MIQAT DAN IHRAM, Mengubur Keangkuhan, Melahirkan Manusia Yang Baru dan Otentik.
MIQAT DAN IHRAM, Mengubur Keangkuhan, Melahirkan Manusia Yang Baru dan Otentik (Bagian 4)
Kasdikin, M. HI
(Kepala KUA Kecamatan Rengel; Alumni Ponpes Raudlotul Ilmiyah, Kertosono, Nganjuk)
Setelah kita menggugat niat untuk kembali ke jati diri manusia, kemudian kita juga memahami segala larangan yang unik dan penuh makna itu, maka saatnya menuju Miqat untuk memulai ibadah kita.
Dalam haji, sesungguhnaya manusia memutuskan untuk kembali kepada Allah, semua ego dan kecenderungannya yang mementingkan diri sendiri dikubur di miqat, ia menyaksikan mayatnya sediri, dan meziarahi kuburnya sendiri, dengan dilambangkan pakaian ihram, itulah simbul Miqat.
Haji dimulai dengan menghimpun kesadaran individual dengan kesadaran kelompok, di miqat, setiap orang “meleburkan” dirinya dan mengambil bentuk baru sebagai “manusia” yang semua ego dan kecenderungan pribadinya telah terkubur, semua orang telah menjadi satu “bangsa” atau satu “Ummah” semua keakuan telah mati dan dikubur di miqat dan tidak ada lagi “aku dan Kamu” dan yang ada kini hanyalah “kita”.
Miqat adalah simbul kuburan, dengan mumalai pakaian ihram, kita kuburkan diri kita yang lama dan kita bangkitkan diri kita yang baru, sejak dari miqat, kita kuburkan semua ego, kita kuburkan semua ambisi pribadi kita dimiqat ini, kita ganti kostum ihram dan kita lahir menjadi manusia yang baru, kesadaran kita berganti menjadi manusia yang autentik yang semua orang sama.
Begitu kita masuk miqat semula pakai baju yang berbeda-beda, ada yang bagus ada yang jelek, ada yang mahal ada yang murah, sekarang berganti baju Ihram, tidak lagi ada “kamu dan Aku” sekarang semuanya sama yang ada hanya “kita”. Ego lama dibunuh, kini melahirkan dan menjadi ego yang baru yang egaliter, yang tidak strata, yang tidak hirarkis, apakah itu presiden atau tukang becak atau tukang parkir, semuanya sama begitu ada di miqat ini, kemudian muncul individu yang baru menjadi manusia autentik, yang semua manusia sama, tidak ada lagi label, tidak ada lagi topeng, tidak ada lagi baju, itulah filosofi miqat, maka ketika berada di miqat selain berganti kostum maka mentalnya harus ganti yang baru, dengan membangun kesadaran diri yang baru.
Di miqat ini, apapun ras dan suku, melepaskan pakaian yang dipakai sehari-hari, baik sebagai majikan, juragan, pemimpin atau karakter-karakter hewani srigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan) atau tikus (yang melambangkan kelicikkan) atau Anjing (yang melambangkan tipu daya) atau domba (yang melambangkan kehambaan), ditinggalkan semua di miqat, dan jadilah manusia yang berperanlah sebagai manusia yang sesungguhnya, untuk menuju ka’bah atau makkah dengan berpakaian ihram yang memggambarkan bahwa kita sekarang bukan kita yang dulu lagi, kita sudah menjadi manusia yang baru.
IHRAM
Ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram, dengan kain kaffan, yang melambangkan kematian, dan kita sedang merayakan kematian kita diri kita yang lama dan dikuburkan dimiqat itu, kini kita menjadi manusia yang baru.
Pakaian ihram itu simbul bahwa hari ini kita telah memakai kain kaffan, dan meninggalkan segala macam perbedaan, ke akuan, keangkuhan yang ditimbulkan oleh status sosial. Segala kepemilikan kita tanggalkan, segala macam perbedaan kita tinggalkan, segala kesenangan tidak berlaku lagi sebagai manana kematian, yang semua kepemilikan tidak adan gunanya lagi. Jadi ketika kita memakai pakaian ihram maka bunuhlah dirimu sendiri yang lama, dan menghidupkan dirimu yang baru yang autentik, bukan yang tela ditutupi dengan topeng-topeng kemaren-kemaren, yang dihiasi dengan segala rentetan gelar kebanggaan, bukan segala citra yang dibangun, maka jadilah dirimu sendiri, pasrahkan segalanya kepada Allah.
Dalam pandangan Ali Syariati, dengan meninggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian yang baru, berarti meninggalkan segala macam perbedaan dan menghapuskan keangkuhan yang ditimbulkan status sosial. Mengenakan pakian Ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis, bahwa yang seperti itulah keadaannya ketika menghadap Allah pada saat kematian,. Selanjutnya kita melakukan vase perjumpaan dan “berjabat tangan” dengan Allah dengan melakukan thowaf . Wallahu a’lam. (bersambung)
Komentar
Posting Komentar