ASAL BEDA (WATON SULOYO) dan Kritik Logika al-Qur’an

 

ASAL BEDA (WATON SULOYO) dan Kritik Logika al-Qur’an

 

Oleh: Bukhori at-Tunisi

(Alumni Ponpes YTP, Kertosono. Menulis buku: “Fithrah sebagai Basic Psikologis Pembelajaran al-Qur’an”)

 

Seorang suami dibuat pusing istrinya, karena setiap ada resepsi pernikahan, minta baju baru. Sang suami bercerita, Istrinya malu kalau memakai baju yang sama dengan resepsi sebelumnya. Istrinya takut dikatai sebagai orang yang gak pernah ganti baju. Istrinya ingin tampil “beda” dengan sebelumnya, sebagaimana wanita lain yang gonta-ganti baju.” Dalam persepsi, sang istri menggunakan baju yang sama, itu tidak “fashionable” dan identik kelas sosial rendahan, bukan bagian dari kelompok sosialita “kampung”, oleh sebab itu, harus tampil beda dengan baju baru, agar naik kelasnya.

 Begitu kuat pengaruh trend fashion dari iklan tv dan medsos, sehingga memakai fashion baru pun hukumnya menjadi “fardlu ‘ain”, biar sama dengan kelompok Jet Set dan beda dengan kelompok “ammiyah”. Orang igin diidentikkan dengan kelas sosial “atas” dan malu bila “sama” dengan kelas sosial kaum papa. 

“Beda” dan “sama”, ternyata menjadi bagian dari patologi sosial, ia menjadi sumber penyakit baru masyarakat, karena akan menjadi “beban” hidup baru, manakala sama dengan kelompok tertentu, atau beda dengan kelompok tertentu. Timbul rasa bangga manakala identik dengan kelompok tertentu dan distingtif dengan kelompok tertentu. Bahagia sekarang berubah haluan, bahagia bukan karena berbuat kebajikan atau merasa tidak bahagia karena berbuat keburukan. Bahagia ternyata karena sama atau beda dengan kelompok kelas sosial tertentu. 

“Asal beda,” begitu sering ungkapan itu kita dengar. Dan, masyarakat Indonesia banyak dihinggapi “trend style” tersebut, sikap yang mementingkan perbedaan dengan orang lain, tanpa alasan yang bisa diterima nalar sehat. Tidak penting, apakah yang kita “beda-i” itu salah atau benar. Yang penting berbeda, tidak sama, tidak identik dengan yang kita anggap “rendahan” atau berbeda dengan yang bertentangan dengan kita. Orang Jawa menyebutnya, “Waton suloyo”, artinya “asal berbeda” dengan yang lain, yang dibenci, tidak disukai, atau dimusuhi, baik kepada “lawan” atau pun saingan. Atau kita ambil sikap sama, dengan yang kita cintai, sayangi, banggakan, diimpikan, dikhayalkan dan lainnya. Sikap “yang penting beda,” merupakan sikap ekspresif ketidaksetujuan kepada pihak lain yang dianggap bertentangan dengan prinsip yang diyakini seseorang; ataupun menganggap yang lain sebagai kompetitor dalam hal-hal yang positif, sehingga dibuat sesuatu yang berbeda untuk menjadi “ciri khas.” Sedang sikap sama, sebagai simpul-simpul ekspresif dengan yang kita impi-impikan dan khayalkan. 

Asal beda, merupakan di antara bentuk kesalahan logika berfkir, karena yang dibedai (mukhalafah) belum tentu salah. Pembedaan kepada sesuatu, tergantung kepada ukuran yang dipakai untuk mengambil sikap berbeda tersebut. bila yang dibedai tersebut merupakan sesuatu yang salah, maka adanya perbedaan dapat dibenarkan secara logika. Bila yang dibedai sesuatu yang benar, maka mengambil sesuatu yang berbeda, merupakan suatu kesalahan. Oleh sebab itu, “waton suloyo” bisa benar dan salah, tergantung konteks posisi pembedaan tersebut. 

Kesalahan berfikir ini, muncul karena: (1). Politik identitas (group dan out of group, ashabiyah). Kaum “sarungan” misalnya, sering dihadapkan dengan kaum yang berbaju “pantolan”. Sarung diidentikkan dengan kaum santri yang hidupnya sederhana, lugu dan taat kepada syariat Islam. Berbeda dengan kaum yang berpakaian “pantolan,” sering diidentikkan dengan kaum ningrat, bangsawan, kaya, berpendidikan [Belanda], namun kurang taak kepada Agama. Penyebutan “kaum sarungan” terkadang digunakan sebagai sindiran kepada kaum agamawan yang masih lugu, belum pandai bermain siyasah dan mudah “ditaklukkan” secara ideologis dan politis, karena berpolitik apa adanya, lugu, dan miskin tipu-tipu. Teringat peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda dengan siasat “Perundingan Damai” untuk mengakhiri perlawanan terbesar rayat jajahan kepada Belanda di Tanah Jawa. Pangeran Diponegoro percaya bahwa perundingan tersebut adalah perundingan damai yang sebenarnya, sehingga tidak punya syakwasangka bahwa perundingan tersebut sebagai siasat licik penjajah untuk menaklukkan perlawanan kaum jajahan dengan cara-cara licik. Sang Pangeran terperangkap sikapnya sendiri, yang menyamakan penjajah belanda jujur sebagaimana dirinya. Dalam logika, menyamakan dirinya dengan orang lain, juga bagian dari “logical fallacies”. Pangeran Diponegoro akhirnya ditangkap tanpa perlawanan karena tidak membawa persenjataan dan pasukan yang cukup. Beliau sadar saat sudah ditangkap, bahwa politik kolonial penuh kelicikan, tipu daya, dan menghalalkan segala cara. Jujur terhadap orang munafik bahkan penguasa lalim ternyata bukan kebaikan namun keburukan. 

Saat terjadi Perang Jawa, begitu Kompeni Belanda menyebutnya, pakaian yang digunakan Pangeran Diponegoro adalah baju Surban yang berwarna putih. Mengapa? Karena Pangeran Diponegoro memang seorang santri, terpelajar dalam ilmu keagamaan dan tentu, politik [Jawa]. Pakaian surban dan warna putih adalah simbol keislaman dan pakaian santri yang taat beragama, bukan kaum abangan yang kurang taat beragama. Identitas? Ya, identitas santri. 

Pakaian yang sama juga digunakan oleh Imam Bonjol, pemimpin besar Kaum Paderi saat melawan penjajah Belanda. Imam Bonjol menggunakan pakaian berwarna putih dan bersurban. Imam Bonjol adalah seorang “malim” [mu’allim], “guru besar” Kaum Paderi, bukan orang dari kalangan awam. Imam Bonjol bukan hanya faham dan menguasai keilmuan tradisional keislaman, namun juga menguasai ilmu politik dan kemiliteran. Imam Bonjol dididik oleh ulama’-ulama’ besar Sumatera Barat lulusan Makkah dan juga ulama’-ulama’ Aceh. Imam Bonjol menjadi pemimpin Paderi, bukan pemimpin karbitan, beliau menjadi pimpinan tertinggi Perang Paderi, karena sudah melalui pengalaman dan dedikasi yang tinggi terhadap Islam dan masyarakat Sumatera Barat. 

Sentot Ali Basha, salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro yang menyerah kepada Belanda, saat dikirim Belanda ke Sumatera Barat untuk “diadu” dengan pasukan Paderi, terheran-heran, “Mengapa pakaian dan agama yang dilawan sama?” Saat waktu shalat tiba, adzan dikumandangkan dan saat berperang memekikkan takbir. Pakaian dan perilaku keagamaan, menumbuhkan kesadaran Sentot Ali Basha dan pasukannya, bahwa mereka diadu dengan sesama saudara yang seagama dan sebangsa. Hingga akhirnya secara rahasia, saling mengadakan pertemuan untuk melakukan gerakan perlawanan bersama melawan Belanda, sebelum terjadi, ternayata Belanda keburu mengetahui makar tersebut, sehingga pasukan Sentot ditarik ke Jawa dan Sentot diasingkan oleh Belanda ke Bengkulu. 

Pakaian ternyata memberi pengaruh terhadap kesadaran manusia, karena mampu menjadi bagian dari simbol keagamaan dan keyakinan hidup orang Islam. Simbol yang bermakna, bukan simbol kosong yang tak ada tujuannya. Pakaian putih Kaum Paderi, ternyata memberikan kesadaran kepada pasukan Sentot, melalui pengenalan “tanda”, mereka sadar bahwa Kaum Paderi adalah seagama, senasib dan seperjuangan melawan kolonial Belanda. 

Pada zaman modern pun, pakaian menjadi simbol status sosial dan gaya hidup. Bahkan kelompok keagamaan tertentu, memiliki simbol pakaian tertentu sebagai identitas jama’ah. Orang yang berpakaian dengan harga mahal dan bermerek terkenal, tentu mewakili kelas ekonomi atas. Sebaliknya, bila pakaiannya harga umum dan tidak bermerek, maka bisa dibaca sebagai kelompok masyarakat dari kelas ekonomi menengah ke bawah. 

Jama’ah dari jam’iyah dan persyarikatan tertentu, memiliki ciri khas warna pakaian sebagai simbol identitas kelompoknya. Begitu juga jama’ah yang baru, juga menggunakan simbol-simbol pakaian tertentu sebagai ciri khas kelompok, sehingga yang lain mengenali. 

Pada zaman Nabi Muhammad, orang Islam disuruh mencukur kumis oleh Nabi, sebagai pembeda dengan kaum Yahudi dan Nashrani yang berkumis dan berjenggot. Cerdas sekali perintah Nabi saw. tersebut, sama-sama sebagai bangsa yang secara geneologis bercambang lebat dan kumis tebal juga pakaian yang sama, tentu sulit membedakan mana kawan dan mana lawan kecuali dengan ciri pembeda. Jadi, potong kumis merupakan penanda, atau “tengeran” kata orang Jawa, muslim atau bukan muslim. Dengan pembeda yang tidak mencolok dan bisa dijadikan ciri sebagai orang muslim, maka tindakan Nabi tersebut sebagai tindakan yang sangat cerdas dan brilian. Namun tujuan Nabi saw. memerintah untuk mencukur kumis bukan hanya sebagai pembeda (distingsi) antara muslim dan non muslim, namun ada tujuan yang menyertainya, yaitu kebersihan. Karena di dalam ajaran Islam, setiap perintah dan larangan ataupun disyariatkan suatu ketentuan, pasti memiliki hikmah dan manfaat di balik syariat tersebut. 

Ingat! Warna dalam perpolitikan Indonesia juga dijadikan simbol. Yang agak ke “kiri” menggunakan wana merah. Sedang yang ke “kanan”, menggunakan simbol warna hijau, biru, putih atau hitam. Warna-warna tersebut pernah digunakan sebagai simbol warna kesultanan baik di Timur Tengah maupun kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Partai politik seperti PDIP, menggunakan warna merah; sedang PAN, Demorat yang agak ke “tengah”, menggunakan warna biru; PBB, PKB, PPP, menggunakan warna hijau. Simbol warna ternyata diperlukan dalam kancah politik nasional untuk membedakan warna dan kecenderungan ideologis partai. 

(2). Sebagai perlawanan. “Waton suloyo” ternyata digunakan sebagai bentuk perlawanan, baik langsung maupun tidak langsung kepada yang dibedai. Iblis tidak mau sujud kepada Adam, sebagai bentuk perlawanan terhadap perintah Allah untuk “sujud” kepada Adam (QS. 2: 34). Bagi Iblis, “sujud” merupakan pendegradasian martabat keiblisannya terhadap manusia sebagai makhluk Allah yang lebih baru dan lebih rendah, sehingga Iblis menolak perintah Allah tersebut. 

Zaman Orde Baru diberlakukan Asas Tunggal Pancasila, sering disebut dengan “Astung”. Partai politik dan organisasi masa seperti PPP, Golkar, Muhammadiyah, NU, Persis dan lainnya, wajib berasaskan Pancasila. Jika tidak berasaskan Pancasila, maka akan dibubarkan dan legalitas keormasannya dicabut. Banyak yang melawan kebijakan tersebut, namun tidak kuasa melawan secara terang-terangan. Yang dilakikan hanya perlawanan verbal lewat ceramah dan mimbar bebas. Di sini, “beda” pendapat dengan penguasa, merupakan bagian dari perlawanan. 

Ghandi, tokoh perjuangan legendaris asal India, menggunakan cara-cara anti kekerasan ketika melawan kolonial Inggris. Gerakan Ahimsa, Swadesi, dan lainnya, merupakan gerakan perlawanan atas kolonialisme Inggris di India, yang membuat kesengsaraan dan keterbelakangan masyarakat India. Ghandi tidak menggunakan kekerasan dalam melawan penjajahan. Tidak menggunakan kekerasan, bukan berarti tidak melawan. Melawan dalam bentuk penolakan secara lembut, juga bagian dari perlawanan. 

Mirip gerakan Swadesi Ghandi, perlawanan lewat pakaian juga terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Jokowi, senang menggunakan kemeja putih, imbasnya, semua departemen pemerintahan, hampir semuanya ada hari tertentu menggunakan baju putih. Ada juga ASN (PNS) yang tidak mau menggunakan baju putih, mengapa? Karena berbeda bagian dari perlawanan. Berarti, beda warna pakaian, merupakan bagian dari bentuk perlawanan atas sikap pemerintahan Jokowi yang gagal menyelamatkan pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjoynato dari kriminalisasi; juga gagalnya Jokowi memenuhi janji-janji yang diucapkan waktu Pemilu 2014. 

Itulah di antara awal mula munculnya gerakan perlawanan kepada pemerintahan Jokowi-JK. Karena di awal pemerintahan Jokowi-JK, sudah muncul kontroversi dan ketidakpuasan masyarakat, atas penunjukan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, padahal BG sudah distabilo merah oleh KPK. Di kalangan internal pendukung Jokowi pun, terbelah menjadi 2 (dua) kelompok, ada yang mendukung BG seperti Megawati; ada yang mendukung Jokowi untuk membatalkan BG menjadi Kapolri, seperti A. Syafii Ma’arif. Kontoversi muncul tiada ujung, hingga BG terlempar dari Kapolri, tetapi dengan kompensasi pimpinan KPK “dikriminalisasi”[1] oleh Polri, sehingga terpental pula dari pimpinan KPK. Seolah mengulang cerita lama tentang “Cicak versus Buaya”. Pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto ditersangkakan dengan kasus yang dicari-cari untuk ditarget menjadi tersangka, sehingga “non aktif” dari pimpinan KPK, sesuai dengan Undang-Undang KPK yang berlaku. 

Aneh, tanpa ada “pembelaan” dari presiden. Pimpinan KPK dibiarkan begitu saja menunggu waktu “pelengseran” sistematis. ditambah dengan menempatkan komisioner yang ditolak oleh pegawai KPK, karena dinilai hanya sebagai “Kuda Troya”. Kuda pembawa “penyakit” dari dalam, sehingga “sakit” semua anggota keluarga, menambah ketidak percayaan masyarakat kepada Presiden Jokowi. Sikap apatis presiden, seolah menjadi pembenar adanya “barter” pelengseran BG dengan pelengseran pimpinan KPK. Presiden “mempersilahkan” pimpinan KPK untuk dijadikan “pesakitan” polisi dengan perkara “ecek-ecek”, dengan kompensasi BG batal dilantik menjadi Kapolri. Padahal, pada saat yang sama, ada pejabat penegak hukum yang memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) ganda, tidak dijadikan tersangka sebagaimana Abraham Samad ditersangkakan dalam “kasus” Kartu Keluarga. Anehnya, orang yang ditersangkakan KPK, di kemudian hari diangkat menjadi kepala BIN (Badan Intelejen Negara). Sedangkan mantan pimpinan KPK, dibiarkan di rimbanya masing-masing. 

Di tengah perjalan Pemerintahan Jokowi-JK yang sangat mengecewakan, ada gerakan ketidak puasan sosial atas kinerja pemerintah dalam mengelola negara, camuh dalam bidang politik, ekonomi, hukum, keamanan, sosial dan keagamaan. Bukan hanya karena janji yang banyak tidak ditepati, namun dalam hal-hal mendasar dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat (dlaruriyah), juga tidak dipenuhi. Apalagi kebutuhan sekunder (hajiyah) dan tersier (tahsiniyah), tentu lebih tidak dipenuhi. Kemandirian bangsa yang digaung-gaungkan dengan meminjam perkataan Bung Karno, “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri), tidak ditepati, bahkan Indonesia “digrojok” dengan produk impor, saat produk pertanian dalam negeri mau panen. Begitu juga di sektor yang lain, serba impor dan menggantungkan pada produk bangsa lain. Pekerja asing menyerbu pasar kerja domestik, padahal jutaan pekerja domestik masih banyak yang nganggur. Kebijakan penerimaan pekerja asing, menimbulkan keresahan sosial. Dalam bidang keamanan, adanya diskriminasi perlakuan kepada muslim dan muslim, bisa menjadi kerawanan sosial. Begitu seterusnya. 

Di sisi yang lain, penangkapan dan penghadangan terhadap oposan dan kelompok kritis pemerintahan Jokowi, semakin memperparah keadaan buruk proses demokrasi di Indonesia. Pembiaran pesekusi kepada Ustadz Abdul Shomad, Neno Warisman, Ratna Sarumpaet, Rocky Gerung, Ahmad Dhani, Habib Bahar dan lainnya, membuka kran fandalisme politik dan kekerasan bahkan benturan sosial, karena kekerasan dan persekusi kepada para pengeritik kekuasaan seolah dibiarkan. Tidak ada upaya pencegahan dan pembubaran terhadap kekerasan dan persekusi terhadap kelompok kritis yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan ormas-ormas yang sering berkhutbah demorasi, tolerasni, kebhinnekaan, anti-kekerasan dan lainnya, presiden diam saja. Mereka yang pro Jokowi, hanya teriak keras bila kepentingan mereka terusik. Bila kepentingan yang lain dilanggar, diam seribu bahasa. 

Ada empat kelompok sikap terhadap kebobrokan pemerintahan Jokowi-JK, sehingga harus ada pergantian kepemimpinan nasional, yaitu: 1). Pro Jokowi. Kelompok ini adalah kelompok yang berada di lingkaran kekuasaan Jokowi-JK. Banyak tokoh kritis pada zaman sebelum Jokowi, namun setelah mendapat jabatan tertentu di BUMN dan lainnya, mereka menjadi jinak dan hilang akal kritisnya. Sebut saja misalnya Boni Hargen, Fazlur Rahman, Teten Masduki, dan Refly Harun (belakangan kembali ke "jalan lurus"). Untuk yang disebut terakhir, mengundurkan diri dari jabatannya di kantor Setneg, karena ada perbedaan dan bersikap kritis kepada pemerintahan Jokowi.

2). 2019 Ganti Presiden. Gerakan ini diinisiasi oleh Mardani Ali Sera, politikus PKS. Sempat membesar gerakan ini. Namun karena tindakan represif aparat kepolisian dan ormas tertentu, gerakan ini mengecil dan bermertaformosa kepada gerakan politik yang lebih soft”. 

3). Kelompok Kritis. Pada zaman Jokowi, hampir semua tidur dan terlelap, termasuk para mahasiswa dan akademisi kampus untuk berisikap kritis kepada kebijakan pemerintah. “Kartu Kuning” yang diberikan ketua Dema UI, Zadit Taqwa, satu-satu gerakan mahasiswa yang kritis kepada Jokowi menjadi sangat fenomenal. Kefenomelan tersebut karena langkanya gerakan protes kepada Jokowi, sehingga “Kartu Kuning” tersebut viral di dunia maya dan media elektronik. Sepinya kampus dan akademisi kritis kepada kekuasaan Jokowi, peran ini diambil alih oleh kaum politisi dan kelompok gerakan keagamaan. Munculnya gerakan 212 dan lainnya, merupakan bagian dari pengambil alihan peran kritis kaum kampus. 

4. ABJ (Asal Bukan Jokowi). Untuk yang terakhir, prinsipnya yang penting adalah “asal beda”, tidak sama, waton suloyo. Gerakan ini memang bukan gerakan politik ideologis, namun gerakan politik pragmatis. Karena prinsipnya hanya mengganti orang, bukan sistem 

Pada masa pemerintahan Jokowi, ada gerakan penolakan Jokowi untuk maju lagi menjadi presiden. Mereka menilai bahwa Jokowi gagal dalam memimpin negara dan pemerintahan. Jokowi hanya berhasil membangun citra sebagai seorang pemimpin yang populis, namun pada kenyataannya sangat pro asing dan mempraktikan ekonomi liberal. Anti thesis dari apa yang pernah dikampanyekan, yang akan menjadikan ekonomi Indonesia mandiri dan tidak tergantung kepada import. Begitu juga, janji akan membuka 10 juta lapangan kerja, malah lapangan kerja domestik dibanjiri oleh pekerja asing. BPJS tekor karena dialihkan penggunaannya untuk pembiayaan infrastruktur. Penegakan hukum hanya untuk para oposan dan kaum kelompok kritis. Gerakan ini, semakin lama semakin membesar. 

Kondisi ini mirip dengan saat “senja kalaning”[2] kekuasaan Soeharto. Ada 4 (empat) sikap masyarakat Indonesia menyikapi tuntutan suksesi (pergantian kepemimpinan nasional), yaitu: 1). Pro status quo, kelompok yang menolak perubahan dan pergantian kepemimpinan nasional. Mereka sudah mapan dan posisi yang “nyaman” sehingga enggan posisi mereka digantikan. 2). Revolusioner, kelompok yang ingin mengganti total semua tatanan ala Orde Baru dengan tatanan yang berbeda; 3). [kelompok] Reformis, kelompok ini meghendaki pergantian kepemimpinan nasional dilakukan secara gradual, bertahap, tidak frontal; 4). ABS (Asal Bukan Soeharto), kelompok oportunis, yang penting ganti orang, ganti pimpinan, tanpa ideologi yang jelas sebagai basik garis perjuangan, mereka hanya mencari keuntungan material.   

Pertama, kelompok pro status quo, mereka menolak perubahan, karena mereka diuntungkan dengan posisi empuk mereka. Adanya perubahan kekuasaan, tentu berakibat pada tergesernya kekuasaan yang selama ini mereka nikmati dan privelage yang selama ini mereka dapati. 

Kedua, kelompok revolusioner, gerakan untuk mengganti pemerintahan yang otoriter, banyak dilakukan oleh kaum radikal “kanan” atau pun “kiri”. Namun, karena jumlahnya sedikit, gerakan mereka tidak kelihatan, namun kehadiran gerakannya dapat dirasakan. Pada zaman Orla, banyak gerakan revolusioner karena tidak puas dengan pemerintahan Soekarno, plus karena sama-sama pejuang kemerdekaan, sehingga mereka merasa sama-sama punya andil dalam mendirika negara Republik Indonesia. Sedang pada zaman Orba, hampir tidak ada gerakan revolusioner, karena kuatnya pemerintahan Soeharto. 

Ketiga, Gerakan Reformasi. Gerakan ini bertujuan melakukan perbaikan pemerintahan secara gradual, dengan pokok poin pertamanya adalah mengganti Soeharto. Karena pangkal pokok masalahnya ada di Soeharto sebagai top of the top Orde Baru. Dalam fikiran kelompok reformis, jatuhnya Seharto akan mengakhiri keuasaan Orde Baru? 

Gerakan reformasi menghendaki suksesi dilakukan tidak secara frontal ‘ala dari Orde lama (Pemerintahan Soekarno) ke Orde Baru (Pemerintahan Soeharto), namun dilakukan secara perlahan, gradual dan terjadual. Karena gradual, kelemahannya adalah memberi kesempatan menata diri kekuatan lama untuk “bangkit kembali”, “recovery”; kesempatan itu juga sama besarnya seperti yang diberikan kepada kelompok pro reformasi, bahkan kelompok reformasi kalah start, karena kelompok status quo sudah lihai untuk “jump start” dalam mengkonsolidasikan diri daripada kelompok pro reformasi, karena belum berpengalaman dalam mengkonsolidasikan diri. Juga, karena kelompok reformas banyak yang belum siap supra strukturnya dan rapuh secara politis, karena kohesi ideologisnya hanya “menjatuhkan” Soeharto. Karena itu, saat mereka membikin partai politik baru, ketika tidak berhasil, mereka banyak yang kembali ke “habitat”[3] masing-masing dan mempersilahkan “kekuatan lama” menikmati jatuhnya Soeharto sebagai ajang reuni. Ternyata, jatuhnya Soeharto tidak mengakhiri sistem Orde Baru. Reformasi hanya terjadi pada pemerintahan BJ. Habibie. Yang asli reformis, hanya sedikit orang misalnya Prof. Amien Rais. Yang lain, kebanyakan kaum oportunis kekuasaan. Kelompok oportunis inilah yang hanya “nebeng” pada gerbong lokomotif reformasi, tetapi mereka sebenarnya “brutus” reformasi. Saat Soeharto jatuh, mereka yang terlebih dahulu menikmati pergantian kekuasaan dibandingkan pejuang reformasi. Bahkan kaum reformis seperti Pak Amien, lebih banyak ada “di luar” untuk mengkritisi penguasa negeri RI daripada ada di dalam kekuasaan untuk duduk santai menikmati hasil reformasi. Sedang penumpang gelap reformasi sudah menikmati dan menduduki jabatan empuk di segala penjuru negeri. 

Faktor lain, moralitas permisif masih melekat di kalangan politisi pro status quo dan masyarakat; sedang kelompok reformis menjaga idealisme dan moralitas mereka, sehingga dalam melangkah penuh idealisme dan politik yang beradab. Masyarakat, hanya sadar politik dan nilai-nilai moral saat awal-awal reformasi, selebihnya, kembali ke mentalitas pragmatisme politik dan sikap permisif terhadap “money politic”. Mengapa? Karena politisi banyak yang abai pada konstituen. Mereka banyak yang mengejar jabatan dan kesenangan duniawi. Dan masyarakat juga terjangkit “penyakit” pragmatisme politik, bahwa suara yang diberikan hanya “meng-enak-kan” anggota legislatif. Akhirnya, timbul politik biaya tinggi, karena hubungannya menjadi transaksional, bukan idealisme politik. 

Keempat, ABS (Asal Bukan Soeharto). Gerakan ini menginginkan pergantian pemerintahan Orde Baru dengan pemerintahan yang baru, namun tidak mendasarkan pada ideologi politik yang jelas, namun hanya berpijak pada pragmatisme belaka, yang penting berganti orangnya, bukan sistem. Siapa pun boleh jadi pemimpin asal bukan Soeharto. Kelompok ini biasanya hanya karena “repotnasi”, seingga mendorong adanya perubahan, siapa tahu ada “keuntungan” yang didapat dari perubahan. Siapa tahu ada “durian runtuh” saat kelaparan. Di samping itu, mereka juga bagian dari kelompok “repot posisi”. Bila tidak ada perubahan, maka hegemoni kekuasaan hanya ada di lingkaran konco, kroni dan kelompok kepentingannya saja. 

Beda dalam al-Qur’an 

Justru di dalam al-Qur’an, pembedaan secara diametral sering digunakan untuk membedakan satu entitas dengan entitas lain. Tujuannya jelas dan pasti, yaitu membedakan entitas yang baik dan entitas yang buruk, yang benar dan sang salah, jalan ke surga atau jalan ke neraka, bahagia atau sengsara, begitu seterusnya. Menurut Prof. Roem Rowi, dosen tafsir UIN Sunan Ampel, Surabaya, menjelaskan, Petunjuk (al-huda) harus jelas dan tegas, tidak boleh ambigu, multi tafsir dan meragukan, karena bila tidak jelas dan tidak tegas, akan membigungkan dan menyesatkan. Prof. Roem Rowi, pakar tafsir lulusan al-Azhar, Mesir ini, mengilustrasikan dengan petunjuk arah di jalan raya. Jika petunjuk arah meragukan dan tidak jelas, maka akan menyesatkan orang yang bepergian.[4]La raiba” itu bukan sekedar “tidak meragukan”, namun “pasti” benar, tidak ada kebenaran lagi setelahnya, ia sudah menjadi puncak kebenaran itu sendiri, karena “huda” (petunjuk) itu harus pasti benar. Karena bila meragukan, maka tidak bisa dikuti dan tidak bisa dijalankan. 

Mengapa perlu distingsi yang tegas secara diametral? Karena Islam menghubungkan semua itu dengan “Maqashid al-Syari’ah” agar tercapai. Tujuan yang asasi, yang paling utama, dasar, dan pokok, yang hendak dicapai dengan disyariatkan Islam tidak meleset. Tujuan yang asasi tersebut adalah untuk melindungi (hifzh) hak-hak dasar kemanusiaan (al-dlaruriy al-khams) yang meliputi: 1). al-Din (agama); 2). Al-Aql (pemikiran); 3). Al-Nafs (jiwa); 4). Al-Nasl (keturunan); 5). Al-mal (hak milik). 

Misalnya pembedaan antara orang mu’min dan orang kafir. Al-Qur’an jelas sekali dalam menggunakan term mu’min dan kafir. Dalam QS al-Baqarah [2]: 2-7, orang mu’min itu percaya kepada Allah, kuat spiritualnya, memberdayakan masyarakat, percaya hari Akhir (eskatologi), terbuka terhadap kebenaran; sedang orang kafir, orang yang menolak untuk percaya kepada Allah, tidak mau shalat, egois dan tertutup terhadap kebenaran, termasuk wahyu. 

Bagaimana dalam bersikap dalam kehidupan sosial? Dalam QS. Al-Kafirun [109]: 1-6. Sikap orang mu’min kepada orang kafir jelas sekali. Kepada orang-orang kafir, mereka yang menyembah patung atau sesembahan selain Allah, tidak boleh “barter” ibadah. Karena orang mu’min punya keyakinan hanya Allah yang disembah dan menolak untuk menyembah selain Allah. Keyakinan tersebut harus dijaga dan dipertahankan kemurniannya. Tujuannya adalah untuk melindungi keyakinan orang Islam, agar tidak tercampur dengan kepercayaan politeistik dan paganistik. Dalam kehidupan sosial, seolah-olah berbuat baik manakala mencampur aduk urusan kepercayaan dengan masalah kemanusiaan, menurut Islam, faham tersebut salah. Dimensi kepercayaan (belief, iman) tidak boleh tercampur dengan kepercayaan syirik, meskipun dalam masalah sosial kemanusiaan boleh bekerjasama. Bahkan itu hatta kepada kedua orang tua kandung. Kata Allah dalam QS. Luqman [31]: 15: 

Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu, di mana kamu tidak memiliki dasar pengetahuan tentang itu, maka jangan kamu mentaati [perintah] kedua orang tuamu! Namun pergaulilah keduanya dengan baik [dalam masalah] keduniawian. Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku! ...” 

Kebijakan Islam tentang hubungan muslim dan non-muslim dalam masalah aqidah dan ubudiyah, tentu bertujuan untuk melindungi kepercayaan (hifzh al din) tauhid dari kesyirikan. Secara psikologis, jiwanya juga sehat (hifzh al-nafs), karena bebas dari tekanan psikologis akibat “ewoh-pakewoh” dengan orang yang memiliki kepercayaan tidak sama. Secara nalar, akal semakin sehat (hifzh al-‘aql), karena tahu nalar logika yang benar dan nalar yang sesat. Dari sisi properti, kekayaan, dan hak milik, kekayaannya jelas terjaga (hifzh al-mal) dari yang diperoleh secara tidak halal dan syubhat. Bahkan dalam bidang harta warisan, Islam membuat ketentuan yang sangat “keras”, yaitu orang muslim tidak dapat mewariskan hartanya kepada orang kafir, meskipun masih ada hubungan kerabat. Begitu juga sebaliknya, orang kafir tidak mewariskan harta kepada orang muslim, meskipun satu keluarga. Karena rigidnya Islam dalam menjaga kepercayaan, maka aspek keturunan (hifzh al-nasl) juga diperhatikan, karena terlalu banyak resiko dalam membina keluarga berbeda agama. Yang sama dan seagama saja, masih banyak perselisihan, apalagi yang jelas-jelas berbeda agama, tentu problemnya lebih kompleks. Dalam tradisi sekular, penentuan agama ditetapkan ada usia 18 tahun, sehingga si anak bebas menentukan agama pilihan dirinya. Dari sudut pendidikan (tarbiyah), sebelum umur 18 tahun, bagaimana pendidikan agama si anak, tentu banyak terbengkelai dan tak terurus. Jika si anak tidak mengetahui halal dan haram, benar dan salah, dan seterusnya, tentu akan menjadi anak yang permisif. Hal ini bila terjadi, tentu akan membahayakan kelangsungan sebuah generasi tanpa moral. Akibatnya, kehancuran sebuah bangsa tinggal menunggu waktu saja. 

Islam pun memberikan penjelasan yang tegas tentang sikap keberagamaan subtantifistik dan keberagamaan formaslistik. Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 62, digambar dengan jelas: 

“Sungguh orang-orang yang beriman, Yahudi, dan Nasrani, dan Sabiin, siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan beramal shalih, maka mereka akan mendapatkan pahala dari Tuhan mereka; mereka juga tidak perlu merasa takut dan khawatir.” 

Allah mengakui adanya agama formal seperti Yahudi, Nasrani, Sabiin dan Islam. Namun keberagamaan formal tersebut perlu diuji otentisitas keberagamaannya, apakah ikhlas hanya karena Allah ataukah tidak?  

Beragama formal seperti Yahudi dan Nasrani, lalu mengaku sebagai ummat terbaik dengan menegasikan keberadaan agama yang lain (QS. 2: 110-113), tentu kontradiktif dengan sikap tunduk patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Realitasnya, mereka hanya mengakui kitab suci yang diturunkan kepada mereka dan inkar kepada kitab yang diturunkan kepada selain mereka, padahal sama-sama datang dari Allah (QS. 2: 89-91). Saat diutus nabi atau rasul kepada Bani Israil pun ada yang didustakan bahkan ada yang dibunuh (QS. QS. 2: 87, 101). Kepada nabi dan rasul terakhir pun mereka mengingkari (QS. 2: 101). 

Apa yang diucapkan secara verbal, berbeda sama sekali dengan kenyataan, bahkan mereka berani mengait-ngaitkan Ibrahim sebagai Yahudi dan Nasrani (QS. 2: 140), padahal Ibrahim itu Islam, yang hanya menyembah Allah dan tidak memnyembah kepada yang lain (QS. 2: 135). Allah membuka klaim bohong orang Yahudi dan Nashrani yang hanya ngaku-ngaku beragama tetapi bohong belaka, hanya mengaku di mulut, karena saat disuruh untuk mengikuti perintah Allah, mereka inkar, menolak apa yang diperintahkan Allah kepada mereka. Sikap tersebut bertolak belakang dengan sikap Nabi Ibrahim yang pasrah menerima apa saja yang diperintakan Allah dengan ikhlas. 

Keberagamaan palsu adalah keberagamaan verbalistik, keberagamaan yang cukup diucapkan mulut saja, namun tidak pernah dilaksakan dalam amaliah nyata. 

         Kecaman Allah tidak hanya ditujukan kepada orang Yahudi dan Nasrani saja, orang-orang Islam pun dikecam oleh Allah manakala shalatnya hanya formalitas belaka (QS. 107: 1-7), yang hanya memenuhi rukun dan syaratnya, cuma menghadap kiblat, namun tidak memiliki pengaruh sama sekali kepada kehidupan pribadi dan sosialnya (QS. 2: 177). Allah menghendaki kaum muslim agar memiliki sikap tunduk patuh kepada perintah Allah dan dilaksakan dengan ikhlas dan memiliki dampak sosial yang nyata: 

“Kebajikan itu bukan kamu menghadapkan wajahmu ke arah barat atau timur, namun kebajikan adalah orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, Malaikat, Kitab dan kepada para nabi; dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, orang dalam perjalanan, peminta-minta, dan orang yang memerdekakan hamba sahaya; dan mengeluarkan zakat, mereka menepati janji manakala berjanji, dan orang-orang yang sabar saat berada dalam kemelaratan, penderitaan dan ketika terjadi peperangan. Mereka itulah orang-orang yang membenarkan dan mereka itulah orang-orang bertakwa.” 

Itu distingsi nyata anatara keberagaman formalistik dan keberagamaan subtantif, banyak orang beragama, namun masih melakukan yang munkarat dan abai terhadap kemakrufan. Gemar berpakaian agamis, namun perilaku jauh dari nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, al-Qur’an menggunakan ungkapan distingtif untuk memberikan penyadaran adanya pembedaan tersebut, agar punya efek religiusitas dan humanisme. 

Kata-kata yang digunakan oleh al-Qur’an untuk menunjukkan “pembedaan”, antara lain menggunakan kata: 1). Al-Furqan; 2). La yastawi; 3). Menggunakan lawan kata (tadladud, muqabalah); 4). Menambah kata negatif “لا”. 

1.      Al-Furqan 

Kata “al-furqan” adalah bentuk mashdar dari kata dasar “f-r-q” (فرق – يفرق – فرقا - فرقانا), artinya “beda”, “membelah”, “memisah”, “menceraikan”, “memilah”, “membagi”, mendistribusikan”, “bermacam-macam”. 

Kata “farqu” (فرق) bermakna “beda” atau “perbedaan”; misalnya sabda Nabi, “Perbedaan antara orang mu’min dan orang kafir adalah meninggalkan shalat”. Maksudnnya, tanda orang mu’min adalah mau mengerjakan shalat, sedang tanda orang kafir adalah tidak mau mengerjakan shalat. 

Dengan kata “f-r-q” (فرق), Nabi Musa diberi mu’jizat mampu “membelah” (فرق) laut. Seperti dalam firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 50: 

Dan ingatlah ketika Kami “membelah” (فرقنا) laut untuk kamu, sehingga Kami dapat menyelamatkan kamu; sementara Fir’aun dan pengikutnya Kami tenggelamkan. Dan, kamu menyaksikan [hal itu].” 

Dari kata dasar “f-r-q” (فرق) juga muncul antara lain kata “firqah” (فرقة), (golongan). Makna “golongan” (فرقة), dapat ditemukan dalam Hadits Nabi yang menyatakan, bahwa ummat Nabi Muhammad nanti, akan terpecah terbagi menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan (firqah). Ada “firqah najiyah”, artinya sebagai “kelompok yang selamat” yang akan masuk surga; disamping ada kelompok yang tersesat yang akan masuk ke dalam neraka. 

Dalam makna “golongan” atau “kelompok”, juga digunakan kata “fariq” (فريق). Misalnya dalam QS. 7: 30, Allah menyatakan, “Segolongan (فريق), Kami berikan petunjuk; sedang segolongan yang lain, mereka berhak atas kesesatan. Karen mereka benar-benar menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah. Dan mereka mengira bahwa mereka akan memperoleh petunjuk.”(QS. 7: 30). 

Tafriq” (تفريق), artinya perbuatan “memecah belah” baik dalam makna positif (pembagian kelompok) dan makna negatif (memecah belah). Dalam kasus Masjid “dlirar” yang dibangun oleh orang-orang munafiq, tujuannya mendirikan masjid tandingan tersebut adalah untuk “memecah-belah” (تفريق) orang-orang Islam (QS. 9: 107) agar saling bermusuhan. Pendirian masjid, meneurut ayat tersebut, tidak selalu ditujukan untuk memuliakan kalimat Allah dan murni ibadah, namun dari dalam masjid terkadang dirancang untuk menghancurkan peradaban kaum muslim. Berkaca pada kejadian di Masjid Dlirar, akhirnya masjid tersebut kemudian dihancurkan oleh Nabi dan para sahabatnya, karena sebagai tempat makar untuk memusuhi Islam. 

Dari kata dasar “f-r-q” (فرق) juga muncul  kata “tafarruq” (تفرق), “perpecahan” dan “perselisihan”. Menurut Al-Qur’an, justru perpecahan terjadi setelah diperoleh pengetahuan dan bukti-bukti kebenaran. Al-Qur’an mengecam ummat yang “terpecah belah” dan selalu “berselisih”, justru setelah ditemukan pengetahuan dan bukti-bukti kebenaran (العلم , البينة) (QS. 3: 105; 42: 14; 94: 4). 

Derivasi yang lain adalah kata “Firaq” (فراق), yang memiliki makna “perceraian” dua orang atau kelompok yang asalnya bersatu. Contoh, suami istri bercerai (firaq) misalnya karena tidak ada kecocokan. Artinya: Suami dan istri sudah tidak dalam satu rumah tangga karena sudah “berpisah”. Dengan kata “Firaq” (فراق), juga dapat diberi arti “perpisahan.” Kata tersebut misalnya digunakan untuk menggambarkan pengembaraan Nabi Musa dalam menuntut ilmu kepada Nabi Khidlir. Karena Nabi Musa tidak sabar untuk ”mentaati” apa yang dijadikan peraturan dalam menuntut ilmu, Nabi Musa dihukum dengan hukuman tidak boleh lagi berguru kepada Nabi Khidlir, sehingga keduanya harus “berpisah” (فراق) menurut aturan dan “dunia”-nya masing-masing (QS. 18: 78). 

Al-Qur’an oleh Allah diturunkan secara “berangsur-angsur”, “terpisah-pisah”,  juga diambil kata “f-r-q” (فرق). Al-Qur’an tidak turun semuanya sekaligus, namun bertahap (tadarruj), tujuannya agar mudah dipelajari, difahami, dan diamalkan oleh para sahabat Nabi (Qs. 17: 106). 

Al-Farqu” (الفرق), juga bermakna “perbedaan” (ikhtilaf) antara dua hal yang tidak sama, yang intinya adalah adanya dua entitas yang benar-benar beda dan tidak sama. Dalam Islam, antara satu nabi atau satu rasul dengan rasul yang lain tidak boleh dibeda-bedakan (QS. 2: 136, 285), karena para nabi dan rasul memiliki kelebihan masing-masing yang tidak dimilki oleh nabi atau rasul lainnya (QS. 2: 253; 6: 86). 

Umar ibn Khaththab diberi gelar oleh Nabi sebagai “al-faruq” (الفروق), karena Umar ibn Khaththab memiliki “kemampuan luar biasa membedakan” antara yang haq dan yang batil. Kata “al-faruq” juga berasal dari akar kata yang sama: “f-r-q”. 

Orang yang diberi “hikmah”, diberi pengetahuan tentang puncak kebenaran, kebenaran mutlak, al-Qur’an menyebutnya sebagai orang yang telah diberi “al-furqan” (QS. 8: 29). Hikmah tersebut diperoleh dengan syarat memiliki iman dan taqwa dalam makna yang sebenarnya, bukan hanya verbalistik dan formal, namun subtantif-esensial. 

Di dalam al-Qur’an, kata “al-furqan” disebutkan sebanyak 7 (tujuh) kali, sekali tanpa artikel “al”. Al-furqan tidak hanya diberikan kepada Nabi Muhammad (QS. 25: 1), Nabi Musa pun diberi al-furqan (QS. 2: 53), begitu juga Harun (QS. 21: 48). Al-Furqan yang diberikan kepada Nabi Musa dan Harun, menurut al-Biqa’iy adalah kemampuan menjelaskan sesuatu berdasarkan hakikat yang ada, tanpa ada sesuatu pun yang tertutupi (المبين للاشياء على ما هي عليه من غير ان يدع في شيئ لبسا). Al-Furqan di sini, di luar Kitab Taurat itu sendiri (QS. 2: 53). 

Kitab Taurat juga berfungsi sebagai “petunjuk” (al-huda) dan “pembeda” (al-furqan) yang haq dan yang batil (QS. 3: 4). Jadi pada masanya, Kitab Taurat juga berfungsi sebagai al-furqan, sebagaimana juga kitab dan wahyu yang diberikan kepada para nabi dan rasul Allah. 

“Al-Qur’an”, juga menyebut dirinya sebagai “al-Furqan”, “pembeda” (QS. 2: 184; 25: 1). Al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf, mengartikan “al-furqan” dengan arti: “Membedakan antara dua hal sehingga betul-betul berbeda secara jelas (al-fash). Al-Qur’an dinamakan “al-Furqan”, karena ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan Allah sebagai wahyu, petunjuknya benar-benar dapat membedakan sesuatu yang haq dan yang batil. 

Hal yang senada juga dikemukakan oleh al-Syaukani dalam “Tafsir Fathul Qadir”, yang menafsirkan “al-furqan” sebagai sesuatu yang dapat membedakan antara yang haq dan yang batil. Sedangkan al-Qasimi dalam Mahasin al-Ta’wil, menafsirkan “al-furqan” adalah ayat-ayat yang diturunkan Allah, betul-betul jelas (wadlihah) dan dapat menujukkan kepada kebenaran (mursyidah ila al-haq) dan lepas dari ketidak jelasan (khuruj min al syubahat). 

2.      La yastawi 

Yastawi di dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 19 kali, baik dalam bentuk kalimat interogatif maupun negatif. “Yastawi” artinya “sama”. Bila ditambah kata negatif “لا” “tidak”, yaitu “la yastawi”, maka artinya menjadi “tidak sama”. 

Allah menggunakan bentuk kalimat tanya (istifham) dalam mengungkapkan perbedaan suatu entitas dengan entitas lain, tujuannya untuk: (1). Mengajak berfikir kepada yang diajak bicara (mukhathab) biar mengetahui esensi perbedaan; (2). Memberi tahu besarnya distingsi antara dua entitas yang berbeda. (3). Penyadaran atas sikap yang salah agar benar. Dengan diberitahu tamsil perbedaannya, diharapkan timbul kesadaran di dalam diri manusia secara alamiah atas perintah Allah, untuk berfikir benar dan berbuat kebenaran. 

Ada beberapa kata, konsep, yang saling berlawanan di dalam al-Qur’an yang menggunakan kata ”sawa”, “yastawi” atau kata derivasinya (turunannya). Antara lain: a). Perbedaan antara orang yang malas berjuang di jalan Allah, dengan orang yang sungguh-sungguh berjuang di jalan Allah. Allah bertanya, Samakah antara orang yang duduk-duduk di rumah dengan orang yang berjuang di Jalan Allah?” Tentu tidak sama. Allah menjelaskan, “Tidak sama antara orang beriman yang mau berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka, dengan ornag beriman yang hanya duduk saja di rumah, yang enggan untuk berjuang di jalan Allah, tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i (QS. 4: 95). Allah lebih jauh menegaskan bahwa yang disebut dengan orang mu’min yang sebenarnya adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mau berjihad di Jalan Allah dengan mempertaruhkan benda dan jiwa mereka (QS. 49: 15). 

Di dalam al-Qur’an dicontohkan bangsa yang ingin meraih kejayaan namun enggan berkorban dan berjuang, adalah Bani Israil, maunya enak, namun enggan berjuang keras, berjibaku dengan kesusahan. Mau hidup mulia, tapi tidak mau berjuang. Mana munkin, padahal aruh sudah banyak memberikan karunia yang melimpah, termasuk diutusnya para nabi dan rasul, khusus untuk mengarahkan mereka (QS. 2: 47). Bahkan para nabi, misalnya Nabi Musa yang disuruh untuk menghadapi musuh, bersa-saa dengan Tuhannya (QS. 5: 24). Aneh, tapi nyata. 

Mentalitas budak akibat terlalu lama jadi budak Fir’aun, masih membekas hingga sekarang. Oleh sebab itu, ada persamaan bagi Bani Israil doeloe dengan sekarang. Doeloe Bani Israil diperbudak oleh Fir’aun di Mesir selama berabad-abad, hidup di dalam penindasan dan penderitaan, bahkan anak keturunannya banyak yang dieksekusi hidup-hidup tanpa suatu kesalahan. Saat dibebaskan oleh Musa dari perbudakan Fir’aun dan keluar menyeberang dari Mesir menuju negeri yang dijanjikan, mereka enggan berjuang, tidak mau hidup susah dan bekerja keras, malah Musa dan Tuhannya disuruh berjuang berduaan menghadapi kaum penguasa yang kuat di wilayah Palestina. Mereka maunya duduk-duduk saja (QS. 5: 24), tidak  mau berjuang. Yang luar biasa buruk, adalah saat mereka diberi hukuman untuk tinggal di Gurun Sinai selama 40 tahun karena tergoda duniawi dan jatuh ke perbuatan syirik, mereka malah ingin kembali ke Mesir, karena di Negeri Qibthi, makanan dan minuman apa saja bisa ditemutkan. Sedang di Gurun Sinai, hanya ada Manna dan Salwa (QS. 2: 57). Bagi mereka, hidup menjadi budak lebih baik, karena makanan dan minuman mudah didapat; sedang menjadi orang merdeka lebih buruk, karena makanan dan minuman sulit didapat (QS. 2: 61). 

Israel berhasil didirikan menjadi negara atas prakarsa Inggris, Amerika dan sekutunya di atas Tanah Palestina. Negara Israel ada namun kekuasaan rielnya ada di tangan Amerika dan sekutunya. Ia hanya menjadi boneka negara adikuasa, untuk menjadi duta” kepentingan negara Barat di kawasan Timur Tengah yang kaya minyak dan sumber alam lainnya. Ia tak lebih dari seperti yang doeloe diperbudak oleh Fi’aun, jadi pekerja; dan sekarang pun diperbudak oleh Barat untuk menjadi “pekerja” Amerika dan sekutunya. 

b). Perbedaan antara orang merdeka dengan hamba sahaya. Allah memberikan gambaran jelas, “Samakah antara “orang merdeka”, “tuan”, dengan “budak”, “hamba sahaya”? yang satu memiliki kekuasaan penuh atas apa yang dimilki, sedang yang kedua, dia bekerja, menghasilkan sesuatu, tetapi tidak memiliki kewenangan atas apa yang dikerjakan dan dihasilkan, karena bekerja atas nama dan untuk sang tuan (QS. 16: 75-76). Tentu tidak sama. 

c). Perbedaan antara orang berfikir dan orang taklid. Orang yang merdeka akal fikirannya pun dengan orang taklid, tentu tidak sama. Yang satu merdeka, bebas, yang satu lagi, ikut-ikutan. Yang merdeka pemikirannya, bebas berbuat berdasarkan pengetahuannya; sedang “muqallid” tidak tahu apakah yang diikuti itu sesat ataukah benar. Bila sesat, maka hanya penyesalan yang didapat. Sebagaimana gambaran dalam firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 166-167, 170: 

Ingatlah! Ketika orang-orang yang diikuti berlepas tangan dari orang-orang yang mengikuti, dan tatkala mereka telah melihat siksaan dan segala hubungan sudah terputus.” 

“Berkatalah orang-orang yang mengikuti, “Sungguh, andaikata kami bisa kembali sekai lagi, tentu kami akan berlepas tangan dari mereka sebagaimana mereka telah berlepas tangan dari kami.” Demikianlah ketika Allah memperlihatkan amal-perbuatan mereka kepada mereka sendiri, [hanya] ada penyesalan buat mereka. Dan mereka tidak akan bisa keluar dari neraka. 

“Dan bila mereka diomongi,”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!” mereka menjawab, “Bahkan kami ikut saja apa yang kami jumpai pada nenek moyang kami.” Apakah mereka [tahu] kalau nenek moyang mereka tidak berfikir sama sekali dan tidak pula mendapatkan petunjuk.” 

Oleh sebab itu, Allah melarang taklid, karena semua amal perbuatan, akan dipikul tanggung jawabnya oleh pribadi masing-masing, bukan orang lain yang menanggung akibatnya. 

Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu, karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. 17: 36). 

[Pahala itu], berdasar perbuatan [baik] yang diusahan, dan [siksa itu], berdasar perbuatan [buruk] yang dikerjakan.” (QS. 2: 286; 17: 7). 

Katakan! Setiap orang akan berbuat berdasar skil [pengetahuan] masing-masing, Tuhanmu lebih tahu tentang orang yang mendapatkan jalan petunjuk-[Nya] (QS. 17: 84). 

d). Perbedaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Allah mengatakan, “Samakah antara orang yang berilmu dengan orang yang tak berilmu pengetahuan?” Jawabannya, “Tidak sama. Dan, mana mungkin sama.” Kata al-Qur’an, orang berilmu, memandang semuanya ciptaan Allah bermanfaat, tidak ada yang sia-sia (QS. 3: 190-191). Semuanya memiliki makna, tidak nihil tujuan, punya manfaat, bahkan sekecil nyamuk pun, ada manfaatnya juga (QS. 2: 26). Allah menyuruh berfikir manusia agar memikirkan semua ciptaan Allah, termasuk penciptaan unta, langit, bumi, dan gunung, disuruh untuk dinalar (QS. 88: 17-20). Jangan dibiarkan apa adanya, tetapi gali makna dan hikmahnya. 

Oleh sebab itu, orang mu’min, orang beriman kepada Allah punya optimisme tinggi (raja’), tidak mudah putus asa (QS. 2: 218; 18: 110; 94: 5-7; ). Sebaliknya, orang yang kufur pada Allah, hidupnya pesimis, mudah putus asa, dan berfikiran pendek (QS. 10: 7-15; 15: 56; 29: 23; 29: 53). Oleh karena itu, kata Allah, hanya orang yang alim, yang berilmu pengetahuan yang takut kepada Allah (QS. 35 :22); sedang orang kafir, akan inkar kepada Allah, sebanyak apa pun nikmat yang diberikan (QS. 17: 83). 

e). Perbedaan antara orang yang buta dengan orang yang dapat melihat. Kata Allah, “Samakah antara orang yang buta dengan orang yang dapat melihat?” Tentu tidak sama. Orang buta tentu tidak dapat melihat kenyataan, tidak bisa melihat realitas material inderawi. Padahal indera, salah satu bagian dari sumber pengetahuan. Aliran empirisme dan realisme, banyak bertumpu pada episteme inderawi. Pengetahuan tidak sah, menurut aliran ini, manakala tidak bersumber dari penglhatan inderawi. Namun yang dimaksud “buta” di dalam al-Qur’an, bukan buta mata, namun buta hati dan buta akal-fikirannya. Kata Allah dalam QS. Al-Hajj [22]: 46: 

أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ ٤٦ 

Maka apakah mereka tidak pernah berjalan di muka bumi, sehingga akal mereka dapat memahami, atau telinga mereka dapat mendengar? Maka sungguh penglihatannya tidak buta, namun hati yang ada di dada itulah yang buta.” 

Juga dalam QS. Fushilat [41]: 17: 

وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيۡنَٰهُمۡ فَٱسۡتَحَبُّواْ ٱلۡعَمَىٰ عَلَى ٱلۡهُدَىٰ فَأَخَذَتۡهُمۡ صَٰعِقَةُ ٱلۡعَذَابِ ٱلۡهُونِ بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ ١٧

Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai “buta” (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. 

Ayat di atas dipertegas dengan ayat lainnya, saat orang kafir di Akhirat nanti mengadu kepada Allah, mengapa mereka buta, padahal saat di dunia tidak buta, matanya dapat melihat. QS. Thaha [20]: 124-125: 

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." 

“Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? 

Orang yang menutup telinga, mulut, dan mata, kata Allah, “Tidak bisa berfikir.” Karena itu mereka disebut “tuli”, “bisu”, dan “buta”. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 170-171: 

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" 

Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak bias berfikir (la ya’qilun).” 

Padahal manusia adalah makhluk paling mulia, namun jika tidak bisa berfikir, beriman kepada Allah, dan beramal shalih, akan menjadi makhluk yang paling rendah dan hina (QS. 95: 4-6). Dalam QS. Al-Anfal [8]: 22, 55; Allah mengatakan: 

۞إِنَّ شَرَّ ٱلدَّوَآبِّ عِندَ ٱللَّهِ ٱلصُّمُّ ٱلۡبُكۡمُ ٱلَّذِينَ لَا يَعۡقِلُونَ ٢٢

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak bias berfikir 

إِنَّ شَرَّ ٱلدَّوَآبِّ عِندَ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ ٥٥

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. 

Jadi, rendahnya nilai kemanusiaan adalah karena akalnya tidak berfungsi, hatinya mati, karena tidak diisi dengan iman dan amal perbuatannya rusak, karena tidakada benteng iman. Pangkal semuanya adalah iman, karena iman merupakan benteng pertahanan jiwa, bila tidak ada benteng pertahanan, maka mudah ditembus oleh perilaku syaithaniyah yang menyimpang, sehingga tidaka ada prinsip halal atau haram, benar atau salah, baik atau buruk dan seterusnya. 

Orang kafir, adalah orang yang menutup telinga, mulut, dan mata mereka. Kata Allah, “Tidak akan kembali dapat menerima jalan iman (QS. 2: 18), karena mereka telah menutup telinga, mulut dan mata mereka, sehingga tersumbat jalannya untuk menerima kebenaran (QS. 2: 7). Mereka abai kepada Allah, melupakan Allah, sehingga Allah pun abai dan melupakan mereka (QS. 45: 34). 

Ada banyak contoh yang ditampilkan al-Qur’an sebagai personifikasi orang hebat, kuasa, pintar, kaya dan punya pengikut banyak, alat indera pun lengkap. Sebutlah person seperti Fir’aun, Haman, Qarun, Abu Lahab; adalah tokokh legendaris dizamannya, namun bernasib buruk, baik di dunia maupun akhirat, karena menentang Allah dan Rasul-Nya. 

Ibn Ummi Maktum adalah contoh difabel yang tidak bisa melihat, karena buta matanya, namun mata batinnya melihat. Walau buta mata, namun mata batin melihat, sehingga dapat menangkap sinar cahaya kebenaran Islam. Orang musyrik Makkah, yang bergelimang harta dan kuasa, mata mereka melihat, namun hatinya buta, maka hidayah Ilahi tak dapat menembus kelamnya hati mereka, sehingga hatinya buta, walau mata melihat. Dalam QS. ‘Abasa [80]: 1-10; Allah bercerita: 

Dia bermuka masam dan berpaling; saat datang orang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa); atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya. Adapun [kepada] orang yang berada; maka kamu memberi perhatian kepadanya; Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera, sedang ia takut kepada (Allah); malah engkau mengabaikannya.” 

Maka beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya. Sebaliknya, orang yang mengotori jiwanya pasti rugi (QS. Al-Syams [91]: 7-10). Karena Allah sudah membekali jiwa manusia semua perangkat itu, untuk menjadi makhluk terbaik, sehingga mampu membedakan kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan, jalan lurus dan jalan sesat, kebaikan dan kemunkaran, surga dan neraka begitu seterusnya. 

3.      Lawan kata 

Di dalam al-Qur’an, sering menjelaskan sesuatu konsep, langsung dengan konsep yang berlawanan (tadladud, muqabalah) dengan konsep yang dimaksud. Contoh konsep musyrik dan konsep mu’min dalam bertuhid kepada Allah dengan mengambil contoh: Sifat cinta. Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 165: 

Dan ada sebagian manusia yang menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, mereka mencintai mereka seperti mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat cinta kepada Allah...” 

Cinta, sesuatu yang jauh menjadi dekat, yang buruk jadi indah, yang dibenci menjadi dirindu, yang berat menjadi ringan, yang pahit jadi manis, bila tiada, terasa kehilangan, kehadirannya menjadi energi, begitu seterusnya. Oleh sebab itu, Nabi pernah bersabda, “Orang akan memperoleh rasa masnisnya iman, manakala mencintai Allah dan rasul-Nya, melebihi cintanya kepada yang lain.” Logis sekali, karena hanya orang yang beriman yang dapat merasakan lezatnya iman. 

Jalan tauhid, iman, dan Islam, menjadi garis demargasi penentuan jalannya kehidupan. Orang yang mendapatkan Jalan Allah, akan menjadikan jalan tersebut sebagai pengikat dan pengurai kebersamaan (al-aqdi wa al-halli). Bersama-sama karena Allah dan berpisah karena Allah. Orang yang memiliki sikap seperti itu, akan mendapat naungan Allah padahal saat itu tidak ada nanungan sama sekali, kecuali naungan Allah. Dalam sejarah Islam, anak tercinta Nabi, Zainab binti Rasulillah harus berpisah dengan suami tercintanya, karena perbedaan keyakinan. Zainab Islam, sedang suaminya musyrik. Berpisah karena agama, dan bertemu karena agama. Zainab bersatu lagi dengan suaminya, karena sang suami sudah masuk Islam. itu sebagai upaya “Sadd al-Dzari’ah” (preventif), untuk melindungi agama dan keyakinan tauhid (hifzh al-din). Islam menggugurkan pernikahan yang sah, karena salah satu dari pasangan suami atau istri murtad dari Islam. Lebih jauh, juga untuk melindungi keturunan (al-nasl), kepemilikan (al-mal), pemikiran (al-‘aql), yang berbasis pada tauhid. Karena jalan tauhid, jalan Islam, jalannya orang-orang mu’min, itulah jalan yang menyelamatkan, yang membimbing dan menunjukkan kepada kebenaran dan keselamatan; bukan jalan kesesatan dan menjerumuskan ke dalam siksaan neraka. Allah menggambarkan dengan jelas ke mana arah jalan Allah bagi orang mu’min. Allah juga menjelaskan tentang orang-orang kafir, pelidungnya adalah “thaghut”, sedang orang-orang mu’min, pelindungnya adalah Allah (QS. 2: 257). Thaghut, kata al-Qur’an, menjerumuskan ke jalan sesat dan kegelapan; sedang Allah, membawa ke jalan lurus dan terang-benderang. Orang yang berjalan di kegelapan akan banyak mengalami kesulitan, tersandung dan terkena duri tajam; sedang berjalan di jalan yang terang, akan banyak kemudahan, lapang dan dapat menghindari gangguan. 

Tasyabbuh, di dalam Islam sangat digalakkan agar beragama punya efek nyata secara i’tiqadi, ideologis, psikologis, dan perilaku. Jika tidak, maka hanya palsu belaka. Namun jangan terjebak kepada uniformisme, sebatas seragam dan penampilan, namun isi dan muatannya ashabiyah, maka tidak ada artinya sama sekali, karena muatannya adalah muatan jahiliyah, peradaban nomaden dan jauh dari peradaban yang adi luhung (civil society, masyarakat madani). Yang dikehendaki adalah beda yang fungsional dan subtantif, bukan pada dataran pariferal dan verbal belaka. 

Wallahu a’lam bi al shawab

 



[2] “Senja” arti secara harfiah adalah “waktu sore”, waktu menjelang maghrib. Di mana matahari mau tenggelam. “kala” artinya “waktu”. Jadi yang dimaksud dengan “senja kalaning” adalah ungkapan dalam budaya Jawa untuk menggambarkan saat-saat mau kejatuhan sebuah kekuasaan.

[3] Ngabalin, dari PBB pindah ke Golkar; Misbakhun, dari PKS ke Golkar; Kapitra Ampera, dari lawyer Habib Rizieq ke PDIP;

[4] Ceramah Prof. Roem Rowie (2017) pada kajian rutin Jihad (Pengajian Ahad) Pagi, di Majelis Tafsir Al-Quran (MTA), Surakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIGA SYARAT TERKABULNYA DOA

24 Siswa MA YTP Kertosono diterima Berbagai PTN lndonesia Jalur SNBT, dan Jalur lainnya

Rukhsah Teologis dan Rukhsah Fiqhi