Tafsir الكتاب (QS. Al-Baqarah/2: 2)
Tafsir الكتاب (QS. Al-Baqarah/2: 2)
Bukhori at-Tunisi
(Alumni Ponpes YTP, Kertosono)
Kata “al-Kitab” (الكتاب), berasal dari kata
dasar “kataba” (كتب). Ia berbentuk Isim Mashdar dari kata kerja “ka-ta-ba” (كتب). Kata “kataba” (كتب) memiliki makna: “Menggaris [khath],
mendikte [imla’],menulis, mencatat, mengirim [surat], menetapkan [ketetapan],
mencicil [pembayaran].” Kata “Kitab”
misalnya, dapat berarti: “Buku, tulisan, catatan, surat.”
Dalam Kamus Lisan al-‘Arab karya Ibn Manzhur, kata “kataba” antara lain, diartikan:
1.
Kataba dengan makna “[membuat] garis” (khath). Misalnya syair:
تكتبان في الطريق لام الف
(Kakiku menulis berbagai macam garis, Keduanya menulis “lam” “alif” di jalan)
Kalau dalam Matematika disebutkan bahwa Garis adalah kumpulan titik, maka “menulis” adalah kumpulan garis yang tersusun dalam bentuk tertentu. Kata “Katulistiwa” diadopsi dari kata Arab “khath” dan “istiwa’”.“Khath” artinya “garis”, “istiwa’” artinya “lurus”, yaitu garis yang membujur dari timur ke barat, lawan dari garis lintang.Dalam MTQ bila diadakan Lomba Khattil Qur’an, artinya lomba “menulis al-Qur’an” secara estetis.
2.
Kataba dengan makna “menulis” tulisan yang mengandung rahasia dan amanah,
di mana pemiliknya tidak suka diketahui orang lain. Seperti ungkapan:
من نظر في كتاب اخيه بغير اذنه فكانما ينظر في
النار
(Siapa yang melihat tulisan saudaranya tanpa
seizinnya, bagaikan melihat api neraka).
Termasuk dalam makna “menulis” adalah seperti
ungkapan Nabi yang tidak suka Hadits ditulis bersamaan dalam satu lembar
catatan bersama al-Qur’an. Seperti sabda Nabi:
لا تكتبوا عني غير القران
(Jangan kamu menulis dariku selain al-Quran!).
Prof. MM. Azami dalam riset doktoralnya
menemukan bukti tertulis, bahwa pada zaman Nabi, Hadits sudah ditulis, bukan baru
ditulis pada abad ke-2 H. Pada zaman Nabi, orang yang bisa baca dan tulis sangat jarang, maka orang yang disebut sebagai “katib” (كاتب), dari akar kata “kataba” (كتب), berarti orang yang pandai
baca-tulis, masuk dalam katagori orang terpelajar, orang alim. Seperti sabda Nabi:
قد بعثت اليكم كاتبا من اصحابي
(Sungguh aku telah mengutus orang yang pandai kepada kamu).
Yang diutus Nabi, orang terpelajar, bukan orang yang berkualitas "ecek-ecek", namun seorang yang intelek, teredukasi, mahir dalam "verbatim", juga "scripta". Misalnya, Muadz ibn Jabal.
Pada hal-hal penting dan fundamental, misalnya
hutang-piutang, dagang, dan transaksi lainnya, al-Qur’an menyuruh untuk
mencatat. Dalam hal ini, al-Qur’an menggunakan kata “uktubu”, yang berasal dari kata dasar “kataba”:
ياايها الذين امنوا اذا تداينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبوه
(Hai orang-orang yang beriman! Manakala kamu melakukan
transaksi utang-piutang dengan jangka waktu tertentu, maka catatlah!)
Pencatatan, penting dalam transaksi ekonomi, karena kemungkinan ingkar dan mengingkari di antara pihak, sangat terbuka.
3.
Kataba dengan makna “mencicil [pembayaran budak untuk menjadi orang
merdeka”. Seperti dalam ungkapan:
العبد يكاتب على نفسه بثمنه
(Hamba sahaya membayar cicilan tebusan
dirinya).
Mengapa menggunakan kata “kataba” (كتب)? Karena si tuan, “mencatat”
(كتب) pembayaran cicilan
budaknya. Sedang menurut Ibn Atsir, penggunaan kata “kataba” (كتب) pada kasus budak, karena kata “kataba”
bermakna “ketentuan”, “kewajiban” yang harus dibayarkan budak
kepada tuannya sebagai syarat menjadi merdeka.
4.
Kataba dengan makna kewajiban (فرض). Seperti dalam firman
Allah:
ياايها الذين امنوا كتب عليكم الصيام
كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
(Hai orang-orang yang beriman! telah diwajibkan
puasa atas kamu, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu).
ياايها الذين امنوا كتب عليكم القصاص في القتلى
(Hai orang-orang yang
beriman! telah ditetapkan hukum qisas pembunuhan atas kamu),
5.
Kataba dengan makna hukum (حكم). Ini seperti dalam sabda Nabi saw:
لأقضين بينكما بكتاب الله
(Sungguh akan aku
putuskan hukum di antara kamu berdua dengan “kitab” (hukum) Allah!)
والمحصنات من النساء الا ما ملكت ايمانكم كتاب
الله عليكم
(Dan [dilarang menikahi] perempuan-perempuan yang sudah bersuami, kecuali hamba sahaya yang kamu punya. Ketetapan hukum Allah atas kamu...)
6.
Kataba dengan makna taqdir (قدر).
والطور و كتاب مسطور
(Demi Bukit Tursina,
dan Kitab [taqdir] yang telah ditulis),
قل لن يصيبنا الا ما كتب الله لنا
(Katakan, “Suatu musibah
tidak akan menimpa kepada kami, kecuali telah ditakdirkan Allah kepada kami...”)
dan juga syair :
يا ابنتة عمي كتاب الله عنكم
وهل امنعن الله ما فعلا
(Hai keponakanku!
Takdir Allah telah menetapkan aku keluar dari kelompokmu;
Siapakah yang dapat mencegah takdir yang telah
Allah tetapkan?).
Itulah di antara makna “kataba” (كتب) secara lughawi (etimologi).
Dari berbagai makna yang dihadirkan, semuanya bermuara pada “catatan” aktifitas
tulis-menulis. Apa pun bentuk tulisan yang dibuat, “catatan adalah “tanda”
pengenal agar diketahui yang lain. Tanda itu menjadi “tengeran” (petanda) suatu
benda sehingga dikenali yang lain. Bila “tengeran” itu dikenali, maka akan bisa
“dibaca” oleh yang bisa baca, bahwa “ini” adalah “sesuatu”, dan seterusnya.
Dari berbagai tengeran (tanda) yang bisa dibaca, terciptalah suatu konsep tentang
sesuatu. Itulah rangkaian gradasi tanda.
Kitab al-Qur’an adalah kumpulan ayat, أية. Jika “ayat” diartikan dengan
“tanda”, maka al-Qur’an adalah kumpulan tanda. Kumpulan tanda yang berbentuk
“sciptura” (tulisan). Al-Qur’an sebagai “tanda”, menunjukpada adanya sesuatu
yang “diwakili” agar “diketahui” dan “difahami”. Suatu tanda, mengandung pesan
yang ingin disampaikan subyek agar diketahui dan difahami oleh obyek. “Tanda”
sebagai “pembeda” (al-fashl, distingtion) berfungsi untuk memisah
(taqsim) sesuatu yang masuk dalam “satuan” dan
mengeluarkan yang tidak masuk dalam satuan. Misal, pem-beda pokok
antara laki-laki dengan perempuan adalah “alat kelamin” (dzakar dan farj).Jika
punya dzakar, maka masuk satuan laki-laki; jika punya farj, maka
masuk satuan perempuan. Tanpa dicari “pembeda”-nya pun, al-Qur’an memiliki
“daya beda” yang sangat kuat, jelas, dan tajam. Al-Qur’an, berbeda dengan kitab
suci, kitab sejarah, buku sains, dan yang lain, ketika di-qout, قطف, dikutip, walau potongan ayat, orang
pasti tahu, mengerti, dan faham, kalau itu kutipan ayat al-Quran. Banyak ciri
khas (khashais) yang dimiliki al-Qur’an yang membuatnya “berbeda” dengan
sekedar kitab, buku, atau babad. Tanda sebagai “pengenal” yang dimiliki
al-Qur’an sangat mudah dikenali, sehingga siapa pun yang melihatnya akan tahu,
yang mendengar pun akan tahu bahwa itu al-Qur’an.
ولقد يسرنا القران للذكر فهل من مدكر
(Dan sungguh
benar-benar Kami mudahkan al-Qur’an untuk dipelajari. Adakah yang mau
mempelajari?)
يا اهل الكتاب قد جاءكم رسولنا يبين لكم كثيرا
مما كنتم تخفون من الكتاب و يعفوا عن كثير قد جاءكم من الله نور من الله وكتاب مبين
#
يهدي به الله من اتبع رضوانه سبل السلام و
يخرجهم من الظلمات الى النور باذنه و يهديهم الى صراط مستقتم
(Hai Ahli Kitab! Sungguh rasul Kami sudah
datang kepada kalian,banyak menjelaskan hal kepadakalian dari apa yang selama
ini kalian sembunyikan dan banyak juga yang dibiarkannya. Sungguh telah datang
cahaya dari Allah dan Kitab yang jelas. Dengan Kitab itu, Dia memberikan
petunjuk orang yang mengikuti jalan keselamatan untuk keridlaanNya. Dan
mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya terang benderang dengan
idzinNya. Dan menunjukkan mereka ke jalan yang lurus)
Jiwa manusia adalah “tanda”, tak kasat mata, tapi keberadaannya bisa dirasa. Dari jiwa tumbuh berbagai kekuatan yang bisa diwujudkan dalam bentuk nyata. Dari jiwa tumbuh rasa simpati, empati, emosi, cinta, belas kasih, benci, marah, dan seterusnya. Karena itu, Allah mengajak manusia untuk memikirkan sesuatu yang paling dekat dengan manusia itu sendiri, yaitu “jiwa”. Kata Allah:
وفي انفسكم افلا تبصرون
(Dan di dalam jiwamu sendiri, apakah kamu
tidak mengobservasi)
Jiwa, kata Allah, adalah tanda. Tanda adanya Pencipta yang bukan
diciptakan. Ia paling dekat, tetapi tak mampu diketahui, kecuali sedikit saja.
Dari jiwa, tumbuh berbagai ciptaan kreatifitas manusia yang sebelumnya belum
pernah ada. Dan itu didorong oleh kekuatan internal yang tidak pernah bisa
diraba, dipegang, atau digenggam oleh tangan manusia. Dari jiwa sejuta cipta
bisa terwujud. Jiwa adalah ciptaan Sang Maha Pencipta.
Termasuk adanya varian suku, bangsa, dan ras, yang tercipta dari jenis jiwa
yang sama, adalah "ayat"-Nya juga. Berfikir sejenak, “Kok bisa ya?” sama-sama manusia,
berbeda bentuk tubuh, kulit, jari, mata, dan lainnya. Padahal dari entitas yang
sama? Ia menjadi tanda adanya Sang Pencipta.
Tuhan pun menciptakan “tanda” untuk diketahui bahwa diriNya adalah Tuhan. Alam
semesta adalah di antara “ayat”-Nya. sebagaimana al-Qur’an adalah “catatan”
Tuhan untuk hambaNya, manusia. Ia bisa dibaca sebagaimana catatan Tuhan yang
berbentuk “ayat kauniyah” (أية الكونية), juga bisa dibaca oleh manusia.
ان في خلق السموات والارض واختلاف اليل و النهار
لايت لاول الالباب
(Sungguh dalam
penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, benar-benar menjadi
tanda bagi orang-orang yang berfikir)
Teringat pepatah Latin, “Verba volant, scripta manent” (yang diucapkan terbang, yang ditulis akan abadi). Pepatah ini, teruji dalam sejarah. Apa yang diucapkan oleh para Utusan Allah, kaum bijak, cendekia, atau pun para filosof, akan hilang bila tidak dicatat. Misal pun ungkapan bijak mereka menjadi sastra lisan, akhirnya kabur tentang geneologi asal-usulnya, dan, berakhir dengan ketidak jelasan juntrungan historisnya. Berbeda dengan tulisan, maka siapa yang menulis, kapan, di mana ditulis, isi, tujuan, dan seterusnya, akan “permanen”, abadi, tak larut oleh waktu.
Ka’bah adalah "tulisan", Borobudur adalah "tulisan", Candi Prambanan adalah "tulisan", Yupa adalah tulisan, Kitab Suci, Buku Negara Kertagama dan Sotasoma adalah tulisan. Andai tidak ditulis maka hanya akan menjadi cerita mitis yang melegenda. Orang senang bercerita tentang kisah-kisah lama, tetapi keabsahannya dipertanyakan orang.
Perilaku kita, kata al-Qur’an, ada jejaknya. Dan jejak itu, adalah rekaman tertulis kita di Lauh Mahfuzh yang akan kita baca nanti. Dan catatan kita itu tidak akan terhapus, meskipun kita menghapus dari catatan kita, misalnya WA (WhatsApp). Tiap orang akan menerima catatan itu dalam bentuk “kitab”, ada yang diterima dengan tangannya, sebagai petanda selamat, ada yang diterima lewat belakang punggungnya, sebagai petanda celaka.
Peradaban besar adalah peradaban yang tertulis, baik di batu, tulang,
tembaga, tanah, daun, kertas, dan lainnya, lebih tinggi evidensi kesahihannya
dibandingkan dengan bukti verbal seperti legenda, cerita, kisah, babat, dan lainnya,
apalagi mitos.
Cerita seorang tokoh sejarah Ken Arok, atau bangunan bersejarah seperti
Candi Roro Jonggrang, yang tertulis dalam Babad atau bentuk tertulis lainnya,
lebih kuat dan lebih shahih dibandingkan dengan cerita verbal yang disampaikan
melalui cerita dari mulut ke mulut, sebagai legenda atau cerita mitis yang
beredar di masyarakat. Cerita-cerita heroik, cerita kehebatan para pahlawan
legendaris seperti Alexander Agung, Umar ibn Khattab, Khalid ibn Walid, Thariq
ibn Ziyad, Sultan Hasanudin, Pangeran Diponegoa, Imam Bonjol, Cut Nyak Din,
Panglima Sudirman, dll., yang ditulisdalam babad atau buku tertentu, akurasinya
lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak pernah tertulis dalam tulisan [sejarah].
Sebuah kekuasaan mencapai puncak kejayaan yang gilang-gemilang seperti
Islam Khulafaur Rasyidin, MongolIslam, Turki Utsmani, Sriwijaya, Majapahit,
Islam Demak, dan lainnya, hanya karena ada bukti sejarahnya, yaitu benda-benda
sejarah atau pun tulisanmisalnya buku, catatan di daun Lontar, relief, Yupa,
dan lainnya. Jika catatan sejarah
sebagai bukti-bukti historisnya tidak ada, maka hanya akan dianggap legenda dan
mitos saja.
Peradaban Mesir Kuno disebut ada, karena ada bukti historisnya seperti yang
tercatat dalam relief, Piramida, Spink, patung Fir’aun, dan lainnya. Kerajaan
Kutai Kertanegara disebut ada, karena ada bukti historis berupa Yupa.Gajah Mada
disebut hebat, karena bisa menaklukkan dan mempersatukan kerajaan-kerajaan yang
ada di kepulauan Nusantara, karena ada catatannya dalam buku Negara Kertagama.
Peradaban Atlantis yang dikabarkan ada, diragukan keberadaannya, karena
bukti tertulisnya (buku, catatan, banguan, situs, dll.) belum ada, dan belum
diketemukan.
Yang tertulis tidak harus berbentuk huruf seperti huruf hieroglip, Aramic,
Arab, Latin, Sansekerta, Jawa, Pegon, dan lainnya. Namun karya arsitektural
seperti Masjid, Piramida, Spink, Candi, Pure, Colosium, menara, Istana, Gapura,
dan bangunan lainnya, adalah tulisan juga. Ia sebagai “catatan”, “tanda” bahwa
pernah ada eksistensinya.
Al-Qur’an disebut “al-Kitab” (الكتاب), karena al-Qur’an secara riel
adalah kumpulan “catatan” (كتابة). Argumennya, satu: Sebagai wahyu Allah, ia
adalah kumpulan “catatan” Tuhan yang dijadikan sebagai Kitab Petunjuk bagi
manusia. Dua, sebagai Kitab dalam arti “catatan”, an sich, ia
adalah “catatan” yang tertulis dalam lembaran kertas, daun, pelepah, tulang,
batu dan lainnya, disalin, dan dikumpulkan dalam satu mushhaf.
Al-Qur’an benar-benar menjadi kitab “abadi”, karena ada “catatan”
tertulisnya.Andai tidak ada catatan tertulis yang otentik, maka al-Qur’an akan
turun derajatnya hanya sekedar menjadi “cerita” (qishshah, قصة) dongeng tentang adanya wahyu Tuhan
yang turun ke Bumi. Al-Qur’an juga tahan kritik otentisitas, karena tulisan al-Qur’an
otentisitasnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.Teori tentang uji
otentisitas yang ditemukan ilmu pengetahuan baru, bisa diujikan kepada
al-Qur’an, misalnya uji forensik kertas kulit, tinta, dan lainnya. Begitu juga
uji kritik sastra (نقد النص), misalnya Hermeneutika, bisa diujikan kepada “nash”
al-Qur’an. Apakah al-Qur’an bisa lolos ataukah gagal.Kalau lulus berarti
otentik; sebaliknya, bila gagal berarti palsu. Kitab yang lain, tidak tahan uji
otentisitas. Faktor “dicatat” (كتب) sejak awal dalam bentuk “tulisan”
(كتابة), menjadi pembeda antara al-Qur’an
dengan kitab-kitab samawi lainnya, yang otentisitasnya diragukan. Berangkat
dari pernyataan firman Allah:
وان منهم لفريقا يلوون السنتهم بالكتاب لتحسبوه
من الكتاب وما هو من الكتاب و يقولون هو من عند الله وما هو من عند الله ويقولون
على الله الكذب وهم يعلمون
(Mereka mengatakan itu
dari al-Kitab, padahal bukan dari al-Kitab. Itu dari Allah, padahal bukan dari
Allah [QS. Ali Imran /3: 78])
Secara teologis, Tuhan berbicara bahwa ada upaya justifikasi pengakuan
verbal dan skriptural, bahwa apa yang diucapkan dan dituliskan agar dianggap
berasal dari Tuhan, padahal bukan dari Tuhan.
Kitab Taurat yang diterima oleh Nabi Musa yang tersimpan dalam Tabut,
kitabnya terbakar bersamaan dengan terbakarnya Tabut. Otentisitasnya diragukan,
karena cara transkripsinya diragukan keshahihannya. Sedangkan al-Qur’an, sejak
dari awal sudah dicatat, baik di kulit hewan, batu, tulang, pelepah kurma, dan
lainnya. Saat ditulis untuk dijadikan satu mushhaf, di antara syarat diterima otentisitasnya
adalah memiliki alat bukti tertulis dan saksiminimal 2 (dua) orang mu’min.Bisa
dibaca proses transkripsi dan kodifikasinya di dalam kitab Al-Itqan fi ‘Ulum
al-Qur’an, karya Imam al-Suyuthi. Al-Quran, otentisitasnya sejak awal tidak
meragukan sama sekali, sangat meyakinkan.
Dalam al-Qur’an Surah Ali ‘Imran/3: 1, alam juga menjadi “ayat” Allah.
Al-Qur’an menyatakan:
ان في خلق السموات و الارض واختلاف الليل و
النهار لايات لاولى الالباب
(Sungguh dalam
penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, benar-benar menjadi
“ayat” [tanda] bagi orang-orang yang mau berfikir).
Alam pun “ayat” Allah. Alam adalah kitabmukawwanah. Kitab suci
adalah kitabmatluwah. Kitabmukawwanah lebih dahulu ada dibandingkan
dengan kitabmatluwah. Allah sebagai Tuhan, haqiqat-nya tidak
butuh mempermaklumkan DiriNya sebagai Tuhan. MakhlukNya yang memerlukan
pengetahuan tentang Tuhan, karena ia tidak mandiri, butuh, dan tergantung
kepada yang lain. Makhluknya perlu Pelindung Yang Maha Kuasa dan Adil, di tengah
persaingan antar ciptaan. Dia menciptakan alam dan seisinya, makhlukNya supaya
tahu, bahwa Ada Pencipta dari segala alam. Alam tidak wujud dengan
sendirinya, tetapi adanya adalah diadakan (maujud), diciptakan (makhluqah).
Alam yang diciptakan saja begitu mengagumkan, dahsyat, dan tak terjangkau
indera, apalagi Penciptanya. Oleh sebab itu, dalam falsafah ketuhanan Jawa ada
istilah, “Pengeran iku ora keno dikiro lan dinyono.” (Tuhan itu tidak
bisa dikirakan dan diduga). Dia Ada, tetapi berbeda dengan semua
ciptaanNya. Karena tidak bisa diindera dan dirasa, maka Allah menciptakan alam
sebagai “tanda” tentang Ada-Nya.
Alam dipermaklumkan sebagai “ayat” (tanda) oleh Allah. “Ayat” adalah
“tanda”. Dengan “tanda” manusia bisa mengetahui, mengenali, mencatat, mendata,
dan menciptakan ilmu pengetahuan. Tanda adalah pengenal, tanpa tanda, sesuatu
tidak akan dikenal.Dengan tanda, cirikhas sesuatu dikenali, tandalah yang
memperkenalkan “ada”-nya sesuatu. Tanda sebagai ciri khas, membedakan satu
dengan lainnya. Yang mengetahui “tanda”, yang akan memperoleh “pengetahuan” (llmu)
tentang sesuatu; yang tidak mengetahui tanda, tidak akan memperoleh
pengetahuan. Yang tahu alam ini sebagai tanda, maka dialah yang memiliki ilmu,
bahwa ada sesuatu yang Maha Kuasa, sebagai Pencipta alam dan isinya. Yang bisa
mengetahui, membaca, dan menteorisasi tanda, dialah pemilik ilmu (alim).
Sementara yang tidak bisa melihat, membaca, dan mengenali tanda,maka tidak akan
memperoleh pengetahuan. Manusia yang buta, tuli, dan bisu, maka dia tidak
akan bisa berfikir (QS. Al-Baqarah/2: 171) sehingga tidak akan pernah
memiliki ilmu.
Al-Qur’an adalah ayat (tanda) Allah. Tanda bahwa di balik ayat al-Qur’an
ada “Mutakallim” yang mewahyukan “ayat-ayat”-Nya. Sebagai ayat-Nya, ia
pilih tanding, tak akan bisa ditiru dan dipalsu, karena ia bersumber dari Dzat
Adi Qadrati (Maha Kuasa). Sebagaimana ayat kauniyah yang tidak
bisa ditiru dan dipalsu manusia dalam “mencipta” sesuatu. Manusia hanya
mengolah, memodifikasi, dan membentuk sesuatu yang baru. Semua yang dikreasi
manusia, seluruhnya berbahan pokok ciptaan-Nya.Ayat matluwah juga
seperti itu, ia tidak dapat ditiru dan dipalsu, manusia bisa memodifikasi,
mentafsirkan, dan mengkreasi pemahaman baru, semua berasal dari bahan pokok
ayat yang diwahyukan. Andai tidak berasal dari Tuhan, maka tidak akan memiliki
keluarbiasaan, yang tak bisa ditiru, dipalsu, atau diciptakan yang serupa oleh
manusia.
Ayat matluwah sama dengan ayat makhluqah. Sebagai tanda, ia dapat dikenali,
dibaca, dan dimengerti, yang mendatangkan ilmu bagi yang mendalaminya. Yang
tidak mau melihat, mengenali, membaca, mengamati, dan mendalaminya, akan
menjadi jahil (bodoh, tak memiliki pengetahuan). Di balik itu semua,
menurut teolog dan para sufis, ilmu yang paling tinggi adalah ilmu ketuhanan (al-‘ilm
al-ilahi), ilmu yang lain, ada di gradasi lebih bawah. Kenapa ilmu Ilahiyah
menduduki posisi paling tinggi, karena ilmu yang diperoleh dari ayat-ayat yang
dibaca, tidak akan memperoleh inti dari ayat yang diciptakan Tuhan, juga tidak
memperoleh inti dari semua tanda yang dibentangkan Tuhan, bila tidak menemukan
AdaNya Allah. Memang hanya ilmuwan yang jujur saja, yang dapat memperoleh ilmu
Ilahiyah. Kata Allah:
شهد الله تنه لا اله الا هو و الملئكة و اولوا
العلم قائما بالقسط,
لا اله
الا هو العزيز الحكيم
(Allah menyaksikan
bahwa diriNya Tuhan, Yang tidak ada tuhan selain Dia, juga para malaikat,
orang-orang yang memiliki ilmu yang jujur. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dialah
Yang Maha Agung lagi Maha Bijak [Ali Imran/3: 18]).
Di sini, dalam QS. Al-Baqarah/2: 2,“al-Kitab” yang dimaksud adalah “al-Qur’an”.
Kitab al-Qur’an memang benar-benar sebagai al-Kitab dalam artian di atas. Ia
adalah “catatan” Tuhan yang dijadikan “buku” petunjuk bagi makhlukNya. Karena
ia kitab petunjuk, maka sifatnya harus: Jelas, pasti, benar, tidak meragukan,
mudah difahami, dan lainnya. Semua sifat tersebut ada di dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an benar-benar sebagai kitab yang menjadi rujukan utama
kehidupan profan dan keagamaan. Ia menjadi canon kehidupan keberagamaan
ummat Islam. Canon diadobsi dari kata Arab “qanun” (قانون), yang
bermakna “undang-undang, aturan. Qanun dalam khazanah sisayah
Islam adalah kitab Undang-Undang Dasar yang menjadi rujukan semua
undang-undang, peraturan, atau keputusan dalam suatu negara. Di kekhalifahan
Turki Utsmani ada Qanun Sulaimani yang sangat terkenal, yang dibuat oleh
Sultan Sulaiman al-Qanuni, yang menjadi UUD kekhalifahan Turki Utsmani
berabad-abad lamanya. Undang-undang dan peraturan yang ada di bawahnya, tidak
boleh bertentangan dengan qanun tersebut. Di Kesultanan Atjeh Darussalam juga
ada Qanun Syarak Kerajaan Atheh, yang menjadi UUD kerajaan Islam Atheh. NU (Nahdlatul
Ulama) punya Qanun Asasi, semacam “Anggaran Dasar” organisasi lain, yang
diambil dari pidato Syaikh Hasyim Asy’ari.
Dalam bidang kedokteran, ada kitab yang menjadi rujukan utama
kedokteran, termasuk di Eropa, pernah menjadi rujukan utama ilmudan praktik
kedokteran selama 5 abad lamanya, yaitu Kitab al-Qanun fi al-Thibb (Undang-undang
kedokteran) yang ditulis oleh filosof muslim, ahli logika, agama, sekaligus
seorang dokter (thabib), yaitu Ibn Sina. Di Barat, namanya terkenal
dengan Avesina. Al-marhum, cendekiawan muslim, Dr. Imaduddin Abdulrahim saat
Studium General di IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 90-an bercerita, “Saya
meneteskan air mata, saat melihat gambar hati yang digambar oleh tangan filosof
Islam Ibn Sina, di Rusia (Uni Soviet). Gambarnya persis seperti gambar hati zaman modern sekarang.
Padahal gambar tersebut di buat berabad-abad yang lampau, saat teknologi
kedokteran masih sederhana.”
Al-Qur’an adalah corpus, kumpulan firman Allah, sekaligus kumpulan
ayat yang ditulis dalam satu mushaf. Al-Qur’an manjadi “kitab induk”, “buku
babon”, (ummul kitab) bagi seluruh kitab-kitab suci yang ada, sekaligus
menjadi buku induk, menjadi rujukan utama bagi buku-buku, risalah, maqalah, yang ditulis untuk
menjelaskan, menafsirkan, dan atau menggali filosofi, hikmah, atau hukum dalam
Islam.
Di dalam al-Qur’an, semua norma tentang apa saja ada, sehingga para
Islamolog misalnya tokoh pembaharu penulis Tafsir al-Manar menyebut isi
al-Qur;an meliputi:
1.
Keesaaan Allah.
2.
Ubudiyah.
3.
Hukum.
4.
Sejarah.
5.
Ilmu pengetahuan
6.
Akhirat.
Dari semua isi yang dirangkum dari pendapat para ahli tersebut, di dalam al-Qur’an memuat catatan Allah tentang 3 (tiga) hal besar: 1.Ke-Ilahan-Nya, 2. Penciptaan alam, dan 3. Insaniyah.
Satu. Ketuhanan dengan variannya: monoteis dan politeis. Kisah yang ada
di dalam al-Qur’an, misalnya penciptaan kosmos, malaikat, jin, manusia,semua
drama sejarahnya mengarah kepada kesadaran adanya Tuhan Yang Esa.
Dua, Alam. Penciptaan makrokosmos dan mikrokosmo, semua drama kosmik
tersebut berujung pada ketauhidan Ilahiyah. Sebutlah kisah penciptaan semesta, endingnya
adalah cerita kesadaran adanya Pencipta yang harus disembah (al-Ma’bud),
yaitu Allah SwT.
Tiga, Insaniah (kisah tentang manusia). Kisah kemanusian di dalam al-Qur’an, baik cerita
tentang orang-orang shalih, seperti para rasul, nabi, aulia’, shiddiqin,
syuhada’, dan lainnya. Juga orang-orang yang durhaka seperti Kan’an, Fir’aun,
Namrud, Azar, Abu Lahab, dan lainnya, adalah kisah kemanusiaan yang mencari
ke-“agung”-an. Ada yang benar karena melalui jalan Tuhan yang lurus, ada yang
tersesat, karena melalui jalan yang bengkok. Ujung dramanya adalah Tuhan, bersifat
Teosentris, tepatnya adalah monoteisme (tauhid). Semua itu digambarkan dengan jelas dalam “al-Kitab”,
al-Qur’an. Wallahu a'lam bial-shawab.
Komentar
Posting Komentar