TAFSIR “LA RAIBA”
TAFSIR “LA RAIBA”
(لا ريب فيه)
Bukhori at-Tunisi
(Alumni Ponpes YTP, Kertosono)
Al-Qur’an menyatakan, “Itulah Kitab [al-Qur’an], [kebenarannya] tidak
diragukan sama sekali; menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”
Pernyataan awal yang sangat meyakinkan, bahwa kebenaran al-Qur’an itu pasti,
meyakinkan, tidak meragukan (no doubt). Karena kebenarannya pasti, maka
ia bisa dijadikan standar ukuran menilai apa pun. Undang-undang, qanun, asas,
adab, filsafat,
tasawuf, dan lainnya, menjadi benar,
jika tidak bertentangan dengan nilai yang diajarkan al-Qur’an. Al-Qur’an juga
bisa djadikan petunjuk jalan, karena petunjuknya pasti benar. Ibarat petujuk arah dari Surabaya
menuju Jakarta, maka arah petunjuknya harus dipastikan kebenarannya lebih
dahulu, bila sudah dipastikan petunjuk benar, maka tempuhlah jalan yang sudah
benar tadi, pasti tidak akan tersesat. Seperti itulah posisi al-Qur’an.
Kata لا di sini, termasuk لا لنفي الجنس، yaitu "la" yang meniadakan segala jenis sesuatu. Misalnya kalimat, لا تلمييذا داخل، tak seorang siswa pun masuk. Berarti, tidak ada seorang siswa pun yang masuk sekolah. Kata لا ريب فيه، termasuk jenis ini, maknanya, bahwa Al-Qur'an menolak semua jenis keraguan seputar Al-Qur'an, baik aspek penurunan (تنزيل), pencatatan (كتابة ), modifikasi (تدوين), periwayatan (رواية ), isi (مادة ), keindahan (بلاغية), sejarah (تاريخ ), dan lainnya.
Ada kemantapan epistemologis pernyataan bahwa al-Qur’an tidak ada sama
sekali keraguan kebenarannya, yang mendorong penganut Islam, bahwa apa yang
didasarkan kepada Kitab Sucinya, pasti benar. Ayat kedua ini, adalah ayat yang
bersifat “pernyataan” (qadliyah), padahal bukan untuk menjawab suatu
pertanyaan sebelumnya. “Pernyataan” tersebut, bila dibaca secara konektif, akan
ditemukan pernyataan yang meragukan kebenaran al-Qur’an, lalu dijawab oleh
Allah, agar sikap ragu terhadap wahyu, dijawab saja dengan “bukti” (burhan)
bahwa itu bukan “bikinan” Allah, [meminjam istilah Mu’tazili], tetapi bikinan
manusia, dengan membikin ayat yang sepadan dengan ayat yang diragukan. Jika
“pentolan” (para ahli) kaum peragu yang kafir itu benar, maka para Pentolan
tersebut, pasti bisa membikin wahyu tandingan dengan kualitas yang sepadan.
Sangat prinsipal untuk dinyatakan: Secara epistemologis, Al-Qur’an mengakui eksisistensi “ragu”, (doubt),
sebagai bagian dari mencari pengetahuan dan kebenaran. Dan al-Qur’an tidak pernah
mantabukan sikap ragu. Al-Qur’an mengecam fikiran tertutup (kufur),
tidak terbuka, dan ingkar kepada kebenaran, di dalamnya adalah pengingkaran kebenaran
wahyu (al-Qur’an). Meski tidak mentabukan, al-Qur’an tidak menyuruh ragu dan
berhenti pada sikap ragu, apalagi ragu hanya sebagai “hilah” dari sikap
menolak. Al-Qur’an mendorong, pasca ragu agar mencari bukti kebenaran sebagai
eviden, sehingga diperoleh kebenaran otentik, bukan kebenaran maya dan palsu. Mengapa?
Karena kebenaran yang diperoleh dari “tajribah”, observasi, pengalaman,
langsung dialami, --baik idealis, filosofis, realis, positif—itu lebih kuat,
sehingga kebenarannya bukan kebenaran apriori, tetapi aposteriori, teruji, dan
ajeg (reliable).
Dalam falsafah, ragu adalah bagian dari proses memperoleh
pengetahuan. Ragu bukan sesuatu yang tabu, negatif, apalagi dosa. Sikap ragu
adalah di antara sikap yang mampu memunculkan sikap ingin tahu, karena ilmu
tidak datang serta merta ada di otak atau hati seseorang. Ilmu datang dari
ikhtiar (usaha) mencari pengetahuan yang disebut belajar (ta’allum, study).
Ilmu Laduni yang sering disalahfahami oleh kalangan “awam”,
karena seolah-olah seseorang memperoleh “ilmu nomplok” dari Allah tanpa ikhtiar. Persepsi yang salah. Tanyakan
kepada orang-orang alim, yang dipersepsi memperoleh ilmu laduni, pasti
mereka menjawab, “Bahwa kealiman, disertai dengan tirakat yang berat:
makan, minum, diminimalisir; sahwat ditahan, ibadah dikencankan, sering shalat
sunnah, yang rawatib, ghairu rawatib, tahajjud, syukril wudlu, Duha, puasa
wajib, puasa sunnah, mulai dari puasa Senin Kamis, Dawud, Ayyamul Baidl, bakda
Syawwal, dan lainnya. Di samping juga banyak tilawah, qiraah, tahfizh,
dzikir, tafakkur, dan segala macam amal kebajikan; Menghindari perbuatan
yang tidak menyenangkan (makruh), maksiat, apalagi dosa. Termasuk juga menjaga
etika dan marwah pribadi sebagai seorang muslim. Amaliah kebaikan yang
dikerjakan para alim yang dapat “ndaru” ilmu dari Allah, beratnya
berlipat-lipat dibandingkan dengan ikhtiar yang dilakukan orang awam. Oleh
sebab itu, al-Qur’an mendorong untuk mencari tahu bila tidak memiliki
pengetahuan tentang suatu perkara kepada para ahlinya, karena itu meruapakan
salah satu metode ilmu pengetahuan. Kata al-Qur’an:
فاسألوا اهل الذكر ان كنتم لا تعلمون
(Tanyakan
kepada ahli pengetahuan, jika kamu tidak tahu!)
Sebagaimana posisi “penyangkalan” (inkar) dan “penerimaan” (tashdiq) yang diterima sebagai bagian dari pemerolehan pengetahuan. Bila belajar Ilmu Mantiq, pasti akrab dengan qadliyah (kalimat, pernyataan, atau proposisi). Qadliyah sebagaimana didefinisikan ahli Manthiq, adalah pernyataan yang isinya mengandung kemungkinan benar atau dusta. (القضية هي قول مفيد يحتمل الصدق او الكذب). Jadi, semua “pernyataan” dalam perspektif Mantiq, melekat dua kemungkinan: benar atau dusta. Benar jika sesuai dengan kenyataan; dan dusta jika berbeda dengan kenyataan. Qadliyah dibagi menjadi: 1. Qadliyah hamliyah (proposisi kategoris, pernyataan tak mengandung syarat); 2. Qadliyah syarthiyah (proposisi hipotesis, pernyataan bersyarat). Terhadap sebuah “pernyataan”, tiap orang pasti punya: Satu: Sikap tidak menerima langsung sesuatu yang dihadapkan atau ditawarkan di hadapannya untuk diterima apa adanya. Orang pasti akan mempertanyakan, “Apa ini?” atau “Apa itu?” atau bersikap menyangsikan kebenaran sesuatu atau kepalsuan sesuatu yang diterimanya. Orang bisa berkata, “Benarkah apa yang saya terima ini, sesuai dengan pesanan?” misalnya. Atau berkata, “Apakah ada jaminan bahwa barang ini asli?”
Dua: Ada yang menerima pernyataan apa pun yang diterima dari seseorang, karena presedennya
ada, sehingga mustahil untuk menolak kebenaran pernyataan yang disampaikan.
Misalnya pada “kasus” Abu Bakar As-Siddiq. Abu Bakar pasti percaya dan membenarkan
apa saja yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw., karena presedennya
ada, yaitu Nabi saw., yang personalnya sebagai pribadi yang jujur dan tidak
pernah bohong, sehingga apa saja yang dinyatakan, pasti benar adanya (waqi’iy).
Misalnya peristiwa Isra’ dan Mi’raj, yang ranahnya
di luar kebiasaan masyarakat awam; juga berita tentang Perang Persia vs Romawi. Jadi, ada “syarat” pra kondisi
yang sekarang, sehingga memunculkan “pengetahuan” dan “keyakinan” bahwa
“qadliyah” yang dinyatakan Muhammad adalah “shidq” (benar), dan bukan “dusta” (kidzb).
Terhahadap suatu “khabar”, atau “pernyataan”: Ada yang spontan menerima (mubasyarah) tanpa fikir panjang; dan ada juga yang menerima melalui pemikiran mendalam (ita’aqquli). Al-Quran sering mengecam sikap menerima apa adanya tanpa direspon secara mendalam apa yang seharusnya dita’aqquli terlebih dahulu. Oleh sebab itu Allah melarang sikap taqlid terhadap pengetahuan yang sampai ke diri seseorang.
ولا تقف ما ليس لك به علم
ان
السمع والبصر والفؤاد كل اولئك كان عنه مسئولا
(Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak tahu sama sekali, karena pendengaran, penglihatan, dan hati, akan dimintai pertanggung jawabannya).
واذا قيل لهم اتبعوا ما انزل الله قالوا بل نتبعوا ما الفينا عليه اباءنا
اولو كان اباؤهم لا يعقلون شيئا ولا يهتدون
Itulah makna bahwa seseorang beramal berdasarkan ilmu pengetahuannya, bukan
berdasarkan ketidaktahuannnya, sehingga memperoleh manfaat dan maslahah dari
amaliahnya. Ilmu itu bagian dari “hidayah”, penerang, petunjuk, untuk menjalani
sesuatu.
Al-Qur’an, menyatakan bahwa wahyu dari Allah bagian dari “petunjuk”. Namun
al-Qur’an tidak menyatakan bahwa “wahyu” sebagai satu-satunya petunjuk yang
mampu mengantarkan kepada kebenaran, dan juga bukan sebagai satu-satunya cara
memperoleh pengetahuan. Misalnya firman Allah: “Maka Kami beri ilham kepada
jiwa tentang perbuatan buruk dan perbuatan taqwa ...” (QS. Al-Syam: ).
“Perangkat” lain yang diberikan Allah, agar manusia memperoleh ilmu dan
petunjuk, antara lain yaitu:
1. Pendengaran
2. Penglihatan
3. Akal fikiran
4. Istifadah, istifham,
istis’al.
5. Mudzakarah
6. munazharah
Nomor 1-3 melekat pada setiap person, sedang nomor 4-6 “bertukar” ilmu dengan person lain. Manusia dapat memperoleh petunjuk dari “pemberian” atau “anugerah” Allah tersebut. “Petunjuk” secara etimologi berarti “melihat [dengan jelas]” (bashara), “cerah” atau “terang” (nur, nawwara). Orang yang mendapat “petunjuk,” bisa melihat dengan jelas, cerah, dan terang, tidak ada remang-remang sama sekali. Orang yang mendapat “petunjuk”, akan berjalan di jalan yang “terang”, sehingga tahu jalan yang benar yang akan dilalui, yang tidak memungkinkan tersesat. Dan kebenaran sejati yang dihasilkan dari perangkat yang diberikan Allah tersebut, tidak akan bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh wahyu.
Perbedaan kebenaran yang diperoleh dari ilmu pengetahuan dan agama; bahwa ilmu
pengetahuan, sains, menguji semua hipotesis dan teorinya untuk menjadi sains,
sehinga mendapatkan kebenaran, walaupun tentatif. Agama berangkat dari dogma,
keyakinan, yang harus diterima kebenarannya terlebih dahulu (apriori), karena
ia berasal dari Yang memproduksi kebenaran, yaitu Allah.
Pada awal pentasyri’an, agama diuji secara “ilmiah” oleh masyarakat penerima wahyu. Apakah “agama” atau wahyu Tuhan benar? Tuhan pun memberi ruang dan waktu untuk menguji kebenaran wahyu. Dan ruang tersebut berlaku hingga wahyu al-Qur’an selesai diturunkan. Tantangan (tahaddi) untuk membuktikan kebenaran penolakan atau sanggahan dari yang menolak kebenaran wahyu adalah bagian dari pembuktian bahwa wahyu itu benar, bukan palsu. Hingga saat ini pun, pendekatan atas al-Qur’an yang banyak dikhawatirkan oleh Islamolog, yaitu pendekatan Hermeneitika, harus dibuka lebar. Ruang pembuktian pun dikasih oleh Allah: Apakah al-Qur’an benar sebagai kitab yang tahan uji, ataukah tidak? Terlepas ada yang keberatan atas pendekatan hermeneutika terhadap al-Qur’an, pendekatan tersebut adalah pendekatan yang biasa saja, bukan sesuatu yang harus ditakutkan, karena al-Qur’an sendiri memberi ruang uji, untuk membuktikan kebenarannya.
وان كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا
بسورة من مثله
وادعوا شهداءكم من دون الله ان كنتم صادقين
(Dan jika kamu sangsi [tentang kebenaran] apa yang Kami turunkan [al-Qur’an] pada hamba Kami, maka datangkan kepada Kami satu surat yang mirip dengan [al-Qur’an]!)
Dalam al-Qur’an, ada 3 contoh peristiwa yang “disangsikan” kebenarannya
oleh para skeptisis, yaitu sekeptis tentang adanya: 1. Tuhan; 2. Al-Qur’an; 3.
Hari Qiyamat. Artinya: kebenaran al-Qur’an, setara dengan kebenaran adanya
Tuhan dan Hari Qiyamat. Orang boleh tidak mempercayai adanya, namun adanya
pasti ada.
Bijaknya al-Qur’an, ia tidak serta merta menuduh orang yang menyangsikan
kebenaran Kitab wahyu, ditahdzir langsung sebagai kafir.
Sebaliknya, al-Qur’an menantang (tahaddi) para penyangsi kebenaran
al-Qur’an, baik aspek asal-usul (wurud), proses transmisinya, verbatim
wahyu, dan belakangan adalah tulisan (scripta) wahyu al-Qur’an, biar ada
waktu dan ruang untuk membuktian kebenaran keraguan mereka terhadap kebenaran
al-Qur’an. Yang benar al-Qur’an ataukah yang salah para peragu.
Hingga saat ini, tidak ada yang berhasil membuat kebenaran otentisitas
al-Qur’an runtuh, bahkan al-Qur’an mampu membuktikan diri sebagai kitab suci
yang berisi kebenaran. Bahkan, orang banyak masuk Islam karena mengakui “i’jaz”
(keluarbiasaan) al-Qur’an, baik dari kalangan awam, khawas, orang biasa,
penguasa, ilmuan, hingga sastrawan.
Dalam historiografi ilmu keislaman, al-Ghazali pernah menggunakan
sekeptisisme dalam mencari kebenaran. Al-Ghazali bertolak dari “keraguan” untuk
melakukan analisis terhadap kebenaran “ilmu” yang dihasilkan pancaindera, akal,
dan sufistik, untuk sampai kepada kebenaran.
Skeptisisme al-Ghazali berasal dari nalar rasionalnya melihat kenyataan (waqi’iyyah)
bahwa pancaindera dapat “tertipu” oleh “sesuatu” yang menyebabkan “berbeda”
dari yang “sebenar”-nya, sehingga al-Ghazali “tidak percaya” terhadap kebenaran
yang dihasilkan oleh indera. Sikap al-Ghazali ini, untuk memperoeh penjelasan
yang akurat dan memadai terhadap kebenaran yang akan dicari, bukan kebenaran
yang meragukan. Sikap skeptis yang bertujuan untuk mempertanyakan sesuatu yang
diterima, dan mewaspadai segala yang dianggap pasti, hati-hati, dan teliti,
agar tidak mudah ditipu. Sikap skeptis al-Ghazali, mendekonstrusi keajegan
sikap, bahwa apa yang diindera pasti benar. Namun, Al-Ghazali tidak sampai pada
sikap tidak meyakini adanya kebenaran pasti (relativisme), bahkan menafikan
pengetahuan yang pasti benar tentang realitas sesuatu. Al-Ghazali hendak sampai
kepada pengetahuan yang tidak disangsikan, kebenarannya meyakinkan, pasti, dan
tak tergoyahkan.
Ada 3 (tiga) tingkatan skeptisisme dalam filsafat: 1. Skeptis sebagai sikap menunda putusan penilaian dan simpulan; 2. Skeptis sebagai sikap penolakan atas kemampuan manusia untuk mengetahui esensi pengetahuan, manusia hanya mampu menangkap fenomena empirik inderawinya saja; 3. Skeptis sebagai sikap menolak klaim manusia mampu menemuakan kebenaran.
Berbeda dengan al-Ghazali, justru Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kebenaran ada pada pengalaman empirik, bukan idealistik. Kata Ibn Taimiyah,
الحقيقة في الأعيان لا في الأذهان
(Kebenaran ada pada pengalaman empirik, bukan pada pengalaman idealistik)
Ibn Taimiyah memandang penting indera dalam pencerapan pengetahuan, dan
menolak konsep universal dalam dunia ide, yang hanya dalam pikiran atau “angan-angan”
dalam bahasa Ibn Taimiyah, yang tidak ada dalam kenyataan. Ibn Taimiyah memang
bukan sebagai seorang tokoh pencetus empirisme murni, karena masih menerima
sumber pengetahuan lain yang dapat digunakan sebagai pintu perolehan pengetahuan.
Ibn Taimiyah mengajukan teori “fithrah” sebagai jalan epistemologis memperoleh
pengetahuan. Kata Ibn Taimiyah, manusia sejak diciptakan memiliki “inner ideas”
yang dianugerahi langsung oleh Tuhan, Allah Subhanhu wa Ta’ala (SwT). Anugerah
asal dari Allah yang disebut fithrah ini, dapat mendorong manusia untuk
memperoleh pengetahuan (‘ilm), dan secara etika, fithrah mendorong
manusia untuk menemukan kebaikan dan mengetahui keburukan. Yang baik harus
dikerjakan, sedang yang buruk harus ditinggalkan. Manusia harus mengembangkan
sifat-sifat bawaan natural ini untuk memperoleh ilmu pengetahuan atau
kebenaran. Dengan modal indera dan fithrah yang dilimpahkan Allah kepada
manusia, memungkinkan manusia menemukan kebenaran. Bagi Ibn Taimiyah, manusia
dengan pengalaman empirik, rasionalitas akal, dan sifat bawaan (fithrah), dapat
memperoleh ilmu pengetahuan dan kebenaran. Tak berhenti di situ, Ibn Taimiyah
memunculkan teori kebenaran berasal dari: 1). Fithrah majbulah, anugerah
alamiyah dari Ilahi yang diberikan kepada semua manusia untuk memperoleh
pengetahuan dan kebenaran; 2). Fithrah al-munazzalah, yaitu anugerah
yang diturunkan secara langsung oleh Ilahi dalam bentuk wahyu. Wahyu memberitahukan
tentang pengetahuan, kebaikan, keburukan, kebenaran, dan juga kebatilan. Menurut
Ibn Taimiyah, pada puncaknya, penemuan kebenaran yang bersumber dari fithrah
majbulah, dengan fithrah al-munazzalah, tidak bertentangan, karena
ia bersumber dan berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Varian sumber pengetahuan yang diakui oleh Ibn Taimiyah adala persepsi
diperoleh melalui: 1). Indera; 2). Ratio; 3). Spiritual. Melalui indera
diperoleh pengetahuan tentang alam sekitar, misalnya polusi, gempa, warna, dst.;
melalui ratio, diperoleh pengetahuan abstrak tentang kebaikan, keburukan, keadilan,
kezaliman, dan lainnya; melalui spiritual, dapat diperoleh pengetahuan tentang
yang ghaib, misalnya tentang adanya Tuhan, kehadiran Tuhan, tentang kehidupan
akhirat, dan lainnya. Itulah hierakhi ilmu pengetahuua menurut Ibn Taimiyah.
Ibn Tamiyah mengakui pengetahuan murni empirik yang bersumber dari indera;
pengetahuan rasional, analitik, rasional, yang bersumber dari akal-ratio; dan
pengetahuan metafisis yang bersumber dari pengalaman spritual.
Kembali kepada ayat 2, QS. Al-Baqarah, al-Qur’an menolak adanya sesuatu yang meragukan dalam al-Qur’an, baik ragu secara emprik, ratio, maupun spiritual. Al-Qur;an secara emprik bisa dilihat wujud fisik tulisannya, baik aspek autentisitas historitasnya maupun contiunitas skriptanya. Begitu juga, al-Qur’an menolak keraguan bahwa al-Qur’an akan ketinggalan zaman, out of date, usang, dan tidak relevan, karena tidak sesuai dengan kemajuan ratio dan ilmu pengetahuan; terakhir, al-Qur’an menolak keruguan spiritual, bahwa al-Qur’an tidak mengakomodasi potensi spiritual alamiah manusia untuk cenderung kepada asketisme, al-Qur’an mengakomodasi dan menunjukkan bahwa spiritualitas manusia ada pada monoteisme dengan bertuhan kepada Allah Yang Maha Esa. Spirit keesaan Ilahi itulah yang akan menenangkan jiwa spiritual manusia.
"La raiba" (tidak ada keraguan sama sekali), adalah jawaban al-Qur'an atas pernyataan keraguan tentang geneologi al-Qur'an bukan berasal dari wahyu Allah namun kreasi penyair, dukun, tukang besi, dan Muhammad sendiri. juga menyanggah tentang subtansi al-Qur'an hanya "kalam" biasa, bukan "mu'jizat" yang mampu mengakomodasi kemajuan ilmu dan peradaban, namun juga "membukakan mata" kebenaran yang dibawa al-Qur'an. Ia bukan sebatas kata-kata, namun ia istimewa yang membawa perubahan, kemajuan, dan kemuliaan.
Komentar
Posting Komentar