Tarjamah Lafzhiyah: Kunci Memahami al-Qur’an

 Tarjamah Lafzhiyah: Kunci Memahami al-Qur’an

(Sebuah Pengantar)

 


Bukhori at-Tunisi

(Alumni Ponpes YTP, Kertosono)

 

 Menggembirakan, karena begitu banyak dai-dai muda muncul, baik di televisi, You Tube, Facebook, Whatsap, dan media lainnya. Ada yang memang berbasis pesantren sehingga keilmuan keislamannya tidak diragukan, namun ada juga dai-dai yang perlu di-upgrade, karena tidak berbasis pada ilmu-ilmu pesantren, meski memiliki keahlian di bidang keilmuan masing-masing. Bukan mengecilkan hati, meminjam ungkapan Ust. Abdul Qadir Jawaz, “Baru hijrah, langsung jadi ustadz,” kata beliau, “belum pantas ..., perlu belajar lebih dalam untuk menjadi ustadz!” Alhamdulillah, fenomena para muhajirin dalam mensyiarkan Islam, punya kontribusi riel di kalangan masyarakat kelas menengah, meski seperti yang dikatakan Ust. A. Qadir Jawas juga perlu jadi catatan. Berkaca Imam al-Suyuthi, penulis Tafsir Durar a-Mantsur, Tafsir Jalalain, dan banyak buku lainnya, beliau belajar ilmu Nahwu (gramatika) memerlukan waktu 18 (delapan belas) tahun, padahal beliau orang Arab-Mesir. Beliau tidak ujug-ujug, langsung berqaul, berfatwa, berijtihad, dan lainnya, tetapi belajar terlebih dahulu, dan itu memerlukan waktu yang tidak sedikit. Jadi memang harus tawadlu’, perlu ta’allum, belajar dahulu, sebelum ta’lim (menshare ilmu). Ada etika keilmuan yang harus dijaga, yang sudah menjadi tradisi dan turats ulama’ generasi mutaqaddimin hingga mutaakhirin

Tidak semua orang itu “alim”, sehingga seseorang kualifaid untuk menyampaikan keilmuannya. Ada yang setengah alim, apa saja disampaikan seolah-olah “expert” (ahli) dalam banyak bidang dan multi talenta. Padahal sejatinya hanya copy-paste dari tulisan tokoh, Youtube, atau media lainnya yang memang banyak tersedia di Mbah Goegle, bukan dari tafakkur, tadzakkur, apalagi ijtihad sendiri. Kejadian seperti itu, karena kurang “maddah” keilmuan Islam “tradisional”. Dipaksa keadaan, sang setengah alim mengeluarkan pendapat (qaul) dan juga fatwa, padahal background keilmuannya dipertanyakan.

Seorang jahil tidak mungkin memproduksi ilmu atau teori keilmuan, kecuali duplikasi, dari apa yang diperoleh inderanya, jika seorang jahil mengeluarkan produk (teori) keilmuan, akan ditertawakan orang.

Dalam sistem keilmuan lama dan terus bertahan di kalangan para alim, faqih, dan mufti, bahwa hanya orang yang alim yang bisa memproduksi pengetahuan, dan hanya seorang faqih yang mampu mengeluarkan produk ijtihad; serta mufti saja yang mengeluarkan fatwa. Karena memang sudah ahli di bidangnya.

Tarjamah lafzhiyah 3 bahasa (Jawa, Indonesia, Inggris) ini, dapat membantu untuk mengantarkan seseorang memahami kitab suci al-Qur’an dengan baik, namun ini baru tingkat “ibtidai”, bukan “’ali” (advance). Masih banyak keilmuan yang harus dikuasai untuk menjadi seorang alim.

Toshihiko Izutsu, islamolog asal jepang, mengatakan, “Konsep-konsep penting di dalam al-Qur’an, berasal dari kata kunci tertentu yang membentuk weltanchauung (world view) al-Qur’an.” Kata kunci itu, menjadi pembuka pintu bagi medan semantik yang luas yang membentuk pandangan al-Qur’an. Oleh sebab itu, mustahil seseorang mudah berucap sebagai fatwa tentang halal, haram, baik-buruk, hasan-sayyiah, madh-qabh, dst., hanya bersumber dari mengutip, menukil, mem-paste perkataan orang lain.

Buku tarjamah al-Qur’an tiga bahasa ini, bisa dijadikan pegangan untuk memasuki pintu lautan hikmah ilahiah yang ada di dalam al-Qur’an. Bahasa al-Qur’an sangat mudah dari seluruh buku atau kitab yang ada di muka bumi, karena itu ia fashahah, penuh makna dan jelas. Tingkat intelektual dari yang paling bawah hingga hight level, mampu untuk belajar, memahami dan mendalami al-Qur’an, karena al-Qur’an memang sangat mudah. Namun, isi, makna, falsafah, hikmah yang dikandung di dalamnya, sangat dalam.

Kewajiban untuk baca, ditaklifkan kepada semua manusia–terutama yang muslim--, tapi untuk menjadi alim, bukan sebuah taklif.

Menyambut cetak ulang buku Tarjamah al-Qur’an 3 Bahasa (Jawa, Indonesia, dan Inggris) karya al-Ustadz Drs. Sudono Syueb, M. H., M.Si., alumni Ponpes Arroudlotul Ilmiyah, Kertosono dan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, sangat menggembirakan. Dengan karya ini, beliau telah memberikan sumbangan kepada khazanah keilmuan keislaman, sekaligus mencatatkan diri sebagai kontributor dalam pergumulan pemikiran keislaman Indonesia.

Buku ini bisa menjadi “jalan poros” yang harus dilalui untuk menuju “gang-gang” yang lebih dalam apa yang ada di dalam al-Qur’an, hingga sampai pada tujuan yang dicitakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi