karena itu ada orang yang
mengatakan bahwa modernisasi sesungguhnya penghalusan dari pengertian westernisasi.
Tetapi, sebetulnya menurut Cak Nur nilai-nilai modern itu universal sifatnya,
berbeda dengan nilai-nilai Barat yang lokal atau regional saja. [40]
Yang menjadi arus bawah dari peradaban modern adalah sesuatu yang bersifat
universal, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jadi menurut Cak Nur tantangan zaman modern pada hakikatnya adalah
tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[41] Oleh
karena itu, yang menjadi ciri modernisasi adalah pembangunan untuk perubahan
sosial yang bertujuan untuk perbaikan dan peningkatan kehidupan secara
keseluruhan. Dalam hal ini pesantren diharapkan mampu menjawab tantangan atau
merespon kebutuhan pembangunan tersebut. Modernisasi pendidikan pesantren bisa
dilakukan dengan perubahan sistem pengajaran yang lebih efketif, simpel,
penambahan kurikulum yang adapatif terhadap perubahan zaman serta pemanfaatan
teknologi pembelajaran. Dengan begitu, output
pesantren siap menjadi aktor pembangunan sumber daya manusia yang lebih humanis
dengan membawa nilai-nilai spiritual guna memenuhi kebutuhan psikologis
masyarakat modern yang cenderung materialistik dan individualistik.
E.
Sasaran
Kritik dan Perbaikan Pendidikan Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang paling tua di Indonesia dan telah ikut serta mewarnai dan memberikan kontribusi nyata bagi bangsa dan negara perlu adanya kritik untuk memperbaiki dengan sesuatu yang ideal dan standar pendidikan di era sekarang. Salah satu kritik pesantren datang dari Cak Nur atau Nurchalis Madjid. Sekilas dapat dijelaskan latar belakang pendidikan Nurcholish merupakan perpaduan yang unik. Mulai dari tradisi pesantren dengan metode tradisional hingga model pendidikan Barat yang dimaklumi identik dengan liberal. Adapun poin-poin penting yang sasaran kritikan dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.
Terjadi
‘gap’
Ada
beberapa elemen yang diperkirakan masih memerlukan koreksi agar tradisi
pesantren bisa dianggap relevan dengan tuntutan zaman. Dalam hal ini Cak Nur
mengemukakan bahwa antara dunia pesantren dengan panggung dunia global abad XX,
sebenarnya terjadi kesenjangan atau “gap”.[42]
Di satu sisi, dunia global sekarang ini masih didominasi oleh pola budaya Barat
dan sedang diatur mengikuti pola-pola itu. Sedang di sisi lain pesantren-pesantren
kita, disebabkan faktor-faktor historisnya, belum sepenuhnya menguasai pola
budaya itu (yang sering dikatakan sebagai pola budaya “modern”, sehingga kurang
memiliki kemampuan dalam mengimbangi dan menguasai kehidupan dunia global.
Bahkan, untuk memberikan responsi saja sudah mengalami kesulitan. Artinya, dari
beberapa tradisi pesantren ada yang dinilai Cak Nur yang mengalami kesenjangan
dengan dunia luarnya yang menuntut keahlian dan kemapanan tertentu. Hal
tersebut akan semakin tersudut lagi jika pesantren disejajarkan atau
dibandingkan dengan tradisi pendidikan Barat dengan metodologi dan manajemen
yang lebih maju, teratur dan dinamis.
2.
Minim
Sarana dan Prasarana Pesantren
Dari aspek fisiknya, pesantren terdiri dari lima unsur yang tata letaknya terkesan sporadis, kamar-kamar yang sempit dan kurang sirkulasi udara, jumlah kamar mandi yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni asrama atau pondok, serta tingkat kebersihan yang minim. [43] Memang diakui bahwa keadaan demikian membuat pesantren tampak tidak higienis dan tidak steril, akan tetapi kondisi ini menjadi lain ketika dihubungkan dengan kesederhanaan pesantren dengan kondisi keuangannya yang mandiri. Sementara Zamakhsyari Dhofier mengemukakan bahwa unsur-unsur pesantren terdiri dari asrama atau pondok bagi para santri, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab kuning, dan kyai. [44] Pendapat ini tampaknya merangkum makna pondok pesantren sebagai institusi pendidikan klasik atau tradisional yang terfokus sebagai poros transfer ilmu-ilmu agama, menjaga tradisi Islam serta regenerasi ulama. Meskipun dewasa ini unsur- unsur tersebut tidak mutlak terpenuhi semua unsurnya. Misalnya, ada pondok pesantren yang tidak memiliki asrama karena pengajaran dilakukan di mesjid atau surau dan setelah kegiatan mengaji, santri kembali ke rumah masing-masing. Namun, paling tidak, pesantren memenuhi tiga unsur vital, yaitu ada kyai yang mengajar, santri yang belajar serta masjid sebagai tempat pelaksanaan ritual ibadah bersama ataupun berfungsi juga sebagai sarana belajar mengajar. [45]
3.
Kritik
Non Fisik
Cak Nur
melanjutkan argumennya bahwa jika dilihat sekilas, maka akan tampak gambaran
tentang pesantren yang kurang kondusif bagi peranan-peranan besar. Tidak perlu
mengadakan tinjauan keadaan fisiknya, sebab dalam analisa terakhir penempatan
segi fisik ini jatuh dalam urusan kedua dalam skala prioritas. Yang perlu
ditinjau adalah segi non-fisiknya. Sebab titik tolak perubahan, perkembangan,
pertumbuhan, dan kemajuan adalah segi non-fisik yang berupa sikap jiwa
keseluruhan.[46]
Dengan kata lain, Cak Nur menganggap
perubahan pada bentuk fisik adalah termasuk hal yang tidak begitu substansif
dan esensial. Yang lebih penting adalah aspek non-fisik yang lebih terkait pada
kondisi kejiwaan dan sikap mental pada kalangan pesantren.
Merespon
argumen Cak Nur di atas, penulis sependapat bahwa upaya restorasi atau
modernisasi pesantren tidak perlu sampai mengorbankan ciri khas pesantren
sebagai pusat transfer ilmu-ilmu agama. Bahkan tradisi yang menjadi ciri
khasnya mesti dilestarikan dan dijadikan kekuatan daya tarik pesantren di
samping sebagai pusat kajian keislaman. Perubahan atau modernisasi juga
selayaknya difokuskan pada aspek non-fisik atau semangat dari pesantren, bukan
hanya pada aspek atau unsur materialnya yang berupa bangunan mesjid, asrama
ataupun tata letak lingkungannya. Karena hal tersebut – meski memiliki nilai
urgen – tetap merupakan hal yang tidak terlalu substansif. Perubahan dalam segi
fisik juga akan sangat berkaitan erat dengan biaya. Oleh karena itu perubahan
yang paling signifikan adalah dengan biaya yang relatif kecil namun implikasi
dan pengaruh yang ditimbulkan cukup besar. Itulah perombakan kurikulum. [47]
Namun, tampaknya istilah yang mengatakan bahwa tradisi tersebut sebagai “fosil” masa lampau penulis nilai agak sedikit berlebihan. Sebab, nyatanya pesantren tetap menjadi pilihan bagi masyarakat. Pilihan terhadap pesantren memberikan efek kenyamanan tersendiri bagi para orang tua sehingga memilih pesantren sebagai alternatif sekolah lanjutan untuk anak-anaknya. Kenyataan tersebut sangat berseberangan dengan perkiraan Cak Nur yang mengatakan bahwa pesantren dengan kondisi keterbelakangan dan ketertinggalannya karena hanya memilih peranan moral saja, dengan tidak disertai usaha meningkatkan mutu penyuguhan. Maka, yang akan terjadi adalah semakin lemahnya hak hidup pesantren di tengah kehidupan abad modern, untuk kemudian tidak diakui sama sekali dan lenyap. [48] Meskipun Cak Nur menawarkan solusi yaitu agar pesantren mengambil posisi sebagai pengembang amanat ganda (duo mission), yaitu amanat keagamaan atau moral dan amanat ilmu pengetahuan. [49] Amanat tersebut dilakukan secara serentak dan proporsional sehingga tercapai keseimbangan yang diharapkan.
4.
Sistem
Pendidikan Pesantren
Kendati
ia sempat mengenyam pendidikan pesantren namun tidak menyurutkannya memberikan
penilaian (kritik) terhadap pola pengajarannya.
Dalam buku Bilik-Bilik Pesantren, Cak Nur secara umum menyoroti tiga
aspek dalam sistem pendidikan pesantren, yaitu:
a.
Aspek metodologi
pengajaran pesantren yang menurutnya masih bersifat sentralistik pada satu
kekuasaan tertinggi kyai.
b.
Aspek tujuan
dari pendidikan Islam yang hanya terkesan berorientasi pada akhirat dan
mengabaikan dunia.
c.
Aspek kurikulum,
dimana materi pengajaran pesantren telah mentradisi secara kontinyu di bidang
agama dan moral.
Baginya,
kualitas atau mutu pesantren mengalami ketertinggalan. Hal ini sejalan dengan
pesantren acapkali melekatkan kesan simbolis pada identitas kalangannya, tidak
pada semangat atau ruh Islamnya. Cak Nur mengemukakan bahwa kondisi pendidikan
Indonesia yang tertinggal ini bisa diperbaiki dengan mengubah pola pikir. Tantangan
masa depan dapat dihadapi dengan kemampuan tingkat tinggi dalam berpikir. Ia
menginterpretasikan ayat yang berbunyi bahwa Allah tidak mengubah kondisi suatu
kaum kecuali kaum itu sendiri yang berusaha mengubah apa yang ada pada diri
mereka, dengan perubahan cara berpikir. Baginya, perubahan nasib sangat
ditentukan oleh perubahan paradigma atau cara berpikir. [50] Sebab,
berpikir merupakan suatu hal yang paling substansif dalam diri manusia.
Di
sinilah peran penting pendidikan di samping sebagai transmisi pengetahuan,
perbaikan budi pekerti juga sebagai pembentukan pola pikir guna kesuburan
berpikir dan kematangan intelektual agar mampu menjawab tantangan masa depan
yang kontemporer dan memenuhi kebutuhannya. Bagi Cak Nur, pendidikan agama
hakikatnya merupakan pendidikan untuk pertumbuhan total anak didik, tidak hanya
sebagai pemenuhan aspek kognititif, tetapi lebih jauh mencakup afektif dan
spiritual. Dengan tugas yang berat ini, maka tidak dibenarkan jika pemaknaannya
hanya dibatasi pada pengertian-pengertian yang konvensional.
Lebih rinci, pada bukunya
Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan justru tidak banyak dikemukakan
kelebihan lembaga pendidikan pesantren ini. Dalam buku tersebut secara lebih intens, Cak Nur cenderung menyoroti sistem pengajaran
yang berlaku di pesantren. Ia melihat bahwa dari segi metodologi, apa yang
telah diselenggarakan pesantren secara mentradisi tidak lagi efisien. Demikian
pula halnya dengan penekanan yang berlebihan terhadap ilmu-ilmu abstrak seperti
fiqh, gramatikal bahasa Arab, akidah dan semacamnya. [51]
Meski sebelumnya pesantren telah mulai memasukkan pelajaran ilmu-ilmu umum,
namun baginya hal tersebut masih bersifat minim, tidak sesuai dengan porsi yang
dibutuhkan oleh zaman. Pesantren hendaknya merumuskan konsep metodologi yang
baru atau setidaknya mengadopsi metodologi yang telah dipraktikan oleh Barat.
Menyikapi hal ini Abdurrahman Wahid menanggapi bahwa adalah keharusan bagi
pesantren mengadakan sekolah umum di tengah-tengah kehidupan pesantren.[52] Barangkali
hal ini dimaksudkan agar pesantren tidak hanya mencetak para ulama atau ahli
agama tetapi juga sekaligus ahli agama yang menguasai ilmu-ilmu umum, guna
kelayakannya bergelut dengan dunia kerja global yang justru menyita persaingan
pada keahlian.
5.
Menjadikan
Kyai Sebagai Figur Sentralistik
Dalam
lembaga pendidikan pesantren, peran seorang kyai sangat besar, termasuk urusan .
perumusan tujuan, visi dan tujuan pesantren diserahkan pada proses improvisasi
yang dipilih sendiri oleh kyai atau bersama-sama para pembantunya secara
intuitif yang disesuaikan dengan perkembangan pesantren. Sehingga sangat
dimaklumi jika muncul anggapan bahwa pesantren itu merupakan hasil usaha
pribadi (individual enterprise). [53]
Tekait hal itu ada berbagai kriteria yang dijadikan tolok ukur bagi seorang
kyai selaku pemimpin dan pengontrol pesantren, yaitu :
1.
Kharisma yang
menunjukan segi tidak demokratis.
2.
Personality yang
mengandung implikasi bahwa seorang kyai tidak mungkin digantikan oleh orang
lain serta sulit ditundukkan ke bawah rule
of the game-nya administrasi dan manajemen modern.
3.
Religio-feodalisme,
yaitu seorang kyai selain menjadi pimpinan agama sekaligus merupakan traditional mobility dalam
masyarakat feodal. Nyatanya, kyai lebih mampu mengerahkan massa daripada
pemimpin feodal biasa, terlebih banyak kyai yang sekaligus juga membanggakan
dirinya sebagai bangsawan.
4. Kecakapan teknis yang tidak begitu dipentingkan. [54]
Sangat dimaklumi Cak Nur beranggapan demikian. Tidak jarang
pesantren selalu menyesuaikan proses penyelenggaraannya dengan minded kyai.
Disesuaikan dengan pengetahuan dan kompetensi yang dimiliki oleh kyai dibantu
oleh para pembantu-pembantunya.
Menurut Cak Nur, keterbelakangan pesantren disebabkan oleh mind set kyainya yang kurang terbuka. [55]
Kyai yang secara kebetulan tidak menguasai ilmu baca-tulis, kemungkinan besar
enggan memasukkan kurikulum baca-tulis dalam pengajaran di pesantrennya.[56]
Inilah yang diidentifikasikan Cak Nur yang menjadikan pesantren terbelakang
dari yang institusi yang lainnya, tidak memiliki kemampuan dalam meresponi dan
mengimbangi perkembangan zaman ditambah dengan faktor lain yang sangat beragam.
Itu semua membuat pesantren dianggap kurang siap untuk ”lebur” dan mewarnai
kehidupan modern karena kemampuan alumnusnya yang terbatas.
Pola
kepemimpinan yang sentralistik berpusat pada kyai, juga menjadi perhatian.
Tak heran jika visi dan tujuan pesantren menjadi kemutlakan kyai beserta para
pembantunya. Bagi Cak Nur, keadaan ini juga turut melemahkan manajemen
pesantren, dimana improvisasi dilakukan secara intuitif. Kondisi ini membuat
sebagian besar pesantren tidak mampu secara sadar merumuskan tujuan pendidikan
yang ingin dicapainya yang dituangkan dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program. [57]
Diakui
Cak Nur bahwa pada dasarnya memang pesantren dalam semangatnya adalah pancaran
kepribadian pendirinya (kyai), sehingga tidak mengherankan jika beranggapan
bahwa pesantren merupakan hasil usaha individual (individual enterprise).
Dengan tidak menyalahkan kondisi tersebut, Cak Nur mengemukakan bahwa setiap
pribadi memiliki kemampuan-kemampuan yang terbatas secara fisik ataupun
non-fisik. Keterbatasan tesebut tercermin pada keterbatasan kemampuan
mengadakan responsi pada perkembangan masyarakat. Keterbatasan pengetahuan
tersebut berimplikasi pada keengganan melakukan pembaharuan.[58]
Ia
mencontohkan kyai yang secara kebetulan tidak menguasai ilmu baca tulis huruf
Latin akan memiliki kecenderungan lebih besar menolak untuk memasukkan
pengajaran ilmu tersebut ke dalam kurikulum pesantrennya.[59]
Padahal perpaduan keilmuan itu merupakan keunggulan yang telah pernah
mengantarkan Islam pada era kejayaan. Keengganan terhadapnya justru telah
membuat distingsi yang besar antara ilmu duniawi dengan ukhrawi. Hal ini tidak
berbeda dengan Hasan Langgulung yang juga menegaskan bahwa ketidakmauan
menerima ilmu-ilmu modern justru telah melemahkan dan memundurkan umat Islam.[60]
Cak Nur tampak berobsesi menciptakan suatu sistem pendidikan yang memiliki keterpaduan antara unsur keislaman, keindonesiaan dan keilmuan. Berorientasi menumbuhkan nilai-nilai personality development selayaknya masyarakat madani. Berdasarkan analisanya, personality development tersebut akan memunculkan penghargaan terhadap sesama manusia, egalitarianisme, toleran dan tidak diskriminatif. Selain itu, Ia juga berorientasi mewujudkan sumber daya manusia yang unggul.[61] Oleh karena itu wajar jika ia selalu mengkorelasikan antara Islam dalam tataran nasional. Bahkan ia merumuskan tujuan pesantren seharusnya membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan weltanschauung yang bersifat menyeluruh. Selain itu produk pesantren diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada.[62]
6.
Metodologi
Pengajaran
Terkait
term pendidikan pesantren yang juga
merupakan lembaga pendidikan yang sempat memberikan pengaruh
dalam pengalaman hidupnya, sebagaimana tertuang dalam bukunya
Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret
Perjalanan, justru tidak banyak
dikemukakan kelebihan lembaga pendidikan pesantren ini. Dalam buku
tersebut secara lebih intens Cak Nur
cenderung menyoroti sistem pengajaran yang berlaku di pesantren. Ia melihat
bahwa dari segi metodologi, apa yang telah diselenggarakan pesantren secara
mentradisi tidak lagi efisien. Demikian pula halnya dengan penekanan yang
berlebihan terhadap ilmu-ilmu abstrak seperti fiqh, gramatikal bahasa Arab,
akidah dan semacamnya. [63]
Meski sebelumnya pesantren telah mulai memasukkan pelajaran ilmu-ilmu umum,
namun baginya hal tersebut masih bersifat minim, tidak sesuai dengan porsi yang
dibutuhkan oleh zaman. Pesantren hendaknya merumuskan konsep metodologi yang
baru atau setidaknya mengadopsi metodologi yang telah dipraktikan oleh Barat.
Menyikapi hal ini Abdurrahman Wahid menanggapi bahwa adalah keharusan bagi pesantren mengadakan sekolah umum di tengah-tengah kehidupan pesantren.[64] Barangkali hal ini dimaksudkan agar pesantren tidak hanya mencetak para ulama atau ahli agama tetapi juga sekaligus ahli agama yang menguasai ilmu-ilmu umum, guna kelayakannya bergelut dengan dunia kerja global yang justru menyita persaingan pada keahlian.
7.
Kelemahan
Manajerial Pesantren
Menurut Jalaluddin dan Usman Said, tujuan pesantren sangat
menentukan kurikulum yang akan diselenggarakan di suatu instansi pendidikan.
Hakikatnya kurikulum merupakan seperangkat materi pendidikan yang
ditransmisikan kepada murid yang kesemuanya disesuaikan terlebih dahulu dengan
tujuan pendidikan yang akan dicapai oleh suatu institusi tersebut. [65]
Maka, dapat dipahami tidak adanya tujuan atau visi yang jelas dari suatu
lembaga pendidikan berimplikasi pada ketidaktentuan kurikulum yang akan
diterapkan. Inilah yang dicurigai sebagai faktor yang menjadikan pendidikan
Islam terkesan tidak fokus. Menyelenggarakan proses pengajaran yang asal jalan.
Paparan tersebut jelas menyuarakan
kekecewaan Cak Nur terhadap kemutlakan otoritas kyai selaku pimpinan utama
pesantren sekaligus pengendali keberlangsungan pesantren. Baginya, kondisi
tersebut justru menyiratkan kelemahan
manajemen pesantren dan menghambat kemajuan. Alasan sederhananya adalah bahwa
setiap pribadi meskipun diakui memiliki kemapanan ilmu pengetahuan tetap saja terdapat kekurangan dalam diri dan
cara pandangnya. Akibatnya kemajuan yang ingin dicapai akan lambat
direalisasikan.
Dalam pandangan Cak Nur, hanya sedikit pesantren yang mampu merumuskan tujuan pendidikan dan menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program. Secara sepintas dikatakan bahwa lingkungan pesantren merupakan hasil pertumbuhan tidak terencana.[66] Padahal manajemen pendidikan menurut Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana, adalah suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang berupa proses pengelolaan usaha kerjasama sekelompok manusia yang tergabung dalam organisasi pendidikan, untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya, agar efektif dan efisien.[67]
8.
Output
Pesantren Kurang Siap Menjawab Tantangan Perkembangan Zaman
Berangkat dari kondisi manajemen pesantren diatas, menyiratkan
keadaan pesantren yang “tidak siap” merespons tantangan kemajuan zaman. Karena
itu, santri yang dihasilkan pun santri yang kemampuannya terbatas. Kemampuan
yang terbatas itu membuat peran- peran yang dilakukan santri di masyarakat
hanya bersifat tambahan, kurang berarti dan hanya bermain pada
pinggiran-pinggiran dari keseluruhan sistem masyarakat, kurang menyentuh,
apalagi mempengaruhi nukleus dan inti-poros perkembangan masyarakatnya.
Meskipun para alumnus pesantren tersebut nantinya bergelar kyai, ’alim, ustadz
atau gelar semacamnya, tetap saja – dengan keterbatasan pengetahuannya terhadap
ilmu kontemporer para alumnus tersebut terbilang tidak mampu bersaing ketat
pada skala nasional terlebih global.[68]
Berdasarkan pengamatan Cak Nur, pesantren melalui wakil-wakilnya
yang cukup articulate biasanya membangggakan diri sebagai lembaga pendidikan
yang mampu menciptakan kader serta pimpinan masyarakat. [69]
Namun, nyatanya para alumnus pesantren hanya cocok untuk mengajar di
lembaga-lembaga pendidikan yang sejenis dengan institusinya sendiri seperti
ibtidâ’iyah, tsânawiyah dan ‘aliyah ataupun model sekolah keagamaan lainnya. [70]
Artinya, para alumnus pesantren masih dinilai kurang mandiri dan kurang
independent. Kurang bisa bersosialisasi dengan komunitas lain selain dirinya. Kemampuan
pesantren menjawab tantangan dapat dijadikan tolok ukur seberapa jauh dia dapat
mengikuti arus modernisasi. Jika mampu menjawab tantangan tersebut, maka akan
memperoleh kualifikasi sebagai lembaga yang modern. Dan sebaliknya, jika kurang
mampu memberikan respon pada kehidupan modern, maka biasanya kualifikasi yang
diberikan adalah hal-hal yang menunjukan sifat ketinggalan zaman, seperti kolot
dan konservatif. [71]
Kendati demikian, kritik Cak Nur yang dilakukan Cak Nur di atas di satu sisi memang mesti diakui kebenarannya, tetapi pada sisi yang lain perlu kajian ulang terhadap kondisi sosial pesantren yang melatarinya. Sebab, meski terdapat berbagai kritik terhadap sistem dan tradisi pesantren, namun sejarah pesantren sangat kompleks dan hal ini dapat kita buka kembali pada perjalanan sejarah pesantren antara pertengahan abad XV hingga akhir abad XX yang jelas-jelas telah memberikan kontribusi bagi anak-bangsa dan negara, dalam kaitan pencerdasan, proses islamisasi, bahkan terhadap perjuangan politik. Karenanya, perlu kita kaji lebih jauh tentang catatan miris terhadap pesantren itu. [72] Bahkan – menurut Malik Fadjar – pendapat Cak Nur tentang keterbelakangan pesantren dan letaknya yang terdapat di pedesaan terkesan klise atau gagasan yang utopis bagi orang yang sudah terlanjur terbingkai.
9.
Adanya
Persepsi Mistis Santri Terhadap Kyai
Pola pergaulan antara santri dengan kyai juga cukup unik dan
terkesan berlebihan. Tekanan pada hal yang bernilai mistik lebih banyak terasa.
Santri akan selalu memandang kyai atau gurunya dalam pengajian sebagai orang
mutlak yang harus dihormati, malahan dianggap memiliki kekuatan gaib yang bisa
membawa pada keberuntungan (berkah) atau celaka (malati, mendatangkan mudharat),
sehingga para santri benar-benar menunjukkan penghormatan tersebut dengan tidak
berjalan mendahului atau di depan kyai, berbicara dengan menunduk dan meminta
izin jika hendak pergi ataupun pulang.[73] Hal ini dilakukan agar ilmu yang didapat
bermanfaat dan diridhoi oleh sang kyai. Penghormatan yang berlebihan juga dapat
dirasakan pada panggilan tertentu pada keluarga kyai, misalnya panggilan ”gus”
sebagai panggilan kehormatan untuk para anak-anak lelaki kyai. [74]
Segi mistis lainnya bagi Cak Nur dalam pengajiam dapat diamati pada
konsep ”wirid”. Seorang kyai secara konsisten mengaji kitab tertentu pada saat
tertentu, misalnya kitab sanusîyah pada malam kamis, adalah sebagai wirid yang
dikenakan kepada dirinya sendiri, sehingga menjadi semacam wajib hukumnya yang
kalau ditinggalkan secara sengaja dianggap berdosa. [75]
Agak sependapat dengan Cak Nur dimana sikap mistis tersebut juga membawa sikap
yang berlebihan terhadap kitab-kitab yang dipelajari. Terbukti dengan
mengutamakan beberapa kitab tertentu sebagai kewajiban hafalan, yang sebenarnya
kitab tersebut hanya merupakan kitab-kitab dalam bentuk puisi atau nazham.
Namun berdasarkan pengalaman hafalan nazham tersebut nyatanya cukup memberikan
pengaruh pada pemahaman santri terhadap suatu ilmu tertentu, seperti nahwu.
Dari bahasan ini disimpulkan bahwa kritik Cak Nur terhadap dunia
pesantren meliputi metode pengajian, gelar kyai, tujuan dan visi pesantren,
kemampuan khusus para alumnus pesantren yang hanya terbatas pada kajian
kitab-klasik Islam, terlalu mengutamakan bahasa Arab dan penggunaan Arab Pegon,
adanya kesan mistik dalam pesantren, pola pergaulan santri dengan kyai, serta
administrasi pendaftaran. Namun, yang seringkali menjadi pusat perhatian para
peneliti hanyalah kurikulum pesantren, budaya kepemimpinan yang sentralistik
dan metodologinya.
F.
Pengaruh Pemikiran Modernisasi dan Relevansi Ide Cak
Nur Cak Nur Terhadap Pesantren
Berangkat dari
sebuah pertanyaan, apakah gagasan modernisasi pesantren Cak Nur memiliki
relevansi? Guna mendapat jawaban pertanyaan tersebut, perlu sekiranya
meperhatikan kondisi global telah menuntut dan memaksa seluruh masyarakat dunia
melakukan berbagai perubahan. Menyikapi keadaan ini, jelas bahwa upaya
modernisasi atau pembaharuan yang berupa revisi terhadap tradisi lama yang
dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi zaman merupakan suatu kondisi
keterdesakan. Sekiranya hanya menjadi penonton terhadap ketatnya persaingan
global tersebut tanpa mengupayakan perbaikan dan kemajuan di berbagai sektor
kehidupan diprediksikan akan mengalami keterbelakangan dan lenyap dari
eksistensinya.
Dalam hal ini pendidikan merupakan elemen yang juga merupakan
bagian penting dan substansif. Berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan,
bagi umat Islam, lembaga pendidikan yang dapat memenuhi harapan ialah lembaga
pendidikan Islam. Pendidikan Islam yang
dimaksud adalah bukan sekedar lembaga pengajaran yang di dalamnya
diajarkan pelajaran agama Islam atau hanya sebagai kegiatan transfer
pengetahuan tentang keislaman, melainkan suatu lembaga pendidikan yang secara
keseluruhannya bernafaskan Islam.[76]
Namun lebih dari itu sebagai lembaga
yang mampu menunjang bagi tercapainya cita-cita keluarga dan masyarakat, khususnya
masyarakat Islam dalam pengajaran yang tidak dapat secara sempurna dilakukan
dalam lingkungan keluarga di rumah dan masjid. Dalam hal ini dengan berbagai
kelebihannya dan strategi yang mapan, pesantren sebagai sub-sistem dari lembaga
pendidikan Islam di Indonesia diprediksi mampu mengemban peran dan fungsi
tersebut.
Yusuf al-Qardawy merumuskan bahwa di antara karakteristik Islam
adalah rabbâniyah (berketuhanan), berperikemanusiaan, totalitas (universal)
menyentuh semua aspek manusia, moderat, relevan dengan pekembangan zaman,
transparan dan fleksibel (dengan tetap komitmen).[77]
Dari rumusan Yusuf al-Qardawy ini penulis berkesimpulan bahwa Islam hakikatnya
adalah agama yang terbuka terhadap perubahan-perubahan dan pembaharuan, tidak
seperti halnya anggapan yang meyakini bahwa Islam adalah sesuatu yang final
atau tidak menerima interpretasi. Oleh karena itu sangat tidak tepat jika
membatasi Islam hanya pada kegiatan ibadah, sehingga menjadikan mind set umat
mencatat bahwa pendidikan dan pengajaran hanya ditujukan pada kajian terhadap
kitab-kitab klasik berbahasa Arab semata. Seperti kritik Cak Nur terhadap
tradisi pesanten yang sangat konsisten dengan segi kearaban yang ada dalam
pengajian, sehingga menulis pun menggunakan aksara Arab kendati dengan bahasa
Jawa (Pegon). [78]
Demikian juga Islam melegalkan sikap fleksibel, tidak kaku dan
menyesuaikan dengan kondisi perkembangan zaman. Berdasarkan kesimpulan Cak Nur
terhadap pengamatannya, pesantren berhak, malah lebih baik dan lebih berguna,
mempertahankan fungsi pokoknya yang semula, yaitu sebagai tempat
menyelenggarakan pendidikan agama, tetapi keadaan tersebut perlu tinjauan ulang
sedemikian rupa sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan pada setiap pribadi
merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan makna hidup dan
weltanschauung Islam, selain tentu saja disertai dengan pengetahuan secukupnya
tentang kewajiban-kewajiban praktis seorang muslim sehari-hari.[79]
Tawaran tersebut diiringi dengan solusi dari Cak Nur, yaitu dengan
mempelajari al-Qur’an dengan menitikberatkan pada pemahaman makna dan ajaran-
ajaran yang terkandung di dalamnya. Artinya, melakukan kajian secara komprehensif
dan lebih kontekstual terhadap al-Qur’an. Cak Nur juga menganjurkan adanya
semacam buku pedoman dan pengintegrasian kurikulum dan lebih menghargai seni.
Relevansinya terhadap masa kini dapat diukur dari segi efisiensi dan
efektifitas pengajaran dengan menggunakan buku pedoman dan kegiatan pengajaran yang
lebih kontekstual, sehingga pengetahuan tidak hanya berada pada tataran
penguasaan teks tetapi lebih pada praktiknya di kehidupan sosial.
Kompleksitas
perkembangan zaman membutuhkan peningkatan kualitas pendidikan yang lebih
tinggi. Ketika tantangan kehidupan yang dihadapi oleh manusia semakin berat,
maka jalan untuk mengatasinya hanya dengan memperkuat pendidikannya. [80]
Ketika masyarakat berada pada era informasi, maka visi dan orientasi pendidikan
Islam selayaknya diarahkan pada kemampuannya beradaptasi pada arus informasi
tersebut, akrab dengan teknologi dan unsur budaya lainnya. Seperti yang
diutarakan oleh Yusuf Amir Faisal, bahwa pendidikan Islam secara umum harus
mampu menyiapkan sumber daya manusia yang tidak sekedar sebagai penerima arus
informasi global, tetapi harus memberikan bekal agar dapat mengolah,
menyesuaikan dan mengembangkan apa yang diterima melalui arus informasi itu,
yaitu manusia yang kreatif dan produktif. [81]
Dalam kerangka ini, pesantren seperti yang dikemukakan oleh Cak Nur
hendaknya harus tanggap dengan
tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan perkembangan
zaman. Artinya, pesantren dituntut dapat membekali para anak didiknya dengan
kemampuan-kemampuan nyata yang didapat melalui pendidikan atau pengajaran
pengetahuan umum secara memadai. Juga harus tersedia jurusan-jurusan alternatif bagi anak didik sesuai dengan potensi dan
bakat anak didik.[82]
Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa alumni pesantren hanya mampu
mengajar pada lembaga-lembaga pendidikan sejenisnya seperti madrasah-madrasah,
tidak memenuhi syarat menjadi pegawai negeri, sehingga pergaulan mereka hanya
berkisar pada komunitas yang itu-itu saja, terlalu reaktif dan agresif terhadap
dunia luarnya dikarenakan kurangnya keterbukaaan dan kesanggupan memberikan
penilaian secara objektif dan independen dari sisi positif dan negatif sikap
mereka sendiri dan ketidakseimbangan antara pemahaman agama dengan konteks
realitanya, sehingga seolah-olah terjadi gap antara pendidikan dengan realitas
kontekstual. [83]
Tampaknya terdapat juga tradisi pesantren yang tetap harus
dilestarikan dan tetap relevan untuk dipraktikan di tengah upaya modernisasi.
Keliru jika beranggapan bahwa modernisasi merupakan upaya untuk melakukan
perubahan secara total terhadap nilai-nilai yang ada. Dalam hal ini, sikap
hidup atau tradisi sederhana ini selayaknya tetap dipertahankan dan
diintegrasikan dalam nilai-nilai hidup seseorang, sebab nyatanya sikap ini
merupakan penyeimbang budaya hedonis dan materialis di era modern dan informasi
dewasa ini.
Titik poin dari modernisasi yang diusung oleh Cak Nur adalah
pemikiran yang terbuka. Baginya tidak dibenarkan taklid ataupun fanatik buta.
Pemikiran yang terbuka justru menjadikan umat Islam bangkit dari keterpurukan
dan pemahaman yang sempit terhadap agama dan ekspresi keagamaannya. Berdasarkan penelitian Roger Garaudy, memang
disebutkan bahwa kebangkitan Islam terdiri atas ijtihâd.[84]
Tampaknya hal tersebut juga yang disuarakan oleh Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal
di Pakistan, Syekh Ben Badis di Aljazair, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan
para tokoh reformis lainnya.[85]
Dengan itu mereka mengajak umat untuk mendapatkan percikan jiwa kreatif dari
Islam pada permulaannya, dengan mencontoh Nabi, khulafâ al- Râsyidîn dan
ahli-ahli hukum yang pertama untuk memakai pikiran dan daya akal guna menjawab
problema abad. Jadi ijtihâd merupakan syarat penting bagi pembangunan dan
kemajuan. Dengan itu umat belajar membedakan yang sangat perlu dan keluar dari
kegelapan taqlîd. Sikap taqlîd ini nyatanya efektif untuk menjadikan masyarakat
tidak kreatif dan competitive.
Terkait dengan hal di atas kiranya perlu dicoba tradisi pesantren
dikorelasikan dengan ide-ide baru, meski tidak mudah menerimanya. Ijtihâd
terhadap hal-hal yang terkait dengan pengelolaan pesantren, terlebih kurikulum
dan metodologinya patut direnungkan. Pesantren dengan kepercayaan masyarakat
yang ada dan potensi serta segenap kelebihan yang dimiliki patut mendapat perhatian yang lebih. Secara
kuantitas memang institusi ini merebak dan menyebar ke seluruh penjuru tanah
air. Sangat wajar pesntren memiliki kekuatan serta jaringan yang telah mengakar
kuat di masyarakat.
Selanjutnya, terkait dengan kurikulum pesantren yang seolah tidak
seimbang dengan kebutuhan sumber daya manusia yang menguasai ilmu-ilmu modern.
Dalam hal ini penulis agak sependapat dengan Cak Nur, yaitu perlunya dilakukan
perombakan kurikulum.[86]135
Hal ini berdasarkan pada pertimbangan efisiensi dan karena keterbatasan biaya,
maka perombakan kurikulum agar lebih seimbang antara pengetahuan umum dengan
pengajaran ilmu-ilmu agama perlu dilakukan. Perumusan kurikulum tersebut
sebetulnya merupakan hal yang signifikan, dengan biaya yang relatif kecil namun
implikasinya akan sangat besar dan luas.
Memang, tidak dipungkiri telah mentradisi bahwa pendidikan di
pesantren merupakan kajian terhadap kitab-kitab Islam klasik. Proses transfer
ilmu pun dilakukan secara tradisional dengan metode sorogan dan weton yang
keduanya untuk masa kini bernilai tidak efektif. Di samping membutuhkan waktu
yang relatif lama untuk menguasai suatu kitab tertentu, juga merupakan
kesulitan bagi para santri karena harus menguasai bacaan kitab tersebut secara
harfiah dan sama persis. Artinya, penguasaan terhadap ilmu alat lebih
diutamakan daripada semangat di balik ilmu tersebut. Padahal, pendidikan agama
seperti yang telah dikemukakan oleh Cak Nur adalah merupakan pendidikan untuk
pertumbuhan anak secara total.[87]
Maka dari itu tidak dibenarkan jika pendidikan agama hanya dibatasi pada
pengertian-pengertian yang konvensional dalam masyarakat.
Tampaklah bahwa Cak Nur menganggap pendidikan agama sebagai
kelanjutan logis dari perenungan terhadap agama itu sendiri. Sehingga penanaman
nilai-nilai agama tidak hanya melalui pengajaran tentang ritus-ritus dan
segi-segi formalistisnya belaka. Ritus-ritus itu bermakna sebagai bingkai
agama, esensi atau ruh di balik ritus itulah yang hendaknya menjiwai dan
mengintegrasi dalam pribadi santri. Inilah poin yang membedakan pendidikan
Islam dengan pendidikan lainnya, dimana pendidikan Islam memiliki tujuan yang
lebih luas dan komprehensif. Gambaran mengenai manusia dan cita-cita
kemanusiaan yang terdapat di dalam Islam sungguh berbeda dengan gambaran dan
cita-cita Barat. Di dalam filsafat Barat, hampir selalu ditemukan bahwa
kemajuan hanya dapat dicapai hanya jika kita membebaskan diri dari alam pikiran
agama, sehingga mereka meninggalkan kitab suci. [88]
Bagi umat Islam, modernisasi tidak dilakukan dengan meninggalkan aturan atau
nilai yang tertuang secara jelas dan pasti dalam kitab suci dan ketentuan
lainnya. Dalam hal ini konsep tauhîd tetap menjadi acuan bagi gerak langkah
perubahan setiap muslim dalam berbagai dimensi, tidak terkecuali modornisasi
pesantren yang notabene memang basis kekuatan Islam. Hal ini karena
tauhîd merupakan dasar pandangan hidup setiap muslim, bahkan konsep Ketuhanan
Yang Maha Esa menjadi dasar bagi Sistem Pendidikan Nasional.[89]
Tampaknya terkait dengan hal ini pesantren
telah lebih dahulu mengaplikasikannya dalam sistem pendidikannya hanya saja
pesantren masih memerlukan modifikasi dari segenap metodologi, manajeman dan
kurikulumnya.
Kepemimpinan pesantren yang sentralistik pada kyai
juga merupakan penyebab kelemahannya dan lambatnya kemajuan yang dicapai.
Kepemimpinan yang sentralistik menunjukan adanya keterbatasan kemampuan
manajemen dan keterbatasan pengetahuan. Dikatakan Cak Nur, bahwa keterbatasan
pengetahuan itu tercermin pada keterbatasan kemampuan mengadakan responsi pada
perkembangan-perkembangan masyarakat.[90]139
Argumentasinya sangat dimaklumi karena keterbatasan manajemen pada satu
pimpinan menjadikan pesantren hanya memiliki satu pandangan dan improvisasi.
Sebab, kyai – meskipun ia diyakini mengetahui dan menguasai secara pasti ilmu-
ilmu agama – belum tentu menguasai ilmu-ilmu lainnya, terlebih ilmu yang
berkaitan dengan perkembangan zaman dan teknologi.
Dalam konteks yang lebih kontemporer, Cak Nur mengemukakan pertanyaan,
mengapa pendidikan Indonesia tidak maju-maju? Ia menjawab, karena Indonesia telah
terjajah selama 40 tahun 10 tahun pada masa pemerintahan Soekarno, sisanya 30
tahun “terjajah” oleh pemerintahan Soeharto. Pada masa tersebut pemerintahan
masih bersifat sentralistik, sehingga untuk membenahi suatu permasalahan harus
menunggu kebijkaan pusat dan sikap ini masih membudaya hingga kini.[91]
Ini menunjukan keprihatinan dan kejenuhannya pada sikap dan model kepemimpinan
yang sentralistik. Artinya dalam bidang apapun tidak terkecuali pendidikan,
model kepemimpinan seperti itu merupakan hal yang justru berpotensi merusak
langkah kemajuan.
Setelah uraian panjang di atas, penulis berkesimpulan bahwa beberapa
nilai-nilai modernisasi dan
kritik Cak Nur terhadap dunia pesantren ada yang bernilai relevan, namun
ada juga yang hanya sekedar ungkapan pengalaman Cak Nur terhadap beberapa
pesantren yang menjadi pengamatannya. Di antara relevan adalah kritiknya
terhadap perubahan pola kepemimpinan kyai yang sentralistik, perombakan
kurikulum ajar pesantren dan metodologi yang digunakan.
Memang diakui bahwa pada pola kepemimpinan yang sentralistik itu sangat
lamban memperoleh kemajuan. Hal ini di samping karena keterbatasan pengetahuan
pribadi yang memimpin juga dikarenakan ketidaksanggupan mengahadapi tantangan.
Kurikulum yang terlalu mengedepankan ilmu-ilmu keagamaan juga menjadi tidak
seimbang ketika alumnus pesantren disejajarkan atau dibandingkan dengan alumnus
institusi lainnya.
Memang benar bahwa kalangan pesantren merupakan kalangan yang dikenal tidak materialis. Namun, ketika ketidakmaterialisan tersebut hanya menjauhkan para santri dari kiprah pembangunan, maka konsep tersebut menjadi tidak relevan lagi. Selanjutnya metodologi pesantren yang hanya mentradisikan sorogan dan weton juga tampaknya merupakan hal yang memerlukan modifikasi. Hal ini bertujuan agar pengetahuan para santri tidak hanya berkutat pada itu-itu saja, juga merupakan referensi kreatifitas para pengajar untuk menjadi lebih canggih mengelola pengajaran.
G.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pendidikan pesantren yang telah lama di Indonesia
dengan berbagai macam dinamika dan problematika dari kurun waktu semenjak zaman
pra kemerdekaan hingga sekarang, membuka celah Cak Nur memberikan kritik dan
saran yang dapat disimbulkan, sebagai berikut:
1.
Kebijakan dan situasi politik memiliki andil besar
dalam menentukan perkembangan pendidikan pesantren karena terjadi
hubungan timbal-balik antara pendidikan dengan politik sehingga keduanya
terkait tak bisa dipisahkan satu sama lain.
2.
Perjalanan pendidikan pesantren semenjak zaman pra
kemerdekaan hingga sekarang telah menunjukan eksistensinya bahkan mengalami
perkembangan yang pesat. Ini artinya dalam pendidikan pesantren sendiri ada
nilai-nilai pendidikan yang tetap dipertahankan dan berubah sesuai dengan
tuntutan zaman.
3.
Perubahan zaman atau hadirnya modernitas menjadi
dasar bagi Cak Nur memberikan kritik kepada pendidikan pesantren agar
melahirkan out put yang berkualitas dan berkontribusi bagi bangsa dan
negera.
4.
Pandangan kritis Cak Nur terhadap dunia pesantren
adalah telah terjadi gap atau kesenjangan antara
dunia pesantren dengan panggung dunia global abad XX, dimana dunia global
sekarang ini masih didominasi oleh pola budaya Barat dan sedang diatur
mengikuti pola-pola itu. Sementara pesantren-pesantren belum sepenuhnya
menguasai pola budaya itu yang mengakibatkan kurang memiliki kemampuan dalam
mengimbangi dan menguasai kehidupan dunia global.
5.
Cak
Nur juga memberikan kritik pembangunan sarana dan prasarana pesantren yang
masih minim dan kurang memadai dalam menampung jumlah santri karena adanya
faktor keuangan.
6.
Selanjutnya,
Cak Nur menyoroti aspek penting yaitu non-fisik yang lebih terkait pada kondisi
kejiwaan dan sikap mental pada kalangan pesantren. Namun penulis berpendapat
bahwa upaya restorasi atau modernisasi pesantren tidak perlu sampai
mengorbankan ciri khas pesantren sebagai pusat transfer ilmu-ilmu agama. Bahkan
tradisi yang menjadi ciri khasnya mesti dilestarikan dan dijadikan kekuatan
daya tarik pesantren di samping sebagai pusat kajian keislaman.
7.
Sistem pendidikan pesantren juga menjadi sasaran
kritik Cak Nur dengan mengatakan metodologi pengajaran pesantren
masih bersifat sentralistik pada satu kekuasaan tertinggi yaitu ditangan kyai.
8.
Dalam dunia pesantren ditemukan kyai menjadi figur
sentralistik, Cak Nur mengemukan ketidaksetujuan menjadikan kyai menjadi figur
sentralistik di pesantren dengan beberapa alasan diantaranya kharisma tidak
menunjukan sikap demokratis, personality yang mengandung
implikasi bahwa seorang kyai tidak mungkin digantikan oleh orang lain serta
sulit ditundukkan ke bawah rule of the
game-nya administrasi dan manajemen modern, menjadi Religio-feodalisme (kyai
menjadi pemimpin agama sekaligus memobiliasasi masyarakat feodal).
9.
Cak Nur mengkritisi metodologi pendidikan di
pesantren yang telah berjalan dan mentradisi tidak lagi efisien karena lebih
menekankan ilmu-ilmu abstrak seperti fiqh,
gramatikal bahasa Arab, akidah dan semacamnya. Meski sebelumnya pesantren telah
mulai memasukkan pelajaran ilmu-ilmu umum, namun baginya hal tersebut masih
bersifat minim, tidak sesuai dengan porsi yang dibutuhkan oleh zaman.
10.
Dalam pandangan Cak Nur, pesantren mengalami
kelemahan pada sisi manajerial sehingga tidak mampu merumuskan tujuan
pendidikan dan menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program.
11.
Cak
Nur memberikan analisa bahwa alumnus pesantren pesantren kurang siap menjawab
tantangan perkembangan zaman, mereka hanya
cocok untuk mengajar di lembaga-lembaga pendidikan yang sejenis dengan
institusinya sendiri seperti ibtidâ’iyah, tsânawiyah dan ‘aliyah ataupun
model sekolah keagamaan lainnya. Namun hal ini, perlu dikonfirmasi dengan fakta sejarah bahwa pesantren berperan dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa dan negera, proses Islamisasi, bahkan terhadap perjuangan politik pada pertengahan
abad XV hingga akhir abad XX.
12. Catatatan penting study Cak Nur mengenai pesantren dalam dunia modern adalah adanya padangan mistis santri terhadap sosok kyai atau gurunya sehingga para santri memberikan penghormatan yang berlelebihan, misalnya dianggap memiliki kekuatan gaib yang bisa membawa pada keberuntungan (berkah) atau celaka (malati, mendatangkan mudharat), tidak berjalan mendahului atau di depan kyai, berbicara dengan menunduk dan meminta izin jika hendak pergi ataupun pulang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Amir Faisal, Jusuf, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 1995
Arikunto, Suharsimi dan Lia Yuliana, Manajemen
Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media, 2012.
Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
al-Qardawy, Yusuf, al-Khasâis al-‘Âmiyah al-Islâm, Beirut:
1993
Dhofier, Zamakhsyari, , Dinamika dan Perkembangan Pondok
Pesantren, makalah Komisi Keagamaan, Kongres Umat Islam Indonesia yang
dilaksanakan di Jakarta 3-7 Nopember 1998.
Daradjat, Zakiah dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2008, cet. Ke-7
Fuad, Zakki, Sejarah Pendidikan Islam, Surabaya: IAIN Sunan
Ampel, 2011
Ghalia
Indonesia, Ketetapan-ketetapan MPR, 1983-1988, 1978-1983, Jakarta: 1986
Garaudy, Roger, , Mencari Agama Pada Abad XX: Wasiat Filsafat
Roger Garaudy, Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Haris, Syamsudin, Menggugat Politik Orde Baru Jakarta:
Anem Kosong Anem, 1998.
Indra, Hasby, Pesantren
dan Transformasi Dalam Tantangan Moderenitas dan Tantangan Komlesitas Global.
Jakarta: IRP Press, 2004
Ismail,
Faisal, Pijar-Pijar Islam; Pergumulan Kultur dan Struktur, Yogyakarta:
LESFI Yogya, 2002.
Iqbal, Muhammad, dan Amin
Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010.
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan
Perkembangannya, Jakarta: Raja Grafndo Persada, 1996.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung:
Mizan, 1991
Langgulung,
Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta:
al-Husna, 1988.
Mardjono, Hartono, Politik Indonesia (1996-2003), Jakarta: Gema
Insani Press, 1997.
Nizar,
Samsul, Sejarah Pendidikan Islam;
Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan era Rasulullah sampai Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2009.
Mardjono, Hartono, Politik Indonesia (1996-2003), Jakarta: Gema
Insani Press, 1997.
Nizar,
Samsul, Sejarah Pendidikan Islam;
Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan era Rasulullah sampai Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2009.
Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam
Dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Paramadina, 2000
Madjid, Nurcholish, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1997.
Madjid, Nurcholish
Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,
1997
Nizar,
Samsul, , Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan era
Rasulullah sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009.
Nasir, Ridlwan, Muhammad, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal:
Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005.
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Perilaku
Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1993
Saridjo, Marwan, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di
Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1980
Sirozi, M.,
Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan
antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan,
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007
Soeharto,
Cuplikan Dari Pidato Pejabat Presiden Jendral Kepada Sidang Kabinet AMPERA
Tanggal 19 April 1967.
Qadir, Abdul, Djaelani, Sejarah
Perjuangan Umat Islam Indonesia, Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah
Al-Munawaroh, 1999
Tuhuleley, Said
dan Zoelkifli Halim, Gerakan Pemuda
Islam: Kritik dan Perspektif, dalam M. Amien Rais (ed), Islam di Indonesia,
Jakarta: CV. Rajawali, 1986
Wahid, Adurrahman,
Menggerakan Tradisi: Esai-Esai Pesantren
Yatim, Badri,
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008),
Team
Penyusunan Kamus Besar, (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia,
1990).
Ziemek, Manfred Pesantren dalam Perubahan
Sosial, Jakarta: P3M, 1986
Ismail, Faisal,
Pijar-Pijar Islam; Pergumulan
Kultur dan Struktur, Yogyakarta: LESFI Yogya, 2002
[1] M.
Sirozi, Politik Pendidikan: Dinamika
Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 7.
[2] Endang
Saifuddin Anshari menyimpulkan bahwa Nurcholish Madjid merupakan salah satu tokoh
yang patut dimintai pertanggungjawabannya terhadap sekulerisasi dan
liberalisasi terhadap ajaran Islam dan kebeblasan berpikir. Lihat Endang
Saifuddin Anshari, Kritik Atas Paham Pembaharuan Nurcholish Madjid, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), hal. 1. Bagi Endang ide Nurcholish ini telah mempengaruhi
alumnus pesantren untuk terlibat dalam ide sekulerisasi tersebut. Endang
Saifuddin Anshari menyimpulkan bahwa Nurcholish Madjid merupakan salah satu
tokoh yang patut dimintai pertanggungjawabannya terhadap sekulerisasi dan
liberalisasi terhadap ajaran Islam dan kebeblasan berpikir. Lihat Endang
Saifuddin Anshari, Kritik Atas Paham Pembaharuan Nurcholish Madjid, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), hal. 1. Bagi Endang ide Nurcholish ini telah mempengaruhi
alumnus pesantren untuk terlibat dalam ide sekulerisasi tersebut.
[3]
Abdul Qadir Djaelani, Sejarah Perjuangan
Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah
Al-Munawaroh, 1999), hal. 105.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008),
hal. 270.
[5]
Team Penyusunan Kamus Besar, (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia, 1990), h. 677
[6] Manfred Ziemek, Pesantren
dalam Perubahan Sosial (Cet. I; Jakarta: P3M, 1986), h.98-99.
[7] Hasby Indra, Pesantren dan Transformasi Dalam
Tantangan Moderenitas dan Tantangan Komlesitas Global. Jakarta: IRP Press,
2004), h. 3
[8] Marwan Saridjo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di
Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980), h. 19
[9] Muhammad Ridlwan Nasir,
Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus
Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 80.
[10]
Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam;
Pergumulan Kultur dan Struktur (Yogyakarta: LESFI Yogya, 2002),
[11]
Cuplikan Dari Pidato Pejabat Presiden Jendral Soeharto Kepada Sidang Kabinet
AMPERA tanggal 19 April 1967.
[12]
Ghalia Indonesia, Ketetapan-ketetapan MPR, 1983-1988, 1978-1983, Jakarta: 1986,
hlm. 43.
[13]
M. Dawam Raharjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Indonesia – Bangsa: Risalah Cendekiawan
Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), cet. Ke-1, hal. 322.
[14] Abdul Qadir Djaelani, Sejarah
Perjuangan Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Pengkajian Islam Madinah
Al-Munawaroh, 1999), hal. 100.
[15] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam;
Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2010), 278-279
[16] Syamsudin Haris, Menggugat
Politik Orde Baru (Jakarta: Anem Kosong Anem, 1998), 3-4.
[17] Hartono Mardjono, Politik Indonesia (1996-2003) (Jakarta: Gema
Insani Press, 1997), 34-35.
[18] Ismail, Pijar-pijar Islam, 50-51.
[19] Ibid, hal. 201
[20] Marwan Sarijo, Sejarah Pondok Pesantren …, h. 71-72.
[21] Syeh Hawib Hamzah, Jurnal
Syamil, 2014, Vol. 2 No. 1
[22] Ibid
[23] Ibid.
[24] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan era Rasulullah sampai Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2009),
[25] Zakki Fuad, Sejarah Pendidikan Islam (Surabaya: IAIN Sunan
Ampel, 2011), h. 156.
[26] Syeh Hawib Hamzah, Jurnal
Syamil..hal 9-10
[27] M. Sirozi, Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kepentingan
Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007), hal. 7.
[30] B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Grafiti Pers, 1985), cet. Ke-1, hal.
117.
[31] M. Dawam Raharjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik
Bangsa:..., hal. 324-325.
[33] Loc.
Cit.
[34] Said
Tuhuleley dan Zoelkifli Halim, Gerakan Pemuda Islam: Kritik dan Perspektif,
dalam M. Amien Rais (ed), Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986),
hal. 275.
[35] Ibid.,
hal. 277.
[36] M.
Dawam Raharjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa:..., hal.
327.
[37] Loc. Cit.
[38] Loc. Cit.
[39] M.
Dawam Raharjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa:..., hal.
334.
[40]
Nurholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:…, hal. 89.
[41] Loc. Cit.
[42]
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:..., hal. 4-5.
[43] Ibid., hal. 90-92.
[44] Ibid., hal. 44.
[45] Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren Indonesia, (Jakarta:
Dharma Bhakti, 1982), hal. 9.
[46] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:..., hal. 5.
[47] Ibid., hal. 102.
[48] Nurcholish
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:..., hal. 107.
[49] Loc. Cit.
[50] Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. Ke-1, hal. 45.
[51] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret
Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. Ke-1, hal. 7-13 dan 93-95.
[52]
Adurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, hal. 50.
[53] Ibid., hal. 6.
[54] Ibid.,
hal. 95-96.
[55] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:…, hal. 7
[56] 57 Loc. Cit.
[57] Ibid., hal. 6.
[58] Loc. Cit.
[59] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:…, hal. 7.
[60] Hasan Langgulung, Asas-Asas
Pendidikan Islam, (Jakarta: al-Husna, 1988), hal. 117.
[61] Konsep-konsep terkait tertuang dalam bukunya Islam: Kemodernan dan
Ke-Indonesiaan, (Bandung: Mizan, 1992), cet. Ke-12.
[62] Nurholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:…, hal. 18.
[63]
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:
Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. Ke-1, hal. 7-13
dan 93-95.
[64] Adurrahman
Wahid, Menggerakan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, hal. 50.
[65] Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan
Islam, Konsep dan Perkembangannya, (Jakarta: Raja Grafndo Persada, 1996), cet.
Ke-2, hal. 43.
[66] Nurholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:…, hal. 90.
[67] Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana, Manajemen
Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 2012), 3.
[68]
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:..., hal. 7.
[69]
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:..., hal. 96.
[70] Op.
Cit., hal. 96-97.
[71] Ibid., hal. 88.
[72] Zamakhsyari Dhofier, Dinamika dan Perkembangan Pondok Pesantren,
makalah Komisi Keagamaan, Kongres Umat Islam Indonesia yang dilaksanakan di
Jakarta 3-7 Nopember 1998.
[73] Ibid., hal. 23.
[74] Ibid., hal. 24.
[75] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:…, hal. 24.
[76] Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2008), cet. Ke-7, hal. 74.
[77] Lihat Yusuf al-Qardawy, al-Khasâis al-‘Âmiyah
al-Islâm, (Beirut: 1993), cet. Ke-VIII. Hal. 3.
[78] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:..., hal.
26.
[79] Ibid., hal. 17.
[80] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan
Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), cet. Ke-1, hal. 19.
[81] Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. Ke-1, hal. 131.
[82] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:…, hal. 18.
[83] Ibid, hal. 96-99.
[84] Roger Garaudy, Mencari Agama Pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger
Garaudy, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 314.
[85] Fazlur Rahman, Islam,..., hal. 315-331.
[86] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:…, hal.
102.
[87] Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius:
Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta:
Paramadina, 2000), cet. Ke-2, hal. 93.
[88] Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk
Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 164.
[89] M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan 1993), hal. 441.
[90] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:…, hal. 6.
[91] Nurcholish
Madjid: Pendidikan Harus Direformasi, Warta Kota edisi 22 April 2002.
Komentar
Posting Komentar